Saudara–saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling. Perbincangan kami kali ini tentang "Peran Iman dalam Pengambilan Keputusan". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
GS : Pak Paul, rasanya hampir tiap hari itu kita terlibat pada pengambilan keputusan. Kadang-kadang hal yang remeh saja seperti mau pergi atau tidak, mau pakai baju apa, mau makan apa. Tetapi kadang-kadang dalam hidup ini kita juga harus memutuskan sesuatu yang besar. Mau membeli atau menjual rumah, mau menikah dan sebagainya. Seringkali untuk keputusan-keputusan yang besar seperti itu, kita membutuhkan suatu pedoman. Apa sebenarnya, karena seringkali kita diliputi oleh kebimbangan, keragu-raguan dan akhirnya tidak segera mengambil suatu keputusan. Dan masalahnya bisa berkembang, tambah lama tambah besar. Apa yang Pak Paul ingin sampaikan kepada kita, kepada para pendengar juga, tentang pengambilan keputusan ini?
PG : Jadi betul sekali, Pak Gunawan. Dalam hidup kita akan selalu menghadapi keputusan. Nah sudah tentu kita ini tidak bisa memastikan bahwa keputusan kita itu akan selalu sempurna. Tidak! Tapi yang bisa kita pastikan adalah proses pengambilan keputusan itu sendiri. Jadi jangan sampai kita salah langkah dalam prosesnya. Nah, pada kesempatan kali ini, Pak Gunawan, kita akan coba melihat prosesnya itu sendiri apa saja yang mesti kita perhatikan.
GS : Ya. Kita mulai saja dengan proses itu, Pak Paul. Jadi ada semacam pedoman yang bisa dipakai untuk mengambil keputusan. Nah ini prosesnya bagaimana, Pak Paul?
PG : Pedoman yang pertama adalah sebelum mengambil keputusan kita mesti menanyakan apakah kita memang harus mengambil keputusan tersebut. Kenapa saya berkata begitu? Sebab ada kalanya kita tidak mesti atau tidak seharusnya mengambil keputusan tersebut. Jadi sekali lagi saya ulang, kita ini jangan langsung seperti harus mengambil keputusan karena ada hal yang harus kita putuskan. Kita memang harus bertanya, "Apakah benar-benar saya harus mengambil keputusan tersebut?" Nah, kadang begini, kita mengambil keputusan yang sebenarnya bukan tanggung jawab atau bagian kita untuk melakukannya. Jadi ada waktunya kita mengambil keputusan tetapi ada waktunya pula untuk tidak mengambil keputusan dan membiarkan orang lain untuk mengambilnya. Atau bahkan kita memilih membiarkan situasi berada dalam status quo untuk suatu kepentingan yang lebih besar.
GS : Mungkin supaya lebih jelas, bisakah Pak Paul memberikan contoh konkret untuk menjelaskan hal ini?
PG : Misalkan anak kita sudah berumur dua puluh tahun lebih dan kesulitan memilih pekerjaan. Di masa lampau kita memang pernah menolongnya, memberitahunya, memberikan pandangan kepadanya. Kemudian dia berhenti. Sekarang dia kemudian mencari lagi pekerjaan. Dalam proses ini mungkin kita, sekali lagi hanya melakukan tugas sebagai seorang ayah atau ibu, memberikan pandangan. Nah mungkin sekali anak kita akan berkata, "Tolong papa atau mama putuskan mana yang lebih baik". Nah, mungkin kita tergoda untuk berkata, "Ya sudah, ambil keputusan ini saja", sudah tentu ada waktunya kita mengambil keputusan buat orang lain, tapi ada waktunya kita berkata, "Saya kira lebih baik engkau yang putuskan. Sebab ini benar-benar adalah hal yang mesti engkau putuskan sendiri. Ini berkaitan dengan hidupmu". Sama seperti dalam hal pemilihan pasangan hidup. Sebagai orang tua, kita memberikan pandangan dan kita biarkan anak kita mengambil keputusan itu setelah kita uraikan dengan panjang lebar konsekuensinya, hal-hal yang perlu diperhatikannya. Tetapi biarkan dia yang ambil keputusan itu. Dengan kata lain, kita harus selalu bertanya apakah kita harus mengambil keputusan itu sebab kadang tidak semestinya kita mengambil keputusan.
GS : Pertimbangannya apa, Pak Paul? Kapan kita harus mengambil keputusan, kapan kita membiarkan anak atau siapa pun yang ada di dekat kita untuk mengambil keputusan sendiri?
PG : Biasanya kalau kita melihat bahwa ini adalah tanggung jawab dia, bukan tanggung jawab kita. Jadi kita tidak mudah mengambil alih tanggung jawab orang. Kenapa? Sebab kita mau orang belajar bertanggung jawab atas keputusan yang dibuatnya. Mudah sekali akhirnya orang lain untuk memindahkan tanggung jawabnya kepada kita. Apalagi kalau kita adalah orang tua. Atau ada saudara yang perlu bantuan atau apa, mudah sekali orang memindahkan tanggung jawab itu pada pundak kita. Jadi kalau kita lihat dia itu memang tidak mau mengambil keputusan, tidak mau bertanggung jawab, mungkin itu waktunya kita untuk tidak mengambil keputusan. Tentang pekerjaan, misalnya. Keputusan apakah kita harus bicara dengan atasan kita tentang sesuatu yang terjadi, yang kurang kita sukai atau apa. Nah, kadang kita memang harus bicara. Tapi kadang kita berkata,"Tidak. biarkan sajalah." Nanti kalau atasan kita sudah mengalami, misalnya benturan atau benar-benar mengalami masalah, biarlah dia akan belajar. Sebab di masa lampau kita bicara rupanya tidak disambut dengan baik. Jadi dengan kata lain, ada waktu kita biarkan situasinya seperti apa adanya sampai seseorang mengalami sesuatu yang lebih menyakitkan untuk dia akhirnya belajar sesuatu dari kesalahan tersebut.
GS : Atau kadang-kadang begini, Pak Paul, misalnya anak yang bertanya atau pasangan hidup kita yang bertanya, bisakah kita menjawabnya, "Kalau saya, maka saya mengambil keputusan seperti ini" tapi selanjutnya biar dia sendiri yang mengambil keputusan.
PG : Nah itu memang suatu langkah lebih maju lagi, lebih memberinya sinyal bahwa ini keputusan yang baik. Kadang kita akan melakukan hal seperti itu dan tak mengapa. Tapi kadang karena kita mau supaya orang tersebut benar-benar bertanggung jawab atas keputusannya, baik itu nanti keputusannya positif atau negatif. Jadi kadang kita biarkan saja dan kita hanya memberikan pandangan, "Kalau ini, begini begini begini. Kalau itu, begini begini begini. Sekarang langkahmu, ambillah keputusan tersebut.
GS : Proses atau pedoman yang lain apa, Pak Paul?
PG : Bila memang kita harus mengambil keputusan tersebut, maka kita harus berdoa meminta pimpinan dan kehendak Tuhan. Sejak saat kita berdoa, kita mesti percaya bahwa Tuhan mendengar doa kita dan memimpin kita dalam proses pengambilan keputusan. Jadi bukalah telinga dan pasanglah mata untuk menerima tuntunan Tuhan. Pada umumnya Tuhan memandu lewat firman-Nya dan lewat situasi yang kita alami. Jadi kita mesti pasang mata dan melihat jelas. Tidak jarang Tuhan pun menitipkan kehendak-Nya melalui anak-anak-Nya yang secara khusus dihadirkan-Nya di dalam hidup kita. Setelah kita berdoa kita mesti percaya, Tuhan itu akan mulai mengkomunikasikan kehendak-Nya dan pimpinan-Nya kepada kita.
GS : Ini kalau kita sendiri yang harus memutuskan sesuatu itu, ya Pak Paul? Jadi kita datang kepada Tuhan, minta pimpinan Tuhan. Begitu, Pak Paul?
PG : Ya, betul sekali.
GS : Kalau untuk orang lain apakah bisa, Pak Paul? Kita berdoa tapi untuk mengambil keputusan bagi orang lain.
PG : Sama. Kalau kita mengambilkan keputusan bagi orang lain, sama. Kita akan berdoa meminta Tuhan menunjukkan kehendak-Nya. Selama Tuhan memang tidak mengatakan "jangan" secara jelas, biasanya saya akan terus perlahan-lahan maju menuju kepada pertimbangan yang terbaik itu. Tapi dalam prosesnya kita memang harus terus membuka mata. Sebab kadang Tuhan berbicara kepada kita lewat firman yang kita sedang baca, lewat khotbah yang kita dengar, atau lewat situasi. Tiba-tiba situasi tersebut mempunyai makna. Tidak selalu suatu situasi memberikan makna. Tapi dalam proses pengambilan keputusan, seringkali kita tidak merencanakannya kemudian sesuatu terjadi, tiba-tiba seperti ada makna yang langsung keluar dari peristiwa tersebut yang mengingatkan kita: Ini pesan yang sedang Tuhan sampaikan kepada kita.
GS : Kadang-kadang sebenarnya kita sudah punya rencana untuk memutuskan sesuatu, Pak Paul. Tapi karena kita ingat kita adalah orang yang beriman, kita datang kepada Tuhan, berdoa minta pimpinan Tuhan. Tapi ini ‘kan hanya semacam meminta legitimasi dari Tuhan. "Tuhan, saya sudah punya keputusan seperti ini. Tuhan setuju atau tidak?" Begitukah, Pak Paul?
PG : Sudah tentu idealnya memang kita tidak seperti itu, Pak Gunawan. Idealnya kita benar-benar datang kepada Tuhan dalam kenetralan. Tidak ada kecenderungan ke kiri atau ke kanan. Tapi kita ini manusia punya pertimbangan, punya kehendak juga. Jadi ada kecenderungan kita mau ke kiri atau ke kanan. Yang penting adalah kita berkata kepada Tuhan, "Tuhan, kalau saya yang harus pilih, sejujurnya saya akan pilih ini. Kalau Engkau bertanya apa yang aku mau, ini yang aku mau. Tapi Tuhan, bukan kehendakku, tapi kehendak-Mulah yang jadi". Dan itulah doa yang akan Tuhan terima. Bukannya kita ini selalu harus kosong tidak ada kehendak. Ada kehendak pun tidak apa-apa, namun terpenting adalah kesediaan kita untuk mendengarkan apa yang Tuhan harus katakan.
GS : Itu akan jadi pergumulan baru jika jawaban Tuhan berbeda dengan apa yang sudah kita rancangkan sejak awal, Pak Paul.
PG : Ya, betul sekali. Sebab kita ini manusia yang seringkali merencanakan, Pak Gunawan. Jadi sebelum berdoa, sebelum meminta kehendak Tuhan, kita sudah tahu kira-kira apa yang kita mau dan tidak berhenti disitu, kita akan mulai merencanakan apa yang akan kita lakukan. Nah, tiba-tiba kehendak Tuhan berbeda, berarti kita harus mengubah semua rencana.
GS : Pedoman atau proses yang lain apa, Pak Paul?
PG : Kita harus mengumpulkaan informasi selengkapnya. Memang saya mengerti bertambahnya informasi akan menambah kompleks proses pengambilan keputusan. Karena banyak faktor yang kita mesti pertimbangkan. Namun setidaknya bertambahnya informasi juga akan menambah pemahaman akan materi yang harus diputuskan. Dengan kita mencari tahu, kita makin paham duduk masalahnya. Jadi pertimbangkanlah pilihan-pilihan yang tersedia dan pandanglah masalah dari berbagai sudut. Jangan sampai karena sudah begitu bernafsu, luput melihat sesuatu dari sudut yang berbeda. Makin penting dan besar keputusan yang diambil makin bertambah panjang dan rumit proses pengambilan keputusan. Ini yang mesti kita terima, Pak Gunawan. Karena memang keputusan yang besar memerlukan waktu yang lebih panjang dan proses pengambilan keputusannya akan lebih rumit. Jadi jangan kita tergoda untuk mempercepat secepat-cepatnya atau menyederhanakan duduk permasalahannya, karena sudah tidak tahan lagi, ingin tergesa-gesa mencapai suatu keputusan.
GS : Pada bagian yang kedua tadi Pak Paul mengatakan kita perlu membaca firman Tuhan, mendengar khotbah dan sebagainya. Apakah itu juga sebuah informasi sebelum kita mengambil suatu keputusan, Pak Paul?
PG : Betul sekali. Jadi waktu kita dalam tahap mencari informasi dan sebagainya, lalu kita pasang mata, berdoa dan sebagainya, itu berarti kita sedang menambahkan keterangan, konfirmasi, peneguhan dari Tuhan juga.
GS : Nah, kadang-kadang banyaknya informasi bisa membingungkan kita. Bagaimana kita bisa memilah-milah informasi itu, Pak Paul?
PG : Memang tidak bisa tidak, awalnya seperti ada banyak pintu yang harus kita masuki. Tapi akhirnya kita harus lewati satu demi satu. Kita mungkin bisa memperkirakan mana yang lebih relevan dengan apa yang kita butuhkan. Nah, itu yang kita coba untuk ketahui. Namun sampai titik tertentu setelah kita kumpulkan informasi, kita juga harus berkata, "ya sudah". Kita tidak bisa selama-lamanya terus mengumpulkan informasi.
GS : Ya. Karena nanti semakin panjang perjalanannya dan makin rumit buat kita sendiri dengan banyaknya informasi yang kita terima itu, Pak Paul.
PG : Betul! Jadi kita harus mencari informasi selengkap-lengkapnya sampai kita memperoleh pemahaman yang lebih utuh. Tapi jangan sampai terus menerus mencari informasi.
GS : Untuk itu, apakah diperlukan tenggat waktu atau deadline dalam hal ini, Pak Paul? Misalnya saya akan mencari informasi sampai satu-dua bulan atau ada waktu tertentu, Pak Paul?
PG : Saya kira itu baik, asal kita juga fleksibel, Pak Gunawan. Dalam proses pengambilan keputusan kadang-kadang kita harus menunda meskipun kita sudah berikan tenggat waktu. Namun ada tenggat waktu itu juga baik sehingga kita tahu kita harus gunakan waktu sebaik mungkin dan ada batasnya, tidak terus menerus mengumpulkan informasi.
GS : Hal yang lain apa, Pak Paul, yang perlu kita perhatikan?
PG : Hal yang keempat yang perlu kita perhatikan adalah kita perlu meminta masukan dari orang lain sewaktu kita membutuhkannya. Kenapa saya menekankan perkataan "sewaktu kita membutuhkannya"? Karena tidak semua keputusan mengharuskan kita untuk meminta pendapat orang. Tidak! Kadang kita beranggapan setiap hal harus kita konsultasikan dan minta pendapat orang lain. Sudah tentu pada suatu waktu kita ambil keputusan sendiri sebab kita cukup tahu, cukup kenal hal itu, ya sudah kita putuskan sendiri. Tidak harus selalu minta pendapat orang lain. Kalau kita terus meminta pendapat orang lain, akhirnya kita akan terlalu bergantung pada orang dan tidak punya lagi kemandirian dalam mengambil keputusan. Ada satu hal yang perlu saya tambahkan sebagai catatan dalam hal meminta pendapat orang lain, yaitu kita mesti menghargai pendapat orang. Jangan meminta pendapat orang bila kita sudah tahu keputusan apa yang akan kita ambil. Jadi jangan meminta pendapat orang untuk men-stempel keputusan kita belaka. Tidak menghargai orang yang sudah memikirkan dan memberikan pendapatnya kepada kita.
GS : Tetapi kalau kita sudah berkeluarga, pasangan hidup merupakan orang yang patut kita mintai pendapat, Pak Paul. Orang yang kita ajak rundingan sebelum kita memutuskan sesuatu yang besar itu. Begitu, Pak Paul.
PG : Tepat sekali! Ada orang yang berkata, "Ah, ini urusan saya. Tidak usah saya konsultasikan dengan pasangan saya." Tidak! Kenapa? Sebab dampak atau konsekuensi dari keputusan kita nantinya akan memengaruhi satu keluarga, bukan satu orang. Kalau kita tidak menikah dan hidup sendiri, lain perkara. Tapi kalau kita berkeluarga, kita harus ingat keputusan yang kita buat nantinya akan bisa berbuntut dan yang akan terkena adalah keluarga kita. Jadi, kita harus bicarakan hal ini dengan pasangan kita.
GS : Bahkan kalau anak-anak sudah besar, mereka perlu dilibatkan juga dalam hal membuat suatu keputusan penting, Pak Paul.
PG : Saya setuju, Pak Gunawan. Sekali lagi, kalau sampai ada apa-apa, mereka terkena. Nah, dengan mereka dilibatkan, mereka juga akan merasa bahwa kita menghargai mereka dan mereka adalah bagian hidup kita sehingga kita memikirkan dampaknya pada mereka. Kalau kita selalu apa-apa sendiri, putuskan sendiri, tidak bisa tidak, pasangan atau anak-anak akan beranggapan kita ini luar biasa egoisnya. Hanya memikirkan diri sendiri tidak memikirkan kita atau orang-orang lain.
GS : Apakah ada hal lain lagi yang harus dipertimbangkan dalam mengambil keputusan ini, Pak Paul?
PG : Yang kelima adalah pikirkanlah kemungkinan terburuk selain kemungkinan terbaiknya. Pada umumnya kita mudah terjebak dalam dua sikap yang ekstrem, Pak Gunawan, yaitu terlalu pasti pada kemungkinan terbaik atau terlalu pasti pada kemungkinan terburuk. Kita harus mempertimbangkan keduanya, sebab tak jarang keduanya berada dalam suatu paket yang sama. Bila kita sudah mempertimbangkan kemungkinan terburuk kita tidak akan terlalu kaget dan kecewa tatkala hasil keputusan kita ternyata tidak sebaik yang kita bayangkan dan kita akan jauh lebih siap menghadapi kenyataan pahit itu. Sebaliknya, mempertimbangkan kemungkinan terbaik akan menambah motivasi untuk berjalan terus dengan keputusan yang telah kita ambil. Jadi sekali lagi, pertimbangkan dua-duanya, kemungkinan terbaik dan kemungkinan terburuk. Jangan sampai kita terpaku hanya pada satu.
GS : Memang kita sebagai manusia yang penuh dengan kekurangan, seringkali keputusan yang kita ambil itu tidak ada yang sempurna, Pak Paul. Pasti ada cacat-cacatnya. Dan itu baru ketahuan setelah kita memutuskan.
PG : Ya! Ada kecenderungan kalau kita sudah begitu suka, begitu ingin dengan apa yang akan kita putuskan, kita akan menyoroti yang baiknya saja, Pak Gunawan. "Oh, nanti begini" "Oh, ini tidak apa-apa". Jadi terlalu melihat secara positif. Tapi masalahnya kita tidak mau melihat kemungkinan negatifnya yang sebetulnya juga ada. Kecenderungan kita pada umumnya kalau sudah begitu ingin, sudah pokoknya lihat yang baiknya saja. Jadi saya katakan tadi, tolong lihat kemungkinan terbaik dan kemungkinan terburuk.
GS : Pak Paul, apakah masih ada lagi yang perlu kita pertimbangkan ?
PG : Hal terakhir yang perlu kita pertimbangkan adalah dalam perjalanannya jangan ragu untuk mengevaluasi ulang keputusan yang telah kita ambil. Di satu pihak kita mesti teguh, tidak mudah diombang-ambingkan pelbagai tanggapan yang kita dengar. Tetapi di pihak lain, kita harus terbuka terhadap respons atau kenyataan di lapangan. Jadi jangan sampai kita menutupi mata terhadap fakta. Sebab begini, ada kalanya kita baru memeroleh informasi tambahan setelah keputusan dibuat. Ini mengharuskan kita untuk mengevaluasi ulang karena adanya tambahan informasi yang tadinya tidak kita tahu. Mungkin kita perlu merevisi keputusan yang telah kita buat agar lebih tepat sasaran. Tak jarang kita harus membatalkan keputusan karena ternyata itu bukanlah keputusan yang tepat. Jadi sekali lagi dalam pengambilan keputusan jangan ragu mengevaluasi ulang. Ini kadang-kadang susah dilakukan, Pak Gunawan. Karena tentu kita sudah mempertaruhkan nama kita dalam keputusan itu, sehingga meskipun di lapangan sudah kelihatan jelas keputusan tersebut sudah tidak bisa dijalankan, harus kita revisi, kita tunda, atau kita batalkan; tapi karena kita merasa, "Aduh, saya sudah mempertaruhkan nama baik saya, pokoknya jalan terus, tidak perduli." Nah, sebetulnya ini lebih mencelakakan diri, Pak Gunawan.
GS : Tapi masalahnya tidak semua keputusan bisa direvisi seperti itu, Pak Paul. Misalnya keputusan tentang menikahi seseorang. Kita sudah memutuskan, baru setelah itu kita menyadari bahwa itu keputusan yang salah. Itu ‘kan tidak bisa direvisi, Pak Paul?
PG : Betul sekali, Pak Gunawan. Memang ada hal-hal yang tidak bisa kita revisi, ya sudahlah kita terima, Kita coba perbaiki sedapat-dapatnya saja. Tapi ada hal yang bisa diperbaiki, Pak Gunawan. Misalnya pekerjaan. Ada orang yang sudah terjun, tapi akhirnya sadar, "Ini bukan bidang saya, tidak bisa saya kerjakan ini. Tapi sudah tanggung…..." Nah, ada waktu kita harus berkata, "Tidak apa-apa. Memang ada waktu kita akan rugi uang, rugi tenaga, tapi ya sudahlah, memang saya harus akui saya keliru mengambil keputusan ini". Lebih baik begitu daripada terus memaksakan.
GS : Kadang-kadang orang kurang punya cukup keberanian untuk merevisi keputusannya, Pak Paul. Karena dianggap orang ini plin-plan atau tidak punya pendirian. Dia sendiri yang sudah memutuskan apalagi sudah mendoakan, juga sudah yakin, tapi akhirnya keputusan itu tetap saja keliru.
PG : Ya. Saya ingat cerita tentang Pdt. Billy Graham dalam pelayanannya bertahun-tahun lampau sewaktu beliau diundang untuk mengadakan Kebaktian Kebangunan Rohani (KKR) di sebuah tempat di suatu negara. Mereka sudah mengiyakan, Pak Gunawan dan kita tahu dalam persiapannya benar-benar banyak hal yang terlibat dan waktunya juga sangat panjang. Jadi mereka sudah mempersiapkannya. Namun waktu Pdt. Billy Graham dan timnya berdoa, berdoa dan berdoa, semakin mereka mendengar suara Tuhan yang berkata, "Bukan. Ini bukan waktunya". Nah karena terlalu sama, teman-temannya juga mempunyai konfirmasi yang sama dari Tuhan, akhirnya dia dan timnya memutuskan untuk tidak jadi kesana. Tentu ini keputusan besar membatalkan KKR ini. Tapi Pdt. Billy Graham berkata, "Hal ini benar-benar kami yakini sebagai tuntunan Tuhan sehingga akhirnya dibatalkan". Nah, setelah dibatalkan, baru terjadi sesuatu di negara tersebut, yang secara politik tidak baik bagi mereka untuk datang ke tempat tersebut. Jadi akhirnya mereka melihat, "Benar, Tuhan melarang karena ada tujuan tertentu, karena hal ini". Saya mengerti kadang tidak mudah, tapi kita mesti berani merevisi setelah kita melihat kenyataan di lapangan.
GS : Ya. Sekali lagi kita kembali kepada kuncinya yaitu kita taat kepada pimpinan Tuhan, Pak Paul.
PG : Ya!
GS : Perbincangan ini masih akan kita lanjutkan pada kesempatan yang akan datang, Pak Paul. Namun sebelum kita mengakhiri perbincangan kali ini, mungkin Pak Paul ingin membacakan Firman Tuhan ?
PG : Firman Tuhan di Yakobus 1:5 berjanji, "Tetapi apabila diantara kamu ada yang kekurangan hikmat, hendaklah ia memintakannya kepada Allah, yang memberikan kepada semua orang dengan murah hati dan dengan tidak membangkit-bangkit, maka hal itu akan diberikan kepadanya." Dalam pengambilan keputusan, kita memerlukan hikmat dan Tuhan berjanji untuk memberikannya kepada kita. Jadi mintalah ! Biarkan Tuhan membukakan mata dan pikiran kita sehingga kita bisa melihat dan mendengar dengan jernih.
GS : Ya! Janji ini sungguh penting karena ini diberikan kepada semua orang dengan murah hati, Pak Paul. Jadi bukan hak kita tetapi Tuhan memberikan itu kepada kita dan kita bisa memintanya kepada Tuhan.
PG : Betul.
GS : Karena keputusan tetap harus kita ambil. Hampir setiap hari dalam sepanjang kehidupan kita ini, kita akan terus berhadapan dengan pengambilan keputusan. Namun perbincangan kita belum selesai, Pak Paul. Kita akan lanjutkan perbincangan kita pada kesempatan yang akan datang dan kita juga berharap para pendengar kita akan mengikutinya. Banyak terima kasih untuk perbincangan ini, Pak Paul. Para pendengar sekalian, kami juga mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Peran Iman dalam Pengambilan Keputusan" bagian yang pertama. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. kami juga mengundang Anda untuk mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Akhirnya dari studio kami mengucapkan banyak terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara Telaga yang akan datang.