Saudara–saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling. Perbincangan kami kali ini merupakan kelanjutan dari perbincangan kami yang terdahulu yaitu tentang "Penentu Keharmonisan Pernikahan". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
GS : Pak Paul, pada kesempatan yang lampau kita sudah bicara tentang satu dari tiga faktor penentu keharmonisan pernikahan. Pak Paul juga sudah menyampaikan secara singkat tentang keharmonisan pernikahan itu. Tapi supaya para pendengar kita kali ini juga bisa mengikuti perbincangan ini secara utuh, apakah Pak Paul berkenan untuk mengulas secara cepat apa yang kita perbincangkan pada kesempatan yang lampau?
PG : OK. Pada dasarnya ada banyak faktor yang bisa menentukan apakah pernikahan ini harmonis atau tidak. Namun dari sekian faktor, ada tiga yang penting. Yang pertama yang telah kita bahas, relasi dengan Tuhan yang otentik dan dinamis. Yang kedua yang akan kita bahas kali ini adalah kesamaan dalam hal-hal yang penting dan yang terakhir adalah kesehatan jiwa masing-masing. Jadi tiga hal ini berperan besar dalam menentukan apakah relasi kita ini akan harmonis atau tidak. Saya bahas bahwa kalau orang mempunyai relasi yang otentik dengan Tuhan, dia terbuka, tidak pura-pura dan dinamis yang artinya dia taat dituntun oleh Tuhan, melakukan kehendak Tuhan, maka itu nanti akan berdampak sekali pada pernikahan itu sendiri. Misalnya, karena orang itu selalu dipimpin oleh Tuhan, selalu siap melakukan kehendak Tuhan, maka relasi nikah itu sendiri menjadi relasi nikah yang dinamis, hidup, tidak statis begitu-begitu saja. Tuhan nanti akan berikan kepada mereka panggilan-Nya, pimpinan-Nya untuk melakukan kehendak-Nya. Dan mereka akan melakukannya! Sehingga relasi mereka pun terus bertumbuh. Saya juga bahas kalau orang memiliki relasi dengan Tuhan yang otentik dan dinamis, dia juga akan menjadi orang yang tidak hanya mementingkan kepentingan diri, tapi mementingkan kepentingan yang lebih luas. Karena dia sudah terbiasa taat kepada Tuhan. Dia terbiasa mengalah dan menahan diri demi kepentingan Tuhan atau kepentingan yang lebih luas. Nah, ini akan berdampak dalam relasinya pula. Dia tidak menjadi orang yang, "Pokoknya kehendak saya. Kalau bukan kehendak saya, saya tidak mau melakukannya." Tidak! Dia akan menjadi orang yang lebih mudah untuk mengalah. Jadi sekali lagi, penting untuk kita memunyai relasi dengan Tuhan yang otentik dan dinamis, supaya nantinya relasi kita makin hari juga makin kuat dan makin menjadi relasi yang harmonis.
GS : Tentunya Tuhan sendiri menghendaki agar relasi pernikahan yang terbentuk itu menjadi relasi yang harmonis ya, Pak Paul? Supaya bisa menjadi berkat bagi orang lain dan bagi mereka sendiri.
PG : Benar, Pak Gunawan. Tuhan tidak memunyai gagasan bahwa silakan menikah dan silakan bertengkar. Justru Tuhan ingin pernikahan menjadi ajang untuk mengasah sifat masing-masing supaya makin hari makin lebih menyerupai sifat-sifat Tuhan, sehingga pernikahan ini menjadi lambang kehadiran Tuhan di dalam hidup mereka.
GS : Jadi memang dasar dari pernikahan itu adalah Tuhan sendiri yang terus membangun hidup pernikahan itu. Selain faktor hubungan dengan Tuhan yang otentik dan dinamis. Hal yang kedua apa, Pak Paul?
PG : Kesamaan dalam hal-hal yang penting, Pak Gunawan.
GS : Itu bagaimana, Pak Paul?
PG : Di dalam Bahasa Inggris, ada pepatah yang berkata: Opposite Attracks. Artinya kalau kita bertemu dengan orang yang berbeda dengan diri kita, kita cenderung tertarik kepadanya. Kalau kita bertemu dengan orang yang sama dengan kita, kita tidak tertarik. Nah, memang tidak bisa disangkal jika kita bertemu dengan orang yang sifat dan kepribadiannya yang berlainan dengan kita, ada daya tarik dalam dirinya ya. Tapi yang harus kita sadari adalah gara-gara terlalu berbeda, nanti PR-nya untuk menyesuaikan diri, menyelaraskan dua pribadi itu tidak gampang. Justru berat. Jadi makin besar perbedaan, makin berat usaha untuk memahami dan menyesuaikan diri kita. Itu sebabnya, resep yang lebih tepat kepada pasangan yang belum menikah, jangan mencari yang berbeda atau terlalu berbeda. Carilah yang lebih serupa dengan kita. Kenapa? Sebab pada kenyataannya, hampir semua kesamaan berperan besar dalam mengharmoniskan relasi. Kecuali sifat keras kepala dan egois! Sebab kalau kedua-duanya sama-sama keras kepala dan egois, itu berarti tidak bisa tinggal serumah. Sebab sesungguhnya orang yang keras kepala dan egois lebih baik tidak menikah. Karena itu berarti pasangannya harus selalu mengikuti kehendak dia. Nah, apalagi kalau dia menikah dengan orang yang mirip dengan dia, yang keras kepala dan egois. Pasti rumah tangga ini akan penuh dengan konflik. Tetapi untuk hal-hal yang lain, sebetulnya kesamaan itu akan sangat membantu dan memudahkan kita untuk menyamakan diri.
GS : Kesamaan dalam hal ini saya rasa untuk semua hal yang positif, ya Pak Paul? Kalau persamaan dalam hal negatif malah akan melemahkan pernikahan mereka, Pak Paul.
PG : Betul.
GS : Tapi ada orang yang berkilah kenapa dia memilih pasangan yang banyak perbedaannya yaitu supaya saling mengisi. Di dalam pernikahan ‘kan saling mengisi. Kalau dia menikah dengan orang yang sudah banyak kesamaannya ‘kan dia tidak belajar apa-apa dari pasangannya itu, begitu Pak Paul.
PG : Ya. Awalnya itu kelihatan sebagai ide yang begitu indah. Saya berbeda dengan pasangan saya supaya saling melengkapi, mengisi dan sebagainya. Tapi kita yang sudah menikah tahu, bahwa perbedaan bukannya mengisi tapi mengganggu ! Intinya itu. Kalau misal kita orangnya rapi, dia orangnya berantakan. Kita merapikan, dia membuatnya berantakan. Itu bukannya mengisi. Kita akan merasa terganggu. Mungkin pihak yang sana senang. Tapi bisa juga orang yang biasa berantakan tidak suka barang-barangnya dirapikan. Karena itu mengganggu dia juga. Jadi poinnya adalah biasanya perbedaan itu mengganggu. Untuk hal-hal tertentu memang ada yang saling melengkapi. Itu betul. Misalkan yang satu orangnya teliti, yang satu orangnya kurang teliti. Yang teliti bisa menolong. Hal-hal yang seperti itu manfaatnya jelas, orang bisa menghargai. Tapi kita tahu dalam hal-hal lain, perbedaan itu seringkali mengganggu. Kita tidak suka dan berkata, "Kamu kok begitu?" Kenapa kita berkata demikian, sebab kita tidak begitu. Sekali lagi kita mesti memahami sebetulnya lebih banyak persamaan lebih besar kemungkinannya relasi kita akan harmonis.
GS : Tapi memang Tuhan menciptakan kita pria dan wanita yang berbeda sekali, Pak Paul.
PG : Ya. Maka kita akan melihat seperti ini, Pak Gunawan. Pasti akan ada perbedaan, meskipun kita mencari yang banyak persamaannya dengan kita, tetapi setelah menikah, pasti akan kita temukan ada banyak perbedaan. Jadi poin saya adalah, jangan belum apa-apa sudah mencari yang sangat berbeda. Karena setelah menikah akan kita temukan lebih banyak perbedaan. Sebab yang sama saja tetap ada perbedaan. Memang itulah keunikan kita sebagai manusia, masing-masing memiliki keunikan yang berbeda dari orang lain.
GS : Persamaan dalam hal-hal yang penting, misalnya apa Pak Paul?
PG : Begini, Pak Gunawan. Ada kesamaan dalam hal-hal yang tidak terlalu penting. Misalnya ada orang yang berkata, "Saya menyukai dia sebab kami sama-sama menyukai film horror." Itu kesamaan yang baik dan tidak apa-apa. Tapi sebetulnya ada kesamaan yang lebih penting lagi yaitu dalam hal cara berpikir, Pak Gunawan. Cara berpikir itu luar biasa pengaruhnya terhadap apakah nanti relasi kita bisa harmonis atau tidak. Misalnya pasangan kita berpikirnya praktis, tidak suka yang ruwet-ruwet. Kebetulan kita berpikirnya panjang dan lebar. Kita perhatikan segala sudut sebelum bertindak. Akhirnya dalam pengambilan keputusan kita selalu bertengkar dengan pasangan kita. Kita maunya pelan-pelan, lihat sana sini, memastikan dulu baru bertindak. Sedangkan pasangan kita tidak, maunya langsung saja. Akhirnya jadi sering ribut. Saya kira kesamaan dalam cara berpikir ini penting sekali, Pak Gunawan. Nantinya ini juga berpengaruh dalam komunikasi. Karena kalau kita bicara dengan pasangan yang berpikiran konkret praktis sedangkan kita berpikirnya abstrak, nantinya tidak bisa berlanjut. Kenapa? Saat kita ajak dia berdiskusi, diskusinya akan cepat berakhir. Karena dia tidak berpikir sebanyak yang kita bisa. Pikirannya pendek-pendek. Nantinya hal ini akan mengganggu keintiman. Relasi ini tidak bisa bertumbuh menjadi lebih intim.
GS : Mengenai cara berpikir, apakah ini dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan, Pak Paul?
PG : Memang tidak selalu, tetapi memang ada pengaruhnya. Orang yang berpendidikan tinggi, cenderung memiliki cara berpikir yang lebih luas, lebih dalam, lebih analitis. Tetapi kalau tidak, akan cenderung lebih praktis, lebih memikirkan solusinya apa. Memang tidak mesti karena tingkat pendidikan. Juga ada faktor-faktor bawaan atau faktor keluarga.
GS : Atau karena perbedaan usia yang jauh, Pak Paul?
PG : Seharusnya tidak, Pak Gunawan. Sebab jika kita memiliki cara berpikir yang analitis, pada usia lebih muda pun kita akan seperti itu, bukan karena usia agak tua.
GS : Jadi selain mengenai pola pikir, apakah ada hal lain yang dipengaruhi?
PG : Yang mau saya tekankan adalah jangan terlalu cepat kita mengatakan, "Oh, kami memiliki banyak kesamaan." Sebab kesamaan yang paling penting bukanlah kesamaan-kesamaan seperti yang saya sebutkan tadi, tetapi kesamaan cara berpikir. Ini yang mesti kita perhatikan. Ketidaksamaan dalam cara berpikir akan berpengaruh pada banyak hal, termasuk komunikasi dan konflik. Kenapa? Karena untuk bisa menyelesaikan konflik, kita harus bisa masuk ke alam pikir pasangan kita. Kalau kita tidak mampu masuk ke alam pikir pasangan kita, konfliknya tidak akan selesai-selesai. Karena selalu berpikir dari sudut kita saja, tidak bisa memandang dari sudut pasangan kita. Ini akan mengganggu. Maka dalam mencari pasangan, coba lihat apakah cara pikirnya sama dengan kita. Apakah dia juga akan mencoba melihat lebih banyak, bukan hanya satu saja. Apakah dia akan berfokus pada solusi saja, ataukah dia juga mau melihat ke belakang mencari tahu apa penyebab dari masalah yang terjadi. Kalau bisa perhatikan semua ini sebelum kita menikah.
GS : Tadi Pak Paul mengatakan bahwa kesamaan ini juga akan berpengaruh pada pola komunikasi suami-istri. Itu bagaimana, Pak Paul?
PG : Kalau pola pikirnya memang tidak sama, akhirnya kita tidak bisa melangsungkan pembicaraan yang panjang, Pak Gunawan. Bukankah kita alami dengan teman di tempat kerja atau di sekolah ? Kalau kita puya teman yang cara berpikirnya berbeda dengan kita, akhirnya tidak bisa bicara panjang dengan dia, Pak Gunawan. Sebab kalau kita ngomong panjang, akan timbul perdebatan atau konfllik, jadinya tidak sehati. Maka sebaiknya dalam mencari pasangan hidup, kita cari orang yang mempunyai cara pandang yang mirip dengan kita.
GS : Selain hal kesamaan, apa faktor yang ketiga, Pak Paul?
PG : Kesehatan jiwa dari masing-masing anggota keluarganya, Pak Gunawan. Suami dan istri sebaiknya memiliki kesehatan jiwa yang baik. Karena kalau seseorang memunyai masalah, dia tidak memunyai jiwa yang sehat, itu akan sangat memengaruhi relasi pernikahan. Memang kita tahu ada pepatah yang mengatakan "Tak ada gading yang tak retak". Memang setiap kita ada retaknya karena kita tidak sempurna. Tapi ada yang retaknya banyak, ada yang retaknya sedikit. Yang retaknya banyak, berarti PR-nya juga lebih banyak. Kalau kita menikah dan masih membawa keretakan itu, maka itu akan sangat memengaruhi pernikahan kita pula. Saya beri contoh yang gampang, Pak Gunawan. Kalau kita memiliki penilaian diri (self-esteem) yang kurang, kita akan cenderung melindungi diri dari kritikan. Karena tidak mau dicela, akhirnya kita susah sekali mendengar tanggapan, koreksi, teguran ataupun nasehat. Karena kita menganggap semua itu adalah upaya untuk mendiskreditkan kita, untuk menghancurkan kita atau pun menjelekkan kita. Mungkin pasangan berkata, "Tidak ada niat begitu, saya sayang sama kamu. Saya hanya ingin bicara seperti ini." Tapi dia tidak bisa terima ! Ini sebagai contoh langsung saja, betapa pentingnya kesehatan jiwa. Kalau itu tidak ada dalam diri si suami atau si istri, pasti akan berpengaruh buruk pada pernikahannya.
GS : Tapi biasanya keretakan-keretakan itu baru nampak setelah menikah bahkan setelah bertahun-tahun menikah. Bahwa pasangan kita memiliki cacat jiwa di bagian apa, seperti itu Pak Paul.
PG : Betul, Pak Gunawan. Jadi memang tidak bisa langsung kelihatan. Biasanya kelihatan berlahan-lahan setelah kita hidup dengannya. Contoh yang lain misalnya kita dibesarkan di rumah yang penuh dengan konflik. Misalnya kita jadi membawa api kemarahan dalam diri kita. Kita sulit mengendalikan emosi tatkala beradu pandang dengan orang lain. Sekarang kita tidak bisa beradu pendapat dengan istri atau suami kita. Kita cepat marah dan setelah marah kita tidak bisa mengendalikan emosi kita dengan baik. Akhirnya apa yang terjadi? Kita akan menyakiti hati pasangan. Dan luka yang kita timbulkan di hatinya membuat pasangan ingin menjauh dari kita. Sekali lagi kalau kita memang punya masalah, itu akan sangat berdampak pada pernikahan kita.
GS : Lalu bagaimana cara untuk mengetahui bahwa calon pasangan kita memiliki banyak keretakan, Pak Paul?
PG : Tidak bisa tidak kita harus mencari fakta latar belakangnya, Pak Gunawan. Memang orang-orang tua sering berkata cobalah perhatikan keluarganya seperti apa. Ini benar sekali! Kalau kita lihat keluarganya tidak harmonis, memiliki banyak sekali masalah, hampir bisa dipastikan masalah itu akan menetes turun kepada anak-anak. Kita hanya mau tahu dampaknya seperti apa. Kita bisa ajak dia bicara langsung dan tanyakan kira-kira apa dampaknya pada dirinya. Nah, kita mau tahu bisa tidak dia melihat dirinya seperti apa. Dan apakah ada pengaruh relasi orangtuanya terhadap dirinya. Sudah tentu kita mesti membicarakannya secara lembut dan sensitif. Karena tidak ada orang yang membeli tiket untuk memilih dilahirkan di sebuah keluarga. Semua ini ditentukan oleh Tuhan. Jadi jika kita kebetulan dibesarkan dalam keluarga yang baik dan sehat, sedangkan pasangan kita dibesarkan dalam keluarga yang sebaliknya, kita harus mengerti bahwa ini bukan berarti kita lebih baik daripada dia! Di dalam pemeliharaan Tuhan, Tuhan menempatkan kita di dalam keluarga yang lebih sehat, sedangkan pasangan kita di dalam keluarga yang kurang sehat, jadi kita mesti membicarakannya dengan lebih sensitif. Kita misalnya bertanya, "Apa kira-kira pengaruh hubungan orangtuamu terhadap dirimu?" Kita lihat apakah dia terbuka atau tidak melihat pengaruh itu. Kita bisa tanyakan, "Seperti apa orangtua kalau sedang rebut? Ributnya karena apa?" Sebab kenapa? Nanti akan ada dampaknya kepada si anak. Saya berikan contoh yang lain, kita sering menerima kritikan dari orang tua. Semua yang kita lakukan salah, kurang cukup baik dan sebagainya. Akhirnya apa yang terjadi? Kita bertumbuh besar menjadi pribadi yang selalu ingin memastikan kita telah mengerjakan segala sesuatu dengan sebaik-baiknya. Kita tidak mau dan tidak suka dikritik. Sebab bagi kita, dikritik sama dengan disalahkan. Akhirnya dalam pernikahan kita sulit menerima masukan. Sebab masukan itu kita artikan sebagai kritikan. Nah, akhirnya apa yang terjadi? Hampir setiap pembicaraan menjadi ajang untuk membenarkan diri dan untuk menyalahkan pasangan. Jadi sekali lagi, kalau kita melihat ada masalah seperti itu dalam keluarganya, kita mau tahu dampaknya terhadap orang tersebut. Makin dia terbuka mengakui kelemahannya, makin dia bersedia berkata, "Memang ini problem saya. Tolonglah saya." Kita akan lebih bersedia menolong dia.
GS : Seringkali bukan karena faktor orang tuanya, tetapi faktor dia sendiri yang pernah mengalami hal yang kurang menyenangkan, Pak Paul. Sehingga calon pasangan kita ini menjadi orang yang sangat peka terhadap kata-kata orang.
PG : Ya! Seringkali itu juga terjadi. Waktu kita mulai melihat keluarganya seperti apa, kita mulai bisa membayangkan dampaknya seperti apa pada orang yang nantinya menjadi suami atau istri kita. Tapi seperti yang Pak Gunawan amati tadi, tetap saja sekalipun kita sudah melakukan PR kita, biasanya setelah menikah baru kita bisa melihat lebih jelas hal-hal yang kurang sehat itu.
GS : Misalnya anak ini tidak pernah dihargai oleh orang tuanya. Prestasinya di sekolah tidak dihiraukan, usul-usulnya juga tidak banyak yang ditanggapi. Bagaimana pengaruhnya, Pak Paul?
PG : Besar pengaruhnya, Pak Gunawan. Kalau dia memang butuh pengakuan tapi tidak pernah menerimanya dari orang tua, akhirnya dia merasa kok teman-teman menjauhkan diri tidak mau merangkul dia, dia mengembangkan perasaan ditolak. "Saya orang yang tidak diinginkan oleh keluarga dan oleh teman." Itu membuatnya peka terhadap tindakan orang yang dia anggap sebagai penolakan. Dia tidak bisa menerima hal itu. Jadi akhirnya kepekaan ini, yang takut ditolak, menjadi duri dalam pernikahan. Tidak bisa tidak, misalnya pasangan ingin pergi melakukan sesuatu dan tidak menerima bantuan kita untuk menolongnya. Sebetulnya dia menolak bantuan kita karena dia memang tidak perlu. Tapi karena kita punya masalah itu, kita marah besar. Kita berkata, "Kamu bukan menolak bantuan saya, tapi kamu menolak saya. Kamu memang tidak mau saya ikut." Mungkin pasangan jadi terbingung-bingung, "Saya sama sekali tidak bermaksud menolak kamu. Saya memang bisa mengerjakannya sendiri, jadi tidak perlu bantuanmu. Hanya itu saja." "Oh tidak, memang kamu menolak saya!" Jadi memang semuanya jadi personal, ke saya – ke saya – ke saya lagi.
GS : Memang agak sulit melihat kesehatan jiwa jika dibandingkan dengan kesehatan fisik yang mungkin bisa lebih cepat terlihat. Keretakan-keretakan jiwa seseorang ini yang sulit kita deteksi sedini mungkin sebelum menikah, Pak Paul. Memang kalau bisa sebelum pernikahan berlangsung, hal-hal seperti ini bisa dibereskan terlebih dahulu. Tapi faktanya ‘kan tidak seperti itu, Pak Paul ?
PG : Ya. Mungkin sebagai tips praktis saya bisa usulkan cobalah lihat beberapa hal ini. Yang pertama, apakah orang itu tahan menanggung stres (tekanan) atau tidak. Sebab seringkali kesehatan jiwa diukur oleh ketahanan menghadapi stres. Orang yang belum apa-apa sudah ambruk jika stres, marah sana sini, menyalahkan sana sini dalam keadaan stres, bisa dipastikan ada sesuatu yang kurang sehat. Yang kedua, coba lihat kemampuannya untuk mendengar dan menerima kritikan. Kalau orang itu tidak bisa menerima kritikan, selalu berkelit atau difensif, itu memang menandakan sedang ada masalah. Jadi seberapa mudahnya dia menerima kritikan dan mengakui kelemahannya itu juga sangat penting. Yang ketiga, yang bisa kita gunakan untuk mengukur berapa sehatnya jiwa seseorang adalah berani atau tidaknya dia berterus terang. Sebab ada orang yang sangat sulit berterus terang, Pak Gunawan. Jadi mirip-mirip seperti berbohong, menutup-nutupi. Makin banyak yang ditutupi, makin tidak bisa bicara apa adanya, bagi saya memang ada sesuatu. Ini bisa digunakan sebagai panduan.
GS : Ini sulit kita lihat waktu kita berpacaran, Pak Paul. Jadi setelah beberapa tahun kita mengenal dia, kita baru tahu ternyata dia bermasalah sejak lama. Kita menerima dia sebab sudah menjadi pasangan hidup kita. Bahkan kasihan dan mau membantu dia untuk keluar dari permasalahan ini.
PG : Iya. Kalau sudah menikah sudah tentu kita harus rangkul dia dan kita menunjukkan komitmen kita untuk menolongnya. Asalkan pihak tersebut bersedia ditolong.
GS : Dan memang kita bersandar penuh pada kemurahan dan kebaikan Tuhan yang memang mengerti kondisi kehidupan kita sebagai suami istri. Dan pelan-pelan Tuhan akan membentuk kehidupan suami-istri ini menjadi kehidupan pasangan yang harmonis, Pak Paul.
PG : Betul.
GS : Untuk mengakhiri perbincangan kita ini, apakah Pak Paul ingin membacakan ayat dari firman Tuhan?
PG : Saya bacakan dari Mazmur 139:23–24, Pak Gunawan. "Selidikilah aku, ya Allah dan kenallah hatiku. Ujilah aku dan kenallah pikiran-pikiranku. Lihatlah apakah jalanku serong, dan tuntunlah aku di jalan yang kekal." Ini adalah sebuah keterbukaan, Pak Gunawan, terbuka untuk disoroti oleh Tuhan segala kelemahan-kelemahan dan dosa-dosa kita. Inilah doa Pemazmur. Saya kira inilah sikap kita di dalam pernikahan ya. Kita mesti bersedia diteropong, dilihat dan mengakui diri serta kelemahan kita. Makin kita menjadi orang yang seperti itu, makin mudah mengharmoniskan relasi pernikahan kita. Tapi bila sebaliknya, kita tidak bersedia diteropong, tidak bersedia dikoreksi, kita menganggap diri selalu benar, tidak terbuka terhadap orang, saya kira akan susah untuk menciptakan keharmonisan.
GS : Jadi keharmonisan ini tidak bisa sepihak ya, Pak Paul. Jadi harus diupayakan sungguh-sungguh oleh pasangan suami istri dan kita yakin Tuhan pasti memberkati upaya kita menciptakan keluarga yang harmonis ini, Pak Paul.
PG : Betul, Pak Gunawan.
GS : Ya. Terima kasih untuk perbincangan ini, Pak Paul. Dan para pendengar sekalian, kami mengucapkan terima kasih kepada Anda yang telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Penentu Keharmonisan Pernikahan" bagian yang kedua. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Kami juga mengundang Anda untuk mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org . Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda. Sampai jumpa pada acara Telaga yang akan datang.