Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen dan kali ini saya bersama dengan ibu Ester Tjahja. Kami akan berbincang-bincang dengan Bp.Pdt.Dr.Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara, Malang. Perbincangan kami kali ini merupakan kelanjutan dari perbincangan kami yang terdahulu tentang "Siapa Yang Harus Berubah". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
Lengkap
GS : Pak Paul, karena perbincangan kita kali ini merupakan kelanjutan dari perbincangan kita yang lalu yaitu tentang "Siapa Yang Harus Berubah" dan ini sesuatu yang sulit dilakukan oleh pasangan suami istri, mungkin Pak Paul bisa mengulas sepintas apa yang kita perbincangkan pada kesempatan yang lalu.
PG : Yang kita bicarakan adalah siapakah yang harus berubah jikalau terjadi konflik dalam rumah tangga. Biasanya kita menuding bahwa pasangan kitalah yang harus berubah, kenapa? Sebab memang tulah sifat dari dosa yang ada dalam diri kita.
Kita lebih mudah melihat kesalahan orang daripada melihat kesalahan pada diri sendiri. Itu sebabnya dalam rumah tangga kadang-kadang terjadi konflik yang tidak bisa diselesaikan karena masing-masing menuntut pasangannyalah yang harus berubah. Jadi pertanyaannya adalah siapa yang harus berubah, nah daripada langsung menjawab siapa yang harus berubah saya mengajak kita semua untuk mundur ke belakang dan melihat sebetulnya harus ada modal tertentu agar terjadi perubahan. Dengan kata lain perubahan menuntut adanya prasyarat. Kalau prasyarat ini tidak dipenuhi, mustahil akan terjadi perubahan. Kita sudah membahas pada pertemuan yang lalu bahwa harus ada kematangan supaya nantinya ada perubahan. Saya melihat kematangan dari tiga dimensi, yang pertama adalah dimensi berpikir atau kematangan berpikir artinya mampu melihat pikiran orang lain, mampu menoleransi perbedaan sehingga tidak kukuh pada pendapat sendiri dan memastikan bahwa dirinyalah yang benar. Kalau ada dimensi atau kematangan berpikir ini lebih mudah adanya perubahan. Yang kedua adalah kematangan perasaan, artinya kita mampu untuk memahami perasaan sendiri dan perasaan pasangan kita. Kalau kita bisa melihat, merasakan perasaan pasangan kita; kita juga lebih mampu nantinya untuk mengadakan perubahan karena kita tahu sesungguhnya inilah yang dia rasakan sehingga kita pun lebih cepat tergerak dan lebih mau untuk mengadakan perubahan. Jadi sekali lagi penting adanya kematangan perasaan. Dan yang terakhir adalah yang saya sebut dimensi tinggi, dimensi tinggi itu merujuk pada kedewasaan rohani. Saya mendasarinya pada Galatia 5:22,23 bahwa buah Roh Kudus itu adalah kasih, sukacita, penguasaan diri, kesabaran, kemurahan hati dan sebagainya. Orang yang memiliki kematangan rohani sudah tentu akan lebih mudah berubah sebab mereka tidak mementingkan diri sendiri lagi, mereka mementingkan apa yang Tuhan kehendaki. Jadi kematangan ini harus kita miliki sebelum ada perubahan, kalau kita hanya menuntut perubahan susah sekali dan tidak ada ujung pangkalnya, tapi kalau kita sudah mempunyai modal kematangan ini, perubahan akan lebih mudah terjadi.
GS : Selain kematangan, sebagai prasyarat untuk berubah apakah ada hal lain untuk dijadikan prasyarat?
PG : Ada Pak Gunawan, dan ini akan kita bahas pada kesempatan ini yaitu kita mesti tahu jelas peran dan tanggung jawab kita di dalam rumah tangga. Karena bagaimanakah kita mengadakan perubahankalau kita bicara perubahan, sebenarnya kita sedang memikirkan adanya sesuatu yang standar, baku dan yang benar, yang seharusnya atau seyogianya kita mengadakan perubahan menuju pada yang seharusnya itu.
Jadi saya kira kita perlu juga mengetahui jelas sebenarnya apa peranan seorang suami dan peranan seorang istri. Semua perubahan yang nanti akan kita adakan adalah perubahan yang menuju kepada peran yang sesungguhnya sebagaimana yang Tuhan kehendaki.
GS : Dari mana seseorang atau kita memperoleh kejelasan tentang peran ini?
PG : Kita kembali ke fiman Tuhan, di Efesus 5:22-23 rasul Paulus menjabarkan tentang tanggung jawab atau peran suami dan istri. Di sana Paulus mengatakan dengan jelas bahwa suami hendaklah engau mengasihi istrimu dan istri hendaklah kamu tunduk atau hormat pada suamimu.
Dan di sana Paulus juga dengan jelas mengatakan bahwa hendaklah istri menghormati suaminya sebagai kepala istri, sebagaimana Kristus adalah kepala jemaat; suami adalah kepala istri. Saya mau mengangkat hal ini yaitu apa peranan suami-kepala istri; dan apa kepala istri-tunduk kepada suami. Kita mesti jelas dengan prinsip atau konsep ini. Sebetulnya Alkitab tidak mengatakan suami adalah kepala keluarga, di Efesus pasal 5 jelas dikatakan suami adalah kepala istri. Ini sesuatu yang mungkin kurang enak untuk kita dengar tapi sesungguhnya suami kepala istri. Sebab sesungguhnya kalau suami bisa menjadi kepala istri dia akan otomatis menjadi kepala anak-anak. Karena bukankah sering terjadi banyak masalah anak-anak kurang ajar kepada si papa, karena mamanya kurang ajar kepada si papa atau tidak hormat kepada si papa. Jadi akhirnya anak-anak pun tidak bisa menghormati si papa. Memang asumsinya benar kalau suami bisa menjadi kepala istri, dia akan menjadi kepala anak-anak, tidak perlu lagi dia disebut sebagai kepala keluarga. Makanya Alkitab memanggil suami sebagai kepala istri, saya kira ini peranannya.
GS : Bagaimana kalau pasangan suami-istri ini tidak jelas dengan peranan masing-masing, kerancuan apa yang bisa timbul?
PG : Banyak sekali masalah yang muncul dalam ketidakjelasan peranan ini dan perubahan-perubahan yang dituntut itu lebih merupakan perubahan sesuai dengan selera, sesuai dengan kepribadian kita,sesuai dengan latar belakang budaya kita.
Memang semua itu penting, semua itu bagian dari diri kita tapi bukankah kita sebagai anak Tuhan harus kembali kepada disain yang Tuhan tetapkan. Jadi semua perubahan, apa yang harus berubah dan sebagainya itu perubahan yang seyogianya menuju kepada disain yang Tuhan telah tetapkan itu. Yang saya mau angkat yang pertama adalah kita sering kali melihat Efesus 5:22, 23 itu sebagai perintah Tuhan baik kepada suami maupun kepada istri, itu benar karena jelas ada perintah Tuhan pada suami yakni mengasihi istri dan perintah Tuhan kepada istri tunduklah kepada suamimu. Tapi untuk sejenak saya mau mengajak kita melihat bagian Alkitab itu dari kacamata yang sedikit berbeda yaitu sebetulnya bisa juga kita melihat seperti ini, Tuhan memberikan satu perintah dan perintah itu ditujukan kepada suami yaitu kasihilah istrimu dan kepalailah istrimu. Karena Efesus pasal 1-3 dari 6 pasal itu, 3 pasal pertama memuat tentang apa yang harus kita percaya. Dengan kata lain percayalah yang benar itu tema utama pasal 1-3, tapi Efesus pasal 4-6 lebih memuat hal-hal praktis. Jadi bukan saja kita harus percaya pada hal-hal yang benar, kita harus hidup yang benar. Dalam pembahasan bagaimana kita hidup yang benar, Paulus menyelipkan satu hal yang sangat penting yaitu bagaimana berumah tangga dengan benar, bagaimana hidup berelasi dengan suami dan istri yang benar. Dengan kata lain saya juga bisa mengatakan Efesus 5:22 dan 23 merupakan pembahasan tentang bagaimana hidup dalam berkeluarga secara tertib. Jangan sampai dalam keluarga itu terjadi ketidakharmonisan dan konflik dan sebagainya, jadi penting sekali kita hidup tertib. Untuk hidup tertib Paulus memberikan perintah dari Tuhan yaitu suami harus menjadi kepala istri. Nah di dalam satu perintah itu, "Suami, hendaklah engkau mengasihi istrimu dan menjadi kepala istrimu," termaktub perintah yang ditujukan kepada istri, "Istri, tunduklah kepada suamimu sebab tidak mungkin suami menjadi kepala istri kalau istri tidak mau tunduk kepada suami.
ET : Di zaman sekarang ini, dengan emansipasi, dengan gerakan feminisme, sering kali akhirnya peran pria dan wanita tidak jelas, jadi akhirnya di dalam keluarga seperti ada sebuah kesepakatan, erbagi kuasa bahwa dua-dua sama-sama mempunyai kuasa.
Nah ini bagaimana ?
PG : Saya memahami bahwa sekarang ini berkembang pemikiran bahwa seyogianya kepemimpinan rumah tangga itu kepemimpinan kolektif yaitu kepemimpinan yang dibagi antara suami dan istri. Sebetulny tidak, sebab bukankah kita yang terjun di dunia bisnis, atau dunia organisasi kita tahu bahwa penting sekali ada satu kepemimpinan.
Kepemimpinan kalau dibagi-bagi dan satu organisasi mempunyai 2, 3 kepala, itu resep kekacauan. Jadi kita mengerti bahwa di dalam dunia organisasi tidak bisa ada 2, 3 kepala. Coba kita terapkan di dalam konteks keluarga, kalau dalam keluarga ada dua kepala-suami dan istri sama-sama kepala, sebetulnya itu tidak memungkinkan. Sebab kalau kita berkata dua-duanya adalah kepala, bagaimanakah mungkin suami menjadi kepala istri dan pada saat yang bersamaan istri menjadi kepala suami. Sebab Alkitab jelas berkata suami adalah kepala istri. Kalau kita berkata dua-dua kepala berarti istri kepala suami, bagaimana mungkin yang satu menjadi kepala yang satunya. Jadi memang harus ada satu kepemimpinan, itu adalah resep ketertiban. Memang untuk kita yang hidup di abad modern ini sepertinya kuno, konservatif, ortodoks, tidak mengikuti perkembangan arus zaman dan sebagainya. Sebab memang seolah-olah sepertinya mau meninggikan pria, tapi bukan begitu sebab kita melihat Efesus 5:22 dan 23 memuat begitu banyak penjelasan perintah Tuhan kepada pria. Dan kalau kita perhatikan dari ayat 22 - 23, sebetulnya yang untuk wanita hanya ada di dua ayat yaitu di ayat 22, "Istri, tunduklah kepada suamimu...," di ayat 33 "...dan bagaimanapun bagi kamu sekarang berlaku masing-masing hendaklah suami mengasihi istrimu dan istri hendaklah hormat kepada suamimu." Tapi di antara dua ayat itu semuanya ditujukan kepada suami yaitu bagaimanakah dia seharusnya menjadi kepala istri. Tuhan hanya memberi penjelasan, suami hanya bisa menjadi kepala istri seperti Yesus menjadi kepala jemaat. Menjadi kepala jemaat, Yesus mengorbankan diriNya, mengosongkan egoNya, mengasihi jemaatNya, jadi begitulah suami mengepalai istrinya. Dia hanya akan bisa mengepalai istri dengan cara mengosongkan egonya, melayani, sebab Yesus pun melayani kita, Dia datang bukan untuk dilayani tapi melayani. Dan dia mengasihi, begitu mengasihinya sehingga Dia rela mati bagi jemaat yang dikasihiNya. Nah pemimpin yang seperti inilah atau kepemimpinan yang seperti inilah yang Tuhan kehendaki. Nah dalam kepemimpinan seperti ini, tidak ada istri yang akan mengeluh; kenapa istri mengeluh karena suami tidak menjalankan kepemimpinan sebagaimana yang Tuhan kehendaki.
GS : Yang sering terjadi justru peran mau diambil, misalnya suami menjadi kepala bagi istri tetapi tidak berfungsi sebagaimana kepala. Jadi untuk meringankan tugas, dia bagi tugas-tugasnya sehingga dia sendiri hanya sedikit saja tugasnya.
PG : Sebagai kepala dia memang harus memimpin, kadang-kadang pria itu gamang atau ragu-ragu. Tuhan jelas berkata, "Engkau kepala istri," jadi berlakulah, berfungsilah sebagai kepala, pimpinlahrumah tanggamu, pimpinlah istrimu, itu yang Tuhan kehendaki.
Jadi jangan gamang, namun bagaimanakah memimpinnya ya dengan kasih, dengan melayani, dengan mengosongkan ego. Saya berikan contoh situasi agar kita bisa menerapkannya dengan lebih mudah. Misalkan seorang istri jengkel melihat suaminya pulang kerja langsung ongkang-ongkang kaki, nonton televisi, baca koran, sementara dia pontang-panting mengurus anak, terus masih memberi makan anak, menemani anak belajar sampai malam, membersihkan dapur setelah itu baru mau istirahat tidur. Misalkan setelah itu malam-malam suaminya minta untuk hubungan intim dengan istrinya, istrinya karena sudah telanjur jengkel melihat suaminya enak-enakan saja tidak mau membantu, akhirnya waktu suaminya meminta hubungan intim dia menolak dan berkata tidak mau. Nah suaminya marah, misalkan dia berkata, "Kalau tidak mau ya sudah, saya tidak akan meminta lagi." Ribut besar karena suami merasa terhina dan sebagainya, ini situasi yang sering terjadi dalam rumah tangga. Bagaimana kita menerapkan Efesus 5 ke dalam rumah tangga ini, bagaimanakah kita menerapkan peran dan tanggung jawab sebagaimana yang Tuhan telah tetapkan itu. Saya berikan contoh penerapannya, di sini suami berfungsi sebagai kepala istri, kepala yang baik harus memastikan bahwa stafnya mengerjakan tugas sebaik-baiknya. Dia harus tahu apa yang menjadi problem bawahannya atau stafnya dan dia harus mencoba untuk menghilangkan problem itu sehingga stafnya bisa berfungsi semaksimal mungkin. Jadi si suami seharusnya waktu dia pulang, sebelum si istri melakukan apa pun dia seharusnya sudah peka membaca situasi, dia seharusnya mengetahui bahwa istrinya sedang kerepotan dan seyogianyalah dia menawarkan bantuan untuk menolong istrinya. Sebab bukankah dalam perusahaan di mana kita bekerja, kita akan menghargai atasan yang bersedia bukan saja mengetahui lingkungan kerja bawahannya tapi juga bersedia menolong, itu atasan yang kita hargai, yang akan berkata, "Apa yang bisa saya bantu supaya problemmu bisa diselesaikan atau dikurangi supaya kamu bisa bekerja dengan lebih efektif." Seyogianya suami juga menawarkan bantuan. Misalkan secara realistik setiap hari suami menawarkan bantuan, bekerja, mengurus anak dan sebagainya dia kecapean juga, dia tidak sanggup. Nah akhirnya si suami berkata begini kepada si istri, "Saya tidak sanggup, kalau sehabis pulang kerja saya harus berkerja lagi seperti ini, saya tidak sanggup, saya kecapean. Dan kalau saya sudah kecapean, emosi saya juga turun naik, saya tidak bisa lagi bercengkerama dengan anak-anak akhirnya saya mudah marah. Atau besoknya saya terlalu capek, kerja kurang efektif; nah saya mau mengusulkan bagaimana nanti kita minta bantuan perawat, kalau tidak mau seharian tinggal ya malam saja datang, setelah itu dia bisa pulang." Waktu si suami mengusulkan itu, si istri seyogianya tunduk kepada saran suami sebab si suami telah menjalankan fungsinya sebagai kepala yang baik. Dengan kasih dia menawarkan bantuan, dia peka melihat apa yang menjadi kesulitan istrinya, dia juga sudah turun tangan membantu si istri. Sewaktu suami sudah turun tangan membantu si istri, si istri jangan membantah, si istri jangan berkata, "Saya tidak mau, saya mau ngurus begini, begini." Itu menunjukkan pembangkangan, itu menunjukkan ketidaktundukan, dia seharusnya menerima, "Benar, ini tidak bisa, suami saya sudah membantu saya dan juga terlalu capek dan ini kita mempunyai uang cukup untuk bisa mengkaryakan seorang perawat." Di sini kita melihat prinsip Efesus 5 itu diterapkan, yang satu mengepalai tapi mengepalai dengan baik, dengan kasih dan pengorbanan; yang satu tunduk sewaktu sudah melihat bahwa suami sudah menjadi kepala istri yang baik, seharusnya dia tunduk, dia tidak lagi membangkang. Dua-dua akhirnya menjalankan apa yang Tuhan kehendaki dan dua-dua bisa hidup dengan harmonis.
ET : Jadi ini ibaratnya seperti dua roda semua bisa berputar karena masing-masing menjalankan perannya.
PG : Tepat sekali, dua roda yang memang giginya itu saling terkait sehingga sewaktu berputar yang satu pun ikut berputar. Jadi intinya sewaktu suami sudah turun tangan si istri harus membuka tngan, menyambut uluran tangan si suami; jangan sampai nanti suami sudah menawarkan bantuannya, si istri malahan tidak mau, membangkang, tetap mau begitu juga.
Tidak bisa, sebab Tuhan juga memerintahkan si istri harus tunduk, bagaimanakah si suami bisa berfungsi mengepalai istri kalau istri tidak mau tunduk. Tapi untuk bisa si istri tunduk dengan lebih mudah, dia juga harus melihat suaminya turun tangan, peka melihat kesulitan si istri, mau menolong si istri, mau melayani si istri juga. Nah sikap seperti ini yang harus ditunjukkan oleh suami sebagi kepala istri.
GS : Nah ini terkait dengan faktor yang dulu kita bicarakan tentang kematangan?
PG : Betul, otomatis kalau si suami dan istri memiliki kematangan yang kita bicarakan yaitu kematangan berpikir, kematangan perasaan, kematangan rohani, dia akan lebih mudah untuk yang satu menepalai dengan kasih, yang satu tunduk dengan hormat.
ET : Mengepalai dengan kasih, seperti yang tadi Pak Gunawan katakan mau terima istilah mengepalainya tapi menjalankan peran dengan kasih rasanya seperti mudah terlupakan.
PG : Itu sebabnya Paulus waktu memberikan perintah kepada suami, mula-mula kepada istri; Istri, tunduklah kepada suamimu dalam segala sesuatu, kemudian suami hendaklah engkau mengasihi istrimu. Kemudian Paulus menjelaskan tentang bagaimana suami seharusnya mengasihi istri yaitu sebagaimana Yesus Kristus mengasihi jemaat, merawatnya, mengasuhnya sehingga jemaat menjadi tak bercela tanpa cacat, itulah yang harus dilakukan suami terhadap istrinya.
Mengasihi seperti Yesus mengasihi jemaat. Jadi kalau ini terjadi si istri seharusnya juga tunduk kepada suaminya. Memang tidak pada tempatnya kalau suami belum apa-apa sudah langsung mau menjadi bos, dia harus bisa menunjukkan dia adalah kepala sebagaimana yang Tuhan kehendaki. Dia peka, dia lihat apa yang menjadi kebutuhan istrinya, dia tidak ongkang-ongkang kaki melihat istrinya pontang-panting, dia akan bertanya, "apa yang bisa saya bantu," dan itulah atasan yang baik. Jadi kadang-kadang juga kita sering kali kehilangan perspektif, Tuhan sudah mengatakannya di Alkitab tapi kita lupakan, tapi diterapkan di luar di tempat pekerjaan, kita ikuti di luar di tempat pekerjaan tapi begitu masuk ke rumah kita tidak terapkan lagi. Bukankah di tempat di mana kita bekerja itu yang diterapkan, atasan yang baik adalah atasan yang melayani. Dalam sistem politik, para petinggi, para pejabat disebutnya abdi negara, abdi negara artinya pelayan. Jadi di luar justru diajarkan, seharusnya kita juga bisa menerapkan dalam rumah tangga kita, seharusnya kita menjadi pemimpin dengan cara menjadi abdi, abdi keluarga kita, melayani keluarga kita. Mengosongkan ego kita, bukannya kita kawin makin lama ego kita makin menggelembung, itu berarti kita tidak menjalani yang Tuhan kehendaki. Justru seharusnya pria makin lama menikah egonya makin mengecil, makin mengempes, dia makin tidak mempunyai ego, karena memang kasihnya itu adalah kasih yang melepaskan ego bukan justru menumpukkan ego.
GS : Mungkin karena tahu akan hal itu maka suami juga banyak yang tidak terlalu menekankan tentang peran sebagai kepala keluarga, sehingga dia lepas begitu saja atau jalan begitu saja. Tapi dia tidak merasa itu sesuatu yang penting untuk dijelaskan tentang peranannya sebagai kepala keluarga.
PG : Itulah saya kira cikal bakal atau permulaan dari munculnya problem dalam keluarga. Coba kita melihat perusahaan atau organisasi, jikalau pemimpin kita tidak menjalankan tugasnya pasti berntakan, jadi Tuhan sudah meletakkan fondasinya.
Untuk rumah tangga bisa tertib, untuk rumah tangga bisa harmonis, perlu adanya keteraturan siapa yang menjadi kepala, siapa yang bertugas mengasihi dan melayani, siapa yang juga harus tunduk kepada pengepalaan suami itu, ini resep ketertiban. Nah kadang-kadang kita menggembar-nggemborkan pentingnya cinta kasih dalam keluarga dan sebagainya, itu betul tapi cinta kasih hanya bisa bertumbuh dalam ketertiban. Kalau tidak ada ketertiban kita tidak bisa membicarakan bagaimana menumbuhkan, menyuburkan cinta kasih. Itu tidak mungkin, bagaimana menumbuhkan kemesraan-tidak ada kemesraan dan tidak akan tumbuh kemesraan kalau di dasarnya adalah kekacauan, tidak ada ketertiban. Maka penting sekali ada ketertiban dulu, di dalam ketertibanlah cinta bertumbuh, di dalam ketertibanlah kemesraan akhirnya juga bertunas.
GS : Memang ada istri yang lebih dominan daripada suaminya, faktanya dia lebih mampu dan bisa menjadi pemimpin. Sementara suaminya tidak bisa, Pak Paul?
PG : Dalam kasus seperti itu si istri bisa menjadi istri yang bijaksana yaitu dalam mengambil keputusan tetap berkonsultasi dengan si suami namun dia menyajikan 2, 3 pilihan yang suaminya mungkn juga tidak pikirkan karena memang kurang bisa melihat pilihan-pilihan tersebut.
Istri yang menyajikan 2, 3 pilihan tersebut dan meminta suaminya yang memutuskan. Dan sebaliknya si suami karena dia tahu keterbatasannya, waktu istrinya sudah menyajikan pilihan-pilihan yang tersedia dia pertimbangkan pilihan-pilihan itu. Jangan sampai dia merasa saya tidak bakal memilih pilihan yang istri saya sudah sajikan, dia akan pilih yang lain yang justru tambah salah. Jadi sekali lagi kita kembali ke point yang pertama yang kita bahas pada kesempatan yang lalu, bahwa diperlukan kematangan di dalam berpikir, perasaan dan rohani. Untuk rendah hati, untuk mau mendengarkan, kalau semua itu ada sebetulnya Pak Gunawan dan Ibu Ester, pertanyaan "Siapa yang Harus Berubah" tidak lagi relevan sebab masing-masing hanya pikirkan "Apa yang Harus Berubah" bukannya 'siapa' tapi 'apa'; semuanya akan bersedia, rela. "OK-lah kita langsung ubah," karena yang lebih penting 'apanya' bukan 'siapanya'.
ET : Dan banyak masalah bisa dicegah?
PG : Betul sekali, dan akhirnya memang tidak ada masalah.
GS : Jadi kesimpulannya apa Pak Paul dari perbincangan kita ini?
PG : Saya kira untuk menjawab pertanyaan "Siapa yang Harus Berubah," kita harus mundur ke belakang dan kita harus mendewasakan diri kita dulu. Yang kedua, kita harus berdiri di jalur yang bena dalam peranan dan tanggung jawab kita, kalau kita memiliki itu semua tidak ada lagi masalah tentang "Siapakah yang Harus Berubah."
Kuncinya atau dasarnya adalah memang kita harus tunduk kepada Tuhan, di dalam ketundukan kepada Tuhan akan ada kerendahan hati. Kita tidak mungkin mempunyai kerendahan hati kalau kita tidak bisa bersama-sama tunduk kepada Tuhan, kalau itu sudah ada roda ini akan mulai berputar.
GS : Terima kasih Pak paul, terima kasih Ibu Ester untuk perbincangan ini. Dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp.Pdt.Dr.Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Siapa yang Harus Berubah". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.
Comments
Anonymous (tidak terverifikasi)
Rab, 18/03/2009 - 11:56am
Link permanen
Siapa yang harus berubah?
Anonymous (tidak terverifikasi)
Rab, 18/03/2009 - 12:00pm
Link permanen
Siapa yang harus berubah?
TELAGA
Min, 22/03/2009 - 3:13pm
Link permanen
Terima kasih sudah