Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Rayakan Kesetiaan". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
GS : Saya yakin banyak pendengar kita tentu bertanya-tanya, apa maksud dari perbincangan kita kali ini dengan memberikan judul "rayakan kesetiaan" ini, Pak Paul ?
PG : Jadi yang saya maksud dengan rayakan kesetiaan adalah rayakan kesetiaan kita sebagai orang tua kepada anak-anak kita. Jadi bukan saja kita harus setia kepada istri dan suami kita, tapi kita pun juga harus setia kepada anak-anak kita. Mereka sangat bergantung kepada kita dan Tuhan telah menitipkan mereka kepada kita maka sudah seyogianyalah kita berlaku setia kepada mereka.
GS : Apakah memang ada indikasi bahwa akhir-akhir ini banyak orang tua yang kurang setia terhadap anaknya ?
PG : Saya kira demikian karena hidup ini sekarang menawarkan begitu banyak pilihan untuk kita bisa mengembangkan diri, sehingga cukup banyak orang tua yang akhirnya tersedot kepada pilihan-pilihan untuk mengembangkan dirinya sehingga melupakan tanggung jawabnya kepada anak-anak, sebab anak-anak pada usia kecil tidak bisa melawan, tidak bisa mengeluh, jadi anak-anak itu akan diam dan menerima, akhirnya kita mendahulukan yang lain-lainnya. Waktu kita mendahulukan yang lain-lainnya dan akhirnya meninggalkan atau mengabaikan anak-anak, berarti kita tidak lagi berlaku setia pada anak-anak kita.
GS : Kalau terhadap istri, kita sudah mengikrarkan hal itu pada waktu pernikahan diberkati di gereja dan sebagainya. Namun bagaimana komitmen kita dengan anak, sampai sejauh mana, Pak Paul ?
PG : Memang dengan anak sudah tentu tidak ada upacara dimana kita mengucapkan janji untuk setia kepada anak-anak kita. Tapi sebetulnya ini adalah sebuah kesiapan untuk mendampingi anak sampai anak-anak itu sanggup untuk berdiri sendiri. Saya sekarang melayani di gereja di mana ada banyak sekali orang tua di gereja kami, dan mereka itu tinggal dekat anak atau tinggal dengan anak-anak. Saya melihat teman-teman atau rekan-rekan jemaat setiap minggu datang bersama dengan orang tua mereka yang sudah lanjut usia, saya melihat sebetulnya ini adalah sebuah pelayanan, pelayanan yang memang saya kategorikan sunyi, karena mungkin orang tidak melihat ini sebagai sebuah pelayanan, tapi sebetulnya sebuah pelayanan yang sangat penting, sebab orang-orang tua ini kalau tidak dijaga oleh anak-anak atau tidak dirawat oleh anak-anak maka mereka akan sangat kesulitan untuk hidup sendiri. Jadi benar-benar apa yang anak-anak perbuat bagi mereka, itu adalah hal-hal yang memang teramat penting bagi orang tua ini. Bagi saya ini adalah sebuah pelayanan juga, tapi saya kategorikan dalam kategori pelayanan yang sunyi. Yang gegap gempita dan pelayanan yang lebih berisik adalah misalkan kita berkhotbah atau menyanyi dan sebagainya, itu adalah sesuatu yang orang lain bisa lihat bahwa kita bisa berbuat sesuatu untuk Tuhan. Tapi menjaga orang tua adalah sebuah pelayanan. Saya mengkategorikan membesarkan anak, bersikap setia kepada anak adalah bagian dari pelayanan dan ini saya masukkan dalam kategori pelayanan yang sunyi, tidak dilihat orang-orang tapi sebetulnya sangat penting sebab anak-anak bergantung kepada kita. Jadi kitalah yang harus dengan setia melayani dan bersama dengan mereka.
GS : Di dalam budaya Timur biasanya kalau anak berbakti kepada orang tuanya seperti tadi mau menampung orang tuanya misalnya tadi setelah lanjut usia atau mau membiarkan orang tuanya tinggal dekat di rumahnya, ini dikategorikan sebagai kewajiban anak kepada orang tua.
PG : Betul. Memang ada yang melakukan sebagai kewajiban belaka, tapi ada yang melakukannya karena ini sebuah pelayanan, mereka itu menyayangi orang tua dan mereka sadar bahwa sekarang orang tua bergantung sepenuhnya kepada mereka. Jadi inilah yang saya juga inginkan dari kita semua waktu kita merawat anak-anak kita, lakukanlah bukan karena terpaksa, bukan karena terlanjur mereka menjadi anak kita, tapi karena kita melihat ini sebagai sebuah pelayanan dan kita mau setia kepada anak-anak kita.
GS : Biasanya ketika anak-anak itu masih kecil, masih lucu-lucu maka orang tua memang senang dekat dengan anak itu, tapi makin anak itu menjadi dewasa apalagi sudah menjelang remaja bahkan pemuda, tiba-tiba ada semacam jarak antara orang tua dan anak.
PG : Memang tidak bisa dihindari bahwa akan ada jarak sebab secara alamiah anak-anak itu akan bertumbuh dewasa, mereka akan mengepakkan sayap, mungkin akan meninggalkan rumah dan mereka tidak akan terlalu bergantung lagi kepada kita. Itulah tugas kita, tugas kita memang mengawal anak, mendampingi anak sampai anak sanggup untuk berjalan sendiri. Di saat itulah kita harus melepaskan anak. Jadi jangan sampai juga kita tidak mau melepaskan anak, di usia dan kondisi dimana anak sudah bisa mandiri kita tetap mau memaksa anak berada di bawah kepak sayap kita, itu juga tidak benar. Jadi berlaku setia berarti berlaku setia sampai anak-anak sanggup untuk berjalan sendiri, bisa hidup dengan mandiri maka kita lepaskan kalau kita tahu mereka baik-baik saja menghadapi tantangan hidup ini.
GS : Tetapi sementara kita melepaskan anak, kita berharap bahwa nanti suatu saat kita juga akan kembali kepada anak seperti yang tadi Pak Paul katakan.
PG : Benar. Tidak bisa tidak saya kira kalau kita sekarang berlaku setia kepada anak-anak kita, pada hari tua mereka pun dengan sukacita akan mau menampung kita, merawat kita, memerhatikan kita. Memang kita tidak bisa sejak anak-anak kecil mengingat-ingatkan anak, "Nanti kami tua, kamu tanggung jawab merawat papa dan mama" jangan seperti itu. Sebab ini adalah sesuatu yang harus keluar dari hati yang mengasihi kita. Sama seperti mereka pun juga tidak akan suka kalau mereka mendengar kita berkata kepada anak kita, "Papa mama berkorban untuk kamu, kamu jangan sampai lupa pengorbanan papa dan mama". Jadi anak-anak akan berkata, "Papa dan mama ini mengasihi kami terpaksa atau tidak, karena mengeluh begitu", biarlah segala sesuatu dilakukan atas dasar kasih.
GS : Tapi memang kalau ada beberapa anak, memang ada anak-anak tertentu yang dekat dengan orang tuanya sampai nanti orang tuanya lanjut usia tapi ada anak yang berjarak dengan orang tuanya ini, sejak kecil sudah terasa sehingga setelah dia dewasa dan orang tuanya menjadi lanjut usia, hubungan mereka juga kurang akrab.
PG : Tidak bisa disangkal memang anak memiliki keunikannya masing-masing. Ada anak yang misalkan sejak lahir kita bisa melihat jiwanya halus, lembut dan memunyai jiwa yang begitu memerhatikan kita. Maka akhirnya setelah mereka besar pun, merekalah yang lebih memerhatikan kita, ada anak yang karena keras kurang begitu dekat, kurang begitu mau membuka dirinya dengan kita akhirnya jaraknya tidak sedekat itu, maka kita terima apa adanya sebab sekali lagi anak-anak itu memiliki keunikannya. Pada yang memang tidak mau begitu dekat dengan kita maka kita tidak bisa memaksanya dan kita diamkan saja, tapi bagi anak yang memang lebih dekat maka kepada dialah kita juga bisa lebih dekat juga.
GS : Tapi mungkin Pak Paul bisa memberikan pedoman atau semacam kunci, apa yang membuat supaya orang tua bisa setia kepada anak-anaknya ?
PG : Ada dua yang akan saya gabung menjadi satu kalimat yaitu kita perlu kesabaran dan kesetiaan. Sudah tentu ada masa kita tergoda untuk angkat tangan dan menyerah tatkala melihat anak tidak bertumbuh besar seperti yang diharapkan, namun kita tidak boleh menyerah. Kita harus bertahan apapun kondisinya dan dua karakteristik atau sikap yang diperlukan agar kita dapat bertahan dalam membesarkan anak adalah kesabaran dan kesetiaan. Dua hal ini diwujudkan dalam bentuk sebuah komitmen. Jadi kita harus sabar, kita harus setia, diwujudkannya dalam bentuk komitmen dan nanti kita juga akan bahas dalam bentuk disiplin. Dalam bentuk komitmen artinya kita akan selalu berada disampingnya sampai ia bertumbuh dewasa dan matang. Jadi kita tidak mudah-mudah meninggalkan anak, angkat tangan kepada anak, tapi kita akan terus mendampinginya sampai benar-benar dia sanggup untuk bisa hidup sendiri.
GS : Memang ada kejadian dimana hubungan orang tua dengan anaknya sangat buruk sehingga orang tua ini sampai terucap, "Saya tidak berhubungan lagi dengan anak ini" artinya anak ini dianggapnya hilang, dan dia juga tidak berharap bahwa nanti kalau sudah lanjut usia akan ikut di rumah dari anak itu karena hubungannya sudah buruk.
PG : Kadang memang karena keadaannya buruk, maka anak itu dengan orang tua tidak bisa lagi dekat tapi ada kalanya ini bagian dari disiplin. Kadang-kadang kalau anak terlalu memberontak, tidak bisa lagi diatur malahan mau seperti lintah menghisap semua dari kita dan sebagainya, dan kita tahu ini sangat tidak sehat, maka saat itulah kita harus bersikap lebih tegas pada anak-anak kita. Namun sekali lagi yang ingin saya tekankan adalah segi aspek komitmen ini, jangan gampang-gampang, jangan sedikit-sedikit berkata, "Saya tidak mau tahu lagi". Jangan seperti itu sebab kadang-kadang ini yang saya dengar, ada orang yang sangat mudah sekali berkata seperti itu. Begitu kecewa sedikit dengan anaknya, dia sudah marah seperti anak kecil, "Saya ini kecewa kepada kamu, kamu ini sebagai anak tidak berbakti dan sebagainya" padahalnya hubungannya relatif sangat sepele. Jadi kita harus hati-hati sebagai orang tua jangan cepat-cepat mengangkat tangan dan menyerah.
GS : Seringkali orang tua itu merasa sakit hati, disakiti hatinya oleh anaknya sehingga dia merasa kesetiaannya kepada anak dikhianati.
PG : Saya kira itu yang terjadi. Jadi akhirnya orang tua tidak mau lagi merawat atau memerhatikan anaknya karena terlalu terluka. Tapi sekali lagi saya berharap kita tidak mudah-mudah mengatakan, "Setop, saya tidak lagi mau pusing", justru kita harus berusaha lagi meskipun respon anak tidak seperti yang kita harapkan.
GS : Jadi bentuk konkretnya untuk kita komit terhadap kesetiaan ini apa, Pak Paul ?
PG : Yang pertama jangan mendelegasikan tugas membesarkan anak kepada orang lain. Memang kita perlu bantuan misalkan perawat atau pembantu rumah tangga, tapi jangan sampai kita mendelegasikan itu kepada orang lain. Anak-anak adalah tanggungjawab kita, jangan sampai kita begitu gampangnya melepaskan tanggungjawab kita itu. Saya tahu ada orang tua yang anaknya di usia SD sudah dikirim ke luar untuk sekolah di luar dan dirawat oleh orang lain. Buat saya ini adalah tindakan yang tidak tepat, sebab Tuhan memberikan mereka kepada kita. Jadi kita tidak boleh mendelegasikannya kepada orang lain dan pada akhirnya bukankah Tuhan menuntut pertanggungjawaban itu dari kita, apa yang telah kita perbuat untuk anak-anak kita. Kalau kita tidak mengurusnya sama sekali maka nanti kita harus menjawabnya kepada Tuhan bahwa, "Tuhan bukan saya yang mengurus anak saya, tapi mama saya dan sebagainya", jangan sampai seperti itu.
GS : Memang secara sering diungkapkan bahwa tekanan ekonomilah yang membuat orang tua harus berpisah dengan anaknya, terutama pada pagi, siang bahkan sampai sore hari, Pak Paul.
PG : Adakalanya memang karena ada tekanan ekonomi maka kita terpaksa harus melepaskan tanggungjawab pada orang lain. Tapi kalau itu harus terjadi maka jangan sampai kita sama sekali tidak berhubungan dengan anak itu. Saya mengerti kadang-kadang itu yang harus kita lakukan dengan berat hati. Tapi sedapatnya kalau itu pun yang harus kita lakukan maka tetap peliharalah hubungan dengan anak-anak kita. Saya pernah berbicara dengan anak-anak yang sekarang sudah besar yang harus diserahkan kepada orang lain pada masa kecilnya. Waktu kita mendengar cerita-cerita mereka, maka tidak bisa tidak hati kita sangat tersentuh sebab mereka itu luar biasa terpengaruh, terpukul, tertusuk hatinya, ada orang yang berkata, "Setiap hari, setiap malam saya menangis" karena dia dikirim dikeluarkan dari rumah, ditempatkan di suatu tempat waktu usia masih kecil. Jadi cukup banyak mereka yang dipisah dengan paksa seperti itu, pada akhirnya akan mengalami kesedihan yang mendalam sekali. Dan ada sebagian di antara mereka yang sampai dewasa pun akhirnya tetap membawa rasa sedih yang kuat itu di dalam hati mereka.
GS : Selain kita sebagai orang tua tidak patut mendelegasikan kepada orang lain, apakah ada alasan yang lain, Pak Paul ?
PG : Bentuk komitmen yang lain adalah jangan setengah-setengah, artinya kadang-kadang badai memang menerpa, kadang-kadang anak kita bermasalah dan sekali lagi tadi saya sudah katakan ada waktu-waktu tertentu sangat kritis sekali dan anak-anak sudah terlalu rusak sekali dan benar-benar bisa merusak keluarga kita. Dalam kasus seperti itu kalau anak-anak sudah dewasa maka kita bisa katakan, "Baiklah setop kita berpisah di sini" kita harus melindungi keluarga kita juga. Tapi jangan sampai kita melakukan itu dengan mudah, jadikan itu sebagai pilihan terakhir. Jadi penekanan saya pada peganglah tangan anak kita dan jangan cepat-cepat menyerah di tengah jalan dan berkata, "Kamu sekarang urus dirimu sendiri" jangan seperti itu, tapi sedapatnya pegang tangan anak kita meskipun adakalanya badai menerpa dia akan melepaskan tangannya dari kita.
GS : Ada orang tua yang sampai tega mengusir anaknya, dan ini bagaimana ?
PG : Ada orang yang seperti itu. Ada orang yang saya kenal secara pribadi, tatkala mereka bertobat menjadi orang Kristen akhirnya mereka diusir oleh orang tuanya dan harus tinggal di luar. Saya mengerti kekecewaan orang tua karena anaknya meninggalkan iman kepercayaan mereka dan memeluk iman Kristiani, akhirnya mereka sangat kecewa terpukul dan akhirnya mengusir. Ada juga orang yang saya tahu, memutuskan hubungan dengan anaknya ingin menjadi seorang pendeta, waktu anaknya mau masuk sekolah seminari, orang tuanya tidak terima dan berkata, "Kita putus hubungan dan kamu jangan lagi berhubungan dengan saya" sekali lagi saya mengerti kekecewaan itu, tapi kita harus melihat melampaui hal-hal itu. Kalau anak-anak kita ingin melakukan hal-hal yang jahat itu lain perkara, tapi anak kita mau melakukan hal-hal yang mulia bukankah seharusnya kita mendukungnya ? Tapi kalau anak kita sudah keterlaluan dan benar-benar merusakkan kehidupan keluarga kita dan mungkin merusakkan anak-anak kita yang lain, di saat seperti itu mungkin pilihan terakhir adalah benar-benar melepaskan si anak dan akhirnya dia bisa belajar dari pengalaman hidupnya sendiri.
GS : Memang kadang-kadang sebagai orang tua kita cepat kehilangan kesabaran menghadapi anak-anak yang seolah-olah mau jalan menurut pikiran mereka sendiri dan kehendak mereka sendiri sehingga kita berkata, "Kalau itu yang mau kamu tempuh maka silakan, tapi saya sudah mengingatkan" dan kemudian ini bagaimana ?
PG : Waktu anak-anak saya mulai besar, saya memang takut sekali mereka nanti akan meninggalkan iman Kristiani yang telah kami tanamkan sejak kecil. Jadi akhirnya saya menekankan kepada mereka bahwa ini hal yang sangat penting dan jangan sampai kamu lepaskan. Waktu saya melihat salah satu anak saya mulai menunjukkan sikap mau melawan atau memberontak kepada saya, saya kembali mau menegaskan hal itu kepadanya. Ternyata itu sangat memukulnya, waktu saya berkata kepada anak-anak saya, "Kalau sampai kamu nanti mau memilih hidup sendiri, memberontak dan tidak lagi mau menganut nilai-nilai yang kami anut, saya tidak mau lagi bertemu dengan kalian" dan mereka itu berontak sekali terutama anak saya yang satu ini sebab dia merasa bahwa dia tidak diberikan hak pilih, bukankah setiap orang diberikan hak pilih, apa yang dipercayanya. Akhirnya saya disadarkan oleh seseorang bahwa keselamatan dari Allah untuk kita sebagai sebuah hadiah, kasih karunia dan bukan karena kita berhasil meyakinkan Allah untuk memberikan kepada kita pengampunan dan keselamatan-Nya, itu adalah pemberian Allah semata yang mengirimkan putra-Nya Yesus untuk mati bagi kita, jadi benar-benar ini adalah kasih karunia. Jadi waktu saya disadarkan akan hal itu, saya akhirnya sadar bahwa saya telah berusaha terlalu keras seolah-olah ingin membelikan tiket untuk ke sorga bagi anak-anak saya. Akhirnya saya tahu saya keliru dan saya berkata kepada anak-anak saya, "Saya salah, mulai sekarang saya tidak akan mengatakan hal itu lagi dan apa pun pilihanmu saya tetap akan menjadi ayah yang mendampingi kalian". Rupanya hal itu sangat mencairkan dan tiba-tiba mereka merasa bahwa mereka memunyai hak pilih dan ternyata setelah hak pilih itu diberikan kepada mereka terutama anak ini, dia tetap memilih hal yang sama, jadi tetap berbakti kepada Tuhan Yesus, dia tetap menaati Kristus dalam hidupnya. Jadi yang saya takutkan memang tidak terjadi, dia tidak memberontak dan membuang semua nilai-nilai Kristiani yang kami tanamkan dalam hidupnya. Jadi kita harus berhati-hati dengan tindakan-tindakan seperti mau putus hubungan, mau dia minta keluar dan sebagainya, itu yang pernah saya lakukan dan justru lebih merusakkan relasi kami.
GS : Komitmen dalam hal kesabaran dan kesetiaan ini harus dilihat oleh anak sebagai suatu teladan yang kita tanamkan kepada mereka, begitu Pak Paul ?
PG : Betul, sebab pada akhirnya mereka nantinya belajar untuk setia kepada keluarga mereka lewat teladan yang kita tunjukkan, berapa orang yang tidak melihat itu di dalam kehidupan orang tuanya karena orang tuanya tidak begitu setia, atau bertanggungjawab kepada mereka akhirnya setelah mereka menjadi orang tua mereka mengulang kesalahan orang tuanya, mereka pun mengabaikan anak-anak mereka.
GS : Selain komitmen, bentuk lain apa yang perlu kita tanamkan kepada anak-anak kita ?
PG : Kita tadi sudah bicara bahwa kita harus punya komitmen mendampingi sampai anak-anak dewasa dan kita pun juga harus memunyai kemungkinan untuk mendisiplin anak-anak, karena ternyata itu adalah hal yang sangat penting. Jadi waktu kita mendisiplin anak kita, kita itu menunjukkan kesabaran dan kesetiaan kita kepada anak-anak. Kita jangan sampai melalaikan tanggungjawab kita untuk mendisiplin anak-anak.
GS : Apakah buah dari disiplin itu sendiri, Pak Paul ?
PG : Pertama disiplin itu diperlukan untuk memberikan anak ketahanan menghadapi tantangan hidup. Tanpa disiplin anak tidak akan mengembangkan kekuatan untuk menghadapi tekanan hidup. Jadi anak itu akan cepat berlari, cepat mudah lepas tangan, sebaliknya dengan disiplin yang kuat, dia menjadi tangguh dan sanggup mengatasi pukulan kehidupan.
GS : Sebagai orang tua kadang-kadang kita tidak tega melihat anak kita mengalami tantangan kehidupan yang berat, sehingga kita mau ikut campur tangan di sana, padahal itu tidak menolong dia ?
PG : Tidak selalu. Jadi adakalanya kita harus membiarkan anak kita menghadapi kesusahan, biarkan dia hadapi. Kalau nanti sudah sangat perlu maka barulah kita ulurkan tangan dan menolongnya. Disiplin diperlukan sebab anak-anak yang menerima disiplin akan mengembangkan ‘tulang punggung’ kuat sehingga akhirnya dapat menghadapi pukulan kehidupan ini. Anak yang tidak didisiplin akhirnya lemah, mudah sekali ambruk, sedikit-sedikit minta orang tua menolongnya dan nanti setelah menikah orang yang seperti inilah yang membuat masalah dalam pernikahan sebab kalau ada apa-apa lari ke orang tua, nanti pasangannya beri nasehat tidak didengarkan, orang tua memberi nasehat langsung dilakukan. Jadi sekali lagi penting orang tua mengimbangi kasih sayang dan disiplin, jangan sampai akhirnya berat sebelah.
GS : Tapi ada sebagian orang tua justru menikmati kalau anak-anaknya ini datang kepadanya minta tolong dan dia bisa menolong, itu ada suatu kebanggaan tersendiri.
PG : Betul. Karena kita mengasihi anak jadi kita senang kalau bisa membantu anak tapi jangan sampai lupa bahwa tujuan akhirnya bukan supaya kita bisa terus menolongnya tapi supaya nanti dia bisa menolong dirinya sendiri, sebab untuk apa kita menyediakan diri untuk terus menolongnya kalau dia tidak bisa menolong dirinya sendiri ? Bukankah kita merugikan dirinya. Jadi disiplin perlu, artinya anak perlu didorong, perlu diberikan tanggungjawab kalau melakukan kesalahan, melanggar apa yang kita inginkan, harus diberikan konsekuensi, kalau dia berhasil melakukannya maka kita berikan dia penguatan atau pujian. Hal-hal inilah yang juga diperlukan oleh anak dan kitalah yang harus melakukannya kepada mereka.
GS : Hasilnya dari disiplin ini apa, Pak Paul ?
PG : Disiplin juga diperlukan untuk melatih anak mengatur dan mengarahkan hidupnya sendiri. Maksud saya adalah saya berikan contoh semua anak dapat bermimpi namun tidak semua anak dapat mewujudkan impiannya. Anak yang dapat merealisasikan impiannya biasanya adalah anak yang menerima disiplin dari orang tua, oleh karena disiplin yang diterimanya, dia belajar untuk menetapkan target dan mencapainya, dia tidak mudah putus asa dan sanggup berjuang keras untuk menggapai tujuan hidupnya. Sebaliknya anak yang tidak menerima disiplin dari orang tua hanya dapat bermimpi, ia hanya dapat meminta orang lain untuk memberikan kepadanya impiannya itu.
GS : Jadi dalam hal mengatur, mengarahkan hidupnya, anak juga butuh sebuah contoh konkret dari orang tuanya, bagaimana orang tuanya juga mengatur dan mengarahkan kehidupan mereka, kalau hanya mendisiplin saja itu tidak akan menolong banyak.
PG : Betul sekali. Jadi misalkan anak-anak melihat bahwa kita ini juga berdisiplin diri untuk bekerja. Kalau anak-anak melihat kita bangun sembarangan, kerja sembarangan dan kita diberhentikan akhirnya anak-anak tidak akan melihat suri tauladan dari kita untuk berdisiplin. Misalkan anak-anak itu melihat kalau kita berjanji kita tepati, kita berusaha menepati dan tidak mudah-mudah kita melanggar janji. Misalkan tahu kita perlu belajar sesuatu tambahkan ilmu dan pengetahuan, kita disiplin diri belajar dan tambahkan pengetahuan, inilah contoh-contoh nyata yang anak-anak juga perlu lihat dari orang tua sehingga waktu orang tua menekankan disiplin kepada anak harus ini dan itu maka anak bisa menerimanya karena dia melihat bahwa orang tua juga melakukan hal yang sama.
GS : Demikian pula ketika kita bersikap kepada orang tua kita, anak-anak akan tetap melihat kita bagaimana kita memerlakukan orang tua kita dan itulah kira-kira yang akan dilakukan oleh anak kepada kita ketika kita nanti memasuki usia lanjut.
PG : Tepat sekali. Jadi bagaimana kita memerlakukan papa dan mama yang sudah renta yang membutuhkan kita, itu akan direkam oleh anak. Waktu mereka melihat kita sayang dan tanggungjawab pada orang tua kita, maka mereka nanti akan mendapatkan contoh bahwa inilah yang nanti akan mereka lakukan juga untuk kita.
GS : Perbincangan ini tentu masih panjang lagi dan kita akan melanjutkannya pada perbincangan yang akan datang namun sebelum kita mengakhiri perbincangan kali ini mungkin ada ayat firman Tuhan yang ingin Pak Paul sampaikan ?
PG : Amsal 29:17 firman Tuhan berkata, "Didiklah anakmu, maka ia akan memberikan ketenteraman kepadamu, dan mendatangkan sukacita kepadamu". Ayat ini adalah ayat yang indah. Jadi kita harus setia mendampingi anak, mendidik anak, maka dia akan memberi ketentraman kepada kita dan mendatangkan sukacita kepada kita. Kalau kita tidak berlaku setia, tidak mendampingi anak, tidak mendidik anak maka dia tidak akan memberi ketentraman malah memberikan kegelisahan. Sudah tentu dia tidak akan mendatangkan sukacita malah akan mendatangkan dukacita kepada kita.
GS : Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan ini. Dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Rayakan Kesetiaan" bagian yang pertama dan kami akan melanjutkan perbincangan kami pada kesempatan yang akan datang. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.