Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi di mana pun anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya, Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling. Perbincangan kami kali ini tentang "Pelecehan Seksual pada Anak". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
GS : Pak Paul, mengenai pelecehan seksual akhir-akhir ini memang banyak ditemukan dan banyak dibicarakan juga. Tetapi kita mau membicarakan bagaimana sikap kita sebagai orang beriman dan bagaimana kita bisa mencegah hal itu terjadi pada keluarga kita. Sebenarnya apa yang disebut pelecehan seksual itu, Pak Paul ?
PG : Memang seperti kata Pak Gunawan bahwa kita perlu mewaspadainya karena ini bisa terjadi sebab kita pasti sudah mendengar berita, begitu banyaknya anak-anak yang menjadi korban pelecehan seksual itu. Ini memang masalah. Kenapa ? Sebab seringkali masalah ini tidak terdeteksi, Pak Gunawan. Kenapa ? Sebab ya korbannya adalah anak dan anak karena takut biasanya berdiam seribu bahasa. Sehingga akhirnya kejahatan itu terus berlangsung dan si anak menjadi korban. Masalah lainnya adalah dampak pelecehan seksual tidak berhenti tatkala pelecehan itu berhenti. Meskipun sudah berhenti sejak orang itu berusia 12 tahun dan orang itu sekarang berusia 30 tahun, tapi dampaknya terus berlanjut sampai dia menjadi orang dewasa. Jadi, itu sebab penting bagi kita orang tua untuk mengetahui sedikit banyak tentang hal ini agar kita bisa melindungi anak dan menolong sesama yang menjadi korban. Jadi, yang akan kita lakukan kita akan mencoba membahas yang pertama tentang enam data umum seputar pelecehan seksual pada anak, kemudian kita akan meneliti dampak dari pelecehan itu pada si anak, dan terakhir kita akan bahas langkah pemulihan bagi korban pelecehan seksual pada anak. Nah, yang pertama yang perlu kita ketahui adalah definisi pelecehan seksual terhadap anak. Pelecehan seksual terhadap anak bukan saja mencakup hubungan seksual dengan anak tetapi juga sentuhan pada anggota tubuh yang dilakukan untuk pemuasan hasrat seksual. Jadi sarana pelecehan yang digunakan bisa berupa langsung alat kelamin, ataupun jari, ataupun tangan. Dengan kata lain, pelecehan seksual itu memang memunyai pelbagai bentuk atau rupa. Yang kita anggap oh hubungan seksual itu sendiri adalah pelecehan, tapi ternyata bukan hanya itu sebab dampaknya pada anak meskipun tidak terjadi hubungan seksual tetap sebetulnya buruk. Tidak berarti karena tidak terjadi hubungan seksual maka dampaknya lebih ringan.
GS : Ini ada hubungannya dengan rangsangan, Pak Paul. Mungkin anak itu tidak terangsang karena masih anak kecil. Tetapi si pelaku itu bisa terangsang ya ?
PG : Betul. Biasanya ada dua kemungkinan. Ada orang dewasa yang secara khusus menyukai untuk berhubungan dengan anak-anak yang disebut pedofilia atau pedofal. Tapi ada juga orang dewasa yang sebetulnya tidak benar-benar menyukai hubungan dengan anak-anak, tapi karena keterpaksaan, misalnya dia tidak menikah, dia sendirian atau hubungan dengan istrinya kurang baik, akhirnya dalam kondisi dia lemah, dia terangsang, nah yang dimanfaatkannya adalah anak kecil.
GS : Dan itu bisa antara laki dengan laki atau perempuan dengan perempuan, tidak harus berlawanan jenis kelamin ‘kan ?
PG : Tidak harus, Pak Gunawan. Memang ini bisa berlangsung antara orang yang mempunyai jenis kelamin berbeda dan bisa juga dengan yang sama.
GS : Lainnya apa, Pak Paul ?
PG : Yang lain yang perlu kita ketahui, bahwa sebagian pelecehan seksual meninggalkan bekas fisik sedang sebagian lagi tidak. Sudah tentu jika terjadi hubungan seksual maka bekas fisik bisa ditemukan, misalnya pada alat kelamin ataupun pada anus. Jika pelecehan seksual sebatas pada sentuhan lewat tangan atau jari, misalkan yang dimasukkan ke dalam kelamin anak perempuan, besar kemungkinan tidak ada bekas fisik yang dapat ditemukan. Itu sebabnya ini kadang memengaruhi aspek keberanian anak untuk melaporkannya. Sebab ada kalanya anak juga takut melaporkan karena takut tidak dipercaya. Kenapa takut tidak dipercaya ? Sebab anak tidak memiliki buktinya, karena memang tidak terjadi hubungan seksual secara langsung. Sekali lagi saya mau jelaskan bahwa pelecehan seksual itu tidak terbatas pada hubungan seksual, tapi pada tindakan sentuhan-sentuhan yang lain itu juga termasuk dalam pelecehan seksual.
GS : Iya. Dan bagaimana pelaku pelecehan seksual ini, Pak Paul ? Terbatas orang tertentu atau bisa umum ?
PG : Walaupun pelecehan seksual dapat dilakukan oleh siapapun, tapi ternyata kebanyakan pelaku adalah orang yang dikenal oleh korban, Pak Gunawan. Dengan kata lain, si pelaku bukanlah orang asing melainkan seseorang yang hidup bersamanya, hidup bertetangga dengannya, atau tengah datang mengunjunginya. Jadi, pelecehan dapat terjadi dalam rumah, dapat terjadi di rumah tetangga, dapat terjadi di rumah kerabat atau teman, bahkan terjadi di sekolah atau di tempat umum lainnya.
GS : Artinya bukan hanya orang yang sudah dikenal ya. Orang yang dihormati pun bisa melakukan hal itu, misalnya pemimpin agama atau juga guru-guru yang tadi Pak Paul sebutkan, ‘kan bisa melakukan itu juga.
PG : Ya. Termasuk di dalamnya adalah anggota keluarga, Pak Gunawan. Jadi, ini bisa dilakukan oleh saudara sepupu, oleh paman, oleh kakek, bahkan oleh ayah kandung sendiri atau ayah tiri. Jadi, akhirnya kita menyimpulkan bahwa kebanyakan dilakukan oleh orang-orang yang dikenal oleh si anak itu.
GS : Sebenarnya orang yang melakukan pelecehan seksual itu terkena gangguan jiwa tertentu atau bagaimana ?
PG : Sebetulnya kebanyakan tidak, Pak Gunawan. Orang-orang ini dalam hidup sehari-hari berfungsi normal. Jadi, bukan orang yang menunjukkan masalah kejiwaan. Tidak. Tapi memang ya nomor satu ada yang memang menyukai anak-anak secara khusus, nomor dua ada orang-orang yang memang karena tidak bisa menahan hasratnya akhirnya kebablasan dan dia melakukannya pada anak kecil.
GS : Kenapa anak-anak yang menjadi korban itu tidak mau cerita kepada orang tuanya, Pak Paul ? Atau melaporkan kepada orang tuanya.
PG : Setidaknya ada lima alasan mengapa anak-anak cenderung memilih diam, Pak Gunawan. Yang pertama, ada kalanya mereka takut karena menerima ancaman jika mereka memberitahukan orang tua maka si pelaku akan melukai dirinya atau orangtuanya. Jadi, dia tidak mau orang tuanya dilukai sehingga dia tidak berani melaporkan. Kedua, kadang mereka tidak memberitahu orang tua sebab mereka takut bahwa hubungan orang tua dan si pelaku akan terganggu. Dapat kita simpulkan dalam kasus ini, si orang tua mengenal di pelaku dengan baik. Itu sebab si anak tidak ingin memberitahu orang tuanya supaya hubungan orang tua dengan si pelaku tetap baik. Anak tidak mau gara-gara dia nanti hubungan orang tuanya dengan orang tersebut retak, apalagi kalau orang itu bukan hanya tetangga atau orang di luar tapi anggota keluarga sendiri. Biasanya makin dekat hubungan, makin anak tidak berani lapor, karena takut karena satu keluarga. Akhirnya anak memilih diam. Ketiga, alasan lain mengapa anak tidak memberitahu orang tua adalah karena anak takut dituduh berbohong. Kita tahu kadang anak bicara sesuatu, kita sebagai orang tua karena tahu itu tidak benar karena ada unsur khayalannya kita berkata "kamu jangan bohonglah". Jadi, kata-kata itu cukup sering diucapkan orang tua kepada anak. Apalagi kalau si anak mau melaporkan perbuatan yang benar-benar tidak pernah dibayangkan sebelumnya. Belum apa-apa si anak sudah berpikir saya pasti tidak dipercaya dan dituduh berbohong. Akhirnya anak berpikir ya sudahlah, buat apa saya laporkan. Alasan yang keempat mengapa anak tidak memberitahu orang tuanya adalah karena anak bingung. Dia tidak tahu apa yang sesungguhnya terjadi. Biasanya ini dialami oleh anak yang masih berusia dini dimana dia tidak mengetahui apapun tentang seks. Dalam kebingungan, anak tidak tahu apakah perbuatan itu salah atau tidak sehingga dia tidak tahu apakah hal ini adalah sesuatu yang mesti dilaporkan kepada orang tuanya. Nah, yang terakhir mengapa anak tidak memberitahu orang tuanya adalah karena malu. Mungkin si anak tdak tahu banyak tentang seks tapi dia cukup mengetahui bahwa yang dialaminya itu memalukan. Itu sebab dia merahasiakannya.
GS : Ya. Dalam hal ini yang disebut anak yang biasanya jadi korban, bukan anak-anak yang terlalu kecil, ya Pak Paul ? Mungkin anak 3 tahun ke atas atau 5 tahun ke atas ya ?
PG : Biasanya iya, Pak Gunawan. Biasanya pelecehan memang terjadi pada anak-anak yang berusia di atas 5 tahun.
GS : Iya. Memang ada kebutuhan memang anak-anak ini diiming-imingi atau digoda dengan imbalan, Pak Paul. Ada yang diberi hadiah-hadiah tertentu atau janji-janji tertentu. Sehingga anak yang masih kecil dan polos ini ya mau saja.
PG : Betul. Dan kita ‘kan memang mengajar anak untuk menghormati orang tua. Jadi, kalau ada orang lebih tua yang memanggil dia, misalnya sewaktu dia lewat di depan rumah orang itu, dia dipanggil oleh tetangganya yang lebih tua, karena terbiasa dididik untuk hormat ya dia mau ikut. Diajak masuk, diperlihatkan mainan atau apa. Karena dia tidak mengerti apa-apa ya dia terima saja. Akhirnya kejadian ini bisa berulang dan berulang dan berulang.
GS : Jadi, biasanya pelaku pelecehan ini sudah merencanakan lebih dahulu, Pak Paul. Bukan sesuatu yang terjadi tiba-tiba.
PG : Biasanya iya, Pak Gunawan. Dia sudah mengamati dan dia memang tertarik, atau karena dia memang tidak bisa melakukannya, dia tidak ada siapa-siapa, nah dia jadikan anak itu sebagai korbannya.
GS : Apalagi yang perlu kita ketahui tentang pelecehan seksual ini ?
PG : Hal ini dapat terjadi pada semua anak, Pak Gunawan. Baik anak perempuan maupun anak laki-laki. Jadi pandangan kita bahwa ini hanya terjadi pada anak perempuan itu tidak tepat. Anak laki-laki pun bisa menjadi korban. Biasanya dilakukan oleh laki-laki dewasa yang lain. Kenapa begitu ? Karena anak dianggap tak berdaya itu sebab anak mudah dijadikan target. Dan anak pun dianggap belum dapat dipercaya sepenuhnya sehingga kalaupun terbongkar, si pelaku dapat berargumen bahwa dia tidak melakukannya dan bahwa si anak hanya mengarang cerita. Jadi, kita mau mengerti bahwa sesungguhnya semua anak rawan untuk menjadi korban. Namun, meskipun semua anak rawan, ternyata ada dua kelompok anak yang paling rawan untuk dijadikan korban, Pak Gunawan. Kelompok pertama adalah anak yang tidak atau kurang mendapat pengawasan orang tua. Biasanya orang tuanya sibuk bekerja atau sering pergi keluar rumah sehingga kurang memberi pengawasan kepada anak. Nah, ini membuka kesempatan si pelaku untuk berbuat tidak senonoh. Saya masih ingat dalam pengalaman konseling saya ada anak yang diperlakukan tidak senonoh, dilecehkan oleh pekerja orang tuanya. Karena rupanya rumahnya juga dijadikan usaha. Di rumah itu banyak orang keluar masuk, orang tuanya juga sibuk mengurus usaha, nah si anak di dalam rumah yang sama itu menjadi korban pelecehan. Kenapa ? Sebab kurang supervisi atau pengawasan orang tua. Kelompok kedua yang paling rentan untuk dijadikan korban adalah anak yang tidak atau kurang menerima kasih dan perhatian dari orang tua. Sebagai akibatnya, anak merindukan kasih dan perhatian. Ini membuka kesempatan bagi si pelaku untuk memanfaatkan kebutuhan anak. Sentuhan bahkan hubungan seksual dijadikan sarana untuk mengisi kerinduan anak untuk dikasihi dan diperhatikan.
GS : Kalau anak itu sudah besar, faktor ekonomi keluarga juga sangat berpengaruh lho, Pak Paul. Banyak anak-anak korban pelecehan ini justru dari kalangan ekonomi menengah ke bawah.
PG : Betul sekali, karena anak-anak itu dianggap lemah dan tak berdaya. Siapa yang akan percaya ? Bukankah orang akan lebih percaya pada orang yang lebih berada. Jadi, seringkali yang menjadi korban adalah anak-anak dari kalangan menengah ke bawah.
GS : Kalau kita perhatikan yang lain tentang pelecehan seksual ini, apakah ada gejala yang nampak, yang bisa kita lihat, wah anak saya atau siapapun ini kok menjadi korban pelecehan seksual.
PG : Ada, Pak Gunawan. Yang pertama, bila hubungan seksual terjadi maka ada luka pada kelamin atau anus anak. Jadi kalau kita sebangai orang tua mendapati ada luka lecet pada alat kelamin atau anus anak, sebaiknya kita mencari tahu penyebabnya sehingga terjadi luka pada anus atau kelamin si anak. Berikut, bila penetrasi terjadi – artinya terjadi hubungan seksual itu sendiri atau digunakan jari untuk menodai di anak – maka ada kemungkinan si anak akan menderita infeksi saluran kencing. Jadi, akibat dari hubungan itu sendiri atau disentuh, dipegang, dimasukkan dengan jari oleh si pelaku, nah ada kemungkinan si anak menderita infeksi saluran kencing. Sudah tentu tidak semua infeksi saluran kencing merupakan akibat dari pelecehan seksual. Jadi, berhati-hati agar kita tidak menjadi paranoid ya, menimbulkan trauma yang tidak perlu pada anak. Jangan sampai kita berlebihan juga. Dan yang ketiga adalah hampir semua anak korban pelecehan seksual memerlihatkan perubahan perilaku dan emosi, Pak Gunawan. Ada yang menjadi pemurung, ada yang menjadi penakut sehingga tidak berani pergi ke tempat yang biasanya dia berani kunjungi, ada yang tidak mau bertemu dengan orang tertentu tanpa sebab walau sebelumnya dia akrab dengan orang tersebut, ada yang berubah menjadi pemarah dan pada waktu marah dia mengekspresikan kemarahan yang sangat kuat dan ada yang menjadi depresi sehingga mau mati. Jadi, seringkali anak-anak yang menjadi korban pelecehan seksual akan memunculkan perubahan perilaku dan emosi seperti ini.
GS : Biasanya orang tua memang tahunya setelah anak mengeluh ada yang sakit di bagian kemaluannya, Pak Paul.
PG : Ya.
GS : Nah, orang tua mulai curiga lalu membawanya ke dokter untuk diperiksa. Disitulah baru ketahuan bahwa dia menjadi korban pelecehan seksual. Dan anak kemudian diminta untuk cerita siapa pelakunya.
PG : Ya.
GS : Jadi, lewat keluhan anak. Jarang orang tua yang menemukan sendiri, misalnya kok ada luka di vagina anak.
PG : Ya. Itu adalah salah satu cara akhirnya kita mengetahui bahwa anak kita telah menjadi korban. Sudah tentu semua keluhan ini kita harus perhatikan. Tapi ya kita juga mesti berhati-hati agar tidak memberikan reaksi yang berlebihan dan tidak pada tempatnya. Karena sekali lagi ya belum tentu. Belum tentu anak yang menjadi pemurung, anak yang menjadi pemarah itu berarti telah menjadi korban pelecehan seksual. Belum tentu ya. Mungkin saja ada hal-hal lain yang terjadi. Tapi setidaknya perubahan-perubahan itu cukup menjadi tanda awas buat kita untuk menanyakan lebih lanjut sebetulnya apa yang terjadi dengan mereka.
GS : Tapi kalau dokter yang mengatakan hal itu kan kita bisa percayai, Pak Paul.
PG : Ya. Sudah tentu saat dokter memeriksa dan ada perobekan, itu suatu bukti bahwa ada sebuah benda yang telah masuk ke dalam tubuh si anak ini.
GS : Apakah mungkin anak itu pada malam-malam hari ketika tidur bermimpi buruk ? Bisa tidak, Pak Paul ?
PG : Bisa. Bisa. Misalnya tidak ada angin tidak ada hujan anak itu terbangun, menangis ketakutan, teriak-teriak, atau tiba-tiba mulai sering mengompol pada waktu malam padahal sebelumnya tidak pernah mengompol. Itu sebetulnya tanda-tanda bahwa telah terjadi sesuatu pada anak kita. Memang belum tentu tanda pelecehan seksual, tapi yang dapat kita katakan adalah ada sesuatu yang terjadi pada anak kita.
GS : Memang sebagai orang tua kita berkewajiban untuk memerhatikan perubahan-perubahan yang terjadi pada anak baik secara fisik maupun secara emosi ya.
PG : Betul sekali. Memang penting kita ini melihat sehingga kita dapat bertindak dengan lebih segera. Sehingga anak kita tidak menjadi korban untuk waktu yang lebih berkepanjangan.
GS : Dampaknya itu sama semua atau bermacam-macam bentuknya, Pak Paul ?
PG : Tidak sama, Pak Gunawan. Memang bervariasi. Ada beberapa faktor yang menentukan kadar keparahannya. Pertama, relasi si anak dengan si pelaku. Pada dasarnya, makin dekat dan makin bertalian darah, makin parah dampak pelecehan seksual. Karena begini, makin parahnya ya karena makin besar konflik batiniah yang mesti ditanggung anak. Di satu pihak si pelaku adalah orang dekat dengannya atau mungkin pula orang yang menyayanginya. Di pihak lain si pelaku melakukan perbuatan yang tidak senonoh kepadanya. Singkat kata si anak merasakan keterbelahan antara memandang si pelaku sebagai orang yang baik ataukah orang yang jahat. Apakah ia harus marah ataukah ia harus mengampuni. Apakah ia mesti menghindar ataukah tidak. Akhirnya karena hubungan dekat atau ada hubungan darah, makin terbelah si anak, makin tidak mengerti apa yang mesti dia lakukan. Itu biasanya membuat dampaknya lebih parah.
GS : Jadi akhirnya dia tidak mau menceritakan hal itu ya. Apalagi kalau pelakunya nangis-nangis minta maaf dan berjanji untuk tidak mengulangi. Biasanya anak jatuh belas kasihan. Gampang sekali anak-anak untuk mengampuni.
PG : Betul. Akhirnya dia memutuskan untuk diam saja. Tapi eh nanti terulang lagi, eh nanti terulang lagi. Anak itu jadi tersiksa sekali. Nah, itu menimbulkan dampak yang berat bagi si anak, bukan saja saat itu tapi juga nanti setelah dia menjadi orang yang dewasa.
GS : Iya.
PG : Yang berikut adalah kadar pelecehan itu sendiri juga menentukan seberapa parahnya dampak pelecehan seksual itu pada si anak. Makin parah kadar pelecehan itu, makin berat dampak yang mesti ditanggung. Yang saya maksud adalah, misalnya ya, hampir dapat dipastikan pelecehan yang sudah sampai ke tingkat hubungan seksual akan meninggalkan dampak yang panjang dan merusak. Dipegang, sudah tentu tetap berdampak. Tapi kalau sampai terjadi hubungan seksual, dampaknya biasanya akan jauh lebih parah.
GS : Iya. Selain itu, masih ada variasi yang lain, Pak Paul ?
PG : Ada. Yang berikut adalah respons orang tua terhadap pelecehan juga menentukan dampak kadar keparahannya. Makin orang tua responsif dan mendukung, makin meringankan dampak. Sebaliknya makin tidak berespons dan makin negatif respons yang diberikan, makin besar dan berat dampak pelecehan pada anak. Dan pada akhirnya anak merasa ditinggalkan dan ia pun makin yakin bahwa orang tua tidak mengasihinya. Ia harus menghadapi semua ini sendirian. Jadi, kalau memang ini harus terjadi pada kita, kita mesti ingat bahwa kita sebagai orang tua harus benar-benar memberi respons yang tepat. Yang hangat, yang menerima, yang mendukung anak kita. Sebab respons kita ini akan mempengaruhi seberapa parahnya nanti kerugian yang harus diderita olehnya.
GS : Tapi sebagai respons awal, biasanya orang tua akan kaget dan marah-marah, Pak. Jadi marah kepada anak ini juga marah kepada si pelakunya, apalagi si pelaku orang dekat di kalangan keluarga itu.
PG : Biasanya marah tapi juga ada reaksi yang lain, Pak Gunawan. Saya juga mengerti, sebagai manusia kadang-kadang kita tidak mau ribut, tidak mau membuka persoalan, apalagi aib, di muka umum. Cukup banyak orang tua yang akhirnya berkata, "Sudah kamu diam saja. Sudah, kamu lupakan saja." Mereka berharap dengan melupakan, semua itu sudah beres. Karena apa ? Malu. Nanti kalau aib ini sampai terbongkar, orang sampai tahu, aduh, sudah sudah. Daripada anak harus menanggung rasa malu, diam sajalah, tidak usah membicarakannya. Nah, respons itu juga tidak tepat karena si anak akan merasa bahwa oh papa mama itu lebih peduli dengan reputasinya, dengan nama baiknya daripada dengan saya. Begitu.
GS : Tapi sekarang anak-anak juga dilindungi oleh undang-undang, termasuk di negara kita ini. Pelaku pelecehan seksual terhadap anak bisa dihukum berat.
PG : Betul sekali. Maka seyogianya memang dilaporkan agar orang ini tidak bisa mengulang perbuatannya. Tapi saya juga mengerti ada orang tua yang memilih untuk tidak melaporkannya karena memang pengusutan, investigasi, apalagi nanti kalau sampai harus dibawa ke pengadilan itu sendiri pun sebuah proses yang bisa menimbulkan trauma pada anak.
GS : Biasanya orang tua juga melihat seberapa besar kadar pelecehan itu. Kalau anaknya hanya dipegang-pegang, mungkin tidak sampai dia laporkan. Tapi kalau sudah sampai melakukan hubungan seksual, orang tua juga tidak akan tinggal diam, Pak Paul.
PG : Iya. Bahkan di Amerika Serikat anak-anak yang menjadi korban pelecehan seksual kebanyakan diketahui menjadi korban bukan karena orang tuanya melaporkan, Pak Gunawan. Kebanyakan dilaporkan oleh pihak lain, misalkan pihak sekolah yang mencurigai, atau pihak dokter. Jadi, bukan orang tuanya sendiri. jadi, persentase orang tua yang secara sukarela melaporkannya ke pihak berwajib ternyata memang tidak banyak. Saya bisa menduga ya kebanyakan karena merasa malu, tidak mau menimbulkan masalah, tidak mau aib ini diketahui oleh orang lain. Semua itu biasanya menjadi respons orang tua. Tapi sekali lagi saya mau tekankan, apapun respon orang tua, yang terpenting adalah orang tua mesti benar-benar mempercayai anak, benar-benar mengasihi anak dan menerimanya sehingga anak tahu bahwa dia dikasihi oleh orang tuanya.
GS : Iya. Apakah ada ayat firman Tuhan yang ingin Pak Paul sampaikan ?
PG : Di 1 Korintus 6:18 firman Tuhan berkata, "Jauhkanlah dirimu dari percabulan. Setiap dosa lain yang dilakukan manusia, terjadi di luar dirinya. Tapi orang yang melakukan percabulan berdosa terhadap dirinya sendiri." Sudah tentu ini ditujukan kepada para pelaku, Pak Gunawan. Mudah-mudahan mereka sadar, mereka ingat bahwa Tuhan akan menuntut pertanggungjawaban itu dan di mata Tuhan itu adalah sebuah dosa yang Tuhan takkan lewatkan, Tuhan akan berikan hukuman.
GS : Ya. Pak Paul, pembicaraan ini masih akan berlanjut pada langkah pemulihannya bagaimana. Namun karena keterbatasan waktu, untuk saat ini kita sudahi sampai disini dan terima kasih untuk perbincangan dengan Pak Paul.
GS : Para pendengar sekalian, terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Pelecehan Seksual pada Anak". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org. Kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.