Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso bersama Ibu Idayanti Raharjo dari LBKK (Lembaga Bina Keluarga Kristen), telah siap menemani Anda dalam sebuah perbincangan. Pada hari ini kami bersama dengan Ibu Esther Tjahja seorang sarjana psikologi alumni Universitas Gajah Mada Yogyakarta yang saat ini menjadi staf psikologi di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Dan juga sebagaimana biasanya juga Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi bersama-sama dengan kami akan berbincang-bincang mengenai suatu topik yaitu membantu anak yang takut sekolah. Kami percaya acara ini akan sangat bermanfaat bagi kita semua, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
Lengkap
GS : Pak Paul, ada banyak orang tua yang menjadi pendengar dari TELAGA ini yang sudah mempunyai anak dan sudah waktunya harus masuk sekolah. Tetapi mereka kesulitan karena anaknya merasa takut atau enggan pergi ke sekolah. Di zaman seperti ini di mana anak-anak disediakan sarana sekolah pada usia sedini mungkin, sebenarnya kita sebagai orang tua bisa mengenali secara dini anak yang enggan atau takut masuk sekolah.
PG : Yang Pak Gunawan tadi ungkapkan adalah memang kenyataan, Pak Gunawan, jadi di tempat kami ada beberapa orang tua yang datang membawa anak-anak mereka dan rupanya anak-anak itu mengeluh,bukan saja keluhan-keluhan yang bersifat emosional tapi keluhan yang bersifat fisik pula.
Kebetulan di klinik kami yang menangani masalah ini adalah staf psikologi yang bernama Ibu Esther Tjahja. Jadi kami sangat bersenang hati pada hari ini dapat mengundang beliau untuk hadir bersama kita, Pak Gunawan. Nah mungkin secara langsung kita bisa bertanya kepada Ibu Esther Tjahja, bagaimana ciri anak-anak yang takut sekolah?
ET : Memang ada beberapa ciri-ciri yang cukup jelas pada anak-anak tertentu. Tapi sebelum saya katakan ciri-ciri itu, saya ingin jelaskan terlebih dahulu bahwa takut sekolah itu bukan hanya erjadi pada anak-anak yang baru pertama kali sekolah.
Tetapi ada anak-anak yang mungkin seminggu, dua minggu atau bahkan beberapa bulan pertama sekolah baik-baik saja, sampai pada suatu titik tiba-tiba jadi takut sekolah. Nah ciri-cirinya seperti yang dikatakan Pak Paul tadi, mungkin nyata dari fisik, kadang-kadang mau berangkat sekolah mungkin baru dibangunkan pagi-pagi oleh orang tua sudah mulai mengeluh, baik sakit perut, pusing, rasanya ingin ke belakang ya. Kadang-kadang begitu masuk pagar sekolah, juga ada yang mengatakan mau muntah dan sakit perut, itu kira-kira ciri fisiknya. Dan kalau mau dianggap main-main, ya sebenarnya kalau diamati memang sungguh-sungguh anak itu sakit, kadang-kadang ada yang sampai pucat dan berkeringat dingin untuk masuk ke sekolah. Selain itu juga ada ciri-ciri yang nampak yaitu biasanya menangis tidak mau berpisah dengan orang tuanya, kalau yang ikut antar jemput mungkin untuk naik ke mobil jemputan juga sudah mulai ketakutan dan menangis, belum sampai sekolah, baru mau masuk ke mobil antar jemput sudah menangis. Beberapa anak TK juga mungkin memperlihatkan pada malam hari yang tadinya sudah tidak ngompol tiba-tiba jadi mengompol. Lalu kalau yang tadi saya katakan sudah sekolah, lalu tiba-tiba takut sekolah, biasanya salah satu nilainya mulai merosot, kira-kira itu ciri-ciri yang menandakan anak-anak ini punya masalah dengan sekolah.
PG : Apakah biasanya mereka dengan teman-temannya bisa bergaul dengan baik, Bu Esther?
ET : Nah tergantung juga Pak Paul, penyebabnya apa.
PG : Jadi apakah ada misalnya yang di sekolah jadinya tidak bergaul, tapi di rumah bergaul biasa dengan adik dan kakaknya. Atau karena masalah ini, di rumah pun jadinya menarik diri tidak ma bergaul dengan kakak dan adiknya.
ET : Kalau kebanyakan kasus yang saya lihat rasanya memang orang tua punya kesan anak-anak ini sepertinya "jago kandang". Mungkin di rumah nakal, malah kadang-kadang mengekspresikan ketakutanya di sekolah, sepertinya nakal di rumah tetapi di sekolah dia jadi penakut.
Jadi cenderung menarik diri jadi penonton tidak mau bergaul dengan teman-temannya.
IR : Dan apakah anak yang ketakutan itu bisa terus terang dengan orang tuanya?
ET : Ada yang mengatakan memang keluhan-keluhan tertentu, mungkin kepada gurunya atau teman-temannya. Tetapi ada anak-anak yang langsung begitu saja mau ke sekolah dengan tanda-tanda sepertiyang saya katakan tadi, tapi dia tidak bisa mengatakan takut kepada apa dan kepada siapa.
PG : Bisa apa tidak Ibu Esther memberikan kepada kami gambaran penyebabnya secara umum?
ET : Kalau untuk anak-anak yang pertama kali sekolah, misal pertama kali masuk play group atau TK rasanya memang pengalaman berpisah cukup lama dengan orang tua. Ini yang menjadi hal yang tiak enak buat anak-anak tersebut, karena selama ini sebelumnya selalu ada di rumah dekat dengan orang tua, di dalam keluarga yang aman, tetapi sekarang mereka harus masuk ke sebuah lingkungan baru yang belum diketahui sama sekali, teman-temannya baru, gurunya baru, ruangannya baru.
Jadi itu menimbulkan kecemasan atau hilangnya rasa aman pada anak-anak itu. Selain itu kalau yang sudah sekolah bisa juga karena pengalaman menghadapi guru yang galak, dimarahi atau ditegur guru. Atau terus ada teman yang cenderung agresif, begitu dia di sekolah dipukuli atau diancam dengan hal-hal tertentu atau mungkin ada anak-anak yang takut dengan pelajaran tertentu misalnya pelajaran matematika, atau terhadap guru tertentu guru olah raga, itu juga bisa menjadi pemicu dari ketakutan anak-anak.
GS : Bagaimana dengan anak yang pada dasarnya penakut, jadi artinya memang sukar untuk bergaul dengan teman-temannya. Kalau dia pertama kali dibawa ke sekolah dengan langsung menemukan lingkungannya yang dia bisa cocok berarti tidak ada masalah, tapi anak ini memang dasarnya di rumah itu sendirian, tidak punya saudara dan sebagainya, apakah itu bisa menjadi penyebab anak enggan ke sekolah?
ET : Ya, itu bisa menjadi penyebab karena kalau kita lihat cukup banyak anak-anak lain yang rasanya mempunyai guru galak atau mungkin diancam oleh teman atau pelajaran-pelajaran tertentu sult tapi tetap bisa survive, tetap bisa bertahan mengikuti sekolah.
Tetapi ada anak-anak tertentu yang memang dasarnya juga mungkin istilahnya nyalinya kecil, begitu ketemu kesulitan langsung mengkerut. Memang anak-anak yang seperti ini mempunyai kemungkinan yang lebih besar untuk menghadapi masalah ketakutan di sekolah.
GS : Ada juga pengalaman orang tua yang anaknya pertama kali bisa masuk sekolah dengan mudah, kemudian setelah satu minggu dia memutuskan tidak mau masuk sekolah karena dia merasa berbeda dengan teman-temannya yang lain yaitu dalam hal seragam. Seperti kita ketahui bahwa sejak di TK pun anak memakai seragam tiap hari. Anak ini kebetulan belum jadi seragamnya, Bu Esther, sehingga dia memutuskan tidak mau ke sekolah, nah pengalaman seperti itu bagaimana?
ET : Ya, saya pikir untuk anak-anak seperti itu hanya karena tidak mau berbeda dengan teman-temannya. Tapi mungkin kalau penyebabnya hanya itu, dengan diberikan seragam saja mungkin masalahna sudah selesai.
GS : Tapi awalnya tidak tahu kenapa dia tiba-tiba tidak mau sekolah biasanya tiap hari mau, menemukan penyebabnya itu yang sulit.
ET : Betul, karena itu sebenarnya memang diharapkan adanya kerjasama antara orang tua dan pihak guru, juga pihak di sekolah, kira-kira hasil pengamatan di sekolah bagaimana. Dan juga kalau T biasanya masih ditunggu, ada orang tua atau ada yang mengantar yang bisa mengamati, mulai bisa menangkap gejalanya atau menerka-nerka kira-kira apa penyebabnya.
IR : Bagaimana sebaiknya orang tua mengatasi anak-anak yang seperti itu, Ibu Esther?
ET : Ya memang yang pertama-tama Pak Gunawan katakan tadi, ya susah-susah gampang, dicari dulu penyebabnya. Masalah penyebabnya ini yang kadang-kadang memang butuh waktu lama juga ya. Ada ank-anak yang kalau ditanya, "o...
tidak guru saya baik, teman-teman saya baik", tapi tetap takut sekolah. Ternyata memang setelah dilihat-lihat lagi ada unsur nyalinya kecil itu tadi, gurunya pernah memarahi anak-anak yang lain, ditanya tidak pernah kena tegur langsung, tapi melihat guru menegur atau menghukum teman-temannya sudah mengkerut juga hatinya. Jadi memang mencari penyebab ini yang tidak mudah, tapi itu sebenarnya nomor satu yang perlu kita ketahui penyebabnya.
GS : Nah Pak Paul dalam keadaan sekarang itu sering kali anak pergi ke sekolah, seperti tadi Ibu Esther juga katakan diantar jemput, di rumah sudah dilepas. Sampai di sekolah pun oleh pengemudinya dibiarkan turun sendiri atau yang agak lebih bagus diantarkan oleh baby sitternya atau pembantu rumah tangganya dan sebagainya. Tetapi orang tua tidak terlibat di sana. Padahal Bu Esther tadi katakan, kerja sama antara orang tua dan guru itu penting sekali, bagaimana pemecahannya menurut, Pak Paul?
PG : Saya kira orang tua memang perlu lebih terlibat. Kalau orang tua terlalu mendelegasikan tugas pada suster atau pembantu, dia akan kehilangan kesempatan untuk bisa mengenal apa yang menjdi penyebab perilaku anaknya sekarang ini.
Jadi kedekatan itu penting sekali, kalau anak tidak merasa dekat dengan orang tua, dia mungkin juga enggan untuk mengatakan terus-terang apa yang membuat dia tidak mau ke sekolah. Jadi sekali lagi keterbukaan dan hubungan yang erat antara orang tua dan anak memang sesuatu yang mutlak, bukan suatu pilihan yang boleh ada atau boleh tidak ada. Saya ingin menambahkan satu hal juga, Pak Gunawan dan Ibu Ida, tadi kita membicarakan hal-hal yang bersumber dari sekolah yang membuat si anak itu takut ke sekolah. Ada kemungkinan pula yang terjadi kebalikannya, jadi anak-anak yang takut ke sekolah karena takut meninggalkan rumah. Nah pertanyaannya kenapa takut meninggalkan rumah? Ada anak yang tahu bahwa di rumah itu orang tua sering bertengkar, ada anak yang mengkhawatirkan misalnya ayahnya akan memukuli ibunya. Sehingga waktu dia ke sekolah dia mengkhawatirkan keadaan rumah, akibatnya waktu dia ke sekolah dia merasa cemas dan merasa tidak tenang. Yang terjadi selanjutnya adalah dia menjadi enggan ke sekolah, sebab dia merasa dia bertugas untuk ada di rumah. Seolah-olah dia mempunyai anggapan dengan dia ada di rumah, dia bisa melindungi misalnya adiknya atau mamanya yang berada di pihak yang lemah dari misalkan serangan ayahnya. Atau dia merasa anak yang bisa membuat ayahnya tidak marah dengan dia ada di rumah, dia bisa mencegah ayahnya untuk meledak dan sebagainya. Jadi hal-hal ini bisa membuat si anak akhirnya khawatir dan tidak mau ke sekolah. Mengapa anak tidak mau ke sekolah? Bisa muncul dari sekolah sebagai sumbernya atau bisa juga muncul dari rumah. Ada anak-anak yang terlalu sering mendengar orang tuanya bertengkar sehingga dia peka dengan amarah. Waktu dia bersekolah, dia mendengar gurunya marah kepada temannya dia takut sekali. Karena seolah-olah dia mengalami ketakutan yang sudah dia alami di rumah, akhirnya takut ke sekolah karena ada trauma tertentu yang dialaminya. Tapi bisa juga kebalikannya karena dia terbiasa mendengar orang tuanya bertengkar di rumah, waktu dia ke sekolah dia mendengar gurunya marah-marah, dia justru tidak merasa terganggu karena sudah kebal, apakah Ibu Esther juga pernah mengalami kasus yang serupa ?
ET : Ya, ya itu biasanya kondisinya lebih kompleks lagi dan biasanya memang lebih susah untuk kita temukan apa penyebab ketakutannya, yang pasti dia di sekolah tidak tenang, di rumah juga tiak tenang.
PG : Apakah Ibu Esther pernah menemukan bahwa anak-anak yang takut ke sekolah ternyata di rumah mempunyai problem tertentu, bukan dia yang bermasalah tapi antara orang tuanya juga ada masalh.
ET : Ya, saya pernah cuma ini bukan anaknya langsung, tapi cerita ketika dia lebih besar ya. Pengalaman dia ketika lebih mudanya. Jadi katakan ketika dia umur 5, 6 pada saat itu orang tuanyabercerai.
Lalu ada ketakutan karena pada waktu itu terjadi perebutan adiknya akan ikut siapa sebagai hasil perceraian itu. Akhirnya ia takut berangkat ke sekolah karena dia takut setibanya di rumah nanti adiknya sudah diambil oleh pihak ibunya, sehingga begitu berat meninggalkan rumah untuk bersekolah.
PG : OK. Memang masalah-masalah ini bisa kompleks sekali dan tugas kita adalah untuk mencari tahu penyebabnya, baru kita bisa menyelesaikan masalahnya. Kalau yang lainnya lagi, Bu Esther, ap yang bisa kita lakukan untuk membantu si anak yang mengalami ketakutan ini.
Apakah kita perlu memaksa dia untuk tetap ke sekolah, memarahi dia supaya dia lebih tegar lagi atau apakah ada cara yang terbaik?
ET : Soal memaksakan ke sekolah mungkin bukan istilah dipaksakan, tetapi sedapat mungkin anak dianjurkan ke sekolah. Kecuali memang keluhan fisiknya sudah demikian rupa beratnya, misalnya di harus buang air terus, atau dia sampai muntah-muntah, rasanya juga mungkin sulit orang tua untuk meninggalkannya di sekolah.
Tapi tanpa keluhan fisik yang seperti itu, sedapat mungkin orang tua jangan sampai membiarkan atau mengizinkan anak untuk tidak berangkat ke sekolah. Karena untuk anak-anak seperti ini begitu diijinkan untuk tidak ke sekolah, biasanya akan mengalami kemunduran ketika saatnya harus sekolah. Jadi waktu dia harus masuk lagi, biasanya justru gejala-gejalanya akan lebih macam-macam lagi, mungkin dia harus mulai dari nol. Usulan untuk tetap sekolah harus, tetapi pendampingan itu sangat diperlukan oleh si anak. Jadi pengakuan dari orang tua bahwa rasa takut itu adalah wajar, maksudnya sah-sah saja untuk kamu merasa takut, bahwa orang tua memahami kalau anak ketakutan sangat berarti buat si anak. Bukannya dia takut sendirian, kadang-kadang orang tua suka bicara tidak perlu takut, masa begitu saja takut! Atau pengecut! Atau makin diberikan label-label yang bukannya mendorong anak untuk berani malah semakin menciutkan hatinya, Pak Paul.
PG : Jadi penting sekali orang tua tidak menambah ketegangan anak, karena dengan orang tua memarahi anak sebetulnya akan menambah ketegangan anak. Dan ketegangan tidak meredakan ketakutan, mlah membuat ketakutan makin membesar.
ET : Tapi kalau dia diberi pendampingan, pengakuan, waktu untuk menyesuaikan diri mungkin dia bisa mengatasi penyebab-penyebab ketakutan, itu akan lebih menolong buat si anak.
PG : Jadi kita mau mengakui bahwa ketakutan itu adalah reaksi yang wajar, tidak ada yang harus malu dengan rasa takut dan ketakutan terhadap penyebab itu adalah hal yang wajar pula. Misalkantakut karena ada teman-teman yang suka mengganggunya, melecehkannya dan kebetulan teman-temannya itu jumlahnya lebih banyak atau tubuhnya lebih besar sehingga dia merasa takut.
Mungkin sebagai orang tua ada baiknya kita mengakui juga ketakutan terhadap hal seperti itu, karena itu adalah hal yang wajar.
ET : Jadi cukup realistis kalau mungkin papa atau mama menjadi seperti kamu, papa mama juga akan ketakutan, tetapi bagaimana cara kita untuk mengatasinya. Itu akan sangat menguatkan sekali bat si anak.
IR : Jadi paling tidak sebagai orang tua harus tega untuk anaknya, misalnya terpaksa ya harus dipaksa berpisah dengan orang tua selama di sekolah. Ini ada pengalaman dahulu, waktu anak saya juga takut sekolah. Ruangan kelasnya sudah ditutup, tetapi dia buka jendela lalu dia melompat. Akhirnya dipaksa oleh gurunya untuk masuk lagi. Kami sebagai orang tua sebenarnya juga tidak tega, bagaimana menurut, Bu Esther?
ET : Ada sekolah tertentu yang rasanya masih mengizinkan paling tidak orang tuanya ada di depan kelas untuk anak-anak kasus seperti itu, sehingga kalau dia buka jendela atau dia mengintip jedela dia lihat o..
ada mama, cuma memang tidak semua sekolah mengizinkan seperti itu, jadi memang harus tega.
PG : Sebetulnya yang lebih baik yang mana Bu Esther, membiarkan anak itu di sekolah sendirian atau untuk sementara orang tua menemani. Jadi orang tua berada di dalam gedung sekolah meskipun idak langsung di kelas, tapi ada di pekarangan.
Sehingga si anak tahu ibunya atau ayahnya berada di pekarangan sekolah, sebetulnya mana yang lebih baik?
ET : Kalau menurut saya, apalagi kalau anak itu punya masalah nyali seperti yang kita katakan tadi, ada baiknya pendampingan orang tua di dalam kompleks itu. Karena dari beberapa kasus yang aya hadapi dengan sekolah mengizinkan seperti itu, prosesnya juga ternyata lebih cepat.
Dalam waktu beberapa minggu anak sudah tidak keberatan untuk ditinggalkan orang tuanya, tetapi memang minggu-minggu pertama sangat berat. Pertama dia harus yakin orang tua harus ada di depan kelas, lama kelamaan yang penting dia tahu mama ada di pekarangan, lama-lama yang penting waktu istirahat saya bisa ketemu mama dan akhirnya sekarang ditinggal sudah tidak apa-apa. Jadi prosesnya malah lebih positif daripada dipaksa seperti itu, mungkin kalaupun bisa butuh waktu yang lebih panjang lagi bagi si anak.
IR : Akhirnya anak itu selama 3 bulan menangis terus di kelas.
ET : Lebih sulit, tapi mungkin ada cara lain juga dengan kalau memang sekolah tidak mengizinkan kita bisa menggunakan pendekatan teman-teman yaitu sebagai orang tua kita coba carikan teman yng mungkin rumahnya dekat cukup terjangkau, kenalan dengan orang tuanya.
Kemudian kalau memungkinkan diundang ke rumahnya atau mungkin anak ini dibawa main ke rumah teman-teman itu, supaya sedikit demi sedikit dia merasakan ada rasa aman, ada orang-orang yang dia cukup kenal di kelas begitu. Mungkin proses ini juga membantu mengurangi ketakutan kalau memang orang tua dilarang untuk menemani di dalam kelas.
GS : Sebenarnya ada baiknya juga kalau menurut saya, Bu Esther, ada masa-masa persiapan. Jadi sebelum tahun ajaran dimulai, anak sudah mulai dikenalkan dengan sekolah. Jadi artinya sering diajak lewat di depan sekolah atau kadang-kadang ada kesempatan masuk di dalam sekolah, diperkenalkan seperti tadi Pak Paul katakan, teman-temannya yang dekat rumahnya sudah sekolah di sana, itu juga akan sangat membantu saya rasa.
ET: #9;Ya, bisa tapi kalau memang ternyata ada pengalaman-pengalaman trauma tertentu nanti ketika dia sekolah tetap akan muncul.
GS : Itu sebagai upaya saja untuk mengurangi kecanggungan anak untuk masuk ke sekolah, cuma masalahnya memang agak jarang sekolah-sekolah khususnya TK yang memberikan hari-hari tertentunya itu bisa terbuka untuk umum, di mana beberapa anak khususnya calon murid diperbolehkan masuk. Juga ada teman-teman dari orang tuanya ini seolah-olah mengejek atau melecehkan si orang tua ini, kenapa anakmu itu penakut sekali dan sebagainya. Lalu orang tua menjadi jengkel sehingga anaknya yang jadi sasaran untuk dipukuli dan sebagainya, dipaksa untuk masuk sekolah tadi, bagaimana seharusnya, Pak?
PG : Karena si anak mempermalukan mereka ya? Saya kira orang tua sebagai manusia seperti kita semua tidak lepas dari tekanan perbandingan. Dalam perbandingan itu kita ingin anak-anak kita nomal-normal atau justru di atas dari yang normal, jadi waktu anak kita di bawah yang normal kita pasti merasa malu.
Namun penting bagi kita untuk menyadari bahwa setiap anak itu tidak sama. Tadi Ibu Esther sudah menekankan bahwa ada anak yang sejak lahir membawa karakteristik keras, kuat, ada anak yang sejak lahir membawa karakteristik agak lembut sehingga agak takut dan sebagainya. Orang tua harus menerima anak apa adanya, sehingga tidak tunduk pada tekanan-tekanan di luar harus seperti anak-anak yang lain. Ibu Esther, bagaimana secara rohani sebagai orang Kristen, apakah ada cara-cara yang bisa kita lakukan untuk menolong anak-anak yang takut ke sekolah ini?
ET : Sebenarnya ini juga kalau memang keluarganya kuat dari segi rohani, juga bisa dijadikan seperti sebuah pokok doa di dalam keluarga, berdoa untuk yang namanya siapa agar bisa sekolah denan berani, misalnya.
Jadi kalau memang keluarga itu punya jam doa bersama, bisa dijadikan pokok doa yang rutin setiap malam atau ketika anak sebelum berangkat ke sekolah misalnya diajak baca satu ayat Alkitab yang katakan jangan takut atau yang menguatkan seperti itu dan diajak berdoa. Saya rasa dengan pendekatan seperti itu, anak juga merasa bahwa papa mama sangat memperhatikan dia, papa mama juga berdoa untuk dia. Selain itu sebenarnya Sekolah Minggu juga bisa menjadi wadah untuk membantu anak-anak yang secara karakternya lemah tadi. Jadi mereka sejak kecil sudah diperkenalkan dengan komunitas di luar keluarga, dengan membiasakan anak-anak ke Sekolah Minggu dari kecil. Saya pikir itu juga termasuk salah satu cara mempersiapkan anak untuk sekolah khususnya yang pra sekolah sampai dengan TK, SD. Pengalaman sekolah biasanya menolong buat mereka.
PG : Ya lain lagi, Bu Esther, kalau benar-benar memang ada orang atau teman yang jahat, nakal, apa yang harus dilakukan orang tua?
ET : Ya, ini memang tidak mudah karena itu anak orang lain, tidak bisa langsung kita marahi tapi paling tidak kita bisa mengajarkan, memberikan tips-tips tertentu kepada si anak bagaimana meghadapi teman-teman yang agresif.
Misalnya kalau memang anaknya bukan yang cukup berani, lebih baik menghindari teman-teman yang nakal misalnya. Atau kalau misalnya sampai diserang mungkin perlu dilatih juga untuk membela diri, maksudnya diberitahu kapan memang dia diserang dalam arti kalau sudah dipukul dan disakiti yang berbahaya, kapan memang dia harus bertindak, bukan hanya berdiam diri.
PG : Atau orang tua mungkin harus datang ke sekolah dan memberitahukan guru atau menegur langsung anak tersebut agar tidak mengganggu anaknya.
GS : Pak Paul, dalam hal ini tentunya para pendengar juga mengharapkan ada pegangan dari firman Tuhan. Pak Paul bisa bacakan ayat untuk itu ?
PG : Saya akan bacakan dari Galatia 6:1 "Saudara-saudara kalaupun seseorang kedapatan melakukan suatu pelanggaran maka kamu yang rohani harus memimpin orang itu ke jalan yang bear dalam roh lemah lembut, sambil menjaga dirimu sendiri, supaya kamu juga jangan kena pencobaan".
Meskipun konteksnya di sini adalah dalam tubuh Kristus dan dosa, tapi kita bisa terapkan untuk hal-hal yang sudah kita bahas. Orang tua perlu memimpin anak ke jalan yang benar, tidak hidup dalam ketakutan tapi lakukanlah dalam roh lemah lembut. Jangan malah memarah-marahi anak.
GS : Demikianlah tadi para pendengar yang kami kasihi, kami telah persembahkan sebuah perbincangan bersama Ibu Esther Tjahja dan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang membantu anak yang takut sekolah. Kalau Anda berminat untuk melanjutkan acara tegur sapa ini, kami persilakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Dan dari studio kami mengucapkan terima kasih.