Pasangan Muda di Tengah Himpitan Pekerjaan dan Pelayanan( II )

Versi printer-friendly
Kode Kaset: 
T554B
Nara Sumber: 
Pdt. Dr. Paul Gunadi
Abstrak: 
Memiliki pemahaman bahwa pelayanan bukanlah Tuhan melainkan suatu aktifitas untuk melayani Tuhan, maka dengan pengertian ini kita dapat mengatakan bahwa sama halnya dengan pelayanan dan pekerjaan mengurus keluarga, memperhatikan dan mendidik anak merupakan perbuatan yang dipersembahkan untuk Tuhan juga. Ingat, untuk membangun keintiman dan keharmonisan keluarga dibutuhkan waktu yang lama dan siap sedia untuk membayar harga bagi hal ini.
Audio
MP3: 
Play Audio: 
Ringkasan

Kita telah membahas tiga sumber tekanan yang menuntut waktu: pekerjaan, pelayanan, dan keluarga. Kita pun telah mendengar nasihat bahwa seyogianyalah kita mengutamakan keluarga di atas pekerjaan dan pelayanan. Sekarang marilah kita lihat dengan lebih saksama alasan di balik mengapa selayaknyalah kita mengutamakan keluarga di atas pekerjaan dan pelayanan. Kita pun akan membahas secara lebih konkret bagaimana menerapkannya. Ada empat masukan yang ingin saya bagikan.


PERTAMA, JANGAN MERASA BERSALAH SEWAKTU KITA TIDAK MENEMPATKAN PELAYANAN DI ATAS PEKERJAAN DAN KELUARGA.

Ingat, walaupun pelayanan adalah untuk Tuhan, pelayanan BUKANLAH Tuhan; pada dasarnya pelayanan adalah aktivitas yang kita lakukan UNTUK Tuhan. Jika kita setuju dengan pengertian ini, maka kita dapat berkata bahwa—sama seperti pelayanan—pekerjaan dan keluarga juga dapat untuk Tuhan. Kolose 3:23 menegaskan, "Apa pun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia."


Dari ayat ini dapat kita simpulkan bahwa sesungguhnya apa pun—pekerjaan, pelayanan, atau keluarga—bisa menjadi PERSEMBAHAN kita kepada Tuhan. Menurut saya, inilah paradigma atau cara pandang yang tepat, yaitu melihat apa pun yang kita lakukan sebagai persembahan UNTUK Tuhan. Cara pandang yang menyamakan pelayanan dengan Tuhan sendiri atau satu-satunya wujud persembahan untuk Tuhan tidaklah tepat. Cara pandang yang tidak tepat inilah yang dengan mudah dapat membuat kita merasa bersalah bila kita tidak mengutamakan pelayanan di atas segalanya.


KEDUA, KITA MESTI SIAP MEMBAYAR HARGA TATKALA MENETAPKAN KELUARGA DI ATAS PEKERJAAN.

Sebagaimana telah dibahas, untuk dapat naik tangga karier kita mesti bersedia menyediakan lebih banyak waktu. Kita akan harus pulang lebih malam dan tidak jarang, malah tidak pulang karena harus travel ke luar kota. Bila kita tidak bersedia melakukannya, maka kita mesti siap menanggung risiko yaitu karier kita akan mandeg. Jika kita setuju bahwa pada masa anak kecil kita harus mengutamakan keluarga di atas pekerjaan dan pelayanan, maka selayaknyalah kita bersedia untuk melepaskan kesempatan naik tangga karier pula. Singkat kata, selama kebutuhan keluarga terpenuhi, kita rela untuk tidak naik pangkat sampai nanti waktunya lebih mengizinkan.


Sudah tentu pilihan ini mengharuskan kita—suami dan istri—sehati sepikir. Ini tidak mudah dan kerap menjadi sumber pertikaian. Mungkin kita bersedia melepaskan kesempatan naik tangga karier, tetapi pasangan tidak bersedia. Atau sebaliknya. Kita tidak bersedia melepaskan kesempatan naik tangga karier sedang pasangan bersedia dan terus mendesak kita untuk melakukannya. Jadi, langkah pertama adalah kita mesti sepakat terlebih dahulu. Bila kita tidak dapat sampai pada kesepakatan, mungkin ada baiknya kita mencari pertolongan dari seorang hamba Tuhan atau konselor.


Salah satu penyebab mengapa sulit untuk menyelaraskan pendapat adalah karena sering kali kita berbeda pandang akan apa yang menjadi kebutuhan. Mungkin buat kita—yang bersedia melepaskan kesempatan naik tangga karier—menyekolahkan anak di sekolah biasa yang tidak ternama tidak apa. Namun bagi pasangan, itu adalah suatu kesalahan. Mungkin baginya, kewajiban orangtua adalah memberi yang terbaik kepada anak dan menyekolahkan anak di sekolah yang ternama (yang biasanya bermutu baik) adalah bagian dari memberi yang terbaik kepada anak. Atau, bagi pasangan tidak apa kita tinggal di rumah yang kecil dan hidup irit asal masih berkecukupan.Sedang bagi kita, tidak ada salahnya beli rumah yang lebih besar supaya kita lebih dapat menikmati hidup.


Memang tidak mudah untuk menyatukan pandangan. Pertanyaannya adalah, apakah yang mesti kita perbuat bila kita tidak berhasil mencapai kesepakatan? Pada akhirnya salah satu pihak mesti mengalah namun secara berkala masalah ini mesti diangkat kembali. Dengan kata lain, kita setuju untuk mengikuti kehendak pasangan dengan catatan masalah ini dikaji ulang, misalkan dalam waktu setahun. Sepanjang waktu itu dengan hati terbuka kita pun terus berdoa meminta pimpinan Roh Kudus.


Bila pada akhirnya kita sehati-sepikir untuk rela kehilangan kesempatan naik tangga karier, kita mesti mengambil keputusan ini atas dasar iman—bahwa Tuhan akan tetap memelihara hidup kita dan bahwa Ia dapat menggantikan kehilangan itu. Pada waktu-Nya, Tuhan sanggup membuka pintu kesempatan dan memberikan kepada kita jauh melampaui harapan.Kita tahu bahwa keputusan ini benar dan bijak, dan bahwa jika kita memaksakan kehendak, kalaupun kita terus naik tangga karier, keputusan ini akan merugikan, bahkan mungkin, menimbulkan bencana yang besar buat keluarga di kemudian hari.


KETIGA, WALAU KITA TIDAK DAPAT SECARA AKTIF TERLIBAT DALAM PELAYANAN GEREJAWI, KITA TETAP DAPAT TERLIBAT DALAM PELAYANAN DI LUAR GEREJA, YAKNI MELAYANI SESAMA KITA MANUSIA.

Mungkin kita dapat berkawan dengan rekan sepekerjaan dan lewat pertemanan ini Tuhan memakai kita untuk menjadi duta-Nya kepada mereka. Atau, mungkin kita bisa menolong sanak saudara atau kerabat yang sedang mengalami masalah. Sebagaimana dapat kita lihat ada begitu banyak hal yang dapat kita lakukan di luar gereja untuk menjadi saluran berkat dan kasih karunia Yesus Tuhan Kita. Pada saatnya bila anak-anak sudah lebih besar, barulah kita mulai melibatkan diri di dalam pelayanan gerejawi.


KEEMPAT DAN TERAKHIR, SEBAGAI PASANGAN MUDA KITA PERLU MEMUPUK RELASI PERNIKAHAN DAN HARUS GIAT MENGHILANGKAN "HAMA" YANG MERUSAK RELASI, DAN ITU HANYA DIMUNGKINKAN BILA KITA MEMBERI WAKTU UNTUK KELUARGA.

Relasi—secara tepatnya keharmonisan—menuntut waktu yang tidak sedikit; kita tidak dapat membangun keharmonisan—apalagi keintiman—dalam waktu sekejap. Itu sebab, kita harus menyediakan waktu yang cukup. Bila kita terlalu sibuk dalam pekerjaan dan pelayanan, kita tidak akan bisa membangun relasi yang kokoh.


Selain itu, pelayanan atau lebih tepatnya, posisi dalam pelayanan, akan menyulitkan kita menghadapi dan menyelesaikan masalah karena kita telanjur sudah dikenal sebagai pemimpin dalam pelayanan. Ya, posisi sebagai pemimpin rohani dan dikenal sebagai orang yang rohani akan mengikat dan mengurangi kebebasan kita menjadi diri apa adanya—dalam hal ini, sebagai pasangan yang tidak sempurna. Sebaliknya, kita akan merasakan tuntutan untuk menjadi pasangan yang sempurna. Ini berbahaya sebab kita tidak sempurna dan sebagai pasangan muda, kita justru memunyai banyak pekerjaan rumah.


Sebagai orang muda kita terbiasa hidup di bawah dan dikejar target; sebagai anak Tuhan kita pun tidak ingin hidup sia-sia. Itu sebab kita memutuskan melakukan sebanyak-banyaknya. Namun Amsal 3:1 mengingatkan, "Untuk segala sesuatu ada masanya, untuk apa pun di bawah langit ada waktunya." Prioritas kita sebagai pasangan muda adalah memupuk yang di dalam; inilah masanya. Akan tiba waktunya untuk kita memupuk yang di luar—pekerjaan dan pelayanan. Kita mesti bersabar dan tidak boleh memaksakan diri. Jangan sampai pekerjaan dan pelayanan terbangun tetapi keluarga terpuruk.