Hidup dalam Realitas

Versi printer-friendly
Kode Kaset: 
T466A
Nara Sumber: 
Pdt. Dr. Paul Gunadi
Abstrak: 
Scott Peck, seorang psikiater, berpendapat bahwa seberapa sehatnya seseorang bergantung pada seberapa dalam dan jauhnya ia tinggal dalam realitas. Dengan kata lain, makin kita melihat dan mengakui kenyataan kehidupan ini, makin kita sehat secara jiwani. Dalam Amsal 12 terdapat beberapa pedoman kehidupan yang berkaitan dengan tema hidup dalam realitas seperti yang dibahas berikut ini.
Audio
MP3: 
Play Audio: 
Ringkasan

Scott Peck, seorang psikiater, berpendapat seberapa sehatnya seseorang bergantung pada seberapa dalam dan jauhnya ia tinggal dalam realitas. Dengan kata lain, makin kita melihat dan mengakui realitas kehidupan ini, maka makin sehatlah kita secara jiwani. Sebaliknya, makin jauh dari realitas, maka makin tidak sehatlah kita. Kitab Amsal adalah panduan Allah untuk hidup di tengah dunia. Nah, di Pasal 12 terdapat beberapa pedoman kehidupan yang berkaitan dengan tema, hidup dalam realitas. Ya, ternyata Tuhan pun meminta kita untuk menerima dan menghadapi realitas. Marilah kita mempelajari beberapa prinsip hidup dalam realitas

A. Kerjakanlah Yang Di Depan Mata, Bukan Yang Di Dalam Mimpi

"Siapa mengerjakan tanahnya akan kenyang dengan makanan, tetapi siapa mengejar barang yang sia-sia, tidak berakal budi." (Amsal 12:11) Dalam ayat ini, kata, "barang yang sia-sia," dapat pula diterjemahkan "fantasi" atau "khayalan." Dengan kata lain, Tuhan meminta kita untuk menghadapi apa yang ada di depan mata yakni tugas mengerjakan tanah, dan tidak mengejar fantasi alias mimpi, yang bukanlah kenyataan. Sudah tentu Tuhan tidak melarang kita untuk bermimpi, dalam pengertian memiliki kerinduan untuk melakukan sesuatu yang kita dambakan. Namun, pada akhirnya kita tidak boleh mengabaikan apa yang menjadi tanggung jawab kita sekarang ini.

Sekurangnya ada dua penyebab mengapa kita senang mengejar fantasi.

  1. Fantasi menyenangkan sebab fantasi adalah ciptaan kita semata. Realitas tidak selalu sesuai kata hati tetapi fantasi selalu sesuai dengan keinginan. Karena itu kita jauh lebih senang mengejar fantasi ketimbang hidup dalam realitas. Contoh : Pernah saya berjumpa dengan seorang pemuda yang tengah terpuruk dalam hidup. Di dalam pertemuan itu ia terus menceritakan "kehebatannya"— hal-hal yang pernah dikerjakannya dan orang-orang yang dikenalnya. Masalahnya, ceritanya tidak konsisten dengan kondisinya. Jika memang ia sehebat itu, mengapakah ia dalam kondisi seburuk itu ? Dan, satu hal lagi, ia terus menceritakan tentang kebisaannya dan mimpinya untuk melakukan sesuatu yang besar. Sayangnya pekerjaan yang di depan mata, yang dapat dikerjakannya, itu tidak dilakukannya.
  2. Realitas memaksa kita melihat diri apa adanya, termasuk bagian diri atau lembaran hidup yang tidak menyenangkan. Itu sebab kita lebih senang mengejar fantasi agar kita tidak usah melihat kekurangan dan kegagalan kita. Juga, fantasi melepaskan kita dari tanggung jawab untuk melakukan sesuatu yang mesti dilakukan. Fantasi membuat kita merasa sebaik atau sehebat itu. Ya, fantasi memberikan kesempatan kepada kita untuk menjadi seseorang yang kita dambakan. Kita tidak lagi minder atau takut, sebab dalam fantasi kita berubah menjadi percaya diri, sukses dan berani. Kita lupa bahwa keberhasilan dan percaya diri tidak dapat terjadi dalam fantasi melainkan dalam realitas. Mimpi tinggallah mimpi; begitu kita bangun, kita kembali harus berhadapan dengan realitas. Jadi, apa pun itu yang menjadi mimpi kita, perlakukanlah sebagai mimpi dan bukan kenyataan, sebagai kerinduan dan bukan keharusan. Janganlah sampai kita kehilangan perspektif sehingga ditelan oleh mimpi dan mengabaikan tanggung jawab sehari-hari. Firman Tuhan berkata bahwa siapa mengerjakan tanahnya akan kenyang dengan makanan. Inilah hasil hidup dalam realitas: Kita dapat menikmati hasil usaha kita ! Ingat, tidak ada yang dapat menikmati hasil mimpinya.
B. Jadilah Diri Sendiri

Lebih baik menjadi orang kecil tetapi bekerja untuk diri sendiri, daripada berlagak orang besar, tetapi kekurangan makan. (Amsal 12:9)

Kata "orang kecil" di sini berasal dari pengertian, "kecil di mata orang." Dengan kata lain, "tidak terpandang." Nah, kata ini kemudian dikontraskan dengan kata, "berlagak besar," menggelembungkan diri, "menghormati diri sendiri" atau membesar-besarkan diri. Singkat kata, Firman Tuhan menasihati kita untuk hidup dalam realitas dan dalam hal ini, hidup dalam realitas berarti menjadi diri sendiri apa adanya. Godaan terbesar sewaktu kita dianggap remeh adalah "menunjukkan diri." Masalahnya adalah, sering kali kita tidak menunjukkan diri sendiri, tetapi menunjukkan diri yang lain, yang bukan diri kita sendiri. Sebenarnya akar permasalahan terletak pada keengganan kita menerima diri apa adanya. Kita tidak ingin dipandang rendah, sebaliknya kita ingin menjadi orang yang terpandang.

  1. Dengan sikap membesar-besarkan diri adalah pada akhirnya diri yang kita ciptakan ini mudah kempis. Pada kenyataannya kita tidak memunyai bukti atau substansi untuk mendukung diri yang besar ini. Itu sebabnya dengan berjalannya waktu kita akan kehabisan bahan. Biasanya sewaktu kehabisan bahan, kita pun bergegas mencari bahan lain untuk meyakinkan orang bahwa kita "sebesar" itu. Namun, upaya ini pun dengan segera menemui jalan buntu. Akhirnya orang tahu siapakah diri kita yang sebenarnya. Kita pun makin terpuruk.
  2. Dengan sikap membesar-besarkan diri, kita akan membuang kesempatan untuk mengembangkan potensi yang ada di dalam diri kita. Singkat kata, kita tidak akan dapat menjadi diri kita yang terbaik. Memang, menjadi diri kita yang terbaik tidak berarti dianggap baik oleh orang atau menjadikan kita orang terpandang. Tidak ! Dengan menjadi diri kita yang terbaik kita menunjukkan penghargaan kita kepada Tuhan yang telah memercayakan talenta-Nya kepada kita. Sewaktu kita menjadi diri sendiri, barulah Tuhan dapat memakai kita. Dia tidak akan memakai kita bila kita tidak hidup dalam realitas—menjadi diri orang lain. Dengan kita mengakui kelemahan kita, maka kita menjadi orang yang merdeka. Contoh : Ibu Teresa dipakai Tuhan, dia orang biasa tapi dipakai Tuhan apa adanya. Pernah dia datang ke Washington D.C., untuk meresmikan tempat pelayanan di sana, dikelilingi wartawan dan lain-lain, ketika ditanya dia mengatakan bahwa dia ingin membagikan kasih supaya orang bisa menerima kasih, ternyata bukan uang yang diperlukan tapi pengorbanan. Ibu Teresa orang yang sederhana, tapi dipakai Tuhan karena dia mengakui diri apa adanya.

Di akhir perbincangan, firman Tuhan yang disampaikan dari Markus 9:35-37, "Lalu Yesus duduk dan memanggil kedua belas murid itu. Kata-Nya kepada mereka :’Jika seseorang ingin menjadi yang terdahulu, hendaklah ia menjadi yang terakhir dari semuanya dan pelayan dari semuanya’. Maka Yesus mengambil seorang anak kecil dan menempatkannya di tengah-tengah mereka, kemudian Ia memeluk anak itu dan berkata kepada mereka :’Barangsiapa menyambut seorang anak seperti ini dalam nama-Ku, ia menyambut Aku. Dan barangsiapa menyambut Aku, bukan Aku yang disambutnya, tetapi Dia yang mengutus Aku’."

Fokus pada perkara kecil, waktu kita mengerjakan perkara kecil kita sedang melayani Dia.