Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi di mana pun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen kali ini saya bersama Ibu Ester Tjahja, S. Psi, kami akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Kali ini kami akan berbincang-bincang tentang "Memahami Pernikahan", suatu tema yang cukup luas karenanya kami akan membagi perbincangan kami pada dua sesi. Dan kami percaya acara ini pasti akan sangat bermanfaat bagi kita sekalian, dan inilah sesi yang pertama tentang memahami pernikahan.
Lengkap
(1) GS : Pak Paul, sebelum kita lebih jauh memahami tentang pernikahan, tentunya kita mau tahu dulu batasan atau definisi atau pengertian pernikahan itu sebenarnya apa Pak Paul?
PG : Ini sebuah pertanyaan yang baik Pak Gunawan, kenapa kita akan mengangkat topik ini sebab saya mengamati adanya kedangkalan pemahaman tentang pengertian pernikahan. Jadi saya kira ini adlah sesuatu yang penting untuk kita bicarakan.
Dan sudah tentu karena kita ini adalah anak-anak Tuhan sebagai orang Kristen kita akan kembali menggunakan rujukan pada firman Tuhan. Nah, apa itu pernikahan, pernikahan adalah sebuah ikatan, artinya suami-istri atau kedua orang itu menjadi satu kesatuan dan kesatuan ini menjadi sebuah relasi yang begitu unik dan sangat eksklusif. Sehingga relasi nikah ini menjadi sesuatu yang berbeda, terpisah dari relasi lainnya. Landasan Alkitab yang saya gunakan adalah
Efesus 5 : 31, "Sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan istrinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging." Dari ayat ini kita bisa melihat bahwa kesatuan antara suami dan istri merupakan kesatuan yang paling intim, yang paling dekat, tidak ada lagi kesatuan yang bisa menyamai kesatuan suami dan istri ini. Nah itu sebabnya pernikahan merupakan sebuah ikatan karena keduanya menjadi satu dan diikat sehingga tidak bisa lagi terlepas.
GS : Pengertian meninggalkan ayahnya dan ibunya itu seperti apa Pak Paul?
PG : Dalam pengertian, bahwa pada waktu seseorang itu menikah dia itu memulai sebuah keluarga yang baru, dia tidak lagi menjadi seorang anak dari orang tuanya. Dalam pengertian dia bukan lag menjadi anak secara biologis tapi status sudah tentu dia adalah seorang anak.
Namun terjadi perubahan, perubahan dalam relasi antara dia dan orang tuanya. Dia dulu adalah seorang anak yang bergantung pada orang tuanya, namun sekarang dia tidak lagi menjadi seseorang yang bergantung pada orang tuanya baik secara fisik maupun secara emosional, sebab dia sekarang memulai atau menciptakan sebuah rumah tangga yang baru.
ET : Namun tampaknya di dalam budaya tertentu ada kesulitan untuk sungguh-sungguh melakukan hal ini Pak Paul?
PG : Saya kira betul Bu Esther, ada budaya-budaya yang sangat menekankan pengabdian kepada orang tua, bahkan pengabdian itu diatas pengabdian hubungan suami-istri. Nah saya kira ada baiknya ita membahas hal ini dengan lebih seksama.
Adakalanya kita ini menempatkan budaya di atas Alkitab, ini keliru. Otoritas firman Tuhan berada di atas segalanya termasuk norma-norma budaya kita. Meskipun pengabdian kepada orang tua adalah sesuatu yang baik, namun pada akhirnya Tuhan menegaskan bahwa waktu seseorang menikah, pengabdian yang begitu tinggi tersebut memang harus beralih, bukan lagi kepada orang tua namun kepada pasangannya, kepada keluarganya sendiri. Sudah tentu di sini tidak berarti Tuhan meminta kita untuk melalaikan tanggung jawab sebagai anak, tidak mempedulikan orang tua kita, bukan itu. Kita akan mengingat teguran Tuhan Yesus kepada orang Farisi, kepada mereka yang mengajarkan bahwa kalau engkau hendak memberikan korban kepada orang tua tapi mereka itu tidak mau, karena mungkin ada sakit hati terhadap orang tua nah kemudian mereka memisahkan uang tersebut dan hanya memberikannya kepada Tuhan. Tuhan berkata itu salah, dalam pengertian meskipun seolah-olah terdengar dan terlihat mulia memberikan persembahan kepada Tuhan. Namun kalau itu adalah uang yang seharusnya diberikan kepada orang tua, Tuhan tidak senang dengan cara seperti itu. Sebab Tuhan juga menuntut seorang anak memperhatikan orang tuanya, sebetulnya bukan hanya orang tuanya tapi juga orang lain. Nah kalau orang lain Tuhan tuntut perhatikan apalagi orang tua sendiri. Jadi saya tegaskan bukan berarti kita tidak lagi memperhatikan orang tua, namun kepentingan keluarga sendiri sekarang menjadi yang teratas sebab kita memulai sebuah keluarga yang baru. Maka Alkitab menggunakan penggambaran seorang laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan istrinya jadi ada suatu tindakan, ada sesuatu perubahan bahwa dia sekarang masuk ke dalam sebuah keluarga yang lain.
GS : Jadi sekalipun secara fisik mereka masih tinggal serumah, konsep itu tetap masih bisa dijalankan?
PG : Bisa sekali meskipun saya mengerti kalau serumah bisa jadi perubahan ini agak sulit, karena sedikit banyak ikatan itu antara orang tua dan anak tetap terjalin dan susah sekali untuk menubahnya.
Tapi sekali lagi saya ingin tekankan biarlah konsep ini benar-benar dimiliki oleh kita semuanya. Saya pernah memberikan sebuah ceramah Pak Gunawan dan Ibu Esther, dalam ceramah itu saya menegaskan konsep ini, selesai ceramah diberikan kesempatan untuk orang memberikan kesaksian. Dan saya masih ingat ada seorang pria paro baya yang memberikan kesaksian dan berkata: "Ya, tadi saya sudah mendengar dan saya sudah memahami apa yang Tuhan katakan di Alkitab, tapi saya kira tetap orang tua itu yang paling penting," dia berkata demikian. Alasannya (ini yang sangat menarik), dia berkata: "Orang tua tidak bisa diganti, istri itu bisa diganti". Jadi sebuah konsep yang sangat salah, tapi begitu mendarah daging dalam pemikiran orang tersebut dan mungkin sebagian orang yang terikat oleh budaya mereka. Orang tua tidak bisa diganti, istri bisa diganti itu keliru sekali, sebab Alkitab tidak pernah mengatakan: "Hai anak, hai orang tua menyatulah!" yang dikatakan keduanya bersatu menjadi satu daging adalah suami dan istri, anak keluar dari orang tua. Tadinya satu akhirnya menjadi dua, pernikahan kebalikan dari konsep tersebut, dua orang melebur menjadi satu, jadi yang benar adalah dua menjadi satu dan itu suami-istri. Nah, kalau seorang anak dan orang tua tetap memelihara tali ari-ari ini berarti memang tidak pernah ada suatu pemisahan sedangkan itu yang dimaksudkan oleh Tuhan.
ET : Jadi memang rasanya hal ini juga sangat perlu dipertimbangkan oleh orang tua Pak Paul, karena mungkin si anak mau melakukannya, tetapi hambatannya adalah orang tua yang belum rela untukkeluar dan membangun rumah tangga itu.
PG : Adakalanya itu yang terjadi Ibu Esther, jadi orang tua mempertahankan otoritasnya kepada si anak dan menuntut pengabdian kepada orang tua, nah ini sering terjadi. Sewaktu si anak misalkn mulai bergeliat mulai menentang, menggugat keputusan orang tua, orang tua kemudian menggunakan serangan-serangan yang menimbulkan rasa bersalah pada si anak, "Kamu sudah saya besarkan dari kecil sekarang mentang-mentang sudah mempunyai istri atau mempunyai suami berani-beraninya melawan saya."
Nah ini juga sering saya lihat Bu Esther dalam kasus di mana orang tuanya tunggal. Misalkan seorang ibu yang membesarkan anak-anak laki, karena suaminya meninggal pada masa atau pada waktu anak itu muda, akhirnya si anak begitu menyayangi si mama karena mama bekerja keras merawat membesarkan anak-anak sendirian. Nah, adakalanya ini dibawa terus sampai setelah menikah, sehingga bagi si anak tetap yang terpenting adalah mama bukan istrinya, mama berkata apa itu yang akan dia dengarkan, istri berkata apa dia tidak akan dengarkan nah itu keliru, meskipun kita tetap menyayangi mama yang telah membesarkan kita tanpa adanya papa, namun tetap setelah menikah kita mesti mengutamakan keluarga kita. Bukannya tidak mempedulikan orang tua lagi tetap mempedulikan, tapi sekarang kita mengutamakan keluarga kita sendiri.
GS : Tetapi juga ada anak yang begitu tergantung kepada orang tuanya, baik dari segi finansial maupun kebiasaan. Kadang-kadang dia sudah terlanjur terbiasa dan suka dengan makanan yang dibuatkan oleh mamanya atau, sehingga ketika istrinya membuatkan makanan dia masih tetap kembali ke rumah orang tuanya, hanya untuk makan.
PG : Kalau secara insidentil saya kira itu tidak apa-apa, adakalanya anak itu kembali ke rumah orang tua untuk menikmati makanan mama karena terbiasa dan senang. Saya kira sekali-sekali hal tu dilakukan ya wajar, namun kalau sampai tidak mau makan di rumah dan hanya mau makan di rumah orang tua saya kira itu keliru.
Tadi Pak Gunawan memunculkan suatu ide atau pemikiran yang memang tepat yaitu adakalanya kalau anak bekerja untuk orang tua atau bergantung secara finansial pada orang tua, masalah menjadi lebih kompleks. Karena kalau misalnya kita bekerja pada orang tua kita atau satu perusahaan dengan orang tua, sering kali dalam perusahaan itu kita tetap anak, nah ini pergumulan banyak orang yang harus bekerja sama dengan orang tuanya. Kalau mereka ingin menuntut gaji yang lebih besar, mereka akan merasa sungkan karena ini perusahaan orang tua. Dan orang tua kadang-kadang menggunakan kata-kata yang cepat sekali menimbulkan rasa bersalah. Misalnya: "Kamu 'kan pemilik, kamu nanti yang mempunyai semua ini, kenapa menuntut begini, begini karena nanti ini menjadi milik kamu". Jadi si anak tidak bisa berbicara padahal dia ingin mendapatkan imbalan yang lebih besar untuk keperluannya dan sebagainya. Kalau dia ingin bekerja dengan orang lain dia merasa bersalah karena orang tuanya akan berkata: "Kamu lebih pentingkan orang lain, orang tuamu sendiri yang membutuhkan kamu tidak kamu tolong". Nah, ini sekali lagi hal-hal yang kurang sehat, orang tua seharusnya bisa memberikan kebebasan kepada anak, di manakah dia ingin bekerja. Tidak harus dia meneruskan pekerjaan orang tuanya, tapi saya tahu dalam budaya tertentu ada konsep bahwa harta kita ini harus diteruskan ke generasi selanjutnya, selanjutnya dan selanjutnya. Tuhan memelihara kita satu generasi, demi satu generasi, kita tidak perlu memikirkan harta untuk generasi selanjutnya, Tuhan akan memelihara anak kita seperti Tuhan memelihara kita. Jadi konsep ini harus berubah, kalau anak bekerja dengan orang tua, orang tua mesti mempunyai kejelasan apa yang diharapkan oleh anak, mereka juga harus bisa negoisasi dengan anak, dalam pengambilan keputusan. Sehingga anak akhirnya bisa mandiri dan independen tidak merasa dia itu ditekan atau harus bergantung pada orang tua.
GS : Nah, selain konsep bahwa pernikahan itu adalah ikatan tadi Pak Paul, apakah ada yang lain?
PG : Pernikahan adalah suatu perjanjian, jadi yang pertama sebuah ikatan yang kedua sebuah perjanjian. Artinya bahwa kedua belah pihak menyetujui untuk mengemban tanggung jawab dan tuntutan ang terkandung di dalamnya.
Saya akan dasarkan ini pada
Efesus 5:33,"Kasihilah istrimu seperti dirimu sendiri dan istri hendaklah menghormati suaminya." Kadang kita tidak melihatnya sebagai sebuah perjanjian, tapi pernikahan sebetulnya adalah sebuah perjanjian. Perjanjian artinya masing-masing berkata: inilah tanggung jawab saya dan inilah tuntutan saya jadi masing-masing juga berusaha untuk memenuhi tanggung jawab dan tuntutan itu. Sekali lagi ini konsep yang kadang kala kurang dipahami oleh sebagian orang terutama oleh pria Pak Gunawan. Maksudnya, cukup banyak pria yang beranggapan bahwa menikah itu mempunyai pembantu untuk seumur hidup, yakni saya tidak perlu lagi memasak, saya tidak perlu mencuci piring, saya tidak perlu mencuci pakaian, saya tidak perlu mengurus rumah sebab sudah ada yang mengurus itu semuanya. Dan orang ini juga memenuhi kebutuhan emosional saya serta seksual saya. Nah, seolah-olah semua tanggung jawab ada pada pundak si istri, tidak ada pada pundak si suami nah ini adalah fenomena yang saya sering lihat di mana-mana yaitu gagalnya seorang pria menyadari tanggung jawabnya. Tapi dalam diskusi ini saya akan perlebar, saya juga percaya ada wanita yang gagal melihat tanggung jawab itu. Dia menganggap misalnya dia seperti ratu kecantikan, memasuki pernikahan berharap si suami akan menyediakan semua kebutuhannya dan dia tidak perlu berbuat apa-apa, si suami akan selalu mengagungkan dan mencintainya, tidak. Pernikahan adalah sebuah perjanjian, artinya ada tanggung jawab, ada tuntutan yang harus dipenuhi.
ET : Jadi sepertinya kebanyakan kita hanya melihat sepotong dari ayat ini Pak Paul, maksudnya pria hanya melihat yang penting istri harus hormat kepada suami dan melupakan bahwa suami harus engasihi dan istri juga merasa selalu dikasihi, lupa bahwa dia harus menghormati suaminya.
PG : Ya, kadang kala kita memang melihatnya hanya sebelah, misalnya dari satu pihak dan sudah tentu kita melihatnya dari sudut yang menguntungkan kita Bu Esther. Bukankah sebagai suami kita kan senang kalau istri menghormati kita tanpa syarat.
Seseorang harus membaca Alkitab atau kita harus membaca Alkitab dengan utuh, perintah Tuhan itu atau yang Tuhan berikan itu ternyata ada syaratnya. Suami kalau mau mendapatkan hormat dari istri dia harus mengasihi istrinya, itu syaratnya. Istri kalau engkau ingin dikasihi oleh suami syaratnya engkau harus menghormati suami. Ini yang sering kali kita gagal melihatnya, kita beranggapan dengan otomatis saya menerima langsung kasih sayang itu, penghormatan itu, o....tidak. Tuhan jelas memberikan syaratnya, ada yang harus kita lakukan untuk mendapatkan yang kita dambakan itu.
GS : Pak Paul, kalau pernikahan itu dianggap semacam perjanjian, dan yang kita kenal dalam perjanjian kalau salah satu pihak tidak memenuhi apa yang dijanjikan, perjanjian itu batal Pak Paul?
PG : Bagus sekali point ini Pak Gunawan, saya kira kita harus berbicara dengan jelas kepada para pendengar kita agar tidak terjadi kesalahpahaman. Yaitu sering kali orang hanya menekankan sau aspek yaitu jangan bercerai, artinya jangan sampai kita meninggalkan perjanjian itu.
Tapi Alkitab mengajarkan kepada kita bahwa perjanjian harus ditaati oleh kedua belah pihak, tidak bisa hanya oleh satu pihak saja. Jadi penekanan pada jangan bercerai saja saya kira adalah sesuatu yang tidak berimbang harus ada penekanan pada yang lainnya yaitu hendaklah kita memelihara pernikahan ini. Hendaklah kita melaksanakan tanggung jawab kita dalam rumah tangga ini, sebab bagi saya kalau kita tidak lagi mempedulikan tanggung jawab kita dalam rumah tangga itu sudah sama dengan saya sudah bercerai. Jadi memelihara pernikahan itu satu paket dengan jangan bercerai. Saya berikan contoh misalkan ada seorang pria yang kerap kali memukuli istrinya tatkala marah, sedikit-sedikit langsung memukul istrinya, dan istri akhirnya tidak tahan lagi dan ingin bercerai. Nah, misalkan si suami lari ke Alkitab yang telah berkata: Alkitab tidak mengijinkan kita bercerai, Tuhan menginginkan kita menikah sampai selama-lamanya. Nah konsep ini salah, dia menggunakan firman Tuhan untuk kepentingannya sendiri, dia gagal melihat firman Tuhan secara utuh bahwa Tuhan menuntut dia untuk mengasihi istrinya bukan memukuli istrinya, kasus ini saya kira juga bisa kita terapkan secara lebih luas dan ada buktinya di Alkitab. Yaitu Tuhan dan umat-Nya mengikat diri dalam perjanjian, sebuah hubungan yang eksklusif antara umat Tuhan orang Israel dan Tuhan. Namun waktu orang Israel membangkang dan menyembah dewa-dewa lain, dengan sabar Tuhan mengirim nabi demi nabi memberi peringatan tapi mereka tidak mendengarkan peringatan Tuhan, apa yang Tuhan lakukan? Membuang mereka. Jadi dengan kata lain perjanjian itu tidak bisa dipertahankan kalau satu pihak tidak lagi mau mempertahankannya. Maka ada firman Tuhan yang berkata: meskipun manusia tidak setia, Tuhan tetap setia. Tuhan tidak mungkin melanggar perjanjian itu, yang melanggar adalah manusia jadi akhirnya perjanjian itu runtuh, tidak ada lagi ikatan, umat Israel tidak lagi mengakui Tuhan sebagai Tuhannya, jadi dalam Alkitab kita melihat tema yang sama. Demikian pulalah dalam pernikahan, sebab ikatan antara suami dan istri merupakah ikatan yang melambangkan ikatan antara Tuhan dengan kita pula. Kita harus menjaga, memelihara pernikahan ini. Yang tidak lagi mau menjaganya sebetulnya sudah sama dengan berkata: dia ingin menceraikan pasangannya, itu sudah satu paket. Tidak ada penekanan hanya pada jangan bercerai, jangan bercerai terus semau-maunya, seenak-enaknya memperlakukan pasangannya itu tidak ada. Perjanjian harus dijaga, disepakati dan harus dipelihara.
GS : Kalau kita melihat itu, pernikahan itu tentu suatu lembaga yang diprakarsai dan dibentuk oleh Tuhan sendiri Pak?
PG : Betul, memang Tuhan terlibat maka kita itu harus selalu menyadari bahwa waktu dia berbuat sesuatu yang tidak baik, yang jahat kepada pasangannya, Tuhan terlibat di sana. Tuhan bukannya enciptakan kemudian berkata masa bodoh, o....tidak,
Tuhan terlibat maka orang harus berhati-hati menjaga pernikahannya, bagaimanakah dia memperlakukan pasangannya harus dia jaga baik-baik.
GS : Pak Paul, perbincangan kita tentang memahami pernikahan ini tentu masih panjang, jadi masih ada banyak hal yang harus kita bicarakan dan baru kita berbicara tentang pokok-pokok definisi dari pernikahan itu sendiri. Namun sebelum perbincangan bagian yang pertama ini kita akhiri mungkin ada ayat yang Pak Paul bisa bacakan?
PG : Saya ingin lagi bacakan, "Sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan istrinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging." Pernikahan adalah suatu ikata yang sangat eksklusif, setelah menikah kita tidak bisa memperlakukan orang sama seperti sebelum menikah, harus ada batas tidak bisa sama.
Dengan kata lain kita tidak boleh mengikat diri secara eksklusif dengan orang-orang lain lagi, hanya satu yaitu dengan istri atau suami kita. Jadi sekali lagi saya tekankan setelah menikah, satu-satunya hubungan yang paling eksklusif adalah hubungan suami-istri, dengan orang lain tidak boleh lagi kita menjadikannya eksklusif. Kebalikannya juga saya tekankan, Tuhan memasukkan pernikahan sebagai hubungan eksklusif, jangan kita membuat pernikahan kita hubungan yang inklusif, masa bodoh, longgar, tidak mempedulikan. Pernikahan memang harus dekat, harus intim, harus eksklusif.
GS : Ya terima kasih Pak Paul juga Ibu Esther, tentu kita berharap para pendengar setia dari acara Telaga ini akan mengikuti juga pada sesi yang kedua, pada siaran yang akan datang untuk melanjutkan perbincangan tentang pernikahan ini. Tapi karena keterbatasan waktu kita harus akhiri terlebih dahulu pada sesi yang pertama ini. Dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Memahami Pernikahan" bagian yang pertama dan kami sekali lagi mengharapkan Anda akan mengikuti perbincangan kami pada bagian yang berikutnya. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini kami persilakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 58 Malang, Anda juga dapat menggunakan fasilitas e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan dan akhirnya dari studio, kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda, dan sampai jumpa pada acara Telaga yang akan datang.