Lengkap
Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Membangun Kerjasama". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
GS : Pak Paul, ternyata kerjasama itu tidak begitu saja tercipta dan kenyataannya harus diupayakan, diusahakan, harus dibangun. Tetapi masalahnya adalah bagaimana membangun kerjasama, karena yang seringkali kita alami adalah bukan bekerjasama tetapi sama-sama bekerja, itu berarti tidak ada saling keterkaitan antara satu unit dengan unit yang lain atau pribadi yang satu dengan pribadi yang lain walaupun sama-sama bekerja, sehingga tidak membawa suatu dampak yang positif. Dan ini bagaimana, Pak Paul?
PG : Sudah tentu untuk bisa tergalang sebuah kerjasama yang baik diperlukan kepemimpinan yang juga efektif, Pak Gunawan. Saya akan mengutip pendapat seorang yang bernama Virginia Satir, dia ituseorang pemikir dan juga seorang terapist untuk terapi keluarga, dia berkata bahwa dalam sebuah keluarga unsur yang terpenting adalah orang tua atau suami istri, sebab ini poros keluarga.
Kalau porosnya sudah tidak lagi efektif, tidak lagi bekerja sesuai yang seharusnya, maka akan mempengaruhi anak-anak dan sebagainya. Sudah tentu dalam organisasi atau pelayanan juga sama, kepemimpinan itu diperlukan dan harus berfungsi dengan baik sehingga kalau pun ada masalah dengan anggotanya, pemimpin yang efektif itu dapat menyelesaikannya atau setidaknya dapat meminimalkan dampak buruk tersebut. Kita telah membahas tentang kepemimpinan maka sekarang kita mau mengarahkan pandangan kita kepada pihak yang satunya yaitu dari yang dipimpin atau para pengikut. Ternyata untuk mewujudkan suatu kerjasama yang baik bukan saja diperlukan pemimpin yang efektif tapi diperlukan juga pengikut yang pas. Ciri-ciri pengikut yang pas sehingga cocok untuk menjadi bagian dari sebuah kerjasama yang pertama adalah tidak semua orang bisa masuk dan menjadi pengikut dalam sebuah organisasi, ada orang yang sangat susah sekali untuk bisa bekerjasama, dari pada dia memaksakan dan dia menginjak-injak orang lain atau menyinggung orang lain. Kedua, saya juga mau mengatakan bahwa tidak semua orang cocok untuk organisasi atau kepemimpinan, itu memang sangat bergantung pada kepemimpinan atau corak organisasinya. Maka kadang-kadang proses untuk menemukan lembaga atau organisasi dimana kita bisa cocok, itu memang tidak mudah. Dan lepas dari yang saya katakan, nanti yang akan saya angkat sebetulnya sekurang-kurangnya ada dua karakteristik yang dituntut dari seorang pengikut untuk dia akhirnya masuk menjadi bagian dari sebuah organisasi dan bekerjasama dengan rekannya.
GS : Apa dua karakteristik itu, Pak Paul?
PG : Yang pertama adalah berinisiatif, saya kira hampir semua pemimpin menghendaki bawahannya untuk bersikap aktif, kecuali kalau pemimpinnya tidak efektif dia justru senang kalau pengikutnya tdak aktif.
Tapi dalam kasus kepemimpinan yang sehat seyogianyalah pemimpin mengharapkan anggotanya untuk bersifat aktif sebab jika mereka tidak berinisiatif itu berarti semua beban kerja akan jatuh pada pundak si pemimpin. Jadi dengan kata lain seorang pemimpin yang efektif berkepentingan melatih dan memberi ruang gerak kepada bawahannya untuk berinisiatif. Pemimpin yang efektif juga menginginkan anggotanya untuk berinisiatif sebab ia tahu bahwa idenya sendiri tidak akan cukup untuk menjalankan dan mengembangkan roda organisasinya, itu sebabnya dia berharap dan bergantung pada masukan bawahannya untuk memberikan ide yang baik.
GS : Contoh konkretnya ini seperti apa, Pak Paul?
PG : Saya berikan sebuah contoh bahwa inisiatif begitu penting. Untuk waktu yang lama mobil-mobil Amerika itu mendominasi pasar mobil di dunia kemudian mulai tahun 1970 atau 1980 mobil-mobil Jeang mulai memasuki pasar dunia dan membuktikan dirinya tangguh dan dapat dipercaya.
Oleh sebab itu banyak perusahaan mobil dan manajemen di Amerika melirik kepada metode kepemimpinan Jepang dan inilah yang mereka temukan. Sewaktu perusahaan mobil Jepang datang membangun pabrik mereka di Amerika, yaitu misalkan yang pertama adalah ternyata pemimpin di dalam perusahaan-perusahaan yang ditangani Jepang, parkir mobil saja tidak disediakan khusus untuk pemimpinnya, siapa datang lebih pagi maka akan dapat parkir yang lebih dekat, kalau datang lebih siang maka parkirnya akan lebih jauh, semua orang sama tidak ada yang dibedakan. Dan yang kedua di dalam ruangan memang seminimal mungkin disediakan kantor, jadi sedapatnya memang sekat-sekat dibuka, karena dianggap dengan dibukanya sekat maka arus komunikasi lebih lancar antara semua staf baik atasan maupun bawahan. Dan berikutnya yang ditekankan adalah bahwa setiap pekerja di dalam pabrik mobil Jepang berkesempatan untuk menelurkan dan menyampaikan idenya kepada perusahaan. Jadi yang di atas berkepentingan untuk menerima masukan-masukan baru dan yang segar dari bawahannya dan inilah cara perusahaan mobil-mobil Jepang itu bekerja dalam mengelola perusahaan mereka. Tidak heran makanya di dunia ini pasar mobil dikuasai oleh Jepang. Sampai tahun lalu GM (General Motors) memang menempati posisi pertama tapi setelah beberapa bulan lalu ternyata Toyotalah yang menjadi pertama di Amerika dan bukan lagi General Motors. Memang ini menyakitkan sebab tuan rumah akhirnya tersingkir oleh perusahaan mobil dari negara lain. Dan itu yang kita lihat bahwa mereka benar-benar membuka sekat dan meminta semua staf untuk berinisiatif menelurkan dan menyampaikan ide mereka.
GS : Dalam hal ini seringkali pemimpinnya juga belum siap Pak Paul untuk menerima ide-ide dari bawahannya atau dari anggotanya. Di dalam hal ini apa yang harus dilakukan oleh anggota yang merasa, "Saya sudah memberikan ide, saya sudah memberikan inisiatif tapi tidak diberi tanggapan yang positif," dan ini bagaimana, Pak Paul ?
PG : Ini diperlukan kwalitas yang kedua, Pak Gunawan. Memang yang pertama adalah berinisiatif tapi anggota atau pengikut juga harus arif, jadi bukan hanya berinisiatif tapi juga harus arif, adabatas yang tipis antara berinisiatif dan dominan, orang yang berinisiatif pada umumnya mempunyai kecenderungan untuk menjadi dominan karena aktif mengeluarkan pendapat dan sebagainya.
Sebaliknya orang yang tidak berinisiatif cenderung pasif dan bergantung, hampir semua pemimpin menghendaki bawahannya untuk berinisiatif tetapi tidak dominan dan ini yang tidak disukai oleh pemimpin kalau bawahannya itu dominan artinya tidak bisa menerima bahwa pendapatnya ini sekarang belum bisa disetujui dan tetap memaksakan kehendak, inilah yang disebut dominan, pemimpin memang tidak begitu senang dengan bawahan yang begitu dominan. Jadi penting bagi bawahan mengetahui fungsi dan batasannya, fungsinya adalah memberi masukan kepada pimpinan, batasnya adalah memberikan keputusan terakhir kepada atasannya. Inilah yang saya sebut dengan arif Pak Gunawan, yaitu tahu kapan berkata namun tahu kapan untuk diam.
GS : Seringkali faktor subjektifitas sangat tinggi Pak Paul, jadi pemimpin yang menyukai bawahan atau anggota tertentu, maka idenya itu selalu diterima. Misalnya ada orang yang merasa idenya selalu ditolak karena merasa pimpinan itu tidak menyukai dia dan sikap seperti ini bagaimana, Pak Paul ?
PG : Langkah pertama kita mesti introspeksi diri kenapa pimpinan sampai tidak suka kepada kita, apakah cara penyampaian kita yang kurang tepat ataukah kita itu pernah melukainya atau mempermaluannya.
Jadi hal-hal itu mesti kita coba lihat apakah pernah kita lakukan, namun saya juga tidak menutup kemungkinan bahwa adakalanya pemimpin memang tidak mau menerima masukan dari orang-orang tertentu sebab dia sangat mementingkan posisinya sebab dia takut kalau dia menerima masukan dari orang-orang ini yang memang bagus-bagus, suatu hari kelak posisinya akan digeser, itu pun bisa terjadi. Maka didalam bekerjasama, semua faktor ini memang mesti kita pertimbangkan, kalau kita sudah berinisiatif dan kita sudah arif tidak pernah memaksakan dan mengatakan dengan santun, namun terus tidak pernah ditanggapi, saya kira harus ada waktu dimana kita mesti mengevaluasi apakah kita efektif di dalam lembaga ini sebab pada ujungnya yang penting adalah keefektifan. Jangan sampai kita terlibat dalam sebuah lembaga misalkan pelayanan atau organisasi lainnya dan kita tidak lagi efektif, sehingga waktu dan tenaga kita dibuang dengan percuma. Bukankah lebih baik jika kita kontribusikan itu di lembaga yang berbeda sehingga kita bisa melihat bahwa kita ini efektif di situ.
GS : Seperti perbincangan ini, kita memberikan judul atau tema yakni membangun kerjasama. Namanya membangun maka tidak bisa sekaligus, artinya ada suatu proses, tahapan-tahapan. Dan di dalam membangun suatu kerjasama tahapannya seperti apa, Pak Paul ?
PG : Saya kira penting untuk kita pahami yakni bahwa ternyata supaya terwujud suatu kerjasama itu harus lewat proses atau tahapan-tahapan. Jadi penting bagi yang memimpin maupun yang baru masukuntuk menyadari proses ini, setidaknya ada tiga yang mesti dilewati, yang pertama adalah tahap asimilasi.
Pada waktu seseorang masuk ke dalam organisasi dia diharapkan untuk berasimilasi, ini berarti dia diharapkan untuk menyesuaikan diri dengan kondisi dan tuntutan serta nilai yang dianut oleh organisasi itu. Jika dari awal dia sudah menunjukkan sikap tidak suka atau tidak respek terhadap nilai dan kondisi dalam organisasi itu maka dapat dipastikan kerjasama tidak akan terjadi dan masa baktinya pun akan cepat berakhir . Jadi pada umumnya di tahap asimilasi ini kerjasama berlangsung baik oleh karena sebagai anggota baru dia hanya menyerap tanpa memberi reaksi yang berarti, ini adalah tahapan pertama yang mesti kita lewati, Pak Gunawan.
GS : Dan ini tergantung dari orang itu sendiri Pak Paul, membutuhkan waktu berapa lama? Ada orang yang cepat berasimilasi, tapi ada orang yang lambat berasimilasi.
PG : Betul memang diperlukan kesabaran untuk bisa berasimilasi dan orang-orang tertentu bisa berasimilasi dengan cepat sedangkan yang lain lebih lama. Namun sesungguhnya Pak Gunawan, sebetulnyaada satu karakteristik yang berperan cepat untuk berasimilasi yaitu kerendahan hati untuk belajar, jikalau kita pertama datang dengan sikap ingin menggurui, niscaya kita akan menjumpai konflik.
Pada tahap awal ini kita mesti menyadari bahwa peran kita adalah sebagai perpanjangan tangan dari apa yang telah ada, singkat kata kita hanyalah meneruskan dan menerima apa yang telah digariskan maka tadi saya katakan karakteristik yang dibutuhkan disini adalah kerendahan hati untuk belajar, makin kita rendah hati mau belajar maka makin kita itu lebih bersedia untuk menjadi perpanjangan tangan. Kita hanyalah meneruskan yang telah digariskan. Dengan cara itu kita akan memulai dan bahkan melewati masa asimilasi itu dengan relatif cepat.
GS : Ini agak lebih mudah dilakukan oleh bawahan atau anggota dibandingkan dengan pimpinan, jadi kalau ada pimpinan yang masuk, seringkali untuk berasimilasi itu dibutuhkan waktu yang cukup lama, Pak Paul, karena faktor kerendahan hati yang tidak semua pemimpin memilikinya.
PG : Betul sekali. Tapi kalau kita lihat kebalikannya misalkan si pemimpin rendah hati mau belajar, mau mendengarkan masukan dan dia menunjukkannya kepada para anggotanya justru bukankah itu meguntungkan dirinya, bukankah dia akan cepat dirangkul dan bahkan dia juga akan mendapatkan respek yang lebih dari anggotanya.
GS : Setelah proses asimilasi atau tahapan asimilasi ini dilalui, kita memasuki tahap apa, Pak Paul?
PG : Tahap berikutnya adalah tahap akomodasi, setelah kita diterima masuk menjadi bagian dari organisasi maka barulah kita dapat bersikap lebih independent dalam mengeluarkan gagasan. Sudah tenu pada tahap ini akan ada orang yang menolak gagasan kita, tapi akan ada juga orang yang menyambut gagasan.
Organisasi yang sehat akan berupaya mengakomodasi masukan-masukan baru yang akan diterimanya, sebaliknya organisasi yang tidak sehat enggan mengakomodasi kepentingan dan masukan anggotanya. Pada tahap ini kerjasama mulai menemui kerikil namun agar organisasi tetap dinamis dan relevan diperlukan kesediaan untuk mengakomodasi masukan-masukan dari anggota yang baru ini.
GS : Jadi pengertian akomodasi di dalam contoh berorganisasi itu seperti apa ?
PG : Misalkan saya kembali lagi kepada contoh perusahaan mobil Jepang yang masuk ke Amerika mulai tahun 1970 atau 1980an, itu merevolusi cara manajemen perusahaan di sana, terutama perusahaan mbil juga.
Kalau misalkan kebalikannya yang terjadi atasannya itu tidak mau terima malahan berkata, "Ini sudah ditetapkan, ini adalah garisnya maka harus selalu ikuti, tidak boleh melenceng sedikit pun," dan menolak ide-ide yang baru, akhirnya yang terjadi adalah masalah. Saya berikan satu contoh juga yang sering terjadi dalam gereja, Pak Gunawan, saya percaya bahwa seorang pemimpin gereja atau seorang hamba Tuhan dipanggil untuk memimpin generasinya artinya setelah dia berusia lebih lanjut dia memang makin terpaut dari generasi di bawahnya. Kita bisa melihat itu pada diri Musa dan Yosua, memang Tuhan melarang Musa masuk ke dalam tanah perjanjian karena Tuhan memang menghukum dia, tapi saya juga percaya bahwa Musa adalah pemimpin untuk generasinya, untuk generasi berikut maka Tuhan menetapkan Yosua yang usianya memang satu generasi di bawah Musa dan kita melihat betapa efektifnya Yosua memimpin umat Israel masuk ke tanah yang Tuhan janjikan. Jadi saya percaya memang setiap pemimpin itu sebetulnya memimpin untuk generasinya, tapi ada pemimpin yang tidak terima itu Pak Gunawan, meskipun dia sudah lanjut usia dia tetap terus mau menguasai dari ujung ke ujung, dari hulu ke hilir, dari usia tua ke usia bayi dan dia mau mengatur semuanya, akhirnya apa yang terjadi ? Anggotanya mulai pindah keluar karena dia sudah buntu berdasarkan usianya, dia tidak mudah menerima yang baru-baru, yang segar-segar akhirnya dia terus membentengi diri, akhirnya dia berjalan sesuai yang telah digariskan meskipun garis itu dibuat pada waktu 40 tahun yang lalu, itu merugikan jemaat. Akhirnya banyak orang yang keluar dan sebagainya. Jadi kalau kita memang sudah mulai uzur, sudah mulai lanjut usia, kita mungkin sebagai hamba Tuhan di gereja harus berpikir, "Baik, saya akan menangani orang yang seusia saja sebab mereka tetap membutuhkan gembala yang seperti saya," dan nanti saya akan menunjuk anak muda untuk menggantikan, mereka yang lebih bisa menangani jemaat yang lebih muda dari kita.
GS : Jadi seperti pada tahap asimilasi, itu dibutuhkan suatu karakter tersendiri yaitu kerendahan hati. Di dalam tahap akomodasi ini karakter apa yang dibutuhkan Pak Paul?
PG : Ada dua, Pak Gunawan. Yaitu kepekaan dan kelembutan, kendati kita sekarang sudah menjadi bagian dari organisasi, dapat memberi sumbangsih yang berarti, kita tetap harus memberikan usulan yng tepat dan untuk itu diperlukan kepekaan melihat kesiapan dan dinamika yang ada dalam organisasi itu.
Tanpa kepekaan masukan kita kendati baik, mudah disalah pahami. Kita mesti lihat kecocokan waktunya dan tidak asal lontar, orang tidak siap pun kita langsung melontarkannya. Dalam dinamika organisasi kita juga harus lihat apakah memang sudah siap ada infrastrukturnya untuk mendukung dan sebagainya dan kita pun mesti menyampaikan usulan dengan lembut, sebab kelembutan mencerminkan respek dan ketundukan, sekali lagi sebaik apapun saran yang kita hendak berikan bila disampaikan dengan kasar itu akan menyakiti hati orang. Pada tahap ini sesungguhnyan relasi kerja kita, mulai bergeser dari perpanjangan tangan menjadi tangan itu sendiri. Dengan kata lain kita mulai dapat berinteraksi dengan pengambil keputusan dan memberi masukan yang diperlukan, inilah tahap kedua atau tahap akomodasi.
GS : Karakter kelembutan atau kepekaan itu bisa dilatih atau dimiliki sejak orang itu lahir, Pak Paul ?
PG : Saya kira bisa dilatih Pak Gunawan, orang yang sombong memang akan lebih susah untuk peka, untuk lembut, tapi untuk orang yang rendah hati, dia akan lebih mudah untuk peka, untuk sensitif.Kadang-kadang meskipun dia memiliki ide yang baik tapi dia tahu kalau dia melontarkannya sekarang dia dapat menyudutkan pemimpinnya maka dia memilih untuk tidak mengatakannya tapi dia menunggu saat yang lebih tepat mungkin secara pribadi dia mulai mensosialisasikannya, membagikan pendapatnya dan misalkan ditolak dia juga tidak apa-apa, dia akan tunggu lagi mungkin lain kali ada waktu yang lebih tepat, waktu dia harus bersilang pendapat dia juga tidak berteriak-teriak, memukul meja apalagi menghina orang, itu tidak akan dilakukannya tapi dia tetap menyampaikannya dengan lembut.
Dengan cara-cara ini biasanya pihak yang sudah lama di lembaga tersebut akan lebih siap untuk menerima masukan-masukan kita. Sekali mereka siap menerima berarti mulai terjadilah dialog. Kita tidak berdialog dengan rekan tapi dengan atasan sebetulnya. Jadi kita mulai sedikit banyak dapat mempengaruhi pengambilan keputusan meskipun saat ini tahap akomodasi, kita belum menjadi pengambil keputusan tapi kita sudah bisa berdialog dengan pengambil keputusan.
GS : Berarti setelah melewati tahap asimilasi dan akomodasi ada satu tahap lain yang Pak Paul mau sampaikan ?
PG : Yaitu tahap integrasi, pada tahap ini tanggapan sudah diakomodasi dan terintegrasi ke dalam organisasi. Kerjasama membaik dan penghargaan terhadap masing-masing akan bertambah, tidak bisa idak pada tahap ini organisasi akan mengalami perubahan namun itulah yang seharusnya terjadi sebab organisasi sendiri terdiri dari manusia dan manusialah yang menentukan jiwa organisasi itu.
Kadang-kadang orang berkata ia tidak siap karena tidak mau mengubah corak organisasi itu tapi itu salah ! Karena organisasi yang sehat memang harus mengalami transformasi secara berkala. Jadi jangan sampai kita kaku tidak mau mengintegrasikan sesuatu yang baru. Dan pada tahap ini kita telah menjadi otak dan bukan hanya sekadar tangan atau perpanjangannya, tapi meskipun kita telah menjadi otak kita mesti tetap saling menghargai dan terbuka bagi masukan segar dari anggota baru, godaan terbesar yang mesti kita hindari adalah melembaga, seringkali kita merasa karena kita sudah menjadi bagian dari pengambil kebijakan, penentu kebijakan pengambil keputusan kitalah nanti yang menutup diri terhadap anggota yang lebih baru, maka jangan sampai itu terjadi ! Jangan sampai kita melembaga sebab tatkala ini terjadi maka keangkuhan pun merasuk. Jadi kita mesti menjaga diri jangan sampai akhirnya menjadi kaku setelah kita menjadi penentu kebijakan.
GS : Ketika anggota memasuki tahap integrasi itu, tidak berarti dia harus menjadi pemimpin yang formal, Pak Paul ?
PG : Tidak, itu tidak harus terjadi. Tapi karena dia sudah dianggap bagian dari pengambil keputusan kalau pun dia belum diangkat menjadi seorang atasan atau pemimpin secara formal maka dia akandicari, pendapatnya akan dibutuhkan sebab mereka tahu masukannya ini berharga.
Jadi dengan kata lain secara formal dia pun telah menjadi bagian dari penentu kebijakan.
GS : Memang seringkali kita melihat di dalam suatu organisasi, ada pemimpin yang memang diangkat tetapi ada orang-orang yang walaupun belum menjadi pemimpin, tapi dia patut untuk disebut sebagai pemimpin.
PG : Dan ini bukanlah sesuatu yang buruk, malahan saya kira sesuatu yang wajar dan baik, memang kita tidak selalu bisa mengangkat pemimpin yang jabatannya formal dan seringkali ada regenerasi, amun untuk orang-orang yang matang, kita sebetulnya masih bisa manfaatkan, untuk tempat kita berkonsultasi dengan mereka.
GS : Tapi seringkali terjadi gesekan atau benturan antara pemimpin yang formal dan pemimpin yang informal ini.
PG : Dalam hal ini pemimpin yang informal tetap harus tahu batasnya, kendati dimintai pendapat, kendati dia mungkin sekali tahu lebih banyak tapi berhubung dia tidak lagi menduduki jabatan forml, dia harus tahu batasnya.
Dia harus berkata, "Ini masukan saya, namun kalau memang tidak diterima itu tidak apa-apa," terserah pada yang menduduki posisi jabatan formal itu. Kalau si pemimpin informal bersikap seperti itu, saya rasa justru ini menguntungkan organisasi, sebab yang masih sedang menduduki jabatan formal tidak takut dan tidak ragu meminta pendapat dari pemimpin yang informal ini sebab dia tahu pendapat itu tidak harus dilakukannya. Dia tidak harus dirinya dikendalikan oleh orang-orang ini. Justru ini yang menjadi keuntungan bagi organisasi tersebut.
GS : Pak Paul, sebelum mengakhiri perbincangan ini apakah ada ayat Firman Tuhan yang ingin Pak Paul bacakan?
PG : Amsal 15: 22 berkata, "Rancangan gagal kalau tidak ada pertimbangan, tetapi terlaksana kalau penasihat banyak." Dengan kata lain kita bisa simpulkan di dalam konteks adanya penasehat yang anyak, maka pertimbangan akan lebih masak.
Jadi Firman Tuhan meminta kita untuk mengundang adanya penasehat-penasehat supaya keputusan dapat dipertimbangkan dengan baik.
GS : Perbincangan ini penting sekali, Pak Paul, karena Tuhan Yesus juga membentuk kita sebagai anggota tubuhNya dan masing-masing anggota tubuh ini harus bekerjasama Pak Paul, karena kalau tidak maka akan tercerai-berai.
GS : Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan kali ini. Dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Membangun Kerjasama". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Akhirnya dari studio kami mengucapkan terimakasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara Telaga yang akan datang.