Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi di mana pun Anda berada, Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Acara ini diselenggarakan oleh Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) bekerja sama dengan radio kesayangan Anda ini. Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen, akan berbincang-bincang dengan Bapak Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling. Perbincangan kami kali ini tentang "Prinsip Tabur-Tuai Dalam Membesarkan Anak" , kami berharap Anda sekalian bisa mengikuti perbincangan ini dengan baik. Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
GS : Memang dengan jelas rasul Paulus mengatakan dalam Galatia 6:7 bahwa "Apa yang ditabur orang itu juga yang akan dituainya". Pak Paul, prinsip ini bagaimana bisa berlaku dalam kita membesarkan anak-anak kita ?
PG : Begini, Pak Gunawan. Membesarkan anak mengharuskan kita untuk hidup bersama anak. Kita tidak dapat membesarkan anak dari jarak jauh. Di dalam hidup bersama dengan anak inilah terjalin relasi yang akan memengaruhi anak secara signifikan. Kendati tidak selalu kasat mata, sesungguhnya ada banyak hal yang akan diserap oleh anak lewat relasinya dengan kita, orang tuanya. Dapat kita katakan, apa yang kita tabur akan kita tuai. Itu sebab kita mesti memerhatikan baik-baik benih apakah yang kita tabur pada diri anak sebab pada akhirnya bagaimana nantinya memerlakukan kita orang tuanya dipengaruhi oleh perlakuan kita kepadanya. Jadi saya mau menyoroti sekarang ini, dampak dari bagaimana kita memerlakukan anak kita sekarang pada nantinya dia itu bagaimana memerlakukan kita setelah kita tua. Karena ternyata memang ada kaitan yang erat, Pak Gunawan.
GS : Iya. Tetapi kalau Pak Paul katakan bahwa kita itu tidak bisa membesarkan anak dari jarak jauh kenyataannya sekarang karena tuntutan kehidupan banyak anak-anak yang sejak kecil pun itu harus sekolah di luar kota atau bahkan ke luar negeri, Pak Paul, jadi ini jaraknya jauh sekali.
PG : Betul. Jadi akhirnya yang membesarkan mereka bukan orang tuanya ya. Mungkin saja ada ibu kos atau orang tua yang diminta menjaga disana, akhirnya didelegasikan. Memang anak itu akan kehilangan relasi dengan orang tuanya, tidak bisa tidak. Tetap mungkin saja anak itu hormat kepada orang tuanya tapi kedekatan itu tidak akan ada karena memang mereka tidak sama-sama ada di masa-masa pertumbuhan.
GS : Bahkan saya pernah mengetahui ada satu keluarga yang 4 anaknya itu laki-laki semua. Tiga di antaranya diasramakan di luar kota, hanya pada saat-saat liburan itu dijemput untuk pulang begitu. Ini bagaimana nantinya ?
PG : Memang bisa tidak kedekatan itu akan terhilang, akan terganggu, Pak Gunawan. Memang tidak pasti nantinya anak itu bermasalah, tentu tidak. Tapi karena tidak pernah tinggal sama-sama atau sedikit sekali waktu yang dihabiskan bersama-sama dengan orang tua, relasi dengan orang tua tidak akan akrab sekali.
GS : Iya, tapi mereka mengatakan " ’kan sekarang ini komunikasi mudah", jadi mereka itu akan tetap berhubungan misalnya sehari sekali mereka akan saling telepon.
PG : Iya memang masih bisa dikurangi dampak negatifnya dengan kemajuan teknologi sehingga mereka bisa berkomunikasi. Tapi sekali lagi komunikasi itu ‘kan hanya beberapa menit atau setengah jam dalam 1 hari lewat telepon atau video. Tapi benar-benar hidup bersamanya, itu yang tidak terjadi. Ini yang saya pikir penting buat anak-anak itu alami.
GS : Kalau Pak Paul katakan ini dipengaruhi oleh perlakuan kita, itu dalam hal ini suaminya atau istrinya. Jadi artinya ayahnya, atau ibunya, atau kedua-duanya?
PG : Memang tidak selalu sama. Mungkin saja ayah kita memerlakukan kita seperti apa, dan ibu kita seperti apa itu tidak mesti sama. Jadi yang saya maksud adalah masing-masing. Jadi misalnya ayah kita memerlakukan kita dengan cara-cara tertentu nanti setelah kita sudah dewasa dan ayah kita sudah tua biasanya cara itulah yang kita gunakan juga untuk memerlakukan ayah kita. Demikian juga ibu kita, jadi kita akan menggunakan cara-cara yang sama bagaimana kita dulu diperlakukan oleh orang tua kita akhirnya itulah yang kita gunakan untuk memerlakukan orang tua kita sewaktu dia sudah tua nanti.
GS : Iya. Hal pertama yang Pak Paul ingin sampaikan apa ?
PG : Prinsip tabur asuh, tuai asuh. Jika kita mengasuh anak dengan penuh tanggung jawab pada masa pertumbuhannya, misalkan kita mencukupi kebutuhan-kebutuhannya maka anak setelah dewasa akan mengasuh kita pada masa tua kita. Mereka akan memikirkan apa yang baik dan penting bagi kita dan berusaha untuk menyediakannya buat kita. Sebaliknya jika kita tidak mau bertanggung jawab dan tidak mengasuh anak pada masa kecil, maka setelah dewasa mereka pun tidak begitu memerhatikan kebutuhan kita. Jadi kita mesti memerhatikan prinsip tabur asuh, tuai asuh ini, Pak Gunawan.
GS : Iya. Karena pengasuhan anak ini sekarang banyak didelegasikan kepada pihak lain yang namanya babysitter, entah itu namanya guru, bahkan sampai di gereja pun ada yang namanya guru-guru Sekolah Minggu; orang tua rasanya tidak terlibat disana.
PG : Jadi yang memang orang tua lakukan kepada anaknya sekarang ini nantinya akan memengaruhi bagaimana anak memerlakukan orang tuanya sewaktu dia sudah tua. Ada misalnya orang tua yang terlalu banyak mendelegasikan, takut saya nanti setelah dia sudah tua anaknya itu juga tidak terlalu mau merawat dia. Malahan mendelegasikan perawatan kepada orang-orang lain. Jadi saya mau ingatkan bahwa apa yang kita tabur nantinya bisa kita tuai termasuk dalam hal mengasuh ini; kalau kita kurang mengasuh anak sekarang takutnya nanti setelah kita tua mereka pun tidak begitu mau mengasuh kita.
GS : Tetapi bagaimana kalau nanti setelah anak besar, anak-anak ini kita perhatikan. Jadi waktu kecilnya didelegasikan kepada pihak yang lain tetapi nanti misalnya setelah SMP baru dia diperhatikan ?
PG : Nah, biasanya kalau pada masa-masa dia remaja terus menerima perhatian orang tua itupun akan diingat juga oleh anak, sehingga waktu orang tuanya sudah tua anak tetap mengingat apa yang orang tua telah lakukan dan ingin membalas budi sehingga mereka lebih mau menolong, mencukupi kebutuhan orang tua, memperhatikan dan merawatnya.
GS : Tapi waktunya juga tidak lama, katakan sampai SMA. Di SMA mereka sudah keluar lagi dari rumah, terpisah lagi dari orang tuanya?
PG : Betul. Sudah tentu tidak akan sama dengan anak yang diasuh dari kecil oleh orang tuanya. Tapi saya kira kalau masih ada waktu beberapa tahun, dimana orang tua benar-benar mencurahkan perhatian memperhatikan kebutuhan-kebutuhan anak pada masa remaja. Nanti setelah orang tua itu lanjut usia anak-anak tetap akan ingat bahwa mereka menerima begitu banyak dari orang tua. Sekarang waktunya mereka membalas kebaikan hati orang tua.
GS : Tapi itu tidak akan otomatis bisa seperti itu, Pak Paul. Ada banyak faktor yang mempengaruhi sehingga tidak secara otomatis anak yang diperhatikan lalu nantinya pasti memperhatikan orang tuanya ?
PG : Betul. Memang tidak bisa dipastikan karena ada banyak hal yang bisa terjadi yang membuat dia misalnya di tengah jalan sakit hati sama orang tuanya, mungkin juga setelah dia menikah orang tuanya berkata sesuatu yang tidak mengenakkan hati. Jadi akhirnya dia ingat itu dan tidak mau terus dekat dengan orang tuanya. Hal-hal itu bisa terjadi. Tapi saya kira lebih besarlah kemungkinannya kalau anak-anak pada masa kecil menerima pengasuhan orang tua, orang tua memerhatikan kebutuhannya, nanti waktu orang tua sudah lanjut usia si anak yang akan membalas untuk memerhatikan kebutuhan orang tuanya.
GS : Iya. Mungkin itu suatu harapan saja dari orang tua. Tetapi kita tetap tidak bisa memberikan tuntutan ini kepada anak-anak kita yang kita asuh begitu, Pak Paul ?
PG : Betul.
GS : Hal kedua yag perlu kita tabur apa, Pak Paul?
PG : Tabur penerimaan, tuai penerimaan. Jika kita menerima anak tanpa syarat alias apa adanya dan tidak menuntut yang berlebihan pada anak maka pada masa dewasa anak pun lebih dapat menerima kita apa adanya. Sebaliknya jika kita tidak menerima anak apa adanya sekarang dan menuntutnya secara berlebihan, maka setelah dewasa anak pun tidak menerima kita apa adanya. Dia akan menuntut kita untuk menjadi orang tua yang lebih baik dan tidak mudah menerima ketidaksempurnaan kita. Jadi singkatnya begini, Pak Gunawan, kalau orang tua terus mengkritik anak kurang ini kurang itu, kurang ini. Nanti setelah orang tua itu lanjut usia anak yang balas kritik orang tua; "Papa kurang ini, mama kurang ini". Jadi itu yang saya maksud dengan tabur penerimaan, tuai penerimaan. Kalau orang tua lebih terima anak, kekurangannya tidak apa-apa, kelemahannya diterima apa adanya, anak pun juga nanti tidak terlalu kritis terhadap orang tua sewaktu orang tua ini sudah lanjut usia.
GS : Tapi orang tua itu kebanyakan maunya untuk memotivasi anak ini. Bukan tidak mau menerima, tetap dia diterima sebagai anak, hanya dimotivasi supaya seperti orang lain begitu seperti anak-anak temannya yang lain. Dengan tujuan supaya anak ini lebih ulet di dalam kehidupannya.
PG : Saya kira itu motif yang baik sekali dan kalau dilakukannya dengan tepat tidak sampai rasanya menyoroti yang negatifnya dan kelemahannya, anak akan bisa mengerti bahwa papa atau mama itu bermaksud baik hanya memotivasi mereka agar bisa memacu diri. Nah, yang saya maksud disini adalah yang memang orang tua tidak bisa menerima anak, tidak bisa menerima kelemahan anak. Anak harus seperti yang diinginkannya, harus sesempurna mungkin. Nah, saya takut nanti setelah anak itu dewasa dan orang tuanya sudah lanjut usia, anak akan memperlakukan orang tua persis seperti itu. Akan sering-sering memarahi orang tua; "Kenapa begini ? Kenapa begitu ?". Misalnya orang tuanya kalau makan sekarang berantakan karena sudah tua dan tidak bisa lagi mengontrol tangan dan mulut sehingga kalau makan akhirnya nasi kemana-mana. Anak bisa marah besar; "Mama kalau makan mengapa begini, papa kalau makan berantakan!". Akhirnya anak itu menggunakan perlakuan yang sama.
GS : Iya mungkin itu menabur penolakan, menuai penolakan juga dari anak ?
PG : Iya, iya. Jadi apa yang memang kita tabur sekarang kita mesti hati-hati sebab nanti kita bisa menuai itu.
GS : Iya memang kadang-kadang itu kita lakukan tanpa kesengajaan orang tua. Bukan bermaksud menolak anak, tetapi tidak menunjukkan penerimaan yang nyata kepada anak-anak ini. Hal yang ketiga apa, Pak Paul ?
PG : Tabur penghargaan, tuai penghargaan. Apabila kita menghargai anak pada masa ia kecil setelah anak dewasa ia pun akan lebih menghargai kita. Sebaliknya jika kita menyoroti hal positif pada diri anak sewaktu ia kecil maka setelah dewasa ia pun cenderung menyoroti hal positif pada diri kita. Sebaliknya jika kita sering mencela mengungkapkan ketidakpuasan kita kepadanya maka ia pun cenderung mencela dan mengungkapkan ketidakpuasannya kepada kita setelah kita tua. Nah, jadi mulailah menabur penghargaan. Semakin kita sering menghargai anak, nanti dia juga akan menghargai kita. Dia akan lebih menyoroti hal-hal positif. Meskipun dia juga tahu kita ini tidak sempurna ada hal-hal negatif, namun karena waktu dia kecil kita juga menyoroti yang positif daripada negatif dari dia. Nanti setelah dia dewasa dan kita tua, juga sama; dia menyoroti yang positif pada diri kita, dia tahu kelemahan kita tapi dia tidak akan terlalu menyoroti itu.
GS : Iya. Bagaimana kita sebagai orang tua itu tahu batasnya memberikan penghargaan kepada anak supaya anak ini tidak menjadi anak yang manja terhadap kita ?
PG : Nah, kita memang menyeimbangkan penghargaan itu dengan tanggung jawab, Pak Gunawan. Kalau kita hanya menghargai tapi tidak memberikan tanggung jawab kepada anak maka anak tidak bertumbuh dewasa, tidak belajar bertanggung jawab. Akhirnya manja sekali, hanya minta dituruti dan dipenuhi kebutuhannya. Maka sebagai orang tua kita juga harus mengembangkan tanggung jawab. Anak mesti juga memenuhi tanggung jawabnya. Pujian itu kita berikan atas keberhasilan dia juga, karena menyelesaikan tanggung jawabnya.
GS : Penghargaan ini apakah termasuk rasa hormat anak kepada orang tua, Pak Paul ?
PG : Bisa, Pak Gunawan. Misalnya mula-mula orang tua menghargai apa yang anak lakukan sehingga anak-anak tahu bahwa apa yang mereka lakukan itu tidak hilang tapi dilihat oleh orang tua dan dihargai. Nah, nanti setelah anak-anak itu besar mereka juga lihat apa yang orang tua lakukan dan menyoroti hal-hal yang positif itu, mendorong, membesarkan hati orang tua. Inilah relasi yang baik yang kita sebetulnya harapkan akan terjadi pada kita waktu kita sudah tua.
GS : Iya. Karena kita sebagai orang tua biasanya tidak mengharapkan, tidak terlalu mengharapkan anak itu memberikan penghargaan apa-apa kepada kita. Mereka menghormati kita itu sudah cukup untuk kita.
PG : Betul, betul. Jadi waktu kita tua mereka menghormati kita, tidak menyakiti hati kita, kita sudah senang sekali. Nah, saya yang mau tekankan adalah kalau sampai anak begitu kepada kita biasanya karena waktu anak masih kecil kita juga sama anak begitu. Kita menghargai, kita tidak menyoroti kegagalannya nanti kita sudah tua anak pun juga akan lebih bisa menerima kelemahan-kelemahan kita.
GS : Iya. Tidak terlalu menuntut anak begitu maksudnya, Pak Paul, Selama mereka masih dibawah asuhan kita begitu ?
PG : Betul.
GS : Tetapi hal ini tidak bisa terus menerus kita lakukan, Pak Paul. Jadi artinya kalau anak ini sudah bertambah dewasa kita sudah jarang untuk memberikan penghargaan-penghargaan itu.
PG : Iya sudah tentu semakin dewasa maka akan semakin berbeda dalam hal menghargai anak. Kalau mungkin saja ketika kita sudah tua, anak kita misalnya ingat menelepon kita maka kita bisa berkata, "Kamu ingat telepon saya, terima kasih saya senang" atau ketika ulang tahun membelikan kado, "Kamu kok baik ingat ulang tahun kami" dan sebagainya. Penghargaan-penghargaan itulah yang nanti akan kita terima dari anak jika waktu mereka kecil kita juga memberikan penghargaan itu kepada dia.
GS : Hal yang lain apa, Pak Paul ?
PG : Tabur syukur, tuai syukur. Jika kita menekankan sikap bersyukur kepada Tuhan maka anak pun akan bertumbuh dengan sikap bersyukur pula. Sebaliknya bila kita kerap mengeluh, mefokuskan pada apa yang tidak kita miliki maka anak pun cenderung mengembangkan sikap serupa; sering mengeluh dan tidak bersyukur. Bukan saja terhadap Tuhan dan hidup ini, tapi juga terhadap kita orang tuanya, bukannya bersyukur ia malah terus menyalahkan kita atas segala kemalangan yang dideritanya. Sebaliknya jika kita menekankan sikap bersyukur, ia pun cenderung berterima kasih; baik kepada Tuhan maupun kepada kita.
GS : Ini memang banyak dilakukan oleh pendahulu-pendahulu kita; orang tua kita, nenek kakek kita yang seringkali dalam keadaan apapun mereka bersyukur. Tetapi makin lama semakin berkurang rasa syukur ini justru digantikan dengan keluhan, Pak Paul.
PG : Iya jadi kita mesti hati-hati kalau kita ini sebagai orang tua mengeluh terus menerus, mengeluh. Kita nantinya akan menanamkan benih mengeluh pada anak. Sehingga nantinya anak setelah besar susah untuk bersyukur dan biasanya akan jadi boomerang buat kita karena bukan saja dia tidak bersyukur dengan apa yang dia miliki, dia juga akan mengeluh kita, mengeluh tentang kita, "Papa ini cerewet, mama minta kebanyakan". Ketika anak terus mengeluh tentang kita, ia juga akhirnya bukan saja tidak bisa bersyukur kepada Tuhan, tapi akhirnya akan sering-sering mengeluhkan kita.
GS : Iya. Tetapi ada orang yang memang kebiasaannya itu mengeluh, Pak Paul. Jadi apapun keadaannya ia selalu punya alasan untuk mengeluh. Dan ini seringkali didengar oleh anak.
PG : Betul. Ini yang tidak baik. Karena benih-benih mengeluh ini akan muncul dalam diri si anak dan bahayanya bukan saja yang ia keluhkan tentang orang lain, ia juga akan keluhkan tentang kita orang tuanya.
GS : Iya. Tetapi alasan untuk bersyukur itu harus jelas juga, Pak Paul. Kita tidak bisa sembarangan bersyukur kalau kita tidak punya alasan yang kuat.
PG : Nah, justru yang kita mau anak-anak itu belajar adalah kita bisa bersyukur bahkan dalam situasi yang sulit. Ketika susah untuk kita menemukan alasan untuk bersyukur, tapi waktu anak melihat meskipun suasananya atau situasinya berat, kita tetap bisa bersyukur anak akan belajar, "Oh sesulit apapun kita masih bisa bersyukur kepada Tuhan atas hal-hal ini". Ini bekal yang akan kita wariskan kepada anak.
GS : Iya. Mungkin yang lain lagi apa, Pak Paul ?
PG : Tabur berkorban, tuai berkorban. Apabila kita tanpa ragu berkorban buat anak semasa kecilnya setelah dewasa anak pun cenderung rela berkorban untuk kita. Sebaliknya jika kita perhitungan dengan anak maka setelah dewasa anak pun cenderung perhitungan dengan kita. Dalam relasi seperti ini segalanya dihitung seperti transaksi dagang, tidak ada yang gratis semua harus dibayar lunas kembali. Jika kita memerlakukan anak seperti ini pada masa kecilnya, setelah dewasa ia pun akan memerlakukan kita sama. Kebaikan yang diterimanya dari kita dipandangnya sebagai utang yang mesti dibayar sebab itulah yang kita lakukan terhadap dia dulu. Jadi hati-hati. Ada orang tua yang perhitungan sekali, tidak rela untuk berkorban pokoknya seperti transaksi dagang. Nanti ketika anak-anak sudah besar harus bayar balik semua itu. Kalau seperti itu yang terjadi nanti setelah kita tua adalah anak akan perhitungan sama kita. Ini yang saya saksikan juga, Pak Gunawan. Ada anak-anak yang begitu perhitungan sama orang tuanya. Dan akhirnya saya ketahui bahwa orang tuanya juga perhitungan sekali kepada anak-anaknya.
GS : Iya. Dan seringkali orang tua itu menekankan kepada anaknya bahwa dia melakukan itu agar anak-anaknya itu mengingat dia; tidak boleh melupakan, "Ingatlah dulu bahwa kamu dulu sudah saya sekolahkan" atau diapakan juga diberi makanan yang cukup dan dipelihara. Ini ‘kan tentu tidak enak untuk anak?
PG : Iya. Ada orang tua yang memang melihat membesarkan anak seperti investasi, Pak Gunawan. Mesti membuahkan hasil kalau tidak membuahkan hasil percuma begitu. Jadi akhirnya ditekankan adalah itu; "Ingat kamu dulu itu begini begini, kami yang keluarkan uang, kamu begini begini kami yang harus bayar". Jadi anak itu seolah-olah diembankan utang yang dia mesti bayar. Apa yang dilakukan oleh anak nantinya, dia akan bayar benar-benar. Dia akan bayar dalam pemikirannya sampai titik tertentu sesudahnya dia akan berhenti dan dia akan berkata, "Sudah lunas". Artinya apa waktu ia berkata, "Sudah lunas"? Ia tidak akan lagi berkorban atau memberi apa-apa kepada orang tuanya, sebab ia akan berkata saya tidak akan utang apa-apa lagi. Ini yang ingin kita hindarkan. Jangan sampai begitu. Berkorbanlah untuk anak. Apakah anak pasti nantinya itu akan rela berkorban buat kita, belum tentu. Iya saya mengakuinya. Ada orang-orang yang kecewa sekali dengan anak karena sewaktu anak-anak masih kecil mereka berkorban buat anak-anak. Setelah anak besar menjadi perhitungan sama orang tua. Ada yang begitu. Tapi tidak apa-apa. Yang penting ialah kita sendiri sewaktu berkorban buat anak, kita berkorban tanpa pamrih.
GS : Iya. Memang yang sulit disitu, Pak Paul. Untuk melakukan suatu pengorbanan tanpa pamrih mungkin untuk orang tua, karena ini ditujukan kepada anaknya, maka hal itu bisa dilakukan. Tetapi anak kepada orang tua ini dipengaruhi oleh banyak hal. Dia sendiri mungkin mau berkorban tapi pasangannya mencegahnya atau karena pengaruh lingkungan tempat dia bekerja dan lain-lainnya.
PG : Iya. Terkadang itu yang terjadi juga.
GS : Pengorbanannya bukan hanya soal materi saja, tapi juga bisa waktu, perhatian dan sebagainya, ini seharusnya diberikan oleh anak. Tetapi kalau mereka tidak pernah melihat orang tuanya memberikan pengorbanan buat dia memang sulit.
PG : Iya. Maka kita mesti menjadi teladan buat anak kita dan nanti dia bisa belajar berbuat yang sama kepada kita pula.
GS : Atau bagaimana kita memerlakukan orang lain yang membutuhkan bantuan dari kita itu, Pak Paul.
PG : Betul.
GS : Iya yang lain lagi apa, Pak Paul ?
PG : Tabur mendoakan, tuai didoakan. Jika kita terus mendoakan anak pada masa pertumbuhannya maka setelah itu pula kita akan terus didoakan oleh anak. Sebaliknya jika kita tidak memusingkan kerohanian anak alih-alih mendoakannya maka pada masa dewasa anak pun tidak terpikir untuk mendoakan kita. Singkat kata rumah yang tidak mementingkan kerohanian cenderung melahirkan anak yang tidak rohani pula.
GS : Iya. Hal ini malah justru yang paling sering diperhatikan, Pak Paul. Karena dengan alasan orang tua mengatakan, "Masakan saya mendoakan anak harus di depan anak?". Tetapi sebenarnya dia sedikit sekali mendoakan anaknya memang.
PG : Iya. Kita memang tidak harus di depan anak berdoa, tetapi kita berdoa buat anak dan sekali-sekali kita juga katakan bahwa "Kami mendoakan kamu". Jadi anak tahu dia ada dalam doa orang tuanya. Anak yang tahu dia di dalam doa orang tuanya, nanti akan juga mendoakan orang tuanya.
GS : Iya. Sebenarnya ada banyak momen dimana orang tua bisa mengatakan terus terang kepada anak itu, misalnya saat mereka menghadapi ujian di sekolah atau menghadapi kenaikan kelas dan sebagainya, itu secara terang kita memberitahukan "Kami mendoakan" atau ketika mereka pergi ke luar kota atau sebagainya, Pak Paul.
PG : Iya, betul. Jadi memang ada banyak momen dimana kita bisa saling mendoakan.
GS : Iya, hal yang lain masih ada, Pak Paul ?
PG : Yang terakhir adalah tabur didikan yang baik, tuai karakter yang baik. Amsal 22:6 menasehati kita, "Didiklah orang muda menurut jalan yang patut baginya, maka pada masa tuanya pun ia tidak akan menyimpang dari pada jalan itu". Kadang kita beranggapan bahwa anak akan mengembangkan karakter lewat pengalaman hidupnya. Sudah tentu pengalaman hidup akan menempa dan membentuk karakter. Tetapi sebelum pengalaman hidup menjadi guru bagi anak didikan, kitalah yang membentuk karakter anak. Jika kita terus mengingatkan anak akan apa yang baik dan yang benar dan menyenangkan hati Tuhan, maka pada masa dewasa anak akan terus mengingat didikan kita. Dari didikan inilah terbentuk karakter yang baik.
GS : Iya. Jadi kalau kita diminta untuk mendidik menurut jalan yang patut baginya itu adalah hal-hal yang sesuai dengan kebenaran firman Tuhan, Pak Paul ?
PG : Betul, betul.
GS : Dan mengajarkan kepada anak prinsip-prinsip yang ada di dalam Alkitab begitu ?
PG : Betul. Waktu kita, kalau kita dengan rajin mendidik anak seperti itu, itu akan menumbuhkan karakter yang baik bagi anak dan karakter yang baik bagi anak akan nantinya memberkati kita sewaktu kita sudah tua.
GS : Iya. Kita katakan memetik hasilnya itu dari ketika hidup kita sudah tua. Itu menjadi harapan kita semua pasti.
PG : Betul.
GS : Terima kasih, Pak Paul untuk perbincangan ini. Dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih, Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bapak Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (TEgur Sapa GembaLA KeluarGA). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Prinsip Tabur-Tuai Dalam Membesarkan Anak". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut melalui acara ini, silakan menghubungi kami lewat surat, alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) di Jalan Cimanuk 56 Malang. Kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan, serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.