Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso beserta Ibu Idajanti Rahardjo dari Lembaga Bina Keluarga Kristen, telah siap menemani Anda dalam sebuah perbincangan dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling dan dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara, Malang. Kali ini kami akan berbincang-bincang tentang kekerasan di tengah kita. Kami percaya acara ini pasti akan bermanfaat bagi kita sekalian. Dari studio kami ucapkan selamat mengikuti.
Lengkap
(1) GS : Pak Paul, hari-hari belakangan ini memang semakin nampak secara nyata di hadapan kita bahwa kekerasan itu menjadi pengalaman sehari-hari. Maksudnya kekerasan itu menyebabkan ada banyak orang yang mudah marah, mudah merusak dan sebagainya. Yang sebenarnya ingin kami ketahui, bagaimana proses seseorang itu tiba-tiba bisa menjadi begitu menakutkan, keras, mudah merusak dan sebagainya, itu sebenarnya bagaimana Pak Paul?
PG : Ada dua kategori yang dapat kita gunakan untuk meneropong tentang perilaku kekerasan, Pak Gunawan. Yang pertama adalah faktor tekanan, yang kedua adalah faktor rintangan. Faktor tekananyang sama merupakan himpitan dari luar yang membuat kita akhirnya merasa bukan saja tertekan dengan faktor eksternal, tapi sakit karena kita merasa ada sesuatu atau tindakan seseorang yang melukai kita.
Melukai di sini tidak harus senantiasa berarti secara fisik, tapi dapat juga secara mental. Contohnya tekanan yang akhirnya membuat harga diri kita terinjak atau membuat nasib dan masa depan kita rasanya terancam. Jadi segala bentuk serangan atau tekanan dari luar yang akhirnya memberikan ancaman kepada kita atau membuat kita sangat terhimpit dan terdesak, cenderung melahirkan reaksi yang keras dari pihak kita. Sebetulnya ini bersumber dari satu faktor yaitu manusia yang ingin hidup, dengan kata lain kecuali dalam kasus-kasus yang khusus pada umumnya manusia ingin menjamin kelangsungan hidupnya. Tatkala sesuatu datang dari luar menghimpit dan mendesaknya sampai-sampai dia akan merasa bahwa kelangsungan hidupnya terganggu, reaksi yang utama dan biasanya terjadi adalah timbulnya kekerasan itu.
GS : Juga karena tekanan ekonomi ya, Pak Paul?
PG : Betul sekali, jadi tekanan ekonomi akan membuat kita tidak lagi bisa menentukan atau memastikan masa depan kita, itu juga suatu bentuk tekanan yang sangat-sangat menghimpit dan biasanyamemancing reaksi kekerasan.
GS : Tadi selain faktor eksternal yang berbentuk tekanan dari luar, ada satu yang lain yaitu internal yang merupakan faktor rintangan, apa itu maksudnya Pak Paul?
PG : Faktor rintangan adalah sewaktu kita merasa bahwa yang kita inginkan tidak dapat kita peroleh, itu cenderung melahirkan juga reaksi marah yang bisa berubah bentuk menjadi suatu reaksi kkerasan.
Jadi artinya, kalau kita merasakan bahwa selayaknyalah kita memperoleh sesuatu yang kita dambakan kemudian kita tidak mendapatkannya. Lalu kita berpikir bahwa kita tidak mendapatkannya karena ada rintangan. Maka biasanya reaksi yang muncul dari diri kita adalah reaksi kekerasan pula.
GS : Rintangan yang merintangi keinginan kita untuk mencapainya apa bisa dari luar, Pak Paul?
PG : Betul, rintangan ini memang bisa dari luar karena tindakan seseorang yang menghalangi kita, tapi rintangan juga bisa bersumber dari dalam diri kita. Misalkan kita merasa bahwa kita sendrilah yang memang kurang mampu, kurang sanggup untuk mendapatkannya.
Misalnya kita ingin sekali mendapatkan nilai A, kemudian kita menyadari bahwa kita tidak mempunyai kemampuan mencapai nilai A, nilai yang dapat kita capai adalah C. Tapi kita tahu bahwa yang dihargai oleh orang adalah nilai A. Sewaktu kita tahu bahwa kita tidak bisa mendapatkan nilai A, maka reaksi yang muncul bisa juga kemarahan dan kalau tidak terjaga bisa juga melakukan tindakan kekerasan.
GS : Tapi kedua faktor itu sebenarnya sudah kita alami sejak kecil Pak Paul, artinya kita sudah terbiasa hidup dengan tekanan, rintangan, tapi kenapa yang seringkali kita lihat khususnya pada anak-anak remaja atau pemuda, mereka justru mudah sekali untuk menampakkan kekerasan itu secara fisik?
PG : Betul sekali Pak Gunawan, memang manusia ini sebetulnya mempunyai potensi untuk keras tapi sejak kecil kita dididik untuk tidak melampiaskannya. Struktur atau kerangka sosial lumayan kut untuk mengekang tindakan kita.
Yang terjadi sekarang ini saya kira adalah pertama, kemungkinan ada sejumlah orang tua yang tidak lagi terlalu menekankan kepada anak-anak untuk tidak bertindak keras. Jadi akhirnya tanpa disadari mungkin ada sebagian orang tua kita yang menyuburkan pandangan bahwa "Ya selayaknyalah kita ini bertindak keras," akhirnya pesan-pesan yang diterima oleh si anak dari orang tua itu seolah-olah memberikannya izin untuk melakukan hal yang seperti itu. Kedua adalah, faktor sosial atau kerangka yang seharusnya bisa mengekang kita. Contoh seseorang yang melakukan tindak kekerasan misalnya akan mendapatkan reputasi yang sangat buruk atau kalau dia melakukan suatu tindakan kekerasan dia akan mendapatkan hukuman yang langsung dan setimpal. Tapi kalau dia tidak mendapatkan respons seperti itu, hukuman tidak dia peroleh, reputasi tidak semakin buruk, tapi makin bertambah bagus, itu makin menyuburkan perilaku kekerasannya.
(2) IR : Bagaimana pengaruhnya bagi kita dengan kekerasan-kekerasan yang sering kita dengar pada saat-saat ini?
PG : Ada beberapa ya Ibu Ida, yang pertama adalah kita akan kehilangan kepekaan kita terhadap penderitaan orang atau kepekaan terhadap kesusahan itu semakin menipis. Kita akhirnya beranggapa memang sudah selayaknyalah hidup ini penuh dengan penderitaan, tapi kita melupakan satu hal yaitu bahwa sebetulnya hidup ini tidak harus penuh dengan penderitaan seperti ini.
Adakalanya kita mengalami penderitaan misalnya karena bencana alam, tapi yang kita lihat sekarang ini sebetulnya kita tidak harus mengalami penderitaan seperti ini karena tindakan-tindakan yang berlebihanlah atau reaksi-reaksi yang berlebihanlah yang akhirnya membuat munculnya tindakan yang begitu keras. Kalau kita perhatikan, saya kira makin banyak orang di antara kita ini yang menganggap memang hidup seharusnya begini, harusnya keras, penuh penderitaan. Jadi akhirnya kita kurang sensitif dengan penderitaan itu sendiri, bahwa penderitaan itu sesuatu yang seharusnya kita kurangi, bukannya kita terima sebagai bagian yang integral. Memang harus ada penderitaan dalam hidup, saya mengerti itu, tapi yang memang harus ya harus, yang tidak harus ya tidak harus, dan yang saya takuti adalah kita makin kehilangan kepekaan.
IR : Padahal sebenarnya ya Pak Paul, harus kita akui bahwa kita membutuhkan satu kenyamanan di dalam hidup, tapi nyatanya kenapa banyak orang menyukai kekerasan?
PG : Ya saya kira pada dasarnya kita bukanlah makhluk yang gemar dengan kekerasan, itu bukanlah kesenangan kita. Ada yang kurang sehat secara rohani dan jiwa, sehingga akhirnya menyukai kekeasan, tapi pada umumnya kita ingin menikmati kenyamanan, kedamaian.
Jadi kebanyakan akhirnya yang menggunakan kekerasan adalah orang-orang yang tadi sudah saya katakan terhimpit dalam hidup, terhimpit baik itu dari luar, dari tekanan-tekanan yang dihadapinya atau tekanan atau rintangan yang mereka sadari datang dari diri mereka sendiri. Mereka tidak bisa mengubah hidup mereka, mereka tidak bisa menaikkan taraf kehidupan mereka, jadi rintangan yang dari dalam diri itu juga membuat mereka marah dan kemarahan itu akhirnya berbuahkan kekerasan yang dilampiaskan pada orang lain.
GS : Tetapi kekerasan yang tadi timbul, biasanya seseorang itu kalau sendirian tidak sekeras itu Pak Paul. Tapi begitu dia bergabung dengan orang-orang lain yang keras dia jadi berani, mengapa bisa begitu, Pak Paul?
PG : Itulah yang kita katakan massa, massa artinya jumlah orang banyak itu memberikan kekuatan ekstra kepada anggota-anggotanya. Jadi kalau kita sendirian kita memikirkan resiko, kalau kita ilawan mungkin kita belum bisa menghadapinya, kalau kita dihadapkan satu per satu mungkin kita kalah.
Tapi begitu kita sadar bahwa kita ini dalam jumlah yang besar, kita tahu kita bisa menang dan kecenderungan kita adalah kalau kita tahu kita akan menang kita lebih berani dan lebih semena-mena. Karena tidak ada resiko lagi, jadi dengan kata lain faktor resiko berperan tinggi di situ. Semakin kita tahu resiko yang mungkin membahayakan kita, maka makin kita mengekang tindakan kekerasan kita, namun kebalikannya makin tidak ada resiko atau dengan kata lain kita tahu kita akan menang karena jumlah kita lebih besar, maka kita makin berani dan makin semena-mena. Jadi itu adalah pengaruh dari kekuatan massal, yang tadi Pak Gunawan katakan itu betul, dalam jumlah yang besar orang cenderung lebih semena-mena dan berani. Yang kedua adalah dalam soal jumlah, ya Pak Gunawan, dalam kaitan dengan massa, kita ini terhilang dalam kerumunan massa sehingga identitas kita tidak dapat dikenali dengan jelas tatkala kita di tengah-tengah kerumunan banyak orang. (GS : Larut begitu Pak Paul jadi satu?) larut ya, akhirnya kita lebih berani berbuat hal-hal yang tidak akan kita lakukan kalau kita dikenali oleh orang. Pernah saya baca suatu eksperimen atau suatu pengamatan sosial yang dilakukan pada suku tertentu, saya lupa di mana, ternyata waktu mereka berperang, mereka akan bersikap jauh lebih ganas kalau wajah mereka dicat dibandingkan kalau wajah mereka tidak dicat. Kesimpulan dari studi itu adalah bahwa sewaktu orang kehilangan identitasnya/tidak lagi dapat dikenali, tiba-tiba sifat yang binal, yang buas itu lebih mudah untuk ke luar.
GS : Artinya dia bukan lagi dirinya sendiri itu, Pak Paul?
PG : Betul, jadi sebetulnya yang menjadikan dia bisa begitu beringas adalah kurangnya unsur pertanggungjawaban, karena tidak dikenali, siapa yang bisa mengenali dia dalam kerumunan massa yan begitu besar, akibatnya apa? Ya lebih berani karena tidak akan ada konsekuensi, tidak ada yang bisa mengenali mereka.
Jadi faktor pertanggungjawaban itu sangat-sangat berperan besar.
IR : Orang yang sudah melakukan kekerasan itu bagaimana hati nuraninya dan dia tidak mempunyai belas kasihan ya, Pak Paul?
PG : Tepat sekali yang Ibu Ida katakan tadi, manusia itu pada dasarnya lebih senang dengan kedamaian, cinta kasih, kebaikan daripada kesadisan, kebrutalan. Tapi pertanyaannya kenapa bisa smpai begitu? Yang terjadi adalah manusia itu akhirnya harus merasionalisasi, akibat rasionalisasi itu belas kasihan luntur.
Saya berikan contoh tadi misalnya sewaktu Amerika Serikat sedang menghadapi Uni Soviet dalam perang dingin yang akhirnya sudah berakhir sekarang ini. Saya masih ingat sekali Amerika menggambarkan Uni Soviet itu sebagai setan besar, itu adalah perkataan mantan Presiden Ronald Reagen. Kenapa digambarkan sebagai setan besar? Supaya rakyat Amerika mendukung kebijakan negara Amerika untuk bermusuhan dengan Uni Soviet. Misalkan dalam perang dunia ke II rakyat Amerika sangat mendukung negara Amerika dalam perang itu. Sebab jelas sekali bahwa yang jahat saat itu adalah Hitler, Musolini dari Italia dan Jepang. Negara-negara sekutu di pihak yang baik karena mereka itu membela diri. Memang yang menyerang terlebih dahulu adalah negara Jepang, Jerman dan Itali, oleh karena itulah para serdadu dapat berperang dengan suatu keyakinan bahwa mereka itu sedang membela yang benar. Bandingkan misalnya perang antara Amerika dan Vietnam pada tahun 60-an sampai akhirnya tentara Amerika kalah. Mengapa ? Sebab Amerika tidak mendapat dukungan dari rakyatnya. Rakyat Amerika melihat Amerika sedang melakukan sesuatu yang salah, ini bukan negaranya tetapi mereka campuri akhirnya mereka tidak lagi mendapatkan dukungan. Tentara Amerika pulang ke Amerika malahan dicerca, dihina oleh rakyat Amerika. Jadi sekali lagi kita bisa melihat bahwa kita memang harus melabelkan ini yang jahat, dan seharusnyalah yang jahat itu menerima tindakan atau pembalasan yang sebanding, itu rasionalisasi. Itu yang terjadi waktu masyarakat atau manusia bertindak keras, mereka harus merasionalisasi dan berkata bahwa orang-orang ini selayaknyalah menerima pembalasan yang begini keras, sebab mereka pun orang-orang yang jahat, tidak sepatutnya lagi menerima belas kasihan, nah rasionalisasi seperti ini yang menghilangkan belas kasihan. Sebab sewaktu belas kasihan muncul atau tetap ada, tindakan kekerasan tidak bisa ada, jadi dua-dua itu tidak bisa hidup serumah dalam hati kita, yang satu harus dienyahkan, nah pengenyahannya itulah dengan cara rasionalisasi.
GS : Pak Paul, selain dalam bentuk kelompok, ada lagi yang saya lihat orang itu menjadi keras, menjadi beringas setelah dia minum minuman keras atau obat-obatan, itu sebenarnya apa yang terpengaruh di dalam dirinya?
PG : Langsung saja misalnya alkohol ya Pak Gunawan, alkohol itu mempunyai kandungan unsur yang akan mengebalkan reaksi syaraf di otak kita. Dengan kata lain, alkohol membuat syaraf kita tida bereaksi dengan cepat, sigap, lambat, makanya orang yang dalam pengaruh alkohol terus melihat ada seseorang melewati jalan dia tidak sempat mengerem, dia akan menabrak orang tersebut, setelah dia menabrak baru dia sadar.
Kenapa demikian? Karena reaksi syaraf itu seolah-olah ditumpulkan, dilambankan, itu sebabnya orang dalam pengaruh alkohol tidak lagi merasakan bahaya yang mengancam. Mereka akan merasakan bahaya itu setelah selang waktu tertentu, jadi dengan kata lain kepekaan mereka akan hal-hal yang menakutkan, yang mengancam berkurang sekali. Itu sebabnya orang setelah minum alkohol seolah-olah lebih berani melakukan hal-hal yang beringas, karena kepekaannya sedang terganggu, tidak lagi sensitif dengan apa yang sedang terjadi di sekelilingnya.
GS : Dan mungkin itu juga dipakai semacam alasan ya Pak Paul, sehingga penderita atau korbannya itu merasakan orang ini mabuk karena baru minum minuman keras dan sebagainya sehingga dia bertambah takut menghadapi ini. Tapi kalau massa yang seringkali kita lihat sekarang itu adalah suatu massa yang keras lalu ditandingi lagi dengan sejumlah besar massa yang keras juga, Pak Paul. Jadi dua kelompok itu yang bertikai sehingga lebih besar lagi korbannya, Pak Paul.
PG : Betul dan kenapa dua massa akhirnya bisa berkelahi seperti itu, sekali lagi saya kira ada faktor, bahwa kami ini seimbang, sebab kalau ada satu yang merasa jauh tidak seimbang dan dia psti akan kalah, biasanya tidak bereaksi.
(GS : Atau melarikan diri) atau melarikan diri, jadi pada umumnya dua kelompok akan benar-benar beradu otot kalau ada kemungkinan mereka menang.
GS : Bagaimana Pak Paul seandainya kita ada dalam kerumunan, lalu ada orang-orang yang mencoba mempengaruhi kita untuk ikut di dalam kelompok yang keras atau yang merusak, bagaimana sikap kita, Pak Paul?
PG : Nomor satu, kita memang harus menghentikan gerakan kita, jangan langsung lari atau jangan langsung ikut, tapi kita harus stop dan langsung kita mengingatkan siapa kita. Maksudnya begini ada satu penelitian yang memperlihatkan bahwa orang cenderung akhirnya ikut beringas kalau dalam keadaan yang kacau, tegang, penuh dengan teriakan dan sebagainya.
Mengapa? Sebab tatkala rakyat ribut dan orang-orang kacau tiba-tiba kita pun juga terbawa, kita tidak lagi menyadari diri kita dengan penuh, kita akhirnya memfokuskan pada yang di luar kita. Itulah titik awalnya sewaktu kita tidak lagi memfokuskan pada diri kita, kita akan kehilangan kesempatan untuk melihat nilai-nilai hidup kita, nilai-nilai moral kita. Banyak orang yang setelah berbuat hal-hal yang merusak seperti itu, waktu diam dan memikirkan apa yang telah dilakukannya bisa merasa menyesal. "Kenapa saya bisa begitu ya?" Pada saat kekacauan yang terjadi adalah kepekaan terhadap siapa dirinya sangat berkurang. Maka saya juga menganjurkan dalam suasana seperti itu, meskipun kita di pihak yang seolah-olah menang dan bisa berbuat semau kita, kita harus berhenti, kita harus langsung melihat diri kita, apakah saya orang seperti itu, saya adalah ciptaan Tuhan, bahwa saya adalah orang yang ditebus oleh darah Tuhan, saya harus mengikuti apa yang Tuhan kehendaki bukan yang manusia kehendaki. Akhirnya kita bisa menghentikan diri kita sewaktu kita berdiam diri dan melihat kembali siapa kita.
GS : Langkah selanjutnya Pak Paul? Kalau mungkin ada setelah kita misalnya mengetahui ya, kita kembali akan berhadapan dengan dorongan dari luar, diejek atau yang seringkali terjadi disingkirkan dari pergaulan dan sebagainya karena kita tidak mau mengikuti arus mereka.
PG : Di sini memang persiapannya bukanlah dimulai pada saat kekacauan itu, sebelumnya kita harus dekat dengan Tuhan, kita harus tahu bahwa kita sebagai seorang Kristen tidak boleh melakukan emua itu.
Dan kedekatan dengan Tuhan inilah yang harus kita pelihara hari lepas hari sehingga tatkala peristiwanya terjadi, kita pun lebih bisa untuk mengerem diri.
GS : Pak Paul, mungkin ada firman Tuhan yang Pak Paul bisa sampaikan untuk ini?
PG : Saya ini ingin membacakan dari Matius 5:43 dan seterusnya "Kamu telah mendengar firman: Kasihilah sesamamu manusia dan bencilah musuhmu. Tetapi Aku berkata kepadamu: Kasihiah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu."
Jadi kita perlu mengingat firman Tuhan, yang meminta kita bukan saja tidak membalas musuh tapi langkah yang lebih jauh lagi yaitu mengasihi musuh kita.
GS : Ada suatu tindakan aktif ya Pak Paul?
PG : Betul dan intinya bagi orang Kristen sebetulnya tidak boleh ada musuh karena kalau kita mengasihi musuh berarti dia berhenti menjadi musuh kita, itu intinya.
GS : Tapi itu harus dihayati sejak awal bukan pada saat kekacauan terjadi, sehingga bisa lupa semua, Pak Paul.
GS : Dan sebenarnya sifat-sifat mengasihi dan sebagainya itu harus ditanamkan sejak sedini mungkin, maksudnya kepada anak-anak kita dan sebagainya, supaya mereka tidak terbiasa karena selain peran sosial yang nyata itu visual pun seringkali mempengaruhi anak, Pak Paul. Jadi kekerasan-kekerasan itu banyak dicontoh misalnya dari film, dari televisi, bacaan.
PG : Betul, waktu saya masih kecil kami hanya menonton "Popeye the Sailor" itu adalah film kartun yang paling keras di mana Popeye berkelahi dengan Pluto, tapi sekarang yang namanya "MortalCombat" itu kepala orang dipotong, dipenggal.
IR : Bagaimana Pak Paul untuk mempersiapkan anak-anak menghadapi kekerasan dari sekitar mereka, di dalam pergaulan bagaimana?
PG : Kalau misalkan kita melihat anak kita mulai ikut-ikutan karena menonton film atau video, saya kira kita harus memberitahukan kepadanya bahwa ini telah berdampak buruk dan kita anjurkandia untuk berhenti menonton film, video seperti itu.
GS : Tapi keteladanan orang tua memang sangat penting, kalau kita seringkali berbuat keras terhadap mereka, maka membentuk mereka untuk jadi keras juga.
GS : Jadi demikianlah para pendengar kami telah mempersembahkan sebuah perbincangan seputar kekerasan yang ada di tengah-tengah kita. Pada saat ini bersama dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kalau Anda berminat untuk melanjutkan acara tegur sapa ini, silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK), Jl. Cimanuk 58 Malang. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Terima kasih atas perhatian Anda dan dari studio kami sampaikan sampai jumpa pada acara Telaga yang akan datang.