Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen dan kali ini kami akan berbincang-bincang dengan Ibu Wulan dan juga sdr. Ing Ciek, mereka berdua sedang menempuh studi di Seminari Alkitab Asia Tenggara, dan perbincangan ini masih tetap bersama dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Menaati Panggilan Tuhan", kami menyadari bahwa perbincangan ini akan membutuhkan banyak waktu karenanya perbincangan ini akan kami bagi dalam dua tahap, kali ini dan kali yang akan datang. Kami sangat berharap para pendengar sekalian dapat mengikuti keseluruhan dari perbincangan kami dengan judul "Menaati Panggilan" Tuhan dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
Lengkap
GS : Saudara Ing Ciek, kami mengucapkan terima kasih Anda bersama kami juga Ibu Wulan. Kami mengucapkan terima kasih untuk kesempatan yang indah pada saat ini bisa berbagi pengalaman dengan para pendengar kami. Perbincangan kami kali ini tentang Menaati Panggilan Tuhan. Pertama-tama saya ingin mengajukan sebuah pertanyaan kepada saudara Ing Ciek, latar belakang Saudara sebelum mengikuti studi di SAAT ini, bagaimana saudara Ing Ciek?
IC : Terima kasih Pak Gunawan. Saya kalau memikirkan kembali jalan panggilan Tuhan kepada saya, saya mengingat bahwa saya mempunyai 3 tahap pergumulan. Yang pertama adalah ketika saya menyatkan ingin menjadi hamba Tuhan.
Saat itu saya sedang mengikuti sebuah retret dan ketika membaca, membuat komitmen saya mengatakan saya ingin melayani Tuhan dengan sepenuh hati. Pada saat itu ketika menyatakan komitmen saya tidak tahu bahwa itu merupakan pemilihan untuk menjadi hamba Tuhan. Setelah menyatakan komitmen itu saya dipanggil oleh pembina remaja pada saat itu, lalu saya dijelaskan bahwa saya memilih hal itu adalah dipersiapkan menjadi hamba Tuhan. Saat itu saya terkejut dan selanjutnya saya merasakan bahwa hal ini seperti bukan pilihan saya, pilihan saya sebenarnya saya ingin melayani Tuhan dengan sepenuh hati, seumur hidup. Tetapi tidak ada terlintas menjadi hamba Tuhan. Dengan perjalanan waktu saya terus bergumul.
Setiap kali ada panggilan atau ada panggilan Altar Calling saya selalu bergumul, apakah memang benar saya harus menjadi hamba Tuhan? Itu merupakan pergumulan saya yang pertama. Hal itu terus berlanjut, sampai suatu saat ketika diadakan KKR, pada saat itu saya tidak mempunyai daya lagi. Pada saat panggilan saya mengeraskan hati saya. Saya tidak ingin menjadi hamba Tuhan. Tetapi saya tidak bisa, karena hati saya tidak tenang dan akhirnya saya menyerah dan saya mengatakan saya ingin menjadi hamba Tuhan. Pada saat itu saya sharing dengan keluarga saya, orang tua saya yang pada saat itu memang Kristen. Tapi orang tua saya mengatakan terserah bagaimana baiknya. Setelah menyelesaikan SMA saya mengatakan saya akan sekolah hamba Tuhan, orang tua saya mengatakan kamu masih muda, baru lulus SMA mengapa harus begitu cepat, bukankah lebih baik mencari pengalaman. Lalu pada saat itu saya berpikir betul juga, lalu saya memasuki pergumulan saya yang kedua. Ketika saya mengatakan saya akan menjadi hamba Tuhan dan saya melanjutkan studi, kuliah di sekuler saya merasakan saya sangat enjoy dengan hal ini. Setelah selesai kuliah saya berpikir apakah setelah selesai kuliah saya akan lanjutkan, saya berpikir sayang juga karena sudah 5 tahun saya belajar mendapatkan ilmu sekuler ini, apakah tidak lebih baik saya bekerja dahulu? Lalu saya bekerja. Di dalam pekerjaan saya, saya bertemu dengan seorang bos yang cukup baik baik dan orang Kristen. Saya pernah sharing dengan dia, lalu dia mengatakan apakah harus melayani itu harus menjadi hamba Tuhan? Saya memasuki tahap pergumulan yang kedua. Saya berpikir betul juga. Bos saya memberikan saya contoh-contoh dia mengenal banyak sekali orang-orang bisnisman yang bekerja, bisnisman yang menjalankan usaha. Lalu mereka bisa juga melayani Tuhan bahkan mereka bisa memberitakan firman Tuhan dan melayani dengan lebih baik. Itu perkataan bos saya apabila dibandingkan dengan hamba Tuhan yang sebenarnya. Lalu saya terus bergumul dalam hal ini. Apalagi setelah saya bekerja dan bos saya memberikan posisi yang lebih baik. Tetapi di dalam pergumulan itu, Tuhan memberikan satu jawaban ketika saya menimbang-nimbang apakah saya harus melanjutkan, di dalam satu retret saya bertemu dengan satu hamba Tuhan. Ketika ngobrol-ngobrol dengan dia, dia mengatakan saya harus memegang kuat-kuat panggilan ini. Karena panggilan ini bukan diberikan kepada semua orang. Dia memberi contoh, dia mengatakan tahukah bahwa di dalam suku Israel ada 12 suku. Tetapi ada satu suku yang khusus dipanggil untuk melayani Tuhan. Pada saat itu saya merasakan jawaban Tuhan yang begitu nyata. Bahwa pada saat itu Tuhan menegur mengatakan jangan lagi "tawar-menawar", jangan lagi pikir panjang engkau memang dipilih untuk melakukan pelayanan menjadi hamba Tuhan.
GS : Ya, terima kasih saudara Ing Ciek untuk suatu sharing yang begitu menarik buat kita semua. Para pendengar sekalian kita tentu mau mendengar juga pengalaman dari Ibu Wulan yang kita sudah cukup kenal lewat perbincangan-perbincangan beberapa waktu yang lalu. Nah bagaimana dengan Ibu Wulan?
WL : Maksudnya latar belakang pergumulan?
GS : Ya, latar belakang pergumulan sebelum Ibu Wulan memutuskan untuk masuk di Seminari Alkitab Asia Tenggara ini.
WL : Sebelumnya latar belakang saya Sarjana Theologi, jadi mungkin yang saya ceritakan tentang pergumulan menyerahkan diri menjadi hamba Tuhan. Saya sudah bekerja di sekuler sekian tahun lamanya. Maksud saya sebelum saya menyerahkan diri menjadi hamba Tuhan, sebenarnya waktu remaja saya sudah pernah berjanji di hadapan Tuhan menyerahkan diri menjadi hamba Tuhan, maju ke depan waktu ada altar calling, tapi saya dengan segera melupakan itu. Karena saya berpikir itu pasti emosi, waktu itu saya masih remaja, itu cuma emosi saja dan pasti saya belum sungguh-sungguh memikirkannya dengan baik. Jadi setiap kali muncul pikiran tersebut saya pasti tekan lagi. Tidak mungkin, tidak mungkin itu emosi kamu waktu remaja. Terus di tambah lagi selalu saya mendengar berita-berita tentang kehidupan hamba Tuhan itu sulit secara keuangan dan sebagainya. Dan tingkah laku sangat dipantau, dan salah ini salah itu. Jadi saya sungguh-sungguh mempunyai ketakutan yang luar biasa untuk benar-benar menyerahkan diri menjadi hamba Tuhan. Sampai suatu kali ada musibah terjadi pada keluarga kami beberapa tahun kemudian. Waktu itu saya mengalami masa-masa yang sangat sulit, saya marah sekali sama Tuhan, saya marah beberapa tahun. Maksudnya saya tidak mengerti maksud Tuhan di balik semua ini apa? Lalu beberapa tahun kemudian saya dapat kesempatan pergi ke luar negeri. Tepatnya saya pergi ke Jerman. Pada suatu hari saya diajak oleh famili saya ke suatu tempat yaitu tempat Ibu Basilia Sling(?) yang sering ada selipan-selipan Alkitab. Di belakang gerejanya ada suatu tempat seperti Israel mini, jadi semuanya ada perwakilan, jadi Betlehem kecil tempat Tuhan Yesus lahir, sumur Yakub, dan sebagainya. Ketika saya mendekati ada satu daerah yang namanya Via Dolorosa jadi jalan salib, itu saya mulai merasa perasaan saya sudah agak tidak enak dan kacau balau. Memasuki area itu kami harus berjalan sendiri-sendiri satu-persatu harus berlutut dan ada tempat duduk kecil dan ada buku panduan kecil dan harus tidak boleh bicara dengan siapapun dan setiap orang harus merenung. Mulai dari ornamen pertama waktu Tuhan Yesus berdoa di Taman Getsemani murid-murid tidur, saya sudah mau menangis, tapi saya tahan. Dan waktu masuk ke dalam ketika melihat benar-benar patung ornamen Tuhan Yesus waktu dipukuli, waktu dicambuk lalu dijambak rambutNya, diludahi, dan sebagainya, waktu itu saya tidak bisa tahan lagi, saya berlutut menangis, benar-benar berlutut menangis, saya benar-benar berinteraksi secara pribadi waktu itu dengan Tuhan. Lalu saya bertanya Tuhan melakukan semua ini untuk siapa? Saya bertanya sambil menangis kepada Tuhan. Dan seolah Tuhan berbicara "buat kamu". Walaupun saya tahu tentunya untuk banyak orang lain selain saya. Tapi pada moment itu seolah Tuhan berbicara secara pribadi kepada saya "untuk kamu". Lalu saya bilang: "Lalu siapa Tuhan sampai Tuhan harus bersedia diperlakukan seperti ini dijambak, diludahi, dan sebagainya." Saya menangis, saya juga bukan orang yang sedemikian besarnya, sedemikian baiknya, sedemikian benarnya sampai cukup layak Tuhan bersedia sampai seperti ini, dosa saya juga banyak sekali. Mengapa Tuhan bersedia? Lalu Tuhan itu siapa? Saya bertanya Tuhan itu siapa? Tuhan itu yang punya semua ini, Tuhan adalah Allah yang Maha Kuasa yang punya segala sesuatu. Kalau Tuhan tidak mau, Tuhan juga bisa tapi mengapa Tuhan mau? Nah di situ saya tidak tahan saya menangis, jadi itu merupakan moment yang penting sekali dalam hidup saya. Jadi turning point saya, penyerahan diri ulang saya waktu dulu remaja pernah menyerahkan diri jadi hamba Tuhan. Lalu dalam doa saya, saya bilang pada Tuhan kalau memang Tuhan mau sungguh-sungguh panggil saya melayani Tuhan maksudnya melihat jalan hidup saya yang saya rangkai-rangkaikan, maka kalau Tuhan mau panggil saya, saya kali ini sungguh-sungguh bersedia dan saya tidak berani lagi lari dari Tuhan. Lalu saya ceritakan kepada famili saya dan saya waktu itu didoakan di situ berlutut dan dipesan kamu gumulkan sungguh-sungguh pulang ke Indonesia, sungguh-sungguh gumulkan dan kalau memang serius kamu masuk ke Seminari. Jadi itu yang melatar belakangi tapi itu juga tidak langsung saya masuk ke Seminari setelah kembali ke Indonesia masih ada pergumulan lainnya.
GS : Ya, terima kasih Ibu Wulan dan kita semakin mengenal Ibu dari kesaksian seperti ini. Pak Paul, saya ingin tanyakan ada hal-hal yang menarik baik dari saudara Ing Ciek maupun Ibu Wulan bahwa mereka mendengar panggilan Tuhan itu pada masa remaja mereka. Nah ini bagaimana Pak Paul menjelaskan?
PG : Sebetulnya tidak ada satu aturan bahwa memang Tuhan itu pasti memanggil kita semua pada usia remaja. Namun pengamatan Pak Gunawan itu baik dan saya harus katakan betul yaitu kebanyakan nak-anak Tuhan menyerahkan hidup menjadi hamba Tuhan setidak-tidaknya awalnya adalah pada masa remaja.
Tapi biasanya akan ada pergumulan setelah panggilan itu sampai benar-benar mereka menyerahkan hidupnya dan mengambil tindakan yang kongkrit untuk menjadi seorang hamba Tuhan.
GS : Nah, untuk meyakinkan bahwa itu suatu panggilan dari Tuhan, itu bagaimana Pak Paul?
PG : Saya kira memang ada beberapa hal yang dilewati oleh banyak orang. Tadi yang Ibu Wulan sudah tegaskan adalah bahwa Ibu Wulan pertama-tama mengira itu adalah cetusan emosi sesaat, bahwa tu tidak akan berlangsung lama.
Mungkin apakah saudara Ing Ciek juga mempunyai pengalaman yang sama?
IC : Pada saat saya menyerahkan diri pada masa remaja saya juga merasakan hal itu tetapi perasaan saya berbeda karena saya mengalami kebingungan. Kebingungan pada saat itu karena saya memili hanya ingin menyerahkan bekerja untuk Tuhan bukan sebagai hamba Tuhan.
Tetapi sebagai orang biasa yang melayani Tuhan tetapi maksud saya misalnya dalam pelayanan-pelayanan gereja umumnya. Setelah itu dijelaskan bahwa pilihan saya itu adalah pilihan menjadi hamba Tuhan mulai saat itu saya mengalami pergumulan. Saya mempertanyakan apakah ini memang benar, masak di dalam ketidakmengertian saya, saya memilih itu dan saya ditunjuk untuk menjadi seorang hamba Tuhan dan ini berlangsung terus. Saya mencari kepastiannya. Terlebih-lebih setelah saya mengambil komitmen itu lalu kalau ada KKR misalnya ada dalam retret pengambilan tekad saya bergumul sekali. Bergumul sekali dalam hal ini.
PG : Apakah yang saudara Ing Ciek atau Ibu Wulan harus lakukan untuk menguji, memastikan bahwa benar ini adalah panggilan Tuhan?
IC : Dalam hal ini ketika saya ingin memastikan adalah saya menyerah dengan berlalunya waktu. Saya biarkan mengalir sesuai dengan waktu-waktu yang saya jalani. Kalau bisa saya jangan menghadpi satu dilema mau jadi hamba Tuhan atau tidak, tetapi di dalam perjalanan yang seperti itu semakin jelas di dalam saya melihat fenomena-fenomena yang terjadi di masyarakat.
Ketika berbincang-bincang dengan hamba Tuhan dan ada orang-orang hamba Tuhan tertentu yang saya kenal tetapi mereka tidak tahu bahwa saya pernah menyerahkan diri, mereka bisa menunjukkan dan bisa mengatakan agar saya menjadi hamba Tuhan. Itu memang sepertinya di luar dari pemahaman saya sendiri.
PG : Kalau Ibu Wulan bagaimana?
WL : Melanjutkan yang tadi ya, setelah saya pulang ke Indonesia tapi saya masih tetap takut masih ragu-ragu walaupun sudah benar-benar menyerahkan diri menjadi hamba Tuhan. Lalu saya pilih salah satu cara untuk menguji. Mungkin orang lain beda-beda tapi saya pakai cara ini mungkin dalam keunikan saya, saya berhenti bekerja, saya mengundurkan diri dari tempat saya bekerja. Saya mengambil waktu 1 tahun saya bicara pada Tuhan dan pada diri saya sendiri, saya ambil 1 tahun untuk menguji. Pertama menguji apakah saya masih benar-benar menggebu-gebu seperti saya mau menyerahkan diri menjadi hamba Tuhan setelah lewat 1 tahun ini. Dengan pengertian 1 tahun saya tidak bekerja ini berarti saya tidak menerima gaji, saya tidak menerima apa-apa, saya tidak menerima fasilitas apa-apa selama ini yang saya nikmati. Nah, selama 1 tahun saya tidak dapat itu tetapi tetap pengeluaran ada bagaimana reaksi saya. Saya tahan atau tidak dalam satu tahun itu. Berubah atau tidak panggilan itu, mestinya kalau memang benar mestinya itu tidak hilang. Lalu satu tahun itu saya mengambil kuliah malam serambi mengambil kuliah Theologi untuk kaum awam di Jakarta stret dari reform (19:42) sambil menggumuli itu banyak tugas, ternyata kok tidak hilang bahkan tetap menggebu-gebu bahkan semakin menggebu-gebu kalau ada tugas terus keinginan untuk semakin mengenal Tuhan mengenal diri itu semakin besar. Jadi pada akhirnya saya memutuskan untuk masuk Seminari pada tahun berikutnya.
GS : Pak Paul, di dalam hal pengujian ini biasanya apa yang dilakukan oleh seseorang?
PG : Tampaknya ada beberapa hal yang umum yang bisa kita simpulkan di sini. Yang pertama saya mendengar saudara Ing Ciek dan Ibu Wulan dua-dua menggunakan waktu. Jadi tidak langsung dengan trgesa-gesa memastikan ini adalah panggilan Tuhan.
Jadi ujian pertama adalah ujian waktu. Kalau bertahan panggilan itu terus muncul dan makin hari makin kuat bukan makin melemah, kita bisa lebih yakin bahwa itu adalah suara panggilan Tuhan. Dan yang kedua yang dipaparkan saudara Ing Ciek adalah saudara Ing Ciek mendapatkan konformasi-konformasi dari hal-hal yang saudara Ing Ciek alami baik itu juga dari orang lain baik itu hamba-hamba Tuhan yang mengatakan bahwa Tuhan memanggil saudara Ing Ciek untuk menjadi hamba Tuhan sedangkan mereka tidak tahu latar belakang Ing Ciek sebelumbya. Jadi bagi Ing Ciek ini adalah suatu pertanda bahwa Tuhan memanggil dan memanggil kembali melalui hamba-hambaNya yang lain. Kalau dalam perjalanan hidup Ibu Wulan saya juga melihat Tuhan memanggil kembali atau menegaskan panggilanNya dengan pengalaman-pengalaman yang unik yaitu misalkan menjalani perjalanan kesengsaraan Tuhan dan benar-benar Tuhan menyentuh Ibu Wulan kembali tentang kasihNya dan penderitaanNya. Kemudian setelah pulang kembali ke Indonesia, yang Ibu Wulan juga alami adalah kecintaan, kerinduan mengenal Tuhan dan itu seolah-olah tidak pernah terjadi sebelumnya. Dan pada saat-saat itulah muncul dengan begitu kuatnya. Jadi rupanya gabungan dari semua itu Pak Gunawan yang meyakinkan rekan-rekan kita ini bahwa memang benar Tuhan memanggil mereka menjadi hambaNya.
GS : Ya, tadi saudara Ing Ciek juga di dalam pergumulannya sebelum memutuskan untuk studi lagi di sekolah Theologia, apakah saudara Ing Ciek bekerja seperti Ibu Wulan yang bekerja kemudian berhenti selama 1 tahun, bagaimana dengan saudara Ing Ciek?
IC : Ya, pada saat itu memang setelah selesai kuliah saya bekerja belum ada beberapa tahun saya bekerja dan seperti yang saya katakan tadi saya bekerja di satu perusahaan yang kebetulan bosna orang Kristen.
Setelah selesai SMA saya menyatakan akan menjadi hamba Tuhan. Dalam proses bekerja timbul lagi keragu-raguan saya yaitu apakah benar kalau melayani Tuhan itu harus menjadi hamba Tuhan. Bukankah seperti contoh yang diberikan bos saya kepada saya. Banyak orang-orang yang tidak perlu menjadi hamba Tuhan tetapi bisa melayani. Dan itu pergumulan karena mungkin posisi pada saat itu yang sepertinya menunjang saya untuk berpikir ah jangan jadi hamba Tuhan. Tetapi ttap bisa saja kita melayani dan kita terus bekerja dengan kondisi sekarang.
GS : Ya, pada saat itu apakah saudara Ing Ciek juga sudah menikah?
IC : Pada saat itu belum, masih pacaran.
GS : Nah, itu pertimbangan dari sisi keuangan bagaimana saudara Ing Ciek sebagai seorang pria?
IC : Ya, mungkin ini kalau dibicarakan mungkin pada saat pacaran itu pergumulan dua orang kalau boleh dikatakan. Karena pada saat itu secara tidak langsung maksudnya pacar saya dulu mendenga saya akan menjadi hamba Tuhan jadi bukan dari saya.
Pada saat itu setelah menikah dia menceritakan bahwa itu juga merupakan pergumulan dia, pergumulan apa mau terus dengan saya atau tidak? Itu pergumulan dia dan setelah kami berbincang-bincang, setelah menikah kami masing-masing memang pernah memikirkan dalam sisi yang berbeda tentang keuangan, bagaimana selanjutnya jadi hamba Tuhan, bahkan yang terpikir pada saya adalah kalau saya jadi hamba Tuhan mungkin dengar cerita-cerita kalau sendiri tidak makan tidak masalah, tapi bagaimana dengan anak dan istri kalau tidak makan, apakah kita tega begitu melihat mereka tidak makan. Itu juga merupakan satu pergumulan dengan melihat kebutuhan selanjutnya. Tetapi saya tidak tahu kekuatan dari mana yang membuat saya menganggap hal itu bukan yang utama. Dan ketika saya sharing dengan istri saya waktu masih pacaran dia juga mendapat hal yang sama. Memang sepertinya itu perlu, tetapi bukan hal yang perlu apabila memang Tuhan memanggil maka ada satu keyakinan bahwa Tuhan tetap akan menyediakan Tuhan akan menyediakan hal itu.
GS : Ini memang sungguh dibutuhkan suatu ketaatan ya Pak Paul seperti apa yang menjadi judul perbincangan kita yaitu suatu ketaatan terhadap panggilan Tuhan, bagaimana Pak Paul ini ?
PG : Itu ketaatan yang tidak mudah untuk dibuat Pak Gunawan. Kalau kita itu memang tidak lagi mempunyai arah dalam hidup kita mungkin lebih mudah menyerahkan semua kepada Tuhan. Tapi sewaktukita mempunyai sesuatu dalam hidup yang dapat menunjang hidup kita itu adalah jaminan dan kita lebih susah untuk melepaskan jaminan itu dan memasuki suatu babak yang baru di mana tidak ada kepastian sama sekali.
Dan itu yang Ibu Wulan juga harus lewati.
GS : Ya, Ibu Wulan apakah ada ayat firman Tuhan yang menguatkan Ibu Wulan sehingga Ibu Wulan memutuskan saya mengambil keputusan untuk mengambil studi penuh di sekolah Theo
WL : Saya punya satu ayat pertobatan saya dari 2 Korintus 5:17 akan saya bacakan "Jadi siapa yang ada di dalam Kristus ia adalah ciptaan baru, yang lama sudah berlalu sesungguhnya yang baru sudah datang." Itu yang menguatkan saya waktu bertobat dan itu yang terus terngiang.
GS : Ya, baik Ibu Wulan dan juga saudara Ing Ciek pembicaraan ini masih akan kita lanjutkan pada kesempatan yang akan datang karena ada banyak hal yang mau kita tahu dari pergumulan saudara Ing Ciek maupun Ibu Wulan. Namun pada kesempatan ini kami juga mengucapkan banyak terima kasih Anda berdua bersama-sama dengan kami di dalam perbincangan ini. Juga Pak Paul terima kasih untuk beberapa masukan dan perbincangan ini tentu kita akan lanjutkan pada kesempatan yang akan datang Pak Paul. Dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami bersama Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Menaati Panggilan Tuhan" bersama saudara Ing Ciek dan Ibu Wulan. Perbincangan ini akan kami lanjutkan pada kesempatan yang akan datang. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan dan akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda. Sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.