Saudara–saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling. Perbincangan kami kali ini akan membahas tentang "Badai di Awal Pernikahan". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
GS : Pak Paul, orang menikah dengan tujuan untuk bahagia. Makanya seringkali mendapat ucapan selamat berbahagia. Tetapi setelah mereka menikah, di awal-awal pernikahan yang dialami justru bukan kebahagiaan tapi badai kehidupan. Jadi ada berbagai tantangan yang harus dihadapi. Sebenarnya dan bagaimana bisa terjadi seperti itu, Pak Paul ?
PG : Sudah tentu pada umumnya memang kita harus menghadapi pertentangan akibat, pertama misalnya dari dalam pernikahan kita sendiri muncul perbedaan-perbedaan yang harus kita sesuaikan dan kadang tidak mudah disesuaikan sehingga harus lewat konflik, dan dari luar pernikahan itu kita juga kadang harus menghadapi misalnya tekanan-tekanan hidup atau juga godaan-godaan dari luar yang membuat kita jatuh ke dalam dosa. Nah, semua itu adalah hal-hal yang umum dialami. Namun pada awal pernikahan kadang muncul badai besar, persoalan besar yang memang muncul sekonyong-konyong tidak dapat diantisipasi. Jadi kita mengambil kesempatan kali ini untuk membicarakan topik yang sulit, sebab jalan keluarnya tidak selalu jelas. Jadi nanti kita akan bahas perlu sekali pertimbangan yang masak. Namun saya mau angkat masalah-masalah ini sebab masalah-masalah ini memang terjadi.
GS : Memang cukup sering kita menyaksikan pernikahan yang baru berusia beberapa tahun, 3 – 4 tahun bahkan kurang dari itu, mereka bercerai. Kira-kira hal-hal apa yang menyebabkannya ?
PG : Disini ada 6 hal. Yang pertama adalah pasangan sudah pernah menikah dan tidak diketahui. Jadi orang ini mengaku masih lajang tapi ternyata sudah pernah menikah. Dan ada pula yang sudah memunyai anak namun mengaku tidak ada anak, mengaku lajang dan sebagainya. Sudah tentu ini badai besar sekali. Tidak diduga. Nah, tidak bisa tidak hal ini bisa memisahkan orang yang baru saja menikah.
GS : Itu seringkali terjadi setelah pernikahan, istri atau suami atau anaknya muncul, Pak Paul. Sebelumnya memang tidak diketahui oleh pasangannya.
PG : Betul. Kadang baru diketahui setelah pernikahan karena istrinya atau suaminya yang lama itu datang dan berkata, "Kami masih menikah secara sah." Atau ada orang yang memang tidak tahu, benar-benar tulus mencintai orang ini padahal orang ini memang sudah berkeluarga dan orang ini tidak pernah mengaku dirinya berkeluarga. Jadi sekali lagi ini badai besar yang kadang terjadi di dalam pernikahan yang masih baru.
GS : Ini lebih parah daripada kalau seandainya diketahui bahwa pasangannya sudah tidak lagi gadis atau perjaka, karena itu masih terikat dalam satu pernikahan secara hukum.
PG : Betul. Dan kadang-kadang sangat menyulitkan sekali karena misalnya kalau sudah ada anak, atau sudah mengandung dari pernikahan yang baru, dia juga susah mau bercerai dengan si suami yang katanya masih lajang padahal sudah berkeluarga. Bagaimana ini, anak dalam kandungan atau anak sudah lahir ? Jadi memang ada orang-orang yang melakukan tindakan yang tidak baik seperti ini.
GS : Badai yang lain apa, Pak Paul ?
PG : Pasangan berbohong tentang identitas dirinya dan latar belakang keluarganya. Ada orang yang mengaku berasal dari latar belakang keluarga tertentu dan memunyai misalnya gelar pendidikan yang tinggi, namun sebenarnya semua itu bohong. Latar belakang yang sebenarnya berbeda dari pengakuannya dan gelar pendidikannya ternyata tidak pernah ada atau jauh daripada baik. Sudah tentu hal ini akan sangat mengagetkan. Karena baru tahu setelah menikah. Wah, ternyata yang dia akui itu semua bohong. Nah bagaimana, sudah terlanjur menikah, tapi ternyata semuanya bohong. Nah, tidak bisa tidak hal ini sangat menyulitkan.
GS : Kebohongan ini memang seringkali dimanfaatkan oleh orang untuk menggaet pasangannya yang dia idamkan, Pak Paul. Bukan hanya dalam hal-hal tertentu yang tadi Pak Paul katakan, juga kebohongan-kebohongan mengenai dirinya sendiri, dia sebenarnya seorang yang kasar tapi ditutup-tutupi seolah-olah baik, tapi ternyata begitu menikah sifat kasarnya itu muncul. Dia adalah seorang pemabuk, seorang yang suka memukuli orang dan seterusnya.
PG : Betul. Jadi memang dalam masa perkenalan, penting sekali kita mengenal latar belakang orangnya. Kenali keluarganya. Jangan "pokoknya saya menikah dengannya, saya tidak perlu tahu siapa keluarganya." Tidak! Karena kadang-kadang kita bertemu dengan orang yang tidak jujur. Jadi kita mesti waspada.
GS : Yang lain apa lagi, Pak Paul ?
PG : Yang ketiga adalah pasangan mempunyai utang yang besar. Ada orang yang menikah membawa utang yang besar tetapi tidak pernah memberitahukan hal itu. Atau dia tengah dicari orang karena utangnya yang belum dibayar. Tahu-tahu menikah dengan kita, kita tidak tahu apa-apa, namun sekarang tiba-tiba datang tagihan-tagihan dan tidak bisa tidak kita nanti harus dibawa ke pengadilan, berhadapan dengan aparat keamanan gara-gara pasangan kita yang tahu-tahu sudah memunyai utang yang begitu besar. Ini juga akan sangat menyulitkan, apalagi kalau misalnya pihak keluarga kita kebetulan ada harta atau uang. Ini berarti akan tersedot, karena kita sudah menikah jadi hartanya harta bersama. Tidak bisa tidak itu akan bisa merugikan keluarga kita juga. Nah, kadang ini terjadi.
GS : Memang seringkali di masa pacaran tidak enak membicarakan tentang keuangan. Jadi kita ya percaya saja bahwa memang dia orang kaya, kelihatannya sesuai dengan pengakuannya, tabungannya cukup banyak. Begitu, Pak Paul. Ternyata utang yang dibawanya menjadi masalah.
PG : Betul. Jadi mungkin saja pada masa berpacaran dia akan mengendarai mobil yang baguslah, menunjukkan rumah yang baiklah, padahal semua utang. Semua utang tidak ada yang milik dia sendiri. semua utang dan memang dia tidak biasa membayar utang. Jadi menipu sana sini, mengambil uang orang, memunyai gaya hidup yang begitu meyakinkan, padahal itu semua bohong. Setelah menikah dengan kita, kita kebetulan punya harta atau uang, nah tidak bisa tidak ini akan merugikan kita.
GS : Apakah ada yang lain lagi yang merupakan badai kehidupan, Pak Paul ?
PG : Berikutnya adalah pasangan menderita penyakit yang serius. Ada orang yang menyembunyikan penyakitnya padahal penyakit itu serius apalagi menular. Wah itu repot sekali. Ada pula yang menderita gangguan jiwa atau kelemahan fisik yang dapat diwariskan kepada keturunan kita nanti. Tapi dia tidak bilang-bilang! Padahal dia memunyai penyakit yang begitu berat dan serius. Nah, ini nanti bisa ditularkan atau nanti bisa diberikan kepada anak cucu kita, ini benar-benar badai besar. Sudah tentu salah satunya yang kita tahu sekarang menjadi wabah yang berbahaya adalah HIV AIDS. Kadang-kadang ada orang yang tidak mau mengakuinya padahal sudah terinfeksi, tapi kemudian menikah. Nah, bagaimana menghadapinya, berat sekali.
GS : Iya. Saya rasa penting sekali kita melakukan ‘medical check up’ di awal pernikahan ya, Pak Paul ?
PG : Iya. Sebaiknya dilakukan sebelum pernikahan ya supaya ada kejelasan dan kepastian sehingga kita bisa memasuki pernikahan dengan lebih damai.
GS : Kalau itu penyakit fisik bisa kita lakukan seperti itu. Bagaimana dengan kebiasaan-kebiasaan buruk yang lain, Pak Paul ?
PG : Ini adalah badai berikutnya. Ada orang yang memunyai masalah serius seperti kecanduan narkoba, kecanduan pornografi, kecanduan berjudi. Pokoknya berbagai macam masalah kecanduan. Baru terlihat setelah kita menikah dengannya. Ini juga sangat mengganggu dan bisa merusak pernikahan.
GS : Ada seorang suami yang ternyata maniak video game. Jadi istrinya sangat menderita karena sang suami terus main game.
PG : Betul. Dan hal ini makin hari seperti makin banyak, Pak Gunawan. Memang permainan game online benar-benar telah mewabah karena memang banyak sekali materi-materi yang sekarang diproduksi dan disebarluaskan untuk bisa digunakan oleh orang. Sekarang bukan hanya anak remaja yang tergila-gila, Pak Gunawan. Ada kalanya orang-orang yang sudah memunyai anak pun tetap tergila-gila. Bagaimana kita menghadapi hal itu ? Kita tidak bisa bicara dengan dia. Setiap kali dia pulang langsung main video game sampai jam 12 malam terus tidur. Sebelum kita menikah dengan dia kita tidak tahu bahwa inilah kebiasaannya. Atau dia suka berjudi, baik itu judi yang langsung maupun judi online. Waduh, uang kita dia pakai. Atau kita baru tahu kalau dia kecanduan narkoba. Ini adalah badai-badai besar kalau muncul di awal pernikahan, memang sudah tentu sangat mengejutkan kita. Satu lagi yang juga terjadi adalah kita menemukan atau mengetahui bahwa pasangan kita seorang homoseksual. Dia tidak pernah mau mengakui bahwa dia sebetulnya adalah seorang homoseksual, dia tidak bisa berfungsi melakukan hubungan suami istri dengan kita. ada juga orang yang memang karena dia takut diketahui kalau homoseksual maka dia menikahi kita, supaya masalahnya itu tertutupi. Nah, akhirnya kita lah yang harus menderita. Jadi apa yang harus kita lakukan ? Kita sudah dinikahkan secara sah, kita baru tahu bahwa dia tidak bisa berfungsi sebagai suami atau sebagai istri kita, dia tertariknya dengan sesama jenis. Nah bagaimana ini ? Ini adalah salah satu badai yang kadang-kadang terjadi, Pak Gunawan.
GS : Pak Paul, dalam menghadapai badai-badai yang cukup besar karena ini cukup menggoncangkan sendi-sendi kehidupan rumah tangga kita, apa yang perlu kita kerjakan ?
PG : Tentu ada yang akan bertanya-tanya, "Apa yang harus kita perbuat ?" dan tentu ujung-ujungnya adalah "Apakah kita harus menghormati janji nikah kita, ataukah kita diperbolehkan untuk bercerai ?" jadi saya kira kita perlu melihat beberapa hal dalam mempertimbangkan tindakan apakah yang kita mesti lakukan. Saya akan bahas beberapa. Yang pertama adalah kita perlu bertanya apakah motivasinya. Ini perlu sekali. Kenapa dia menutupinya ? Karena dia takutkah atau karena dia jahatkah ? Tidak sama ya. Ada orang yang menikahi kita dengan maksud jahat yaitu mengambil keuntungan dari kita. Misalkan dia memunyai banyak utang sehingga dia menikahi kita supaya nanti bisa mengambil uang kita juga. Tapi ada orang yang berbohong menutupi siapakah dirinya atau latar belakangnya karena takut penolakan. Dia sadar bahwa bila kita tahu kondisi sebenarnya maka kita tidak akan bersedia menikah dengannya. Misalnya, dia menderita penyakit yang berat atau yang serius. Dia tahu kalau dia beritahu kita, kita tidak akan mau menikahinya. Jadi kita mesti membedakan poin pertama itu, apakah dia takut atau apakah dia jahat. Yang kedua adalah apakah masalah ini sementara atau permanen ? Ada masalah yang sementara tapi ada pula yang permanen. Misalnya, sakit penyakit yang berat itu kebanyakan permanen. Homoseksual itu permanen. Nah, tentu masalah yang permanen membutuhkan pertimbangan yang lebih serius. Yang ketiga kita mesti bertanya apakah dampaknya luas atau sempit ? Apakah hanya kita yang harus menanggung akibatnya ataukah anak dan keluarga besar kita ? Mungkin kalau hanya kita itu lebih mudah kita terima ya. Tapi kalau ini menyangkut nanti anak atau keluarga besar kita, mungkin ini memerlukan pertimbangan yang lebih serius lagi. Berikutnya, kita perlu mengajukan pertanyaan apakah ada pertobatan atau tidak. Maksudnya apakah dia menyesali perbuatannya. Dan sebagai pertanda dia sungguh bertobat, dia terbuka membeberkan hal yang lainnya tentang dirinya tanpa harus dikorek-korek. Misalkan dia mengaku memang dia pecandu narkoba. Dia mengaku juga dia berusaha keras untuk lepas dari narkoba. Atau dia mengaku, "Saya seorang pecandu pornografi. Saya tahu ini salah, ini berdosa, tapi saya tidak bisa lepas." Sudah tentu pertobatan adalah yang hal penting untuk kita perhatikan. Dan yang terakhir, faktor yang mesti kita pertimbangkan juga adalah apakah kita dapat menanggung akibatnya. Satu hal mengampuni kesalahan orang, satu hal lain lagi hidup bersamanya tanpa ketentraman, tanpa rasa percaya, tanpa respek dan mungkin tanpa kasih. Satu hal beriman kepada Tuhan, hal lain membiarkan dampaknya merusak banyak orang yang tak bersalah. Misalnya, dia memunyai kebiasaan berjudi yang begitu buruk. Nah, apakah kita hanya akan memikirkan kita ataukah kita memikirkan anak cucu kita, bahwa nanti mereka juga akan terpengaruh. Misalkan juga dia memunyai tabiat yang buruk, marah dan memukuli kita. Nah, apakah kita hanya memikirkan diri kita saja kita sanggup menanggungnya tapi apakah kita juga memikirkan anak-anak kita juga nanti melihat ibunya dipukuli seperti itu ? Jadi kita juga mesti tanya, apakah kita sanggup atau tidak sanggup menanggung akibatnya. Kalau kita selalu bertanya-tanya, dia sudah berbohong pada kita seperti itu, bohong apa lagi ? Berarti sudah tidak ada lagi percaya dalam pernikahan itu. Bisa tidak kita hidup dengan dia kalau kita sudah tidak bisa lagi percaya kepadanya ? Jadi semua faktor ini memang perlu dipertimbangkan, Pak Gunawan.
GS : Tapi apa pun yang menjadi alasannya, seringkali pihak yang dirugikan ini baik yang pria maupun wanita, itu akan sangat sulit keluar dari kenyataan seperti itu. Dia akan mengambil jalan yang buat dia aman, yaitu dengan berpisah saja. Tapi masalahnya memang ini menyangkut keluarganya juga. Banyak keluarga yang berkata, "Sudah, pertahankan saja. ‘kan memalukan seluruh keluarga." Itu lho, Pak Paul.
PG : Betul sekali, Pak Gunawan. Jadi memang dalam menghadapi badai besar di awal pernikahan seperti ini tidak bisa tidak, ujung-ujungnya kita akan harus menanggung kerugian. Jadi pertanyaannya adalah seberapa besar kerugian yang siap kita tanggung ? Karena kadang kerugian itu bisa dihentikan tapi ada juga kerugian yang terus akan berlanjut. Jadi ujung-ujungnya adalah itu. Benar apa yang dikatakan Pak Gunawan, orang yang misalnya memutuskan, "Sudahlah, kita bercerai saja. Tidak sanggup. Kamu sudah pernah menikah, kamu masih ada keluarga disana, kamu menyatakan diri masih lajang, sekarang kau menikah dengan saya." Tapi ‘kan memang sudah terjadi pernikahan. Kalau sampai bercerai, sekarang kita menjadi orang yang bercerai. Itu sudah kerugian. Apalagi kalau kita sekarang sedang mengandung dan akan punya anak, atau sudah punya anak. Ini berarti kerugian lagi. Kalau pertanyaan berikutnya adalah apakah kita siap menanggung kerugian yang lebih besar lagi ? Memang ini sudah kerugian, betul ! Tapi apakah kita siap menanggung kerugian yang lebih besar lagi kalau kita meneruskannya ? Nah ini keputusan yang tidak mudah. Maka tadi saya memberikan beberapa panduan untuk kita pertimbangkan semuanya itu.
GS : Tapi memang kebanyakan berujung sulit sekali untuk meminimalisir atau membatasi kerugian yang kita hadapi karena misalnya tadi utang, orang itu memiliki banyak utang, mungkin keluarga berkata, "Oke, kami mengumpulkan dana untuk melunasi utang-utangnya itu." Tapi ‘kan ada kemungkinan lain kali dia akan berutang di tempat yang berbeda ?
PG : Betul sekali. Maka kita mau pertimbangkan, ini masalah sementara atau permanen. Kadang-kadang kita harus mengakui ini adalah wataknya. Kalau dia sudah berkali-kali utang, gali lubang tutup lubang, tidak pernah bayar, utang lagi utang lagi, berarti karakternya sudah buruk. Kemungkinan dia berubah tetap ada, tapi kecil. Nah, apakah kita mau meneruskan ? Sebab dia akan terus-menerus menimbulkan kerugian yang besar pada diri kita. Kalau kita berkata, "Kalau begitu kami tanggung bersama. Senang ditanggung bersama, susah ditanggung bersama." Tapi masalahnya ini adalah tindakan penipuan. Sebetulnya adalah penipuan. Sekali lagi kita mau pikirkan sanggupkah kita menanggung akibatnya itu ?
GS : Kalaupun mengambil keputusan untuk bercerai, itu juga bukan hal yang mudah. Untuk kita memutuskan bercerai, tadi Pak Paul sudah menyinggung, statusnya yang menimbulkan masalah. Terutama kalau wanita, dia langsung menjadi janda cerai! Kalau janda meninggal mungkin dikatakan masih lebih terhormat.
PG : Betul. Misalkan ada keluarga yang terhormat dalam pelayanan, anaknya menikah. Setelah menikah, tidak lama setelah menikah, baru terlihat belangnya si suami, jahat luar biasa, sering memukuli si istri. Nah, masalahnya adalah mereka sudah menikah dan keluarga ini terhormat. Malu sekali kalau sampai anaknya bercerai. Jadi akhirnya karena itu orang tuanya menasihati si anak, "Kamu tetap harus bertahan. Kamu tetap harus bertahan. Kamu tetap harus bertahan." Masalahnya adalah dari awal pernikahan istri ini sudah menjadi obyek pemukulan oleh si suami. Nah, saya mengerti hal-hal seperti ini tidak mudah. Tapi sekali lagi saya mau mengingatkan apakah kita mau menghentikan kerugian di titik ini ataukah kita mau meneruskannya ? Kadang kita tidak sanggup menghentikannya karena kita merasa, "Aduh ini kerugian besar sekarang kalau kita hentikan pernikahan ini." Tapi apakah kita akan sanggup dan apakah bijaksana melanjutkannya dengan membiarkan kerugian-kerugian lain muncul ?
GS : Memang ini sesuatu yang membutuhkan hikmat Tuhan, Pak Paul. Kita harus kembali pada apa yang firman Tuhan berikan sebagai pedoman bagi kita. Apakah Pak Paul ingin menyampaikan itu ?
PG : Memang saya tidak menemukan jawaban yang langsung, Alkitab tidak memberikan jawaban yang langsung terhadap kasus-kasus seperti ini. Jadi kita mau mengambil prinsipnya atau pedomannya saja, Pak Gunawan. Contoh yang saya berikan saya ambil dari firman Tuhan bukanlah contoh yang juga persis sama dengan pernikahan. Bukan! Tapi sekali lagi hanya prinsipnya saja. Di Yosua 9 dicatat sebuah peristiwa yang mempunyai kemiripan dengan situasi badai yang menerpa di awal pernikahan sebagaimana kita sedang bahas ini. Ada satu suku di Kanaan yang takut menghadapi Israel, yaitu suku Gibeon. Kita tahu Yosua datang dengan umat Israel masuk ke dalam tanah Kanaan. Nah, orang-orang Gibeon ini takut sekali karena mereka sudah mendengar kota Ai yang begitu besar sudah runtuh, kota Yerikho yang begitu megah dan terjaga dengan begitu ketat sudah hancur. Jadi saking takutnya, mereka tahu mereka dapat dikalahkan oleh Yosua, maka mereka berpura-pura datang kepada Yosua sebagai orang bukan dari Kanaan, bahwa mereka datang dari jauh dan mereka membawa pakaian-pakaian yang sudah compang-camping seolah-olah mereka sudah berjalan jauh, membawa roti yang sudah kering seolah-olah mereka berjalan dari jauh, memohon Yosua mengikat janji dengan mereka, janji perdamaian alias Yosua dan umat Israel tidak akan melenyapkan mereka. Ayat 15 berkata, "Maka Yosua mengadakan persahabatan dengan mereka dan mengikat perjanjian dengan mereka bahwa ia akan membiarkan mereka hidup." Nah, sayangnya dikatakan dalam ayat 14 Yosua melakukan semua itu tanpa meminta keputusan Tuhan. Jadi tanpa bertanya kepada Tuhan, mereka langsung memberikan janji itu kepada orang Gibeon. Akhirnya di kemudian hari barulah Yosua tahu bahwa mereka adalah penduduk asli Kanaan dan seharusnyalah dilenyapkan dari Tanah Kanaan. Apakah yang diperbuat Yosua selanjutnya ? Janji sudah terlanjur dibuat. Tapi ternyata orang-orang ini berbohong kepada Yosua. Karena janji telah dibuat, bahwa Yosua tidak akan membunuh mereka, Yosua memutuskan untuk tidak membunuh mereka. Namun Yosua menetapkan di ayat 23, "Terkutuklah kamu dan tak putus-putusnya kamu menjadi hamba tukang belah kayu dan tukang timba air untuk rumah Tuhan." Singkat kata di satu pihak Yosua menghormati janjinya, tetapi di pihak lain ia menghukum mereka. Dengan kata lain, ada konsekuensi yang mesti ditanggung oleh orang-orang Gibeon yang telah memperdaya Yosua. Dari kejadian ini dapat kita tarik dua pelajaran yang mungkin dapat kita gunakan menghadapi badai besar dalam pernikahan kita. Pertama, jangan tergesa-gesa memutuskan untuk bercerai. Jangan anggap remeh janji nikah yang telah dibuat di hadapan Tuhan. Jangan, jangan ! Pertama-tama jangan berpikir, "Saya mau bercerai !" itu belakangan. Jangan meremehkan janji nikah. Yang kedua, namun jangan pula beranggapan bahwa apa pun yang terjadi kita harus menerimanya tanpa sanksi atau tindakan apapun. Oleh karena orang Gibeon bukanlah pasangan hidup orang Israel, memang tidak perlu ada perceraian ya, ceritanya berbeda. Namun dari sanksi yang dijatuhkan Yosua, jelas terlihat bahwa relasi mereka tidak lagi sama sekarang, bukan lagi sahabat seperti perjanjian semula itu. Mereka hidup bersama secara geografis tetap di Tanah Kanaan namun tidak secara sosial, mereka bukan lagi sahabat Yosua dan Israel. Mereka ditempatkan di posisi sebagai hamba atau budak. Jadi intinya adalah memang mesti ada tindakan konkret, ada sanksi. Jadi kita tidak serta merta pokoknya harus terima tanpa bisa berbuat apapun. Tidak juga. Ada tindakan-tindakan yang diperbolehkan menurut saya untuk kita lakukan. Sebagaimana kita lihat dalam contoh ini.
GS : Iya. Seringkali memang yang perlu diperhatikan itu adalah sebelum janji nikah itu sendiri diucapkan ya, Pak Paul. Karena pertemuan-pertemuan atau perkenalan-perkenalan lewat facebook, misalnya atau internet, kita tidak memunyai gambaran yang jelas terhadap pasangan itu. Sehingga banyak korban disana.
PG : Benar. Apalagi kalau kita lihat dari persahabatan online ‘kan ditulis bukan hanya statusnya masih lajang atau sudah ada pasangan, tapi ‘kan biasanya juga ditulis sekolah dimana, gelarnya apa. Nah orang tidak terpikir mengeceknya. Menuliskan latar belakangnya apalah apalah, padahal belum tentu benar. Jadi memang persahabatan meski didasari atas pengenalan yang benar. Kenali keluarganya, lihatnya di mana rumahnya, kenali ayah ibunya, jadi tidak hanya mendengar dari mulut pasangan kita saja.
GS : Tapi sebenarnya ‘kan perjanjian itu bisa batal kalau memang salah satu memberikan informasi atau keterangan yang palsu.
PG : Memang setiap negara memiliki hukum masing-masing, Pak Gunawan. Setahu saya seperti di Amerika Serikat ada batas waktu dimana pernikahan dapat dibatalkan dengan segera. Tapi ada batas waktunya. Tidak bisa misalkan sudah lama, sudah setahun, baru kita memutuskan membatalkannya, saya kira itu akan jauh lebih sulit.
GS : Tetapi bagaimana kedudukan pernikahan itu di mata Tuhan ? Ini yang lebih sulit lagi, Pak Paul.
PG : Tadi saya sudah singgung kita jangan gampang-gampang meremehkan janji nikah, langsung bercerai, jangan begitu. Tapi di pihak lain saya mengerti ya, kalau kita mengambil keputusan bukan hanya untuk kepentingan kita tapi untuk kepentingan yang lebih luas, misalkan anak-anak kita nantinya atau keluarga besar kita nantinya, bahwa ini akan bisa menimbulkan kerugian yang lebih besar, bahwa orang ini memang sebetulnya bermaksud buruk bermaksud jahat, nah dalam kondisi seperti itu, menurut saya kita akan dimengerti oleh Tuhan dan tindakan kita itu menurut saya akan diperbolehkan.
GS : Iya. Terima kasih untuk perbincangan ini, Pak Paul. Para pendengar sekalian, terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Badai di Awal Pernikahan". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org. Kami juga mengundang Anda untuk mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan banyak terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara Telaga yang akan datang.