Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini merupakan kelanjutan dari perbincangan kami yang terdahulu yaitu tentang "Rayakan Kesetiaan" bagian yang kedua. Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
GS : Pada kesempatan yang lalu kita berbicara tentang rayakan kesetiaan, dan kita akan melanjutkan perbincangan ini namun mungkin Pak Paul bisa memberikan gambaran secara singkat, mengulas secara singkat apa saja yang kita sudah bicarakan pada kesempatan yang lalu ?
PG : Biasanya sewaktu kita mendengar kata kesetiaan yang muncul dalam benak kita adalah setia kepada suami dan istri kita, namun saya menggunakan istilah setia bukan saja dalam konteks hubungan suami istri tapi juga dalam hubungan orang tua dan anak. Kita harus berlaku setia kepada anak-anak kita, kita harus memiliki komitmen untuk mendampingi anak-anak kita dan jangan setengah-setengah, jangan mudah-mudah angkat tangan waktu kita merasa frustrasi dengan mereka, tapi kita harus bersama dengan mereka dan juga jangan mendelegasikan tugas membesarkan mereka kepada orang lain, Tuhan sudah memberikannya kepada kita maka kitalah yang harus bertanggungjawab untuk membesarkan mereka. Kita juga membahas bahwa yang namanya sabar dan setia kepada anak juga bukan dalam hal mendampinginya saja, tapi juga dalam hal mendisiplin anak, perlu kita setia mendisiplin anak karena anak memerlukan disiplin sama seperti anak memerlukan kasih sayang. Dengan adanya disiplin anak akan menjadi anak yang tangguh yang bisa menghadapi pukulan dan tekanan hidup dan dengan adanya disiplin, anak juga akhirnya mampu untuk mengatur hidupnya dan hidupnya tidak kacau karena dia bisa mengelolanya dengan baik. Ini semua adalah buah-buah dari disiplin dan inilah yang orang tua harus lakukan di dalam membesarkan anak-anak.
GS : Seringkali orang tua bukannya tidak memberikan disiplin hanya saja kurang pas memberikan disiplin, jadi mungkin dia terlalu lunak, terlalu sabar terhadap anaknya tetapi batasannya agak sulit, abstrak, agak relatif, kalau seandainya ada orang tua yang kurang memberikan disiplin kepada anak-anak mereka, itu akibatnya apa, Pak Paul ?
PG : Ada anak-anak yang kurang mendapatkan disiplin dalam pengertian, orang tua memberikan semua yang diinginkan anak, perlakuan seperti ini hanya akan membuat anak berpikir bahwa ia layak menerima semua yang diinginkannya, dengan kata lain si anak ini beranggapan bahwa dia itu cukup bagus, cukup baik sehingga apa pun yang diinginkannya seharusnyalah orang memberikan itu kepadanya. Dengan kata lain, tanpa disiplin dan terus memberi semua yang diinginkan oleh anak akan membuatnya beranggapan bahwa dia itu layak diperlakukan sekhusus itu, sehingga seharusnya orang selalu memberikan dan menuruti apa yang diinginkannya. Ini adalah salah satu dampak dari orang tua yang tidak mendisiplin anak dengan benar. Jadi benar-benar kita membuat si anak itu memunyai sifat atau karakter yang sangat tidak cocok untuk hidup di dalam lingkungan atau bermasyarakat karena tidak ada orang yang mau menerima sikap yang seperti itu, tidak ada orang yang bisa tahan dengan orang yang seperti itu juga, yang beranggapan apa yang diinginkannya harus didapatkannya sebab orang harus memberikan apa yang diinginkannya itu.
GS : Kita seringkali menyebut orang tua memanjakan anak, tetapi ketika kita konfirmasikan kepada orang tua yang bersangkutan maka jawabnya, "Ini adalah anakku satu-satunya, kalau bukan saya yang memanjakan dia lalu siapa yang memanjakan dia".
PG : Kita memang memanjakan dalam pengertian kita ingin membagi kasih sayang kita kepada anak dan itu adalah hal yang wajar, hal yang seharusnya kita perbuat namun jangan lupa kasih sayang yang kita berikan kepada anak perlu diberikan seimbang dengan disiplin, sebab kalau tidak nanti anak akan justru mengembangkan masalah dan kalau itu terjadi bukankah kita malah merusak si anak. Bukannya membuat si anak itu siap untuk hidup bermasyarakat dengan orang tapi malah merusaknya, sehingga kita itu membuatnya menjadi orang yang tidak bisa hidup dengan orang lain dan membuat dia menjadi seperti penyakit sampar sehingga orang takut dekat-dekat dengan dia karena dia hanya menuntut orang untuk selalu memberikan yang diinginkannya kalau orang tidak memberikannya maka dia marah dan sebagainya, bukankah kita kalau mengasihi anak begitu besar sehingga memanjakannya dan gagal memberinya disiplin, bukankah kita malah merugikannya justru lebih besar karena dia akan menjadi seperti itu seumur hidupnya ?
GS : Tapi bagi orang tua yang bersangkutan, itu semacam kesempatan untuk menebus dosanya seperti beberapa waktu yang lalu Pak Paul katakan, "Jangan anak itu diserahkan kepada orang lain" karena suami istri harus bekerja, maka anak ini diserahkan kepada kakek atau neneknya, tapi orang tua ini punya perasaan bersalah sehingga ketika anak itu meminta sesuatu dan orang tua ini mampu untuk memberikan, maka itu yang dilakukan oleh orang tua.
PG : Jadi adakalanya orang tua karena ingin menebus kesalahannya, ingin membuat anak itu supaya sayang dan dekat kepadanya, akhirnya semua dituruti dan semua yang diinginkan diberikannya. Orang tua harus berpikir begini, "Saya telah salah". Jadi langkah pertama adalah bagaimana mengurangi kesalahan itu dan bukan hanya menebusnya dengan memanjakan anak, tapi bagaimana bisa menguranginya. Misalnya jangan pergi, jangan bekerja terlalu lama dan berilah waktu untuk anak-anak di rumah. Jadi lakukanlah langkah pertama dan berikutnya adalah orang tua senantiasa harus berpikir jernih yaitu bukankah kalau saya memerlakukan anak seperti ini, memanjakannya, memberikan semua yang diinginkannya, bukankah sebetulnya saya merugikan si anak dan jangan sampai kita menjadi orang tua yang ‘selfish’ atau egois, gara-gara kita tidak mau kehilangan kasih sayang anak dan kita mau dia tetap mengasihi kita maka kita berikan semua yang diinginkannya, itu sebetulnya egois karena kita sebetulnya sedang membeli kasih anak dengan barang-barang atau menuruti semua kemauannya padahal akibatnya adalah sangat berjangka panjang dan anak ini menjadi anak yang bermasalah seumur hidupnya, berpuluhan tahun bahkan setelah kita meninggal dunia, anak ini akan terus menciptakan masalah bagi orang lain.
GS : Selain memberikan pemberian yang tidak patut kepada anak, hal lain apalagi, Pak Paul ?
PG : Kita akhirnya membolehkan anak melakukan semua yang ingin dilakukannya, ini adalah salah satu ciri atau tanda kurangnya disiplin atau tidak tepatnya pemberian disiplin, kenapa jangan sampai kita membiarkan anak berbuat semaunya ? Karena bila kita membiarkan anak berbuat semua yang diinginkannya maka itu sama dengan mengajarkan kepadanya bahwa relasi dan hidup tidak memunyai batas, maksudnya adalah dia berpikir bahwa dia berhak untuk masuk ke dalam kehidupan orang dan memerintahnya atau mengharuskannya berbuat sesuai kata hatinya, karena pada akhirnya dia tidak melihat adanya batas antara dirinya dan orang lain, orang tuanya selalu membiarkan dirinya mau melakukan apa saja, mau mengganggu adiknya, memukul adiknya, memecahkan barang, memarahi pembantu, memaki-maki temannya dan sebagainya. Orang tuanya selalu membela dia dan membiarkan dia semaunya. Dan si anak akhirnya berpikir bahwa dia sepertinya orang yang tangannya sepanjang belalai dan dia boleh berbuat semaunya dan tangannya boleh kemana-mana dan orang harus tunduk kepada dia. Jadi dengan orang yang seperti ini, maka orang akan takut dekat dengan dia, orang justru ingin lari dari dia sebab dia tidak kenal dengan yang namanya batas dan dia tidak bisa menghargai orang bahwa orang punya kehendaknya dan kadang-kadang orang juga tidak punya waktu untuk dia, dia tidak bisa terima. Yang penting dia ingin berbuat apa maka orang harus bisa memaklumi dan orang harus bisa menerima, berbuat semau-maunya. Jadi ini adalah salah satu bentuk tidak adanya disiplin, yang pertama tadi yaitu anak minta apa maka diberikan dan memang dalam bentuk materi. Yang kedua dan yang umum dilakukan oleh orang tua yang gagal mendisiplin anaknya adalah membiarkannya berbuat apa saja dan ini terjadi, jadi ada orang tua yang membiarkan anaknya memarahi pembantunya, memerintah-merintah pembantunya padahal anaknya masih berumur lima atau enam tahun. Jadi anak ini akhirnya berpikir bahwa dia seperti raja dan boleh berbuat apa pun kepada orang dan orang itu tidak boleh mengeluh dan harus selalu menerima perbuatannya itu.
GS : Memang kadang-kadang ada orang tua yang merasa kewalahan dengan sikap anak itu, karena itu tumbuhnya tidak sekaligus tapi secara bertahap karena dia diijinkan ini dan itu dan makin lama makin banyak dan dia menjadi raja kecil di dalam rumah itu.
PG : Betul sekali. Jadi memang mesti kita mulai memberi disiplin kepada anak sejak anak usia kecil sebab kalau tidak sejak anak usia kecil akhirnya mengembangkan sikap dia sebagai raja yang ingin berbuat semaunya, dan ada orang tua yang bersikap seperti itu kepada satu anak dan kepada anak yang lainnya tidak. Jadi misalnya si kakak karena dia anggap paling tampan dan sebagainya maka ketika adiknya sedang bermain, mainannya dia ambil dan sebagainya dan orang tuanya hanya diam dan malahan ada yang menyuruh menyuruh adiknya untuk memberi, "Tidak apa-apa kalau kakakmu yang minta, berikan" padahal kalau adiknya yang minta dan kakaknya tidak memberi, papa mamanya berkata, "Adik tidak boleh minta, ini kakak yang punya". Jadi akhirnya si anak itu hidup tanpa disiplin dan dia sungguh-sungguh berpikir dia bebas berbuat apa saja dan dia bebas memerlakukan orang seenaknya.
GS : Memang kelemahan kita sebagai orang tua, kita terjerumus kepada kurang memberikan disiplin atau berlebihan-lebihan memberikan disiplin, tadi Pak Paul sudah utarakan kalau kita kurang memberikan disiplin. Kalau ada orang tua yang terlalu berlebihan mendisiplin anaknya maka akibatnya apa, Pak Paul ?
PG : Akibatnya kita menghancurkan jiwa si anak, jadi ada orang-orang yang akhirnya setelah besar, misalnya sudah punya kepercayaan diri karena sejak kecil sering dimarahi sehingga hanya tahu satu hal yaitu, "apa yang tidak benar dengan diri saya, apa yang salah dalam diri saya" karena tidak pernah diberitahukan tentang apa yang baik dan benar tentang dirinya dan hanya tahu apa yang salah tentang dirinya, atau dicaci maki sehingga anak itu berpikiran buruk terhadap dirinya dan tidak punya kepercayaan diri sama sekali atau anak ini ketakutan sekali berbuat salah, tidak berani melangkah atau mengambil resiko, takut nanti kalau salah nanti di rumah dipukuli. Atau ada anak yang diisi dengan kebencian yang sangat besar sehingga tujuan hidupnya hanya satu yaitu bagaimana memberontak keluar dari rumah. Akhirnya anak yang seperti ini juga mengembangkan masalah dalam kehidupannya pula, mungkin dia tidak bisa mencapai targetnya, tidak punya dorongan untuk berbuat lebih dari yang dilakukannya sekarang, atau anak ini adalah anak yang terlalu mudah menyalahkan orang-orang lain atau orang ini menjadi anak-anak yang bergantung sekali kepada orang. Jadi sekali lagi kelebihan disiplin juga tidak baik atau berdampak buruk pada anak.
GS : Tentunya kita sebagai orang tua berharap bisa memberikan disiplin yang pas bagi anak-anak kita. Apa bentuk disiplin yang tepat itu, Pak Paul ?
PG : Saya sekali lagi mau mengingatkan bahwa kita sekarang sedang membicarakan tentang kita harus setia kepada anak dan setia kepada anak dibuktikan dalam komitmen kita kepada anak untuk mendampinginya sampai dia besar dan juga memberinya disiplin kepada si anak sampai dia besar. Apa disiplin yang tepat ? Apa efeknya pada dirinya ? Dengan disiplin yang tepat kita mengajarkan kepada anak bahwa hidup adalah anugerah. Artinya anugerah adalah pemberian Tuhan, benar-benar bukan karena kita yang mengusahakan untuk dapat hidup di dunia ini kita tidak pernah membeli tiket sebelum hadir di dunia ini dan berkata kepada Tuhan, "Tuhan saya mau hadir ke dunia, ini harganya saya bayar dan tempatkan saya di sini atau di sana" tidak seorang manusia pun yang pernah membeli tiket untuk meminta Tuhan menitipkannya atau menempatkannya di bumi ini. Kita benar-benar ada di dunia ini karena ini adalah anugerah Tuhan. Jadi jangan sampai kita akhirnya memunyai konsep kebalikannya karena kita tidak didisiplin dengan tepat, kita beranggapan kita adalah segala-galanya dan bahwa kita layak menerima semuanya, itu tidak ! tapi hidup benar-benar adalah anugerah Tuhan dan jangan beranggapan bahwa semua ada di tangan kita, tapi ada di tangan Tuhan.
GS : Berarti kita sebagai orang tua harus menyadari hal itu bahwa hidup adalah anugerah dan bagaimana itu diteruskan kepada anak atau anak-anak kita.
PG : Betul sekali. Kita sebagai orang tua jika tidak hidup di dalam anugerah justru bergantung kepada semua kekuatan kita seolah-olah semua ini bergantung kepada kita dan bukan kepada Tuhan, anak akhirnya juga akan menerima transfer nilai ini bahwa hidup adalah seperti ini dan kitalah yang telah mengusahakannya dan bukan pemberian Tuhan. Orang kalau sudah beranggapan bahwa hidup dalam genggamannya akhirnya akan membesarkan diri dan tidak akan menghargai Tuhan dan akan mau berbuat semuanya dengan hidup sebab bukankah hidup punya saya dan saya telah mengusahakan, jadi saya bebas berbuat semuanya dengan hidup saya, tidak ! Dengan adanya disiplin yang tepat dari orang tua anak-anak diajarkan untuk menghargai hidup bahwa dia tidak bisa berbuat sekehendak hati dengan hidup ini.
GS : Hal yang kedua apa, Pak Paul ?
PG : Bahwa manusia untuk dihargai dan barang untuk dipakai, anak yang tidak mengenal disiplin akan beranggapan sebaliknya bahwa manusia untuk dipakai dan barang untuk dihargai. Jadi karena semua yang diinginkannya diperolehnya, dia boleh berbuat semaunya akhirnya dia benar-benar akan memakai manusia untuk mendapatkan apa yang diinginkannya supaya barang-barang yang dia inginkan bisa dia peroleh. Benar-benar dia akhirnya menghargai meninggikan barang atau materi dan manusia adalah untuk dipakainya supaya mendapatkan apa yang diinginkannya ini.
GS : Jadi ini pola pikir yang terbalik yang seharusnya subyek jadi obyek dan yang obyek menjadi subyek, begitu Pak Paul ?
PG : Betul sekali.
GS : Dan ini bisa terlihat pada anak sedini mungkin atau ketika anak itu sudah besar, Pak Paul ?
PG : Kita bisa mulai melihatnya ketika anak-anak itu mulai SD. Anak-anak yang terlalu dimanja, semua yang diinginkannya itu diberikan, dia bebas berbuat apa saja dibiarkan dan dibela tidak ada disiplin. Anak ini akhirnya kelihatan pada masa kecil memakai orang untuk mendapatkan apa yang diinginkan dan tidak peduli dengan orang dan yang penting adalah dirinya sendiri. Jadi itu prinsipnya, orang untuk dipakai dan barang untuk dihargai.
GS : Pola pikir itu akan terbawa terus selama dia belum memiliki pengertian yang benar, Pak Paul ?
PG : Tepat sekali.
GS : Apakah ada hal lain sehubungan dengan disiplin yang tepat itu, Pak Paul ?
PG : Bahwa ia hanya dapat bergerak bila dia berjalan dan bahwa tidak seorang pun yang dapat membuatnya berjalan kecuali dirinya sendiri. Dengan kata lain, kalau kita mendisiplin anak dengan tepat, kita mengajarkannya bahwa dia adalah satu-satunya orang yang bertanggungjawab atas pilihan dalam hidupnya, kalau kita tidak mendisiplin anak dengan tepat, kita membuatnya bergantung, menyalahkan orang, semua harus melakukan apa yang diinginkannya, kalau ada yang kurang benar dengan dirinya berarti kesalahan orang lain. Dengan disiplin yang tepat kita mendidik anak untuk bertanggungjawab atas tindakannya atas pilihannya sehingga dia tidak mudah-mudah menyalahkan orang dan kalau sampai dia gagal maka orang pertama yang akan dilihatnya adalah dirinya sendiri, "apa yang belum dia lakukan dan apa yang harus dilakukannya sehingga target boleh dicapai". Anak yang seperti inilah yang memang kita inginkan.
GS : Tapi sementara anak-anak masih kecil kita sebagai orang tua perlu mendampingi mereka ketika mereka mengambil keputusan, karena tidak bisa dibiarkan anak itu mengambil keputusan sendiri tanpa bimbingan kita.
PG : Sudah tentu. Jadi akan ada saat-saat kita mendampingi anak dalam pengambilan keputusan, mengajarkannya mereka untuk menetapkan prioritas, mengumpulkan data dan sebagainya sehingga anak kita sanggup mengambil keputusan dengan bijaksana. Tugas kita adalah untuk mendampingi anak supaya dapat mengambil keputusan dengan baik.
GS : Hal mengambil keputusan dan sebagainya ini, tentunya harus diberikan suatu teladan oleh orang tua kepada anak, bagaimana kita mengajarkan hal itu kepada anak-anak kita, Pak Paul ?
PG : Misalkan waktu kita mengambil keputusan, kita ini memberikan anak kesempatan untuk mendengar prosesnya, apa yang kita pikirkan, apa yang kita lakukan. Misalnya kita tidak langsung berbuat, kita pikirkan baik-baik, kita pertimbangkan faktor-faktor yang lain dan misalkan kita tanya orang dan kita tidak memikirkan sendiri, tapi kita terbuka terhadap masukan orang lain dan yang terpenting adalah kita bawakan di dalam doa, kita minta Tuhan menuntun dan memberikan petunjuk yang jelas kepada kita. Waktu anak melihat inilah cara kita mengambil keputusan, maka anak akan belajar mengambil keputusan dengan cara yang sama.
GS : Didalam hubungan orang tua dan anak landasannya adalah kasih, kita melakukan itu semua karena kita mengasihi anak kita dan kita berharap anak ini juga bisa mengasihi kita sehingga pada masa tua kita pun nanti kita bisa tetap berhubungan dengan mereka secara baik. Bagaimana kita mendemonstrasikan kasih itu, Pak Paul ?
PG : Kita mendemonstrasikan kasih kepada anak dalam pengertian kita menunjukkan bahwa kasih kita kepadanya tidak terbatas. Jadi inilah yang kita pelajari dari kasih Allah kepada kita yaitu tak terbatas, sehingga kita menjadi penerus kasih Allah kepada anak yakni tidak terbatas, karena akan ada saat di mana kasih kita itu mendapat ujian terbesar, ada hal-hal yang akan anak lakukan yang benar-benar memukul kita dan akhirnya kita rasanya tidak sanggup lagi untuk hidup dan tergoda untuk melepaskan anak kita. Dalam saat seperti ini kita harus mengingat bahwa kasih Bapa tidak berkesudahan dan Tuhan tidak menyerah dan akan terus berusaha membawa kita anak-anak-Nya kembali kepada Dia, maka kita pun harus terus berdoa dan berharap sebab kita tidak bisa dengan cepat membatasi kasih itu, tidak menghiraukan anak kita, tidak bisa seperti itu, tapi kita harus ingat kasih Bapa yang tidak berkesudahan.
GS : Memang makin kita mencoba mengasihi anak maka timbul masalah-masalah yang membuat kita meragukan apa perlu saya terus mengasihi, saya ini dijadikan semacam obyek oleh anak, nanti malah keliru.
PG : Sehingga kalau anak-anak sudah mulai besar kita harus bijaksana melihat apakah anak-anak kita memanipulasi kita, memanfaatkan kita sehingga mereka sendiri akhirnya tidak belajar bertanggungjawab. Jadi dengan kata lain, jangan sampai kita berat sebelah. Maka kita harus tekankan bahwa kasih itu harus ada dan penting sekali dan kita pun harus menyeimbangkan kasih dengan disiplin supaya anak kita bisa bertumbuh menjadi anak yang utuh.
GS : Hal lain yang perlu didemonstrasikan apa, Pak Paul ?
PG : Untuk kita terus bertahan memberikan kasih tak berkesudahan kepada anak, saya membagikan dua masukan, yang pertama adalah jangan pikirkan ketidakadilan, kadang-kadang inilah yang kita pikirkan kepada anak kita, "Saya sudah berbuat ini tapi kamu tidak menghargai, saya telah berkorban tapi kamu tidak mengingatnya dan kamu hanya ingat hal buruk. Begitu hal baik yang saya lakukan, tapi kamu tidak melakukan dan kamu tidak mengingatnya" dan kita merasa ini tidak adil. Justru saya mau katakan jangan pikirkan ketidakadilan, kita ditempatkan Tuhan dalam hidup anak-anak kita untuk memberi dan memberi, memang adakalanya anak itu tidak adil, bukankah kadang-kadang karena anak tidak mengerti sebagai orang tua akhirnya berbuat seenaknya dan baru nanti setelah mereka besar dan memunyai anak barulah mengerti apa yang kita maksudkan. Jadi jangan sampai kita terpukul dan merasa tidak adil tapi justru kita harus terus mengasihi dan kita harus maju dan memberi terus dan jangan pusingkan ketidakadilan.
GS : Bagaimana kalau itu dilakukan oleh seorang anak yang sudah cukup dewasa bahkan sudah menikah, sehingga orang tua ini merasa sangat sakit hati kepada anaknya karena diperlakukan tidak adil.
PG : Kalau anak sudah besar dan bisa hidup sendiri dan berlaku seperti itu kepada kita maka itu menandakan adanya sebuah sikap yang kurang baik pada anak kita, kalau dalam kasus seperti itu maka saya akan berkata kepada orang tua batasi diri, lindungi diri, tidak harus kita selalu memberi karena dia sekarang sudah dewasa dan kita sekarang melihat adanya faktor karakter yang tidak baik. Jadi kita tidak apa-apa melindungi diri.
GS : Tapi orang tua itu juga merasa bersalah dan berkata, "Mungkin saya dulu mendidiknya keliru".
PG : Sudah tentu bisa jadi karena kita tidak sempurna bisa salah didik dan sebagainya. Tapi kita harus melihat yang sekarang bahwa anak ini hidup sekarang dan kalau kita terus memberikan dan memberikan yang diinginkannya dan dia sudah berkeluarga berarti kita justru merugikan dia, kita mendidiknya untuk tidak bertanggungjawab, jadi kita harus memberanikan diri dan menegaskan hati untuk berkata, "Tidak, saya tidak mau lagi menjadi sapi perahan bagimu".
GS : Mungkin selain tidak memikirkan ketidakadilan, mungkin ada hal lain yang perlu kita lakukan, Pak Paul ?
PG : Jangan pikirkan reputasi, ini nasehat saya yang kedua tentang mendemonstrasikan kasih Bapa yang tak terbatas kepada anak, mengasuh anak pada saat anak bermasalah memang dapat menghancurkan reputasi kita namun itulah yang harus kita kedepankan, kita harus rela mengorbankan reputasi kita dan terus mendampingi anak kendati kita harus kehilangan reputasi kita di tangan masyarakat. Mungkin orang akan mengkritik dan mengecam kita gagal dan sebagainya, tidak apa-apa tapi kita mau memberikan kasih sayang kepada anak dan kita korbankan gengsi kita dan sebagainya. Orang mungkin melihat kita begini dan begitu, tidak apa-apa, orang memandang kita kurang positif juga tidak mengapa sebab kita harus menanggung semua ini untuk menolong anak kita.
GS : Berarti kita tidak memedulikan omongan orang demi kita menunjukkan kasih kepada anak, tapi suara orang di sekeliling kita juga membingungkan kita.
PG : Jadi adakalanya kita juga harus mendengarkan apa yang orang lain katakan, apa yang baik tapi poin saya adalah waktu kita mengetahui ini mungkin bagian kita sebagai orang tua kita harus mendampingi anak maka kita jangan memikirkan gengsi. Ada misalnya orang yang terhormat, orang-orang yang melayani Tuhan dan kemudian anak-anaknya mengalami masalah maka dia harus sedikit banyak berhenti dari tugas-tugasnya sehari-hari supaya bisa fokus kepada anak dan nanti mungkin orang akan bicara ini dan itu, tapi tidak apa-apa dan jangan pikirkan gengsi. Dengan cara itulah kita akan bisa memberikan kasih sayang tak terbatas kepada anak.
GS : Tapi apakah itu tidak ada suatu batas waktu tertentu artinya usaha kita sampai pada suatu titik tertentu, sehingga kita bisa melihat apakah ini sia-sia atau tidak saya melakukan hal ini untuk anak kita.
PG : Selama kita masih bisa memberikan kasih itu dan selama kita masih bisa mendidik anak kita untuk bertanggungjawab saya kira kita terus doakan, terus tunjukkan kasih sayang kepadanya. Sekali lagi asal kita tahu kita tidak sedang merusakkannya. Kalau kita tahu kita merusakkannya maka kita hentikan.
GS : Pak Paul, sehubungan dengan perbincangan ini baik yang terhadulu maupun yang saat ini, mungkin ada ayat firman Tuhan yang ingin Pak Paul sampaikan ?
PG : Saya akan bacakan dari Yohanes 12:24 Tuhan Yesus berkata, "Sesungguhnya jikalau biji gandum tidak jatuh ke dalam tanah dan mati, ia tetap satu biji saja; tetapi jika ia mati, ia akan menghasilkan banyak buah". Ini perumpamaan yang indah yang bisa kita terapkan bagi kita sebagai orang tua, kita harus rela mengorbankan diri dan berlaku setia kepada anak walaupun untuk itu harga yang harus dibayar adalah tinggi, biji gandum harus terlebih dahulu mati sebelum ia dapat menghasilkan banyak buah. Jadi kita orang tua memang harus berani berkorban supaya nanti akhirnya anak-anak kita bisa bertumbuh dan berbuah.
GS : Akhirnya itu kadang-kadang setelah kita meninggal, baru anak itu menyadari kebaikan hati orang tuanya, Pak Paul.
PG : Betul. Kadang-kadang perlu waktu selama itu untuk menyadarkan anak.
GS : Tapi tidak ada hal yang sia-sia tentunya karena anak ini berubah menjadi baik.
PG : Betul.
GS : Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan ini. Dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Rayakan Kesetiaan" bagian yang kedua. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.