Mendengarkan Sebelum Didengarkan

Versi printer-friendly
Kode Kaset: 
T532B
Nara Sumber: 
Pdt. Dr. Paul Gunadi
Abstrak: 
Pada umumnya kita ingin didengarkan ketimbang mendengarkan, namun jika ingin berhikmat kita mesti mendisiplin diri untuk mendengarkan. Makin banyak kita mendengarkan, makin bertambah pengetahuan kita akan permasalahan, makin lega lawan bicara kita. Mendengarkan menambah hikmat karena kita masuk ke alam pikiran orang dan mencoba untuk memahaminya. Mendengarkan juga erat hubungannya dengan kerendahan hati. Kerendahan hati adalah langkah menuju hikmat. Jadikanlah mendengarkan sebagai gaya hidup bukan sekadar keterampilan. Makin kita mendengarkan-Nya, makin kita berhikmat.
Audio
MP3: 
Play Audio: 
Ringkasan

Tuhan Kita Yesus tidak meninggalkan kita sendirian. Selain meninggalkan Roh-Nya yang Kudus, yang memberi kekuatan dan menuntun kita di jalan-Nya yang benar, Ia pun meninggalkan Firman-Nya, yang memberi kita hikmat untuk menghadapi pelbagai masalah dalam hidup ini. Banyak kesusahan timbul karena kurangnya hikmat; itu sebab kita perlu menimba "mutiara" yang Tuhan sudah sediakan untuk kita.

Hal keempat yang perlu kita pelajari bila kita ingin berhikmat adalah mendengarkan sebelum didengarkan. Pada umumnya kita ingin didengarkan ketimbang mendengarkan, namun jika kita ingin berhikmat, kita mesti berdisiplin diri untuk mendengarkan. Mendengarkan terdiri dari dua langkah atau mencakup dua tindakan.

  1. Kita MENDENGARKAN TERLEBIH DAHULU, sebelum membuka mulut untuk berbicara dan menuntut orang untuk mendengarkan. Ini penting dilakukan, sebab dengan mendengarkan, kita akan dapat mengerti masalah atau pembicaraan secara lebih utuh. Sebelum memberi jawab, kita bisa memahami permasalahan secara lebih lengkap dan tepat.
  2. Bukan saja kita mendengarkan terlebih dahulu, di dalam pembicaraan, kita pun lebih MEMILIH UNTUK MENDENGARKAN daripada berbicara dan didengarkan. Dengan kata lain, sebaiknya porsi terbesar bukanlah didengarkan, melainkan mendengarkan. Makin banyak kita mendengarkan, makin bertambah pengetahuan kita akan permasalahan, dan makin lega lawan bicara kita. Akhirnya percakapan menjadi lebih cair dan santai.

Sekarang mari kita lihat kaitan antara mendengarkan dan hikmat; setidaknya ada dua:

  1. Mendengarkan berarti bukan saja memasang telinga tetapi terpenting, kita berusaha mengerti apa yang disampaikan dan mengapa perlu disampaikan. Setiap butir pemahaman—atau usaha untuk memahami—akan menambah hikmat. Sebaliknya, didengarkan tidak akan menambah hikmat karena didengarkan—atau berbicara—hanyalah mengeluarkan apa yang ada di alam pikiran sendiri. Jadi, sekali lagi, mendengarkan menambah hikmat karena kita masuk ke alam pikiran orang dan mencoba memahaminya.
  2. Firman Tuhan di Yakobus 1:19 menasihati kita untuk "cepat untuk mendengar, tetapi lambat untuk berkata-kata, dan juga lambat untuk marah." Di sini kita dapat melihat bahwa mendengarkan dan marah-marah berhubungan erat. Barangsiapa lambat mendengar tetapi cepat berkata-kata, ia akan cepat marah. Sebaliknya, barangsiapa cepat mendengar tetapi lambat berkata-kata, ia akan lambah marah. Nah, sebagaimana kita ketahui, kemarahan adalah musuh hikmat; jadi, makin cepat dan mudah marah, makin jauh kita dari hikmat. Sebaliknya, makin lambat kita marah, makin dekat kita dengan hikmat.

Salah seorang tokoh di Alkitab yang gemar didengarkan tetapi tidak suka mendengarkan adalah Raja Saul. Ia adalah kebalikan dari penerusnya, Raja Daud. Berkali-kali, baik Samuel yang mengurapinya, putranya Yonatan maupun Daud sendiri—yang adalah menantunya—berbicara kepada Raja Saul dan menasihatinya. Sayang, ia tidak menggubrisnya. Bahkan sewaktu imam berbicara, ia pun tidak bersedia mendengarkan. Ia menuntut orang mendengarkannya; tidak heran ia hidup tanpa hikmat. Akhir hidupnya tragis; bukan saja ia mati di tangan musuhnya, ia pun ditinggalkan oleh Tuhan. Sebaliknya, Raja Daud bersedia untuk mendengarkan. Sewaktu Yonatan memberinya nasihat bagaimana seharusnya ia bersikap terhadap Raja Saul, Daud pun mendengarkan. Tatkala Abigail memohon kepadanya untuk tidak membunuh suaminya, Nabal, yang telah menghina Daud, tanpa ragu Daud mendengarkan dan membatalkan niatnya. Pada waktu Natan menegurnya atas dosanya, Daud juga mendengarkan.

Pertanyaannya, apakah yang membedakan keduanya—Saul dan Daud? Apakah yang membuat Saul tidak mendengarkan dan apa yang membuat Daud mendengarkan? Jawabannya adalah, kerendahan-hati. Saul tidak rendah hati—ia sombong—sedang Daud rendah hati. Ya, mendengarkan bergantung pada satu faktor: Apakah kita memiliki kerendahan hati? Bila kita angkuh, kita sukar mendengarkan; sebaliknya, kita menuntut orang untuk mendengarkan kita. Jadi, kerendahan hati adalah langkah menuju hikmat. Oleh karena rendah hati, kita mendengarkan; oleh karena mendengarkan, maka kita akan belajar dan mengerti banyak. Jadi, rendahkanlah hati untuk mendengarkan perkataan orang. Jadikanlah mendengarkan sebagai gaya hidup, bukan sekadar keterampilan. Sudah tentu pada akhirnya kita harus membuka telinga terhadap suara Roh Kudus. Makin kita mendengarkan-Nya, makin kita berhikmat.