Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK akan berbincang- bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling. Perbincangan kami kali ini tentang Menjadi Orang Tua Tiri. Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
GS : Predikat sebagai orang tua tiri khususnya di kalangan kita masih agak dipandang negatif, entah karena cerita legenda dan sebagainya. Kebanyakan orang menganggap orang tua tiri jahat, kurang bisa mendidik anak padahal pada saat-saat tertentu hal itu tidak bisa dihindarkan. Dan itu bagaimana, Pak Paul ?
PG : Saya kira dari kisah seperti 'snow white', 'cinderela', akhirnya kita memunyai
konsep bahwa ibu tiri adalah figur yang tidak simpatik pada anak. Tapi kita tahu bahwa kenyataannya tidak demikian, ada begitu banyak ayah atau ibu tiri yang sangat baik yang menjaga anak tirinya seperti anak sendiri dan mengasihi mereka sampai mereka dewasa. Jadi yang kita mau soroti kali ini adalah peran orang tua tiri dalam keluarga. Secara khusus kita mau menyoroti tantangan yang kerap dia hadapi dan apa yang dapat dilakukan untuk menjembatani relasi dengan anak tiri. Ada beberapa yang akan kita bahas, yang pertama adalah salah satu faktor yang menentukan mulus tidaknya penyesuaian adalah usia anak tatkala kita hadir dalam keluarga tiri. Maksud saya sewaktu kita menikah dengan pasangan kita, dan misalnya pasangan kita sudah memiliki anak maka umur berapakah anak itu nantinya akan memengaruhi seberapa mulus dan tidak mulusnya penyesuaian kita menjadi seorang tua tiri bagi anak itu. Jadi makin belia usia si anak, makin alamiah transisi yang terjadi, sebaliknya makin besar usia anak makin bertambah tingkat kesulitannya. Sudah tentu yang biasanya lebih sulit adalah kalau anak itu sudah remaja 13,
14, 15 tahun dan kita mau masuk ke keluarga yang baru ini, umumnya akan ada masalah dengan anak-anak remaja tersebut.
GS : Memang tidak bisa dihindari kita harus berhadapan dengan anak-anak, tapi kadang-kadang kita juga membawa anak-anak. Jadi masing-masing punya anak-anak dan ini sering kali menimbulkan masalah.
PG : Betul sekali. Jadi makin belia usia anak-anak dari kedua belah pihak makin lebih mudah karena lebih gampang diatur dan mereka pun bertumbuh bersama lebih memunyai jalinan persaudaraan. Tapi misalnya kedua pihak membawa anak yang usianya di atas 10 tahun itu berarti masing-masing tahu bahwa ini bukan saudara saya, akhirnya lebih mudahlah terjadi pertengkaran. Dan di antara saudara kandung pun juga terjadi pertengkaran, kalau bukan saudara kandung tapi saudara tiri sudah tentu pertengkaran itu bisa lebih serius, bisa lebih marah, bisa lebih benci dan kedua belah pihak orang tua seringkali
akhirnya terseret, sebab yang satu berkata, Kamu ajar anakmu; yang satu juga berkata sama, Kamu ajar anakmu, Kamu membela anakmu yang satunya sama, akhirnya gara-gara soal anak, suami istri menjadi terpengaruh pula.
GS : Selain faktor usia anak, hal apalagi, Pak Paul ?
PG : Hal kedua yang perlu kita sadari adalah bahwa kita tidak bisa menggantikan sosok diri orang tua yang terhilang dalam kehidupan si anak, tetapi kita bisa mengisi kebutuhan emosional si anak akan orang tua, sebagaimana kita ketahui sebagai anak remaja atau bahkan sebagai orang dewasa sekali pun kita masih bisa mendapatkan figur ayah atau ibu yang mengisi kebutuhan kita akan ayah atau ibu. Singkat kata, sumbangsih yang dikaitkan dengan peran ayah atau ibu adalah sesuatu yang bersifat universal sehingga dapat diberikan kepada orang lain selain orang tua kandung. Jadi kita tidak perlu meniru perilaku orang tua yang telah tiada dan kita tidak harus menjadi sosok tersebut, jadilah diri sendiri. Terpenting adalah kita memberikan apa yang menjadi kebutuhan anak akan ayah atau ibu. Inilah yang harus menjadi fokus utama kita.
GS : Kebutuhan emosional itu contohnya seperti apa, Pak Paul ?
PG : Misalnya seorang anak memerlukan kasih sayang, kasih sayang dapat kita berikan tanpa harus menjadi ayah kandung, kebutuhan untuk mendengarkan atau didengarkan. Kita sebagai orang tua tiri bisa memberikan telinga dan mendengarkan anak, kebutuhan untuk misalnya diantar, dijaga, karena kadang anak-anak perlu diantar atau mau apa, itu bisa kita lakukan dan tidak harus menjadi orang tua kandung baru bisa melakukannya. Jadi ada banyak hal yang dapat dilakukan oleh kita sebagai orang tua tiri sehingga nanti ini yang akan mengisi kebutuhan si anak, kita tidak mencoba menggantikan ayahnya atau ibunya karena tidak akan sama. Tapi kita bisa mengisi kebutuhan emosional si anak itu.
GS : Walaupun mungkin pada mulanya anak melakukan penolakan terhadap sikap seperti itu, Pak Paul.
PG : Bisa jadi. Awal-awalnya anak tidak suka dengan kita meskipun tidak punya
alasan yang penting karena sekarang ada orang asing dalam rumah jadi akhirnya anak tidak suka, tapi kita terus fokus pada memenuhi kebutuhannya, jadi kita tidak pusingkan reaksi dia justru kita fokus saja dia mau pergi kemana dan kita bertanya, Perlu diantar atau tidak tetap bersikap bersahabat dengan dia meskipun dia tidak begitu suka.
GS : Hal lain yang perlu diperhatikan apa, Pak Paul ?
PG : Hal yang ketiga adalah sebelum kita masuk menjadi bagian dari keluarga itu adalah berupaya menjalin relasi dengan anak tiri. Saya garis bawahi sebelum kita masuk menjadi bagian keluarga itu kita harus berupaya menjalin relasi dengan anak dan jangan sampai kita sebelum menikah dengan orang tuanya kita tidak pusingkan dia sama sekali dan tidak mau menjalin relasi dengan dia dan sudah pasti setelah kita menikah dengan orang tuanya hubungan kita dengan dia tidak baik. Jadi sekali lagi jalinlah relasi dengan dia, sebelumnya kita tidak menjalin relasi dalam kapasitas sebagai orang tua atau pengganti
orang tuanya, sebaliknya kita menjalin relasi dengan mereka sebagai sahabat, sebagai orang yang ingin mengenal dan dikenal oleh mereka. Jadi kita tidak datang dan berkata, Saya ini adalah orang tuamu yang baru, saya mau menjadi orang tuamu... Saya kira kita tidak perlu terlalu muluk tapi yang penting kita membawa diri kita masuk berkenalan dengan dia menjadi seorang sahabat bagi dia, berbicara dengan dia, itulah yang bisa kita lakukan. Yang penting pada masa awal ini kita tidak bersikap berlebihan dalam menunjukkan kebaikan dan perhatian. Ada satu pertanyaan yang bisa kita ajukan yaitu apakah yang kita lakukan sekarang akan terus kita lakukan kemudian, maksud saya begini jika kita tahu kita ini tidak akan selalu melakukannya lebih baik jangan dilakukan dan jangan sampai kita bersikap baik secara berlebihan sebelumnya kita menikah dengan orang tuanya, lebih baik kita menjaga relasi yang konstan. Jadi kalau misalnya dia pergi dan dari dulu biasanya tidak mengantar maka jangan dengan sengaja sebelumnya menikah dengan orang tuanya kita mengantarnya, dan nanti setelah menikah, Kamu berangkat sendiri jangan seperti itu! Tindakan seperti itu membuat anak menarik kesimpulan bahwa kita telah berpura-pura baik pada awalnya, karena ingin menikah dengan orang tuanya. Jadi sekali lagi kuncinya disini adalah kita perlu kekonstanan, jangan sampai tindakan kita itu berubah.
GS : Jadi pada waktu pengenalan atau masa sebelum pernikahan dibutuhkan waktu yang lebih panjang daripada kalau orang itu masih belum punya anak, karena selain mengenal pasangannya juga harus mengenal betul anak-anak dari pasangan itu, Pak Paul ?
PG : Tepat sekali dan kita juga harus sensitif, ada orang tua yang berkata, Anak tidak setuju juga tidak apa-apa dan tetap saya akan menikah. Anak belum tentu selama-lamanya tidak setuju, meskipun anak tidak punya alasan yang baik, dan ketika orang tua berkata, Kenapa kamu tidak setuju? anaknya tidak bisa menjelaskan. Dan memang ujung-ujungnya anak tidak setuju karena anak tidak mau ada orang lain lagi dalam rumahnya. Tapi kalau orang tuanya berkata, Tidak apa-apa kamu tidak setuju, tapi kami tetap akan menikah itu akan sangat melukai hati anak. Jadi saya sarankan kalau anak tidak setuju lebih baik tunda dan katakan bahwa kami akan menunda. Kita tidak mengatakan kalau kita akan membatalkan tapi kita akan menunda karena papa atau mama ingin engkau itu siap. Jadi sementara akan kami tunda. Waktu orang tua menunda, tidak bisa tidak anak akan melihat bahwa dia penting dalam hidup papa atau mamanya. Kalau orang tua tidak menunda maka anak akan berkata, Sekarang saya tidak penting lagi, yang lebih penting adalah si Oom atau si Tante ini, buat apa nanti saya di rumah dan mendengarkan orang tua saya. Jadi sekali lagi kita penting mendengarkan masukan dari si anak juga.
GS : Kalau ada calon orang tua tiri yang memberikan janji-janji kepada calon anak- anaknya juga, seberapa efektifnya janji-janji itu, Pak Paul ?
PG : Yang saya tadi ingatkan jangan membuat janji yang nanti tidak bisa dipenuhi.
Jadi buatlah janji yang kita bisa penuhi dan jangan terlalu muluk dan manis sehingga anak nantinya tidak menarik kesimpulan, Kamu ini hanya baik-baik sebelumnya karena mau menarik hati saya supaya saya memberikan izin,
sekarang setelah menikah sikap kamu seperti ini. Kalau anak melihat kita begitu sudah pasti dia tidak respek lagi dengan kita dan sudah pasti dalam relasi akan terjadi masalah, ia akan membuat ulah dan dia tidak mau mendengarkan kita, karena dia marah dan seolah-olah dia ingin melampiaskan kemarahannya kepada kita.
GS : Sebenarnya lebih mudah mana bagi seorang anak, menerima ibu tiri atau menerima ayah tiri, Pak Paul ?
PG : Tergantung, yang pertama tergantung pada usia. Kalau anak masih kecil ada ibu tiri yang bisa mengasuh memang sangatlah berdampak besar sebab anak- anak kecil perlu diasuh; jadi kalau ada ibu tiri yang mengasuh maka menolong menstabilkan sekali. Kalau anak sudah mulai besar maka sudah tentu figur ayah penting karena ayah adalah figur otoritas yang memberikan disiplin kepada anak. Kalau anak-anak sudah mulai besar tidak ada ayah sama sekali itu biasanya menimbulkan kegoncangan, tapi kalau ada ayah meskipun ayah tiri setidaknya itu bisa memberikan arah kepada anak remaja terutama anak laki-laki.
GS : Hal lain yang perlu diperhatikan apa, Pak Paul ?
PG : Hal keempat yang perlu diperhatikan adalah sama seperti orang tua kandung yaitu hak untuk mendisiplin anak seharusnya diperoleh lewat upaya untuk terlebih dahulu mengasihi anak. Tanpa landasan kasih, disiplin cenderung dirasakan sebagai hukuman yang kejam dan dapat menimbulkan reaksi marah dan dendam pada anak. Jadi limpahkanlah kasih kepada anak sebagai fondasi untuk di kemudian hari mendisiplinnya. Kita orang tua tiri harus ingat baik- baik, tapi sebetulnya untuk orang tua kandung juga sama, fondasi atau landasan disiplin adalah kasih sayang, di atas kasih sayang barulah kita terapkan disiplin dan jangan sampai kita berikan disiplin tapi tidak ada pengekspresian kasih sayang. Jadi terlebih lagi orang tua tiri harus melimpahkan kasih sayang namun waktu anak melanggar aturan, tetap dia harus menarik garis yang jelas dan berkata, Tindakanmu salah dan saya harus berikan hukuman kepadamu. Sudah tentu si anak tiri tidak terima dan kadang anak tiri akan menggunakan manipulasi, kata-kata yang biasa digunakan yaitu Kamu tidak berhak menghukum saya, kamu tidak berhak mendisiplin saya, kamu bukan ayah ibu saya. Kata-kata seperti itu biasanya akan dilontarkan namun kita akan berkata, Apapun saya bagimu, silakan, saya tidak bisa memaksakannya dan kamu yang nanti akan menentukannya siapakah saya bagi kamu, tapi selama kamu dalam rumah ini, saya ini adalah ayah atau ibumu, di mata saya, saya adalah orang tuamu, jadi saya harus memberikan disiplin ini kepadamu.
GS : Justru orang tua tiri itu agak gamang mendisiplin anak tirinya karena khawatir di cap kejam, atau seenaknya, begitu Pak Paul.
PG : Jadi kadang-kadang karena takut nanti anak tirinya marah dan tidak mau berhubungan jadi akhirnya tidak menerapkan disiplin dan saya kira ini keliru. Pada waktu yang lain orang tua tiri bisa menunjukkan kasih sayang maka tunjukkanlah dan waktu memberikan disiplin tetaplah mendisiplin sebab orang
tua tiri yang menerapkan dua-duanya, kasih sayang dan disiplin barulah nanti akan menerima respek dari anak tirinya.
GS : Dan biasanya yang disuruh mendisiplin adalah pasangannya atau orang tua kandungnya, Tolong didisiplin jadi tidak langsung, Pak Paul.
PG : Betul, kadang itu yang dilakukan. Menurut saya kurang tepat sebab kita mau menyatukan orang tua tiri dengan keluarga ini atau dua keluarga ini menjadi satu keluarga. Penyatuan itu disatukan bukan dalam bentuk kemitraan, Baik kamu urus anakmu dan aku urus anakku tidak seperti itu, tapi dua-dua mengurus semua anak dan dua-dua mengasihi semua dan mendisiplin semua, itu yang lebih tepat.
GS : Hal lain yang perlu diperhatikan lagi apa, Pak Paul ?
PG : Hal kelima adalah apabila kita memunyai anak kandung sendiri misalkan sebelumnya kita itu tidak punya anak kandung dan kita hanya ada anak tiri kemudian Tuhan memberikan anak, berhati-hatilah dalam menunjukkan kasih sayang kepada anak kita di hadapan anak tiri, begitu anak kandung lahir biasanya di dalam diri anak tiri timbullah prasangka bahwa dia tidak lagi berharga dan akan dibedakan, kita tidak perlu berbuat apa-apa biasanya timbullah pemikiran tersebut. Itu sebabnya si anak tiri menjadi sangat peka dengan perlakuan yang dianggapnya tidak sama atau membeda-bedakannya. Secara berkala kita mesti mengatakan kepada semua anak bahwa mereka semua adalah anak dan bahwa semua akan menerima perlakuan yang sama pula. Jadi hati-hati jangan sampai ini kita belikan mainan, tapi yang itu tidak kita berikan mainan, ini kita berikan uang saku besar dan itu kita berikan uang saku kecil; ini salah kita diamkan, tapi itu salah kita hukum, jangan seperti itu! Perlakuan kita harus sama terhadap anak kandung dan anak tiri.
GS : Tapi perbedaan seperti itu bisa terjadi pada anak tiri, pada anak kandung pun bisa terjadi seperti itu, Pak Paul.
PG : Betul. Maka kadang-kadang anak kandung pun menyimpan kemarahan karena merasa papa atau mama lebih sayang kepada adik daripada kepada saya, dia minta ini dibelikan tapi saya minta ini tidak dibelikan. Jadi orang tua harus peka dengan hal seperti ini pula.
GS : Tapi kalau dalam kondisi anak tiri itu lebih tajam lagi rupanya, Pak Paul.
PG : Jauh lebih tajam karena sekali lagi ada prasangka itu, anak tiri akan berkata, Sekarang sudah lahir anak kandung papa mama, jadi saya tidak lagi berharga dan saya hanya anak buangan dan tidak lagi saya mendapatkan perhatian dan justru saya akan katakan kepada anak tiri, Memang adikmu telah lahir dan memang adik adalah anak kandung mama dan papa, tapi kamu adalah anak kami dan tidak akan ada bedanya kamu kami sayangi dan dia juga kami sayangi, kalau sampai kamu melihat saya membedakan maka tolong ingatkan saya sebab saya tidak mau melakukan itu. Jadi kita jalin komunikasi terbuka seperti itu kepada anak tiri.
GS : Karena dalam kenyataannya anak tiri itu tadi sudah lebih dewasa, baru ada anak kandung lagi. Sehingga perbedaan usia juga menimbulkan jarak sukar bagi anak kandung mendekati adik tirinya ini, dia tidak bisa menerima hubungan yang baik dengan ibu tirinya atau ayah tirinya.
PG : Ini memang tidak bisa dicegah 100% karena kita tahu anak kecil lebih butuh perhatian jadi anak yang lebih besar akhirnya kita anggap dia sudah besar sehingga kita tidak perlu perhatikan dia seperti adiknya ini. Misalkan anak tiri itu meminta sesuatu, mungkin kita tidak pikir apa-apa maka kita berkata, Kamu ambil sendiri 'kan sudah besar dia bisa marah, Kalau saya yang meminta tidak diambilkan, kalau si adik yang minta langsung diambilkan karena sudah tersimpan prasangka itu. Kita harus sering-sering mengatakan, Kamu marah ya karena kamu merasa papa dan mama tidak adil, kami ini sayang kamu sama tapi kenapa tadi kami yang minta kamu ambil sendiri karena kamu sudah besar, nanti kalau adikmu usianya sama seperti kamu meminta yang sama maka kami akan berkata yang sama pula kepada dia, Kamu ambil sendiri, kamu sudah besar. Jadi tidak ada perbedaan.
GS : Hal yang lain yang perlu diperhatikan apa, Pak Paul ?
PG : Hal keenam yang harus kita lakukan adalah kita harus menghadapi pemberontakan anak tiri di usia remaja. Memang benar bahwa kebanyakan remaja menunjukkan pemberontakan namun khusus pada anak tiri kecenderungan ini menguat oleh karena adanya keinginan pada dirinya untuk menguji seberapa besar kasih kita kepadanya. Jadi tidak soal seberapa besar kasih kita yang kita limpahkan kepadanya, pada saat dia menginjak remaja dia cenderung mengetes kasih kita kepadanya. Jadi inilah yang cukup sering dihadapi oleh orang tua tiri, begitu anaknya berusia remaja mulailah memberontak padahal sebelumnya baik-baik saja. Sekali lagi karena anak tiri ingin mengetes apakah kamu sungguh-sungguh mengasihi saya, kalau saya nakal apakah kamu tetap mengasihi saya, apalagi kalau dia melihat yang satunya nakal tetap diterima, tapi kalau saya nakal saya dihukum. Hal-hal seperti itu nanti juga bisa terjadi di usia remaja.
GS : Jadi kenakalannya itu seringkali untuk menarik perhatian dari orang tua tirinya, Pak Paul ?
PG : Sekaligus juga untuk melampiaskan kemarahannya terhadap fakta kehidupan bahwa dia tidak punya papa atau mama. Keadaan itu membuat si anak akhirnya memberontak, marah karena sekali lagi setiap anak mengharapkan ada papa dan mama. Kalau misalkan dia hanya tinggal mama atau papa, kadang-kadang dia marah kenapa Tuhan tidak adil. Di usia remajalah dia akan menunjukkan semuanya itu. Dan ini harus saya ingatkan, mudah sekali anak di usia remaja menuduh orang tua tirinya, Kamu tidak sayang saya padahal sebelumnya anak itu dikasihi sekali oleh orang tua tirinya, tapi seringkali itu yang dilakukan di usia remaja, kamu tidak sayang saya kenapa ? Karena memang ingin mengetes. Penting sekali orang tua tiri berdiri teguh dan berkata, Saya sayang kamu, saya tidak akan melepaskan kamu, tapi kalau kamu terus bersikap seperti ini maka saya perlu tegas mendisiplin kamu. Jadi perlu orang tua tiri tetap berdiri teguh.
GS : Biasanya kalau bukan anak tunggal punya beberapa saudara lalu mereka seolah-olah membentuk suatu kelompok tersendiri, jadi semua anak sepakat untuk menentang orang tua tirinya, ini bagaimana Pak Paul ?
PG : Bisa karena seolah-olah mereka ingin membalas, jadi mereka membangun sebuah kelompok untuk melawan orang tua tirinya. Sekali lagi disini dibutuhkan ketegasan sekaligus juga kasih sayang; tetap orang tua tiri berkata, Saya mengasihi kamu semua, tapi tindakan kamu yang salah tetap saya harus berikan sangsi. Jadi tetap teguh dalam pendirian kasih dan disiplin tidak boleh gamang dan berkata, Terserah kalau kamu maunya begitu maka anak tiri akan berkata, Nah sekarang kelihatan dia sebetulnya tidak sayang dengan kita, begini saja sudah langsung dibuang dan sebagainya. Penting berdiri teguh pada dua prinsip, prinsip mengasihi dan prinsip tegas.
GS : Jadi kesabaran dari orang tua tiri itu benar-benar diuji oleh kondisi anak-anak dan situasi keluarga seperti itu, Pak Paul ?
PG : Benar jadi harus hati-hati sebab saya tahu ada kasus-kasus dimana anak yang
diadopsi pada usia remaja kemudian menimbulkan masalah, ada yang disuruh pulang dan dipulangkan ke rumah orang tua kandungnya, sampai seperti itu.
GS : Apakah ada hal lain yang perlu diperhatikan, Pak Paul ?
PG : Yang terakhir yang harus kita ingat bahwa salah satu tugas terpenting kita adalah menjadi bapak dan ibu rohani baginya, dalam kapasitas sebagai bapak dan ibu rohani pertama-tama kita harus mencerminkan kehidupan Kristiani. Jika kita sendiri tidak mencerminkan Kristus, bagaimanakah mungkin kita dapat menjadi bapak atau ibu rohani bagi anak-anak tiri kita ? Jadi hal-hal apa yang perlu kita lakukan ? Misalnya berdoalah baginya dan berdoalah bersamanya, bagikanlah pengalaman pribadi yang menyaksikan pertolongan Tuhan dalam kehidupan kita, berilah nasihat firman Tuhan kepadanya supaya ia memunyai panduan moral yang jelas. Saya juga mau sisipkan firman Tuhan dari 1 Timotius 4:12, Jangan seorangpun menganggap engkau rendah karena engkau muda. Jadilah teladan bagi orang-orang percaya, dalam perkataanmu, dalam tingkah lakumu, dalam kasihmu, dalam kesetiaanmu dan dalam kesucianmu. Kendati ayat ini ditujukan Paulus kepada Timotius dalam tugasnya sebagai gembala sidang yang masih muda, saya kira kita dapat menerapkannya dalam kapasitas sebagai orang tua tiri pula. Jadi kalau saya boleh menerjemahkan ini untuk para orang tua tiri kira-kira inilah bunyinya, Jangan sampai anak menganggap kita rendah oleh karena kita adalah ayah atau ibu tirinya, tetapi tunjukkanlah Kristus di dalam kehidupan kita kepadanya. Inilah dasar respek dan kasih anak kepada kita.
GS : Dalam hal ini dukungan dari orang tua kandung dari anak-anak itu sangat besar, jadi misalnya ini ibu tiri maka sang ayah itu berperan besar untuk membuat antara ibu tiri dan anak ini menjadi akrab, demikian juga sebaliknya.
PG : Memang peranan ini tidak mudah sebab di satu pihak dia harus menjembatani, mengakrabkan si ayah dengan anak-anak dan si ibu dengan anak-anak, jadi peranan itu mengakrabkan dua belah pihak dan kedua susahnya adalah yang satu mau menarik ke kiri dan satu mau menarik ke kanan, terutama dia mau menarik orang tua kandungnya ke pihak mereka dan pasangan kita juga peka merasa, Kamu membela anakmu dan tidak bersatu dengan saya membela saya akhirnya di tengah-tengah, ditarik-tarik. Jadi kita harus selalu katakan saya mau berdiri diatas kebenaran, yang benar saya bela yang salah saya tidak
akan bela, siapa pun itu baik anak maupun suami ataupun istri, saya mau berdiri di atas kebenaran. Kalau nanti pasangan kita dan anak-anak kita melihat kita seperti itu berdiri diatas kebenaran, lama-lama mereka akan percaya kalau kita tidak memilih-milih orang.
GS : Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan saat ini, dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bapak Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang Menjadi Orang Tua Tiri. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami melalui surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran- saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.
|Salah satu fakta dalam hidup adalah tidak selalu kita dibesarkan oleh kedua orang tua kandung. Adakalanya kematian merenggut salah seorang dari mereka tetapi kadang, perceraianlah yang memisahkan kita dari salah seorang dari mereka. Sebagai akibatnya, kita harus siap menghadapi kenyataan bahwa orang tua akan menikah kembali dan ini berarti hadirnya seorang sosok baru dalam kehidupan kita.
Hal pertama yang mesti kita perhatikan adalah bahwa salah satu faktor yang menentukan mulus tidaknya penyesuaian adalah USIA anak tatkala kita hadir di dalam keluarga tiri. Makin belia usia anak, makin alamiah transisi yang terjadi. Sebaliknya, makin besar usia anak, makin bertambah tingkat kesulitannya.
Hal kedua yang perlu kita sadari adalah bahwa kita tidak bisa menggantikan SOSOK DIRI orang tua yang terhilang dalam kehidupan si anak tetapi kita bisa mengisi KEBUTUHAN emosional si anak akan orang tua.
Singkat kata, sumbangsih yang dikaitkan dengan peran ayah atau ibu adalah sesuatu yang bersifat universal sehingga dapat diberikan oleh orang selain orang tua kandung. Jadi, kita tidak perlu meniru perilaku orang tua yang telah tiada.
Hal ketiga yang seyogianya kita lakukan sebelum kita masuk menjadi bagian keluarga itu adalah berupaya MENJALIN RELASI dengan anak-anak tiri. Sekali lagi, kita tidak menjalin relasi dalam kapasitas sebagai orang tua atau pengganti orang tuanya. Sebaliknya, kita menjalin relasi dengan mereka sebagai sahabat--orang yang ingin mengenal dan dikenal oleh mereka. Kita senantiasa harus bertanya, apakah yang kita lakukan sekarang akan terus kita lakukan kemudian. Jika tidak, sebaiknya kita tidak melakukannya. Singkat kata, kita mesti menghindarkan kemungkinan anak menarik kesimpulan bahwa kita berpura-pura baik pada tahap awal karena ingin menikah dengan orang tuanya.
Hal keempat yang mesti kita camkan adalah, sama seperti orang tua kandung, hak untuk MENDISIPLIN anak seharusnya diperoleh lewat upaya untuk TERLEBIH DAHULU MENGASIHI anak. Tanpa landasan kasih, disiplin dirasakan sebagai hukuman yang kejam, dapat menimbulkan reaksi marah dan dendam pada anak.
Hal kelima, apabila kita mempunyai anak kandung sendiri, berhati-hatilah dalam menunjukkan kasih sayang kepadanya DI HADAPAN ANAK TIRI. Begitu anak kandung lahir, biasanya di dalam diri anak tiri timbullah prasangka bahwa sekarang ia tidak lagi berharga dan akan dibedakan. Secara berkala katakanlah kepada semua anak bahwa mereka semua adalah anak dan bahwa semua akan menerima perlakuan yang sama pula.
Hal keenam, kita harus bersiap untuk menghadapi PEMBERONTAKAN anak tiri di usia remaja. Memang benar bahwa kebanyakan remaja menunjukkan pemberontakan namun khusus pada anak tiri, kecenderungan ini menguat oleh karena adanya keinginan pada dirinya untuk menguji seberapa besar kasih kita kepadanya. Tidak soal seberapa besar kasih kita limpahkan kasih kepadanya, pada saat menginjak remaja, ia cenderung mengetes kasih kita kepadanya.
Hal ketujuh dan terakhir adalah kita harus mengingat bahwa salah satu tugas terpenting kita adalah menjadi BAPAK DAN IBU ROHANI baginya. Dalam kapasitas sebagai bapak dan ibu rohani pertama-tama kita harus mencerminkan kehidupan kristiani. Berdoalah baginya dan bersamanya. Bagikanlah pengalaman pribadi yang menyaksikan pertolongan Tuhan dalam kehidupan kita.
Firman Tuhan di 1 Timotius 4:12 mengingatkan, Jangan seorang pun menganggap engkau rendah karena engkau muda. Jadilah teladan bagi orang-orang percaya, dalam perkataanmu, dalam
tingkah lakumu, dalam kasihmu, dalam kesetiaanmu, dan dalam kesucianmu. Kendati ayat ini
ditujukan Paulus kepada Timotius dalam tugasnya sebagai seorang gembala sidang yang masih berusia muda, kita dapat menerapkannya ke dalam kapasitas sebagai orang tua tiri pula. Jangan
sampai anak menganggap kita rendah oleh karena kita adalah ayah atau ibu tiri, tetapi tunjukkanlah
Kristus di dalam kehidupan kita kepadanya. Inilah dasar respek dan kasih anak kepada kita.
Memelihara Rutinitas dalam Keluarga|Heman Elia, M.Psi.|Heman Elia, M.Psi.|T416A|T416A|Keluarga|Audio|Di dalam kehidupan kita sehari-hari seringkali kita harus melakukan hal-hal yang sama, dari hari ke hari, dari minggu ke minggu dan dari bulan ke bulan bahkan ada yang dari tahun ke tahun. Apa manfaat untuk kita melakukan rutinitas karena rutinitas itu cenderung membosankan?|3.4MB|http://media.sabda.org/telaga/mp3/T416A.MP3|Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen, akan berbincang-bincang dengan Bp. Heman Elia, M.Psi. Beliau adalah seorang dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang Memelihara rutinitas dalam keluarga. Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
GS : Pak Heman, didalam kehidupan kita sehari-hari seringkali kita harus melakukan hal-hal sama dari hari ke sehari, dari minggu ke minggu dan dari bulan ke bulan bahkan ada yang dari tahun ke tahun itu kita melakukan hal-hal yang sama. Apakah itu yang disebut dengan rutinitas?
HE : Ya, itu yang disebut rutinitas yang akan kita bicarakan kali ini.
GS : Mungkin Pak Heman bisa menjelaskan lebih lanjut mengenai rutinitas yang ada di dalam keluarga.
HE : Rutinitas yang di dalam keluarga ada beberapa macam yang biasa dilakukan yang menjadi keseharian. Misalnya, menjelang tidur orang tua menidurkan anak, membangunkan anak, kemudian menyiapkan makan, kegiatan makan bersama, menyiapkan anak berangkat ke sekolah atau kita bersama-sama untuk berangkat kerja. Rutinitas yang sepele, misalnya ngobrol, bergurau, berekreasi juga berdoa dan beribadah bersama-sama. Nah yang disebut rutinitas itu kalau kita lakukan secara teratur dan juga jangka waktunya tetap jadi secara relatif pasti setiap anggota mempunyai antisipasi tentang awal dan akhir dari setiap kegiatan itu.
GS : Mengenai jangka waktu yang tetap itu Pak Heman, tadi seperti yang Pak Heman singgung mengenai menjelang tidur. Waktu anak-anak masih kecil kita biasa kadang-kadang membacakan cerita atau ngomong-ngomong, tetapi makin mereka dewasa ini semakin berubah. Kita sudah tidak membacakan cerita dan sebagainya. Nah perubahan ini bagaimana Pak?
HE : Tetap ada hal yang rutin yang lain yang bisa kita lakukan, jadi bukan dalam bentuk cerita tapi mungkin kita sama-sama menceritakan apa yang kita alami atau kita juga bisa berdoa bersama, kita berbincang-bincang saling memberikan masukan, nasehat dan sebagainya.
GS : Tapi intinya, masih dialog yang tetap dijaga begitu, Pak Heman.
HE : Betul.
GS : Yang tadi Pak Heman katakan sebagai antisipasi mengenai awal dan akhir dari setiap kegiatan itu apa misalnya ?
HE : Jadi misalnya kadang-kadang kalau malam, mungkin kalau siang saat ini keluarga modern agak susah untuk melakukan makan bersama seperti di waktu lalu. Tapi
kalau malam misalnya kita tetapkan setiap jam 7 kita kumpul, kita makan malam berakhirnya jam 19.20 atau 19.30 begitu, lalu mulai lagi kegiatan yang lain misalnya anak-anak belajar dan sebagainya.
GS : Seandainya ada anggota keluarga yang tidak bisa mengikuti rutinitas itu, pada suatu saat ada kegiatan khusus atau tugas khusus, undangan khusus. Apakah rutinitas ini harus dilakukan, Pak?
HE : Tentu kita tidak melakukanya secara kaku. Tetapi yang jelas adalah ketika masing- masing anggota keluarga mau kemana dan sebagainya, rutinitas tetap bisa dijaga misalnya, dengan pamit kemana, saling mengetahui. Misalnya pulangnya jam berapa, pulang jam berapa itu juga dijaga.
GS : Rutinitasnya adalah memberitahu kalau mau pergi, begitu Pak. HE : Ya betul.
GS : Rasanya tiap-tiap hari kita sudah melakukan hal-hal yang rutin tadi Pak Heman katakan. Lalu apa bedanya dengan rutinitas yang dilakukan di dalam keluarga?
HE : Kalau rutinitas yang kita lakukan sehari-hari biasanya kita lakukan sendirian. Jadi kalau rutinitas yang dimaksud bersama-sama dengan keluarga misalnya mandi, makan, rekreasi, bergurau yang melibatkan semua anggota keluarga ini yang disebut dengan rutinitas di dalam keluarga. Jadi baik secara tersirat maupun dinyatakan secara terang-terangan kita memang melibatkan setiap anggota keluarga.
GS : Berarti rutinitas ini ada yang kita lakukan sendiri, ada yang kita lakukan dengan pasangan kita, ada yang kita lakukan dengan anak dan rutinitas yang dilakukan secara bersama-sama.
HE : Ya betul, yang dilakukan secara bersama-sama itu disebut dengan rutinitas di dalam keluarga.
GS : Bagaimana kalau hanya dengan pasangan antara suami dengan istri, Pak? He : Itu salah satu yang memang kita juga lakukan.
GS : Ada juga antara orangtua dan anak saja. Mungkin hanya ayah dengan anak-anak mereka, tetapi ibunya tidak ikut. Atau sebaliknya ibunya dengan anak-anak, ayahnya tidak ikut. Itu suatu rutinitas, Pak?
HE : Betul, tapi memang perlu ada juga dimana semua anggota keluarga ikut bersama-
sama.
GS : Apakah rutinitas itu juga bisa dilakukan dengan orang di luar keluarga, tadi kalau kita bicara rutinitas dalam keluarga kesannya itu ada rutinitas dengan orang yang di luar keluarga, Pak?
HE : Ya itu juga ada.
GS : Apa bedanya Pak?
HE : Bedanya adalah kalau melibatkan orang di luar keluarga, kita akan sepertinya berada diluar jangkauan dari keluarga. Jadi, itu suatu hubungan yang mempunyai arti yang berbeda dengan yang dilakukan di dalam keluarga. Soalnya kalau kita lakukan rutinitas semacam ini bersama orang lain seringkali ini menunjukkan atau membentuk suatu ikatan dan ikatan ini seringkali menimbulkan perasaan seperti
perasaan melekat. Jadi kalau tidak dilakukan rasanya ada kehilangan, ada rasa kangen, rindu pada seseorang kalau hal itu tidak dilakukan. Jadi ini yang penting kita lakukan dalam keluarga untuk memelihara kesatuaan, keterikatan karena ini yang jarang kita lakukan. Kalau kita lakukan itu kepada orang lain itu sudah biasa dan jangan-jangan malah lebih sering dilakukan dan jangan sampai itu terjadi sehingga kita lebih merasa ada ikatan rasa rindu kepada orang lain dari pada keluarga sendiri.
GS : Ini memang bisa terjadi kalau dengan teman sekantor atau teman sekerja bisa terjadi rutinitas dengan mereka.
HE : Ya betul, jadi merasa lebih dekat kepada orang di luar keluarga, di dalam keluarga malahan merasa saling asing satu dengan yang lain. Ini banyak terjadi dan saya kira ini kurang sehat.
GS : Ya memang pernah ada, itu yang pernah saya lihat sendiri. Ada seorang karyawati
yang seringkali membawakan kue untuk teman sekerja yang pria dan itu dilakukan secara rutin yang mula-mula dirasakan tidak apa-apa. Dan tadi seperti yang Pak Heman katakan, lalu timbul keterikatan antara mereka.
HE : Ya betul jadi ada bahaya-bahaya yang kita harus hindari kalau biasanya keterikatan itu dengan orang di luar anggota keluarga.
GS : Apalagi yang berlawanan jenis itu bisa lebih rawan lagi akibatnya memang.
HE : Tadi saya katakan kalau misalnya ikatan itu lebih pada orang-orang di luar keluarga ini akan kurang sehat. Maksud saya begini, kalau misalnya kita percaya bahwa keluarga itu yang menjadi identitas utama bagi setiap anggota keluarga terutama anak-anak dan kemudian menjadi sarana pengembangan pribadi bagi setiap orang di dalam anggota keluarga, maka kalau misalnya kita terlepas dari rutinitas di dalam keluarga ini akibatnya ada hal-hal yang terhilang. Misalnya ada anak-anak bertumbuh menjadi remaja dan dia merasa terus tidak menjadi bagian dari siapa-siapa.
GS : Karena memang rutinitas dalam keluarga ini membutuhkan waktu dan perhatian, sedang waktu dan perhatian sudah dialihkan ke orang lain di luar keluarga.
HE : Tepat sekali Pak Gunawan, memang itu yang terjadi.
GS : Jadi kelekatannya bukan kepada keluarga tetapi justru kepada pihak lain. Kalau menurut Pak Heman rutinitas dalam keluarga ini pentingnya kelihatan dimana Pak?
HE : Kira-kira sekitar dua atau tiga puluh tahun yang lalu masyarakat kita sangat mementingkan suasana kekeluargaan. Didalam keluarga ada suasana kasih, keterikatan dan sebagainya, ini yang justru dibawa keluar. Jadi dari dalam keluarga yang seperti itu kemudian suasananya dibawa keluar kemudian orang lebih merasa di masyarakat itu juga ada kekeluargaan dan keterikatan. Sayangnya saat ini tidak lagi demikian, akibatnya apa? Ada beberapa hal yang kita bisa lihat. Misalnya generasi sekarang itu mengukur banyak hal hanya dari segi materi, dari segi uang saja. Orangtua - anak tidak lagi akrab satu sama lain masing-masing punya kegiatan sendiri-sendiri, rasa sayang, rasa kangen semakin menipis dan mencemaskan saat ini banyak orang menjadi tidak sabar, pemarah. Jadi akibatnya
perasaannya menjadi semakin tidak peka dan banyak anggota keluarga yang terlihat ingin memaksakan kehendaknya karena tidak peka itu. Jadi saat ini sangat banyak kita dengar soal penganiayaan anak dalam keluarga atau anak yang memaksa minta uang lalu kalau tidak diberi dia menganiaya orangtuanya. Hal-hal seperti itu menunjukkan bahwa keterikatan, rasa sayang didalam keluarga itu semakin menipis.
GS : Ini memang kalau kita amati Pak Heman, mana yang lebih dahulu, saya juga kadang-kadang agak bingung. Karena pengaruh di luar lalu rutinitas keluarga ini berkurang atau karena kita tidak menjaga rutinitas keluarga ini, lalu kita mencari kesibukan yang di luar. Lalu mana yang sebenarnya lebih dahulu mempengaruhi, Pak Heman?
HE : Saya kira dua-duanya saling mempengaruhi, memang kita sulit untuk mengatakan mana yang lebih dulu. Ada banyak hal memang yang sulit untuk dihindari misalnya saja suami istri sekarang banyak yang harus mencukupi nafkah keluarga dengan bekerja di luar rumah, tetapi apapun yang terjadi kita sendiri perlu menyadari dan berkomitmen, penting komitmen disini. Jadi keluarga perlu mempunyai suatu keputusan bahwa apapun yang terjadi kita harus memelihara rutinitas itu, jadi rutinitas tidak boleh hilang sama sekali meskipun masing-masing anggota cukup sibuk.
GS : Ini banyak tantangannya Pak Heman, jadi ada seorang suami bekerja misalnya dia sebenarnya tahu seharusnya dia pulang jam lima atau paling lambat setengah enam untuk menjaga rutinitas keluarga yaitu makan malam, tetapi oleh teman- temannya diajak kegiatan yang lain sehingga tidak langsung pulang ada banyak kegiatan. Kalau dia mengatakan mau pulang untuk bisa makan bersama-sama keluarga ini jadi bahan tertawaan ditengah-tengah teman-temannya, Pak!
HE : Ini contoh yang konkrit dan sangat baik, Pak Gunawan dan disinilah pentingnya kita menjaga komitmen bahwa seorang suami itu tidak perlu malu, tidak boleh merasa sungkan untuk menolak teman-temannya demi keluarga. Tentu sekali- sekali itu boleh dilakukan, jadi memang misalnya katakanlah didalam satu minggu penuh kita terus-menerus makan bersama dengan keluarga tetapi yang dilakukan bersama teman-teman itu hendaknya sekali-sekali begitu. Harus jauh lebih banyak yang dilakukan bersama keluarga. Memang disini letak tantangannya, yaitu suami/kaum pria itu perlu untuk menyatakan bahwa keluarga penting dan justru kalau misalnya suami berani menyatakan hal seperti itu, seringkali orang-orang yang lain juga ingin mengikutinya.
GS : Ini memang akan lebih sulit diatasi oleh anak-anak kita, anak-anak yang masih remaja dan sebagainya, itu sulit sekali mau pulang hanya untuk makan malam bersama, Pak Heman? Atau untuk family altar misalnya, sehingga waktunya harus disesuaikan. Biasanya lebih sore, ini dibuat lebih malam lagi supaya bisa dilakukan rutinitas keluarga itu?
HE : Ya, kadang-kadang memang sulit terutama anak-anak sudah remaja belum lagi mereka harus bikin PR, belum lagi terima telepon, bahkan SMS dari teman-
temannya. Tapi bagimanapun juga kita perlu mengingatkan kepada remaja, anak- anak remaja kita bahwa rutinitas itu penting, meskipun kita tidak perlu menyebutkan bahwa ini yang kita lakukan adalah rutinitas tetapi kita bisa memberikan beberapa contoh tentang apa gunanya kita bersama-sama dan kita harus membuat supaya rutinitas ini menyenangkan jangan sampai misalnya ini menjadi membosankan. Nah ini soal kebiasaan juga Pak Gunawan, jadi misalnya keluarga ini sudah terbiasa memasak, mencuci piring, makan bersama nah ini biasanya akan lebih baik dan lebih mudah untuk menjelaskan kepada anak-anak.
GS : Nah mungkin Pak Heman bisa menjelaskan bagaimana kaitan antara rutinitas keluarga dengan keharmonisan dalam keluarga?
HE : Saya berikan contoh misalnya, bahwa keluarga itu sedang bertengkar biasanya pertengkaran itu akan cepat selesai karena tadi yaitu terbiasa untuk sebentar lagi bisa ngobrol bersama bahkan bergurau jadi tidak kaku untuk kembali lagi didalam suasana yang damai, yang biasa lagi. Dan kemudian juga misalnya pertengkaran lebih cepat teratasi karena keluarga terbiasa untuk saling menunggu kehadiran orang lain dan terbiasa untuk bekerja sama. Nah ini tentu akan meningkatkan keharmonisan didalam keluarga.
GS : Menurut pengalaman saya justru kadang-kadang karena suatu pertengkaran, rutinitas ini terganggu Pak, jadi biasanya kalau habis bertengkar dengan istri atau dengan suami atau dengan anak, lalu untuk melakukan rutinitas itu ada suatu keengganan tersendiri. Nah ini bagaimana, Pak Heman?
HE : Ini repotnya jadi saling terkait seperti ini. Disini memang perlu ada suatu usaha yang lain jadi perlu kerja keras dan juga perlu ada kerendahan hati untuk saling mengalah, saling belajar mengaku salah dan seterusnya. Jadi selain rutinitas kita perlu juga membina kebiasaan untuk saling meminta maaf dan seterusnya.
GS : Itu juga termasuk suatu rutinitas keluarga atau bukan, Pak?
HE : Itu pembentukan karakter yang bisa dibiasakan dalam keluarga, tidak persis termasuk rutinitas.
GS : Buah dari suatu rutinitas didalam keluarga mungkin itu. HE : Salah satunya.
GS : Salah satu buahnya. Jadi mungkin lebih mudah berkomunikasi, lebih cepat cair
kebekuan karena pertengkaran itu tadi, Pak? HE : Ya, salah satunya.
GS : Dan ada pihak lain yang bisa mendorong. Jadi misalnya antara anak dan orang tua yang bertengkar dan ibunya bisa memulai ini jamnya persekutuan, ini jamnya makan, duduk sama-sama yang tidak terkait dengan pertengkaran itu sendiri maksud saya Pak!
HE : Dan ada pengalaman begini, kalau kita lagi bertengkar lalu kita rasanya tidak ingin ngomong susah untuk mengakui kesalahan. Nah kalau sudah malam waktunya untuk berdoa bersama, waduh rasanya tidak bisa berdoa dan karena ada anak- anak lalu kita akhirnya mau tidak mau berusaha untuk berdamai. Ini tentunya
contoh yang sehat. Tapi kadang-kadang memang bisa terjadi suasana untuk bersama-sama itu terganggu.
GS : Ya memang seringkali juga ada hal-hal yang diluar dugaan, instruksi-instruksi sehingga rutinitas keluarga bisa juga tertunda atau bahkan batal. Sudah mau siap- siap misalnya saja makan malam lalu ada tamu atau ada telpon yang memberitahukan ada masalah yang harus ditangani dan sebagainya, itu kadang- kadang juga bisa menunda atau membatalkan sama sekali rutinitas itu.
HE : Ya memang tapi disinilah justru kita belajar bagaimana kita hidup teratur, disiplin. GS : Mungkin Pak Heman bisa sebutkan apa saja manfaatnya kalau kita memelihara
rutinitas ini bagi anak atau anak-anak kita?
HE : Bagi anak mereka akan lebih cepat dilatih. Tadi dikatakan tentang keteraturan dan disiplin. Salah satu yang penting buat anak dan bisa membuat anak lebih stabil emosinya. Selain itu tadi juga sudah disinggung dan saya akan tekankan lagi bahwa kalau anak-anak itu merasa memiliki sebuah keluarga yang memberi mereka identitas diri, mereka akan lebih mantap dengan dirinya sendiri. Dan menurut penelitian rutinitas didalam keluarga ini mengurangi konflik antara ayah dengan anak remajanya. Jadi kalau misalnya anaknya sudah sampai remaja biasanya ada konflik dengan ayah. Kalau ada rutinitas di dalam keluarga konflik- konflik ini berkurang dan ada yang menarik lagi yaitu rutinitas ini bagi anak-anak yang masih baru belajar membaca, kemampuan membaca anak itu akan ditingkatkan.
GS : Mengenai mengurangi konflik dengan ayah, kenapa dengan ayah dan bagaimana kalau dengan ibunya. Atau ini berlaku baik dengan ayah atau dengan ibu yang tadi Pak Heman katakan mengurangi konflik dengan ayah dan anak remaja tapi juga seringkali anak remaja konflik dengan ibunya, Pak?
HE : Kalau misalnya anak konflik dengan ayah dan kemudian konflik ini bisa diredam akan membantu anak untuk juga bisa berdamai dengan ibunya karena mau tidak mau ayah di dalam keluarga masih dipandang sebagai figur seorang kepala, seorang pemimpin.
GS : Rutinitas keluarga ini harus dilakukan sedini mungkin terhadap anak, jadi sekalipun anak belum mengerti tetap dilibatkan didalam rutinitas keluarga, Pak?
HE : Ya betul, seharusnya begitu.
GS : Yang meningkatkan minat baca anak itu bagaimana, kenapa bisa begitu?
HE : Ini hasil penelitian meskipun penelitian didalam suatu jurnal yang saya baca tidak dijelaskan dengan sangat teliti, tetapi rupanya rutinitas itu membuat keinginan bagi anak-anak untuk belajar sesuatu itu lebih besar. Membuat anak termotivasi, lebih termotivasi untuk membaca.
GS : Mungkin melihat ayahnya membaca atau menceritakan sesuatu lalu dia ingin membaca sendiri bisa juga begitu.
HE : Saya pikir salah satu hal adalah rasanya ada orang yang menemani dan juga lebih memberi dorongan meskipun orangtua lebih banyak diam saja.
GS : Kalau dengan pasangan kita sudah pasti ada manfaatnya, tapi apa itu manfaatnya, Pak?
HE : Rutinitas menceritakan ikatan, kebiasaan yang menyatukan di antara suami istri dan kalau ini sudah terbiasa dirasakan tidak menyiksa dan justru tampak menyenangkan. Masing-masing pasangan juga lebih mampu mempercayai satu dengan yang lain karena sering melakukan aktifitas bersama-sama, jadi saling tahu kebiasaan masing-masing. Bagi istri atau ibu, rutinitas mengurangi tingkat depresi dan memberi daya tahan lebih baik ketika harus menghadapi stres. Juga kegiatan rutin memberi kepuasan yang lebih di dalam masing-masing suami atau istri melakukan perannya sebagai orangtua. Ini juga adalah hasil penelitian.
GS : Apakah rutinitas ini tidak menimbulkan kebosanan?
HE : Rutinitas bisa menimbulkan kebosanan kalau dilakukan dengan keterpaksaan tetapi supaya rutinitas tidak membosankan, yang pertama kita bisa lakukan adalah kita jelaskan bahwa kalau tidak ada rutinitas dan kebersamaan didalam keluarga, apa yang terhilang dari keluarga itu? Dan yang kedua kita juga menetapkan suatu peraturan yang kita perlu jaga bersama-sama, misalnya kita mesti pamit, menepati janji dan kalau misalnya terlambat karena perlu makan malam bersama kita mesti berjaga supaya jangan membuat orang saling menunggu dan sebagainya. Intinya adalah bagaimana supaya semua kegiatan rutin ini bisa dilakukan dengan menyenangkan membawa sukacita. Dan sangat penting juga bagi kita untuk memelihara maksudnya supaya kita berusaha menjaga keharmonisan.
GS : Sekalipun kita tahu bahwa rutinitas dalam keluarga ini sesuatu hal penting bahkan sangat penting Pak Heman, tapi sering kali banyak keluarga atau kita sendiri mencoba belajar terus untuk melakukan ini dengan baik. Sebenarnya ada hambatan apa sehingga rutinitas dalam keluarga ini sering kali terganggu?
HE : Tadi Pak Gunawan juga sudah sebutkan misalnya soal kurangnya waktu, kesibukan masing-masing karena berbagai sebab dan juga ada hal lain yaitu mungkin secara disadari maupun tidak merasa bahwa relasi dengan orang lain dinilai lebih penting dan lebih berarti. Karena biasanya orang sudah berfikir bahwa mencari nafkah atau uang itu penting, sehingga menganggap relasi dengan orang lain lebih penting.
GS : Jadi ini perlu dipahami bersama bahwa rutinitas dalam keluarga ini sesuatu yang
penting bahkan lebih penting dari segala sesuatu yang ada di luar keluarga. HE : Ya, seharusnya demikian.
GS : Dan ini menjadi tugas dari seorang suami atau ayah untuk bisa menjelaskan kepada anggota keluarganya !
HE : Ya ini penting.
GS : Pak Heman, bagaimana menjaga rutinitas supaya dalam keluarga ini bisa berlangsung secara teratur dan baik?
HE : Supaya bisa lebih teratur kita lakukan dengan suatu komitmen dan mungkin kita jelaskan secara terbuka, jadi kita tetapkan suatu peraturan yang perlu dijaga bersama. Misalnya peraturan itu adalah kalau pergi pamit, kemudian jam berapa
pulang? Kemana pergi dan pulangnya jam berapa dan kita tepati. Semua anggota keluarga menepatinya dan kita juga katakan jam berapa kita harus makan malam bersama dan kalau misalnya itu tidak bisa lalu apa yang harus dilakukan atau sebagai gantinya bagaimana.
GS : Itu sering kali kami menerapkan didalam keluarga. Rutinitas dalam keluarga ini juga tidak terlalu banyak, jadi hanya beberapa tapi yang penting-penting yang kita lakukan seperti makan malam bersama, lalu doa bersama, membaca Alkitab bersama, tapi tidak misalkan tiga kali makan harus dilakukan bersama-sama.
HE : Ya memang tidak perlu setiap kali atau tiap makan dilakukan bersama-sama karena itu juga rasanya mustahil untuk dilakukan. Tapi yang penting adalah ada kegiatan yang dilakukan bersama-sama dan itu menjadi satu pengikat buat kita untuk berada bersama-sama di suatu tempat pada suatu saat.
GS : Dan mengenai kepemimpinan disana kita juga bisa melatih anak-anak untuk bisa
dilibatkan untuk sekali-sekali memimpin doa, sekali-sekali ikut membaca Alkitab dan sebagainya, Pak?
HE : Ini hal yang sangat baik sekali, jadi anak-anak juga belajar untuk memimpin, berorganisasi di dalam keluarga.
GS : Jadi Pak Heman, untuk mengakhiri perbincangan kita ini apakah ada ayat alkitab yang ingin Pak Heman sampaikan ?
HE : Saya ingin membacakan dari Amsal Salomo 15:17, disini dikatakan bahwa Lebih baik sepiring sayur dengan kasih dari pada lembu tambun dengan kebencian.
Bagian Firman Tuhan ini memang tidak secara langsung berbicara tentang keluarga tetapi maknanya sangat dalam dan dapat diterapkan untuk kehidupan keluarga. Kalau kita makan bersama keluarga disertai kasih sekalipun makanannya sederhana tetap lebih baik daripada makanannya mewah tetapi tanpa disertai dengan kasih.
GS : Terima kasih Pak Heman untuk perbincangan kali ini. Para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bapak Heman Elia, M.Psi. dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang Memelihara Rutinitas dalam Keluarga. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan email dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.
|Di dalam kehidupan kita sehari-hari seringkali kita harus melakukan hal-hal yang sama dari hari kehari, dari minggu ke minggu dan dari bulan ke bulan bahkan ada yang dari tahun ke tahun kita melakukan hal-hal yang sama. Ini dinamakan rutinitas.
Penting sekali rutinitas dalam keluarga, mengapa dikatakan penting karena :
Generasi sekarang mengukur banyak hal dari segi uang. Antara orangtua dan anak tidak lagi akrab satu sama lain. Masing-masing punya kegiatan sendiri-sendiri. Akibatnya, perasaan sayang dan rindu semakin menipis. Yang mencemaskan, saat ini banyak orang yang tidak sabar. Akibatnya, karena perasaan yang kurang peka ditambah ketidakakraban membuat banyak anggota keluarga saling memaksakan kehendak.
Manfaat dari memelihara rutinitas bagi anak :
? Anak akan lebih cepat dilatih untuk hidup teratur, disiplin, dan lebih stabil emosinya
? Mereka akan merasa memiliki sebuah keluarga yang memberi mereka identitas diri yang mantap.
? Menurut penelitian, rutinitas keluarga mengurangi konflik antara ayah dengan anak remajanya.
Manfaat dari memelihara rutinitas dengan pasangan :
? Rutinitas menciptakan ikatan dan kebiasaan yang menyatukan.
? Masing-masing pasangan pun lebih merasa mampu mempercayai satu dengan yang lain
? Lebih memberi kepuasan dalam melakukan peran orangtua.
Cara bagaimana memulai rutinitas :
1. Kita jelaskan kekurangan dalam keluarga akibat tidak adanya rutinitas kebersamaan.
2. Kita tetapkan peraturan yang kita perlu jaga bersama, seperti misalnya, kalau pergi harus pamit dan menepati janji pulang jam berapa. Lalu juga pulangnya ini jangan terlambat karena perlu makan malam bersama dan agar orang tidak saling menunggu.
Agar rutinitas tidak membosankan :
Sekali-sekali kita perlu melakukan variasi dalam melakukan aktivitas rutin. Jadi, bentuk aktivitas bisa tetap sama, tetapi cara melakukannya berbeda. Soal makan bersama misalnya, sekali-sekali dapat dilakukan dengan memesan makanan dari luar supaya tidak direpotkan dengan memasak. Apabila rutinitas keluarga mendatangkan sukacita, maka
aktivitas rutin itu tidak pernah dirasa membosankan. Justru sebaliknya, sangat mungkin
aktivitas itu dikenang terus meskipun anak-anak sudah dewasa dan tinggal terpisah dari orangtuanya.
Firman Tuhan : Lebih baik sepiring sayur dengan kasih dari pada lembu tambun dengan kebencian. (Amsal 15:17)
Makna Kematian buat Anak|Heman Elia, M.Psi.|Heman Elia, M.Psi.|T416B|T416B|Keluarga|Audio|Membicarakan tentang kematian kepada anak merupakan hal yang kurang enak dan kurang nyaman. Tetapi akan lebih baik kalau anak memperoleh pengertian yang benar mengenai kematian, sehingga tidak membawa dampak buruk bagi anak tersebut.|3.4MB|http://media.sabda.org/telaga/mp3/T416B.MP3|Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen dan kali ini bersama Ibu Wulan, S.Th., kami akan berbincang-bincang bersama dengan Bp. Heman Elia, M.Psi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang Makna Kematian buat Anak, kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
GS : Pak Heman, ini suatu tema yang sangat menarik yang mungkin jarang dibicarakan, bahkan ada orang yang merasa enggan untuk membicarakan hal ini. Sebenarnya bagaimana kita bisa membicarakan masalah yang begitu serius, begitu sulit dibicarakan bahkan oleh orang dewasa tapi kita mau membicarakannya dengan anak tentang kematian?
HE : Ya, karena kematian itu sering kali suatu topik yang kita hindari, kita merasa kurang
enak, kurang nyaman kalau kita membicarakannya. Itu sebabnya kadang-kadang kita susah untuk membicarakannya bersama dengan anak.
GS : Sebenarnya kenapa Pak Heman, kita sendiri merasa enggan untuk membicarakan kematian?
HE : Ada beberapa kemungkinan penyebab yang saya amati, kemungkinan pertama adalah kita mungkin memperoleh pengaruh budaya yang berkaitan dengan takhayul. Dan kita tahu bahwa budaya Timur banyak takhayul tentang kematian ini. Seolah-olah kalau kita membicarakannya sepertinya kita akan lebih mudah mengalami musibah. Sudah barang tentu pandangan demikian kurang tepat, karena bagi orang percaya hidup dan mati kita berada di tangan Tuhan yang telah mengalahkan maut. Kemungkinan kedua, kita sering mengaitkan dengan sesuatu yang menyedihkan. Mungkin ada hubungannya dengan kematian orangtua kita, saudara kita atau kerabat kita yang kita kasihi, nah untuk itu dalam hal ini kita perlu belajar untuk menerima kenyataan kematian kekasih kita terlebih dahulu.
WL : Apakah manfaatnya kalau kita membicarakan mengenai kematian kepada anak, Pak
Heman?
HE : Kita perlu membicarakannya supaya anak memperoleh pengertian yang benar mengenai kematian. Sesuai dengan perkembangannya, anak yang masih muda memang sulit memahami tentang kematian, namun kita tetap perlu membicarakannya supaya anak memperoleh pengertian mengenai hal ini. Kalau kita balik, apabila anak keliru konsep tentang kematian maka anak akan menyimpan
pertanyaan-pertanyaan yang tidak terjawab dan kadang-kadang hal ini akan menyebabkan rasa duka yang sulit diselesaikan pada diri anak.
GS : Sebenarnya konsep yang salah itu seperti apa, Pak?
HE : Konsep yang salah itu misalnya anak memandang kematian sama dengan tidur, tidur yang sangat panjang yang tidak bangun-bangun lagi. Kematian misalnya juga bukan hal yang permanen, sehingga kadang-kadang anak mengharapkan sesuatu yang tidak masuk akal misalnya dia meminta binatang peliharaan yang sudah mati dan minta
orangtuanya untuk membangunkannya lagi.
GS : Ada juga yang mengatakan bahwa kematian itu seperti pergi ke tempat yang jauh dan indah yang lama tidak kembali-kembali.
HE : Ya, itu adalah beberapa konsep tentang kematian yang mungkin terjadi.
GS : Nah, kalau hal itu dibicarakan kepada anak, apakah tujuannya adalah supaya anak bisa memahami dengan bahasanya anak-anak.
HE : Memang di sini kita berhadapan dengan anak yang belum cukup matang dan kadang- kadang kita memang tidak bisa menjelaskan semuanya sekaligus. Dan dalam hal ini kita tetap bertanggung jawab untuk menjelaskan sebisa mungkin supaya anak bisa memahami secara lebih tepat.
GS : Itu momentnya saat bagaimana Pak Heman, bukankah kita tidak bisa tiba-tiba
membicarakan tentang kematian terhadap anak itu?
HE : Betul, dan ada beberapa moment. Yang pertama, pada saat kita bercerita biasa saja kemudian ada cerita-cerita atau dongeng tentang kematian nah kita bisa menjelaskan sedikit di situ. Kemudian juga saat misalnya kita sedang menghadapi seorang kerabat atau orang dekat atau siapa saja yang meninggal atau anak
mengatakan bahwa orangtua dari temannya itu meninggal, nah itu saat yang baik juga untuk menjelaskan tentang kematian kepada anak. Dan satu kesempatan lagi yaitu kalau anak mempunyai binatang peliharaan, nah itu kesempatan yang baik untuk menjelaskan tentang kehidupan dan kematian kepada anak.
GS : Pak Heman, dalam keadaan yang bagaimana terjadinya kesalahan konsep yang tadi
Pak Heman katakan atau yang kita bicarakan itu bisa terjadi?
HE : Kadang-kadang misalnya kalau anak itu kita lindungi dari perasaan dukanya, kemudian kita berusaha untuk misalnya menghibur dia dengan sesuatu yang tidak
benar, itu bisa menyebabkan anak mengalami atau memperoleh konsep yang salah tentang kematian. Nah, sebagai contoh misalnya ada binatang peliharaannya itu mati, kemudian kita diam-diam membelikan anak binatang yang mirip. Kelihatannya anak memang tidak sedih lagi, tetapi dengan demikian dia memperoleh konsep yang salah tentang kematian karena seolah-olah kematian itu bukan sesuatu yang permanen.
WL : Pak Heman, kalau secara tidak sadar orangtua belum memiliki pengetahuan yang tepat mengenai bagaimana menyampaikan konsep yang benar kepada anak tentang kematian tapi sudah terlanjur salah menyampaikannya, apakah dampaknya terhadap anak?
HE : Ada beberapa dampak, misalnya kalau kita sampai memberikan konsep bahwa mati
itu sama dengan tidur yang panjang, untuk anak yang peka mungkin saja mereka tidak berani tidur karena takut tidak bisa bangun lagi. Atau misalnya beberapa konsep ada anak yang sampai menulis surat kepada sahabatnya yang sudah meninggal atau bahkan ada yang menulis surat kepada ayahnya di tempat yang jauh,
di tempat yang dikatakan indah sekali padahal ayahnya itu sudah meninggal. Nah, ketika anak melakukan hal ini, dia tidak mendapat fakta yang sebenarnya ada rasa duka yang prosesnya belum selesai. Misalnya pada suatu ketika anak itu dewasa dan dia tahu fakta yang sebenarnya dia bisa marah sekali kepada orangtuanya atau kepada kita yang tidak menjelaskan dengan benar tentang kematian. Karena seolah- olah dia merasa dibohongi.
WL : Kalau misalnya untuk sementara waktu saja tidak sampai dewasa, jadi istilahnya masa transisi, dia 'kan belum dewasa, belum cukup kuat, ya kita biarkan dia menulis surat, seolah-olah papanya masih ada di suatu tempat yang dia tidak tahu, suatu tempat yang indah seperti yang tadi Pak Heman jelaskan, nanti setelah dewasa baru diberitahu, itu dampaknya tetap buruk Pak Heman?
HE : Ya menurut saya begitu, karena kita perlu memberi kesempatan kepada anak untuk
melalui proses kedukaan ini secara wajar. Dan kalau dia sudah berhasil melewati proses ini baru nanti kita membantu dia untuk mengatasi perasaan duka ini, saya kira itu akan lebih sehat.
GS : Pak Heman tadi mengatakan bahwa saat yang tepat kita itu menjelaskan tentang kematian adalah pada saat hewan kesayangannya ada yang mati. Nah bagaimana kita itu menjelaskan, bukankah hewan dan manusia itu sesuatu yang berbeda?
HE : Ya betul, dan di dalam kesempatan ini tentu saja kita perlu menjelaskan bahwa ada perbedaan antara kematian binatang dan manusia. Misalnya saja kita bisa menjelaskan bahwa jiwa manusia itu berharga di mata Allah, karena itu Allah menyelamatkan manusia berdosa melalui anakNya yang tunggal Tuhan Yesus Kristus. Sedangkan binatang itu diciptakan untuk hidup manusia, mungkin dengan penjelasan seperti ini anak akan mempunyai konsep yang lebih tepat mengenai kematian.
GS : Tapi binatang itu adalah binatang yang dia sayangi, yang tiap hari berkumpul atau
bermain dengan binatang itu, kalau kita menjelaskan seperti itu apakah dia tidak lebih sedih lagi, seolah-olah kita itu menyepelekan binatang kesayangannya.
HE : Ya mungkin kita perlu membedakan dua hal ini yaitu yang pertama soal perasaan.
Kita tangani perasaan itu terlebih dahulu dengan menerima bahwa dia tidak apa-apa berduka dan itu sesuatu hal yang wajar, bahwa kalau kita kehilangan suatu makhluk apalagi orang yang kita kasihi, kita wajar kalau berduka. Yang kedua adalah hal konsep, untuk hal konsep ini kita perlu memberikan penjelasan-penjelasan. Jadi kita bedakan dua hal ini, untuk perasaan kita terima sedangkan untuk konsep kita luruskan.
WL : Pak Heman, itu tadi penjelasan tentang sama-sama makhluk hidup, yang satu binatang, yang satu manusia. Bagaimana kalau benda yang bergerak dibandingkan dengan makhluk hidup yang bergerak, bukankah anak-anak kadang-kadang sulit membedakan, dianggapnya itu hidup juga, bagaimana penjelasannya untuk hal ini Pak?
HE : Betul, ini bagian yang agak sulit terutama buat anak-anak yang masih muda. Kita
bisa menjelaskan bahwa diri kita dan mereka itu adalah hidup, jadi anak itu hidup dan mereka berbeda dengan benda yang tidak hidup. Misalnya mainan itu bisa bergerak bukan berarti mainan itu mempunyai kehidupan, nah kita membantu anak
untuk memahami bahwa kalau makhluk hidup itu bedanya bernafas, dia perlu makan, perlu minum, jantungnya berdegup untuk memompa darah ke seluruh tubuh. Dan kematian itu berarti berhentinya nafas, berhentinya kerja jantung, berhentinya semua aktifitas, orang mati tidak dapat melakukan apapun juga. Kalau misalnya mainan, itu karena ada baterainya, nah kita bisa menjelaskannya seperti itu.
WL : Pak Heman, dengan kemajuan teknologi saat ini, lebih-lebih yang saya dengar di Jepang bahwa mainan-mainan sudah sangat maju. Ada mainan yang bisa kita beri makan, ada yang minta minum, harus dirawat, tidur, itu mungkin anak akan lebih sulit membedakan bahwa itu benar-benar benda mati ya Pak?
HE : Ya betul, jadi memang manusia pandai sekali menciptakan hal-hal seperti itu. Nah,
kalau misalnya mainan-mainan yang seperti itu sudah mulai ada di Indonesia dan mungkin kita miliki, memang itu bagian yang lebih sulit untuk dijelaskan. Tetapi kita tetap bisa menjelaskan bahwa kalau yang dibuat oleh manusia, nah manusia sampai saat ini tidak bisa membuat kehidupan, kehidupan hanya diberikan oleh Tuhan.
GS : Dan kenyataannya anak harus menghadapi bahwa setiap makhluk hidup baik manusia atau hewan suatu saat harus mati, nah ini bagaimana kita menjelaskan kepada anak supaya anak itu jangan merasa takut karena nanti suatu saat saya akan mati juga?
HE : Kadang-kadang ketakutan memang tidak bisa dihindarkan sepenuhnya, tetapi kita
perlu siapkan anak bahwa pada akhirnya semua manusia akan mati. Tetapi sampai titik ini kita tidak berhenti, kita sebagai orang percaya mempunyai pengharapan dan kita bisa menjelaskan bahwa kematian manusia bukan akhir dari segalanya. Barangkali itu kuncinya.
GS : Sering kali anak melihat di tayangan TV dan sebagainya cerita-cerita khayal yang menunjukkan bahwa yang sudah mati ini bisa hidup kembali. Ini kadang-kadang sulit menerangkan kepada anak-anak.
HE : Ya, mungkin ini betul bagian yang sulit, kita perlu juga lebih banyak bercerita kepada anak hal-hal dari Alkitab, dari dunia nyata. Dan perlu kita jelaskan kepada anak bahwa antara kehidupan nyata dengan cerita atau dongeng atau yang dikarang oleh manusia itu berbeda. Jadi ada fakta yang anak perlu kenali dan ada juga fiksi. Betul pada anak yang masih muda ini lebih sulit, tapi secara bertahap anak harus tahu bahwa yang benar adalah kematian itu sesuatu yang permanen, memang betul pada saat manusia itu mati di dunia ini dia tidak akan hidup kembali, tetapi kematian bukan akhir dari segalanya, jadi masih ada kehidupan di alam sana, kehidupan atau kebinasaan yang kekal. Nah, kita di sini bisa menjelaskan hal-hal yang rohani bahwa orang yang percaya akan masuk ke kehidupan yang kekal.
GS : Pak Heman, sehubungan dengan hal itu bagaimana kita menjelaskan tentang
kebangkitan Tuhan Yesus yang juga kita terangkan kepada anak bahwa Tuhan Yesus itu setelah meninggal, tiga hari kemudian Dia bangkit?
HE : Di sini bedanya kita menjelaskan bahwa Tuhan Yesus adalah Tuhan dan Dia memang lahir sebagai manusia, tetapi Dia mengalahkan maut dan itulah pengharapan dari kita. Jadi kita yang mati di dalam dosa, kita akan bangkit nantinya karena kebangkitan Tuhan Yesus yang kita percayai. Memang tidak semuanya anak bisa langsung pahami, salah satu contoh misalnya soal kekekalan, karena kekekalan ini baru akan dipahami anak mungkin kalau anak remaja, anak mulai bisa berpikir secara abstrak, kekekalan itu banyak berkaitan dengan pikiran abstrak.
GS : Pak Heman, apakah ada dampak yang negatif kalau anak itu melihat seseorang yang
meninggal dengan cara yang tidak wajar, misalnya bunuh diri atau tertabrak sampai luka parah, itu ada pengaruhnya atau tidak terhadap anak?
HE : Tentu saja ada, tetapi kita bisa menjelaskan seperti ini. Apapun cara seseorang itu mati dengan cara yang tragis misalnya tetapi kalau seseorang itu sudah hidup di dalam Tuhan, kematiannya adalah kematian yang berharga juga di mata Tuhan. Dan kita tidak membedakan cara seseorang mati tetapi apakah seseorang itu mati di dalam Tuhan atau di luar Tuhan.
WL : Pak Heman, biasanya kalau acara melayat, kita sering menemukan orangtua
menghindarkan anak dari acara-acara seperti itu, walaupun itu sebetulnya keluarga terdekat, apakah kakak dari si anak atau ayah. Itu sebenarnya positif atau negatif kalau menurut Pak Heman?
HE : Saya pribadi berpendapat adakalanya anak juga boleh diajak ke tempat pemakaman, terutama pemakaman orang-orang terdekat dengan kita. Saya sendiri mengajak anak saya menghadiri pemakaman dengan asumsi saya bisa mengajarkan hal yang benar kepada mereka. Selain itu juga penyelesaian masalah kedukaan tadi bahwa upacara penguburan itu sepertinya menutup bagian dari sejarah hidup kita dan di sana ada perpisahan. Ketika anak mengalami perpisahan itu, anak sepertinya bisa lebih tuntas didalam penyelesaian masalah emosionalnya.
WL : Kalau anaknya Pak Heman mungkin sudah remaja ya, kalau anak-anak apakah itu bisa mengerti?
HE : Ya saya mengajak anak saya ke tempat pemakaman itu mungkin sejak usia 6 tahun, 7
tahun mereka sudah menghadiri. WL : Mereka memahami Pak?
HE : Tentu saya percaya tidak sepenuhnya mereka dapat memahami, tetapi mereka akan lebih cepat mengerti nantinya.
GS : Kesedihan yang mereka alami, karena nanti itu ada suatu perpisahan, apakah itu bisa cepat hilang daripada kita yang dewasa ini?
HE : Tergantung siapa yang hilang dan seberapa jauh kedekatan mereka. Kadang-kadang anak merasa kehilangan karena kematian, itu tidak terlalu nampak dari luarnya tetapi diam-diam mereka menyimpan kedukaan. Jadi sekali lagi justru di sini pentingnya kalau anak tidak mendapatkan konsep yang jelas, dia bisa marah.
GS : Tetapi untuk menjelaskan itu bukankah tidak mungkin sekaligus mereka bisa
pahami?
HE : Di sini kuncinya adalah kesabaran kita dan kalau misalnya ada sesuatu yang mungkin semakin membuat anak bingung, dan kita sendiri sulit untuk menjawabnya mungkin lebih bijaksana kalau kita katakan misalnya soal kekekalan, anak belum bisa memahami seluruhnya, kita katakan: Pelan-pelan kamu akan lebih mengerti tentang
kekekalan, Papa atau Mama belum dapat menjelaskan semuanya nanti akan kita bicarakan lagi mengenai hal ini kalau kamu sudah lebih besar nanti. Misalnya dengan cara begitu jadi anak bisa lebih puas.
GS : Pak Heman, bagi anak yang sudah memahami tentang kematian, kemudian dia mempunyai sikap yang lain terhadap kematian artinya tidak lagi takut menghadapi kematian atau bagaimana, Pak?
HE : Setidaknya dia akan lebih siap menghadapi kematian orang lain, kerabat dekatnya maupun dirinya sendiri. Dia tahu bahwa semua orang akan mati itu yang pertama, dan yang kedua, kematian bukan berarti akhir dari segalanya jadi anak mempunyai pengharapan dibalik kematian itu. Sekalipun ada rasa duka tetapi bukan rasa duka yang tak terselesaikan.
GS : Nah, sering kali waktu menghadapi jenazah kita itu mempunyai perasaan yang agak
lain dengan menghadapi pada saat dia hidup, itu sebenarnya perasaan apa yang muncul dalam diri kita?
HE : Kadang-kadang bisa perasaan kehilangan, sesuatu perasaan yang asing, aneh karena kita tidak bisa mengetahui sepenuhnya apa yang terjadi dengan orang yang meninggal itu sampai pada saat mungkin kita sendiri meninggal.
GS : Makanya kadang-kadang kita itu tidak mengajak anak atau tidak melibatkan anak,
karena anak itu sering kali ingin tahu, bertanya-tanya, nah kita itu sudah merasa sedih, merasa kehilangan kemudian ditanya-tanya seperti itu menjadi tidak enak, Pak Heman.
HE : Di dalam situasi seperti itu kita boleh saja mengatakan seperti ini, Ya, Papa mengerti kamu ada banyak pertanyaan, ada hal yang belum kamu pahami, boleh tidak nanti setelah selesai semua, sesudah sampai di rumah dan sudah tenang baru Papa jelaskan tentang hal ini lebih banyak kepada kamu.
GS : Itu masih lebih bisa diterima oleh anak ya.
HE : Ya, kalau kita langsung marah-marah, dikhawatirkan untuk seterusnya anak tidak berani lagi bertanya kepada kita. Dan juga yang sangat penting di sini adalah supaya anak memahami juga tentang konsep-konsep rohani misalnya tentang dosa, kematian itu akibat dosa, tentang penyelamatan dari Yesus Kristus.
GS : Apakah ada ayat firman Tuhan yang bisa mendukung kita untuk mengajarkan atau menjelaskan tentang kematian ini kepada anak kita?
HE : Ada satu ayat yang bagus sekali dari Mazmur 116:15, Berharga di mata Tuhan
kematian semua orang yang dikasihiNya.
GS : Itu kita jelaskan bagaimana kepada anak?
HE : Bahwa kita adalah orang-orang yang dikasihi oleh Tuhan, kita yang sudah percaya di dalam nama Tuhan Yesus Kristus. Dan kematian kita itu bukan kematian yang sia-sia tetapi sesuatu yang berharga di mata Tuhan.
GS : Jadi kita mesti menjelaskan kepada anak-anak ini dengan bahasa mereka supaya mereka mengerti dan menghadapi kenyataan hidup yang pasti suatu saat akan berakhir. Terima kasih Pak Heman dan juga Ibu Wulan untuk perbincangan pada kali ini. Dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Heman Elia, M.Psi. dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang Makna Kematian buat Anak. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat, alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk
58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id Kami juga mengundang Anda untuk mengunjungi situs atau website kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda
sangat kami nantikan dan akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.