Kerapuhan Hidup

Versi printer-friendly
Kode Kaset: 
T481B
Nara Sumber: 
Pdt. Dr. Paul Gunadi
Abstrak: 
Hidup itu rapuh. Begitu rapuhnya hidup sehingga kapan waktu, hidup—sebagaimana kita kenal—dapat berhenti. Tadinya kita bisa berjalan, sekarang tidak. Tadinya kita bisa bekerja, sekarang tidak. Tadinya kita bisa memercayai istri atau suami, sekarang tidak. Tadinya kita bisa melihat orang tua, sekarang tidak. Itulah hidup. Berikut akan dipaparkan beberapa masukan untuk menolong kita menghadapi kerapuhan hidup.
Audio
MP3: 
Play Audio: 
Ringkasan

Tahun lalu teman baik istri saya datang mengunjungi kami sekeluarga. Dalam kunjungan itu ia bercerita bahwa pinggangnya sakit dan dokter merencanakan untuk mengoperasi tulang belakangnya sekembalinya dari liburan Natal. Setelah pemeriksaan lebih lanjut, ditemukan bahwa penyebab nyeri pada tulang belakang adalah kanker. Dari paru-paru kanker telah menjalar ke tulang belakang dan setahun kemudian, kanker malah menjalar sampai ke ginjal dan hati. Dengan kekuatan Tuhan ia terus berjuang sampai hari ini. Hidup itu rapuh. Begitu rapuhnya hidup sehingga kapan waktu, hidup—sebagaimana kita kenal—dapat berhenti. Tadinya kita bisa berjalan, sekarang tidak. Tadinya kita bisa bekerja, sekarang tidak. Tadinya kita bisa memercayai istri atau suami, sekarang tidak. Tadinya kita bisa melihat orang tua, sekarang tidak. Itulah hidup. Berikut akan dipaparkan beberapa masukan untuk menolong kita menghadapi kerapuhan hidup.

  1. KITA HARUS MENYADARI BAHWA TIDAK ADA YANG PERMANEN DALAM HIDUP. Apa pun yang kita miliki atau nikmati sekarang, pada suatu saat akan berhenti. Salomo, di dalam Pengkhotbah 3:1 berkata, "Untuk segala sesuatu ada masanya, untuk apa pun di bawah langit ada waktunya." Jadi, janganlah kita menggenggam erat-erat apa pun itu yang sekarang kita miliki atau nikmati. Sebaliknya, terimalah berkat Tuhan sebagai pemberian-Nya untuk hari ini, bukan selamanya. Hanya satu berkat Tuhan yang bersifat permanen yaitu berkat keselamatan. Selain dari keselamatan, semua berkat akan berlalu; suatu hari kelak kita harus melepaskannya. Tuhan memberikannya kepada kita memang untuk hari ini, bukan hari esok dan selamanya.
  2. KITA HARUS MEMBIASAKAN HIDUP DENGAN PRIORITAS YANG BENAR. Dengan kata lain, kita mesti mengutamakan yang penting dan mengesampingkan yang tidak penting. Barangsiapa pernah mencoba untuk hidup dengan prioritas yang benar pasti tahu betapa tidak mudahnya mengesampingkan yang tidak penting. Acap kali yang tidak penting justru lebih keras bersuara dan lebih mendesak untuk diperhatikan. Itu sebab untuk dapat memprioritaskan yang penting kita harus berusaha keras. Tidak cukup bagi kita untuk sekadar tahu.
  3. Tertinggi dalam daftar prioritas hidup adalah Tuhan. Tidak ada yang lebih penting dari-Nya. Jadi, utamakanlah mengenal Tuhan, utamakanlah melakukan kehendak-Nya, utamakanlah melayani-Nya. Kedua, manusia. Jadi, utamakanlah membangun relasi dengan sesama, utamakanlah menolong sesama, utamakanlah kepentingan orang di atas kepentingan sendiri. Matius 22:37-39 menegaskan, "Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu, dan segenap akal budimu. Itulah hukum yang terutama dan yang pertama. Dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri." Apa yang kita pentingkan adalah apa yang kita kasihi. Apa yang kita kasihi adalah apa yang pentingkan atau prioritaskan. Secara berkala kita perlu memeriksa diri dan bertanya, apakah yang kita kasihi ? Makin tepat prioritas kita, makin tepat dan sehat reaksi kita sewaktu hidup berubah secara drastik. Sebaliknya bila prioritas kita tidak tepat, makin berat dan tidak sehat reaksi kita tatkala mengalami hempasan badai kehidupan. Jika kita telah hidup untuk Tuhan dan mengasihi sesama, seberat apa pun kehilangan yang mesti kita derita, kita tahu, kita masih punya Tuhan dan masih punya sahabat.
  4. KITA MESTI MEMBIASAKAN HIDUP DALAM DUA REALITAS: JASMANIAH DAN ROHANIAH. Singkat kata, kita mesti memandang hidup bukan saja dari lensa duniawi tetapi juga dari lensa sorgawi. Dari lensa sorgawi setidaknya ada dua hal yang dapat kita terapkan: (a) segala sesuatu terjadi dalam pemeliharaan Tuhan dan untuk menggenapi kehendak Tuhan dan (b) bahwa kita tengah berjalan ke rumah Tuhan, makin hari makin dekat.

Jika kita percaya bahwa segala sesuatu terjadi dalam pemeliharaan Tuhan dan untuk menggenapi kehendak-Nya, kita tahu dengan pasti bahwa apa yang terjadi ada dalam tangan Tuhan. Seburuk apa pun yang terjadi, terjadi karena ada kehendak Tuhan yang mesti digenapi dan tidak dapat digenapi tanpa peristiwa yang kita alami. Apabila kita percaya bahwa kita tengah berjalan menuju ke satu arah yakni rumah Tuhan maka kita tahu bahwa apa pun yang terjadi hanyalah mendekatkan kita satu langkah lagi dengan rumah Tuhan.

Pada akhir hidupnya Rasul Paulus berkata, "Aku telah mengakhiri pertandingan yang baik, aku telah mencapai garis akhir dan aku telah memelihara iman. Sekarang telah tersedia bagiku mahkota kebenaran yang akan dikaruniakan kepadaku oleh Tuhan, Hakim yang adil, pada hari-Nya; tetapi bukan hanya kepadaku, melainkan juga kepada semua orang yang merindukan kedatangan-Nya." (2 Timotius 4:7-8)

Sebenarnya kata yang digunakan di sini bukanlah sekadar pertandingan melainkan sebuah pertarungan, perjuangan. Ya, hidup mengharuskan kita untuk bertarung dan berjuang sebab hidup itu rapuh. Tapi dengan pertolongan Tuhan kita akan dapat melalui dan mengakhirinya dengan baik—dengan tetap memelihara iman. Tujuan akhir hidup bukanlah terus hidup di dunia melainkan di surga. Kita hanya berada di dunia untuk sementara untuk menggenapi rencana Tuhan. Itu saja.