Lengkap
Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Menghadapi Pribadi yang Berbeda". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
GS : Dalam pergaulan kita sehari-hari, kita tentu bertemu dengan orang-orang yang pasti berbeda dengan kita karena kita diciptakan secara unik oleh Tuhan. Hal ini bisa menjadi suatu masalah tapi juga bisa menjadi suatu kebanggaan tersendiri karena bisa berkomunikasi dengan orang yang berbeda dengan kita. Nah ini bagaimana, Pak Paul ?
PG : Memang kita senang bisa bertemu dengan orang yang berbeda dengan kita sebab adakalanya perbedaan itu melengkapi kekurangan kita, apa yang tidak bisa kita lakukan dengan baik, di situlah akn dilakukan oleh orang lain dengan baik.
Kita menyambut perbedaan tersebut apalagi dalam sebuah kelompok dimana kita harus bekerjasama, tapi tidak bisa dihindari bahwa perbedaan itu juga berpotensi menimbulkan konflik karena perbedaan membuat kita tidak melihat sesuatu dengan pandangan yang sama, akibatnya adakalanya kita harus bersitegang. Jadi pada umumnya kita ini menyambut perbedaan dengan setengah hati, di satu pihak senang namun di pihak lain merasa cemas kalau-kalau nanti akan terjadi konflik. Saya kira ini juga dialami oleh para manager, waktu mereka misalkan harus menerima orang baru untuk bekerja di bawahnya atau juga di dalam gereja misalkan majelis dipilih maka hamba Tuhan juga akan melihat siapa yang akan dipilih. Itu adalah sesuatu yang wajar, kita bertanya-tanya kalau orang yang dipilih ini begitu berbeda dengan saya, nanti kira-kira apakah bisa bekerjasama dengan saya, ataukah lebih banyak konfliknya atau lebih banyak keharmonisannya.
GS : Memang kesulitannya adalah menyesuaikan diri atau supaya orang baru ini menyesuaikan diri dengan kita, dan ini merupakan suatu proses yang tarik- menarik.
PG : Betul sekali, Pak Gunawan. Satu hal yang kita harus sadari adalah segala jenis kerjasama apalagi kalau ada unsur perbedaannya akan menuntut waktu karena semua ini tidak akan terjadi dengancepat, jadi kita harus bersabar.
Ini adalah salah satu hal dimana kita harus mengingatkan diri kita bahwa kita harus bersabar, dari awal semua tidak bisa berjalan dengan cepat.
GS : Jadi kalau begitu hal-hal apa saja yang harus kita perhatikan di dalam kita berinteraksi dengan pribadi yang berbeda seperti itu ?
PG : Yang pertama, kita harus menyadari bahwa kita adalah manusia yang mempunyai kesamaan dan perbedaan antara satu sama lain. Jadi di dalam kesamaan kita akan menemukan perbedaan dan di dalam erbedaan kita akan menjumpai kesamaan.
Yang terpenting kita harus mengingatkan diri kita bahwa kadang kita ini dibuat kecewa karena kita beranggapan, "Kamu ini sama dengan saya kenapa harus berbeda, kenapa harus tidak setuju dengan saya." Maka kita harus menyadari di dalam kesamaan pun akan ada perbedaan jadi jangan kecewa kalau orang yang kita anggap sama dengan kita juga harus berbeda pandang, apalagi kalau kita ini seorang atasan dengan bawahan kita jangan tersinggung dan marah, "Kamu ini tidak mendukung saya, kamu ini juga tidak setuju dengan saya, saya anggap kamu ini di pihak saya, saya anggap kamu ini mengerti saya," sebab di dalam kesamaan akan ada perbedaan. Sebaliknya waktu kita menghadapi masalah akibat perbedaan dengan rekan kerja kita juga mesti menyadari dan mengingatkan diri kita bahwa di dalam perbedaan-perbedaan itu akan kita temukan persamaan. Jarang kita mendapati orang yang dari A sampai Z semuanya berbeda dari kita.
GS : Persamaan itu seringkali terjadi di luarnya saja misalkan kita itu sama-sama karyawan, sama-sama majelis, sama-sama orang Kristen, itu hanya permukaan tapi yang di dalamnya justru berbeda banyak, Pak Paul.
PG : Betul. Dan kalau pun ada kesamaan-kesamaan dalam hal-hal yang bersifat prinsipiil, akan ada hal-hal lain yang nantinya kita harus berbeda pandang dan itu wajar. Jadi memang itulah yang teradi sebab tidak ada orang yang 100 persen sama dengan kita dan sebaliknya tidak orang yang 100 persen berbeda dari kita pula.
GS : Jadi kita menemukan perbedaan atau kita sadar ada perbedaan. Dan apa yang harus dilakukan ?
PG : Yang kita lakukan, yang pertama sebagai langkah awal kita harus memisahkan antara yang kita sebut perbedaan dan kelemahan akibat dosa, ini dua hal yang tidak sama meskipun itu kadang-kadan rancu dengan keduanya.
Misalnya yang saya maksud dengan perbedaan adalah perbedaan gaya hidup dan perbedaan sudut pandang dan kita memiliki kebiasaan-kebiasaan yang tidak sama dengan orang lain. Sudut pandang adalah perbedaan nilai-nilai kita, tapi kelemahan akibat dosa itu lain lagi. Kelemahan akibat dosa itu menyangkut nilai moral, nilai rohani yang kita anut, sikap-sikap atau tindakan-tindakan yang melawan Tuhan dan perintah-Nya misalnya keangkuhan, ketamakan, kebohongan dan sebagainya dan sudah tentu waktu kita harus berhadapan dengan kelemahan akibat dosa maka kita harus bedakan reaksi kita waktu kita menghadapi perbedaan, jangan sampai kita membabi buta menyamaratakan keduanya. "Pokoknya kalau ada sedikit perbedaan, maka kita labelkan ini dosa" kita buru-buru mau mengejarnya, mau mendisiplinnya dan sebagainya. Itu belum tentu! Perbedaan bisa jadi hanyalah perbedaan dan jangan cepat-cepat kita melabelkannya sebagai dosa. Orang yang berbeda pandang dengan kita janganlah kita lihat dia sebagai orang yang berdosa, orang yang pasti salah. Sebaliknya juga jangan sampai kita meringankan kelemahan akibat dosa dengan berkata, "Memang manusia itu tidak sama," padahal ini bukan masalah tidak sama, tapi ini adalah masalah sikap atau tindakan yang melawan Tuhan dan perintah-Nya. Ada orang yang berkata, "Kita tidak perlu setia kepada pasangan kita, sekali-kali kita mempunyai intermeso dengan orang lain di luar, itu adalah hal yang wajar dan banyak orang yang melakukannya," kita tidak boleh berkata, "Saya dengan dia lain, saya lebih cocok dengan satu pasangan, dia lebih cocok dengan beberapa orang," ini bukan soal beda tapi ini soal dosa. Jadi kita mesti membedakan keduanya dan sudah tentu kalau ini masalah kelemahan akibat dosa, yang harus dilakukan orang tersebut adalah bertobat dan kita pun harus mengingatkannya untuk bertobat, tapi kalau kita melihat masalahnya adalah perbedaan maka jangan menyuruh-nyuruh orang bertobat seolah-olah dia sedang bersalah. Maka kita harus menyesuaikannya.
GS : Kalau perbedaan yang menyangkut gaya hidup itu mungkin kita bisa terima sejauh tidak memengaruhi kita, tapi perbedaan karena nilai moral, ini yang sulit, Pak Paul. Pernah ada sebagian besar orang di sekelilingnya mendukung apa yang dia perbuat, padahal kita secara prinsip berbeda dalam hal ini.
PG : Memang sekali lagi kalau nilai moral ini sebuah sikap yang melawan Tuhan dan perintah-Nya, maka kita mesti tahu jelas bahwa ini salah dan kita akan berdiri tegas tidak berkompromi dengan aa yang dilakukannya itu.
Tapi kalau nilai moralnya ini bukan dalam pengertian sikap atau tindakan yang melawan Tuhan, ini merupakan nilai-nilai tertentu dimana kita berbeda, maka kita mesti lebih toleransi dan tidak harus menyamaratakan ini sebagai sebuah dosa. Sebagai contoh yang kita tidak bisa sangkal dalam tata ibadah kita sebagai orang Kristen, ada kelompok-kelompok yang berbeda dengan kita. Ada yang memang nyaman dengan cara-cara tertentu dan sebagainya, bagi mereka itu adalah nilai-nilai rohani yang penting. Nah, dalam tata ibadah di mana kita harus berbeda maka kita katakan itu sebuah perbedaan, kita tidak akan melabelkan itu sebuah dosa atau kelemahan akibat dosa.
GS : Kalau perbedaan gaya hidup itu asal muasalnya bagaimana ?
PG : Biasanya itu muncul dari latar belakang dan cara-cara melakukan hal tertentu. Perbedaan itu bisa berhulu dari budaya maupun keluarga atau lingkungan. Sebagai contoh di dalam budaya kita, tnggal bersama orang tua bahkan sampai tua sekali pun, ini bukanlah sesuatu yang salah atau tidak semestinya, namun di belahan Barat anak yang tinggal bersama orang tua pada masa dewasa dilihat sebagai sesuatu yang tidak semestinya dan menyiratkan adanya masalah dalam diri kita.
Maka mereka tidak akan berkata bahwa ini adalah hal yang normal, itu adalah hal yang salah. Kalau kita sudah berusia empat puluh tahun dan masih tetap tinggal bersama orang tua maka orang akan mengerenyitkan dahi dan menduga ada yang kurang beres dalam diri kita sebab diharapkan setelah kita berusia dewasa umur 18 tahun, maka kita harus mulai mandiri, kita harus hidup di atas kaki kita sendiri. Jadi kita akan melihat perbedaan gaya hidup, kita tidak bisa berkata ini sebuah dosa. "Anak yang berusia dewasa itu sedang berdosa" ini adalah sebuah perbedaan dan kadang-kadang ini juga yang harus kita hadapi dengan rekan kerja. Contoh lain ada orang-orang yang tidak suka berlama-lama menyelesaikan tugas, begitu diberikan maka dia akan berupaya sesegera mungkin menyelesaikannya. Sebaliknya ada orang yang menggunakan waktu sebelumnya untuk mengerjakan hal lainnya sebab dia telah memperhitungkan bahwa masih tersedia waktu untuk menyelesaikan tugasnya. Sudah tentu dalam hal ini kita tidak bisa mengatakan mana yang benar dan mana yang salah sebab keduanya mempunyai alasan yang baik. Bagi orang yang sudah terbiasa melakukan tugas di menit terakhir, mereka akan berkata, "Inilah saya, saya tidak bisa untuk menyicil jauh-jauh hari hasilnya akan sama dan lebih baik saya lakukan hal-hal lain di hari-hari sebelumnya dan saya sisakan dua hari terakhir ini untuk menyelesaikan tugas saya." Bukankah bagi kita yang penting adalah tugas itu diselesaikan, jadi dalam bekerjasama kita sebagai atasan yang harus kita tuntut adalah hasil, bagaimana pun cara-caranya kita harus terima dan memang masing-masing orang tidak sama.
GS : Kalau ada batasannya misalnya tenggang waktu maka kita akan dengan mudah mengaturnya atau menyesuaikannya selama dia masih bisa dalam batas ditoleransi, tapi ada hal-hal yang kita sendiri tidak memiliki patokan, tidak punya ukurannya dan ini membuat kita sulit menentukan apakah ini perlu ditolerir atau tidak ?
PG : Mungkin salah satu kriteria yang bisa kita gunakan adalah apakah ini bisa menghambat, kalau ini menghambat kinerja, mengganggu suasana kerja atau relasi di antara sesama atau menimbulkan kresahan, maka kita harus mengatakan kepada orang yang bersangkutan bahwa kendati kita menyadari ini bukan masalah besar, ini bukan masalah dosa tapi perbedaan ini sedikit banyak menimbulkan keresahan.
Jadi kita bisa bertanya kepada yang bersangkutan, "Apa yang bisa kamu lakukan supaya kita bisa meredam gejolak-gejolak ini dan supaya kinerja kita tidak terganggu, kita masih bisa tetap bekerja sama." Jadi mungkin ukurannya adalah apakah telah menimbulkan gangguan dan kalau menimbulkan gangguan maka kita harus membahasnya.
GS : Itu kalau mengganggu kinerja kelompok, tapi selama itu tidak mengganggu maka itu menjadi urusan dia.
PG : Sebaiknya, ya. Jadi sebaiknya kita memberikan ruang pada individualitas seseorang atau keunikan seseorang. Kita tidak bisa menyamaratakan orang. Jadi yang penting adalah hasilnya bahwa tugs itu diselesaikan.
Saya jadinya teringat dengan kelompok-kelompok orang yang bekerja di bagian 'hi-tech' di Silicon Valley, daerah California bagian Utara, mereka itu sangat diberikan kebebasan dalam cara bekerjanya. Jadi mereka diberikan ruangan untuk berekreasi, berolah raga, ada 'fitness centre'nya, juga boleh datang dengan pakaian yang sangat 'casual', dengan pakaian yang sangat bersahaja. Jadi yang penting perusahaan itu menuntut hasil, bagaimana mereka mengerjakannya itu tidak akan diatur lagi sebab mereka menyadari adanya keunikan masing-masing.
GS : Dan memang tidak semua pekerjaan bisa diberlakukan seperti itu dan juga budayanya, karena ada orang yang diberikan kebebasan malah menyalahgunakan kebebasannya.
PG : Betul sekali. Jadi kalau sama sekali bertentangan dengan budaya kerja di situ atau biasanya bagaimana pekerjaan itu dilakukan, maka akan menimbulkan sedikit banyak ketegangan maka kita mesi datang kepada yang bersangkutan dan meminta dia untuk menyesuaikan diri pula atau misalkan kita ingin memasuki sebuah lingkup kerja sama yang baru, maka kita harus melihat apakah kita bisa cocok di situ dengan cara kerja yang seperti itu.
Kalau kita berkata, "Saya memang tidak bisa dengan cara kerja yang seperti itu dan mungkin saya tidak akan tahan dengan tuntutan saya harus seperti itu pula", maka kita jangan masuk.
GS : Kita kadang-kadang melihat gaya hidup seseorang berubah, yang tadinya bisa bekerjasama dengan kita, entah karena sesuatu hal misalkan karena kenaikan jabatan lalu gaya hidupnya berubah dan akhirnya membuat kita sulit untuk berinteraksi dengan dia.
PG : Ini adalah hal-hal yang sering terjadi dan tidak bisa dihindari, bisa buruk dan bisa juga sebagai hal yang lazim yang kita harus terima. Misalnya dengan posisi kerja dia yang meningkat, keibukannya menjadi bertambah dan karena kesibukannya bertambah maka dia menjadi lebih peka dengan waktu sehingga dia lebih memperhatikan lamanya untuk dia berbicara dengan kita, misalkan kalau dia keluar makan dengan kita maka dia akan memperhitungkan waktunya.
Kalau dulu dia tidak seperti itu namun sekarang dia menjadi lebih tergesa-gesa, atau karena dia makin sibuk akhirnya dia mau mengefisienkan waktu misalkan untuk menelepon kita, dia akan meminta seseorang untuk meneleponkannya supaya bisa langsung berbicara dengan kita. Adakalanya kita di pihak yang satunya itu merasa tersinggung, tersisihkan karena merasa tidak dihormati lagi dan berubah sekarang seperti ini, dan kita dengan cepat menyimpulkan, "Kamu sekarang sombong mentang-mentang kamu di atas dan saya masih di bawah." Jadi kita juga mesti berhati-hati jangan cepat menuduh orang itu sombong dan sebagainya, karena sekali lagi itu adalah tuntutan kerja, perubahan jadwal hidup dan sebagainya dan itu bisa menuntut perubahan. Misalkan dulu belum menikah masih lajang bisa keluar beramai-ramai sampai jam berapa pun, dan sekarang sudah menikah maka dia harus diam di rumah dan dia harus bersama dengan pasangannya dan tidak bisa lagi untuk bisa bebas seperti dulu. Kita sebagai teman juga harus mengerti perubahan gaya hidup seperti itu dan sekali lagi yang dituntut di sini adalah pengertian dari kedua belah pihak.
GS : Masih ada prinsip lain Pak Paul, di dalam menghadapi orang yang berbeda dengan kita ?
PG : Yang berikut jadinya kita harus menyadari selain gaya hidup ada juga yang terjadi yaitu perbedaan sudut pandang atau perspektif kita. Perbedaan sudut pandang itu merupakan hasil dari nilaiyang ditanamkan dan pembelajaran dari pengalaman hidup.
Jadi ada orang yang berkata bahwa kita tidak boleh memercayai orang yang baru dikenal sedangkan ada orang yang mengatakan selama orang belum menunjukkan niat buruk maka kita tidak boleh berprasangka buruk. Sudah tentu orang yang tidak memercayai orang yang baru dikenal mengembangkan pandangan tersebut dari nilai yang ditanamkan padanya atau pengalaman buruk yang menimpanya akibat terlalu cepat memercayai orang. Sebaliknya orang yang berprinsip bahwa seyogianya saya memercayai orang yang tidak memperlihatkan niat buruk, hal-hal seperti itu berdasarkan hal-hal yang ditanamkan padanya dan pengalaman hidup yang membuktikan bahwa hampir semua orang yang dipercayainya ternyata layak dipercaya. Jadi sekali lagi sangat-sangat subjektif bergantung pada pengalaman hidup seseorang dan nilai-nilai yang ditanamkan padanya. Jadi ini juga menciptakan perbedaan dalam kita bekerjasama.
GS : Jadi perbedaan gaya hidup maupun perspektif, itu seringkali merupakan penyebab konflik pribadi demi pribadi. Dalam hal ini apa yang harus kita lakukan dan apa yang harus kita pertimbangkan supaya hubungan kita itu enak?
PG : Ada beberapa yang bisa saya bagikan, yang pertama adalah jelas bahwa hal ini bukanlah masalah benar atau salah, kudus atau dosa, sehingga kita perlu menetapkan kepemimpinan. Siapa yang memmpin berhak meneruskan gaya dan sudut pandangnya dan mereka yang berada di bawah kepemimpinannya mesti tunduk.
Sudah tentu sebagai pimpinan yang baik dia memberikan kesempatan kepada bawahannya untuk memberikan masukan, namun bila terdapat perbedaan yang tidak dapat disatukan, maka orang yang berada di bawah kepemimpinannya harus mengalah dan mengikuti keputusan si pemimpin. Masalah timbul bila semua orang merasa bahwa mereka mempunyai hal yang sama dengan si pemimpin yakni hak, bukan saja untuk didengarkan melainkan juga untuk dipatuhi, bila ini yang terjadi maka kekacauanlah yang akan kita tuai.
GS : Seringkali ada pemimpin-pemimpin yang tidak formal. Jadi ada pemimpin-pemimpin formal yang diangkat karena ada surat keputusan bahwa dia diangkat, tapi bawahannya karena memiliki pengalaman yang lama di suatu tempat, sehingga mereka juga seolah-olah menjadi pemimpin-pemimpin dan mereka juga menuntut untuk didengarkan juga.
PG : Betul. Dalam kondisi itu dia juga mempunyai pengalaman yang mungkin lebih baik dari pada si pemimpin itu sendiri dan dia berkewajiban membagikannya kepada si pemimpin tapi tetap karena di alam struktur organisasi, dia adalah bawahan maka dia mesti tunduk.
Kalau dia sudah tidak bisa lagi menghormati dan tunduk kepada si pemimpin maka dia harus dengan baik-baik mengundurkan diri. Namun sekali lagi kalau dia berada di bawah kepemimpinan seseorang bagaimana pun juga dia harus menaati karena kalau tidak menaati maka semua akan kacau.
GS : Seringkali pemimpin baru itu adalah karyawan yang tadinya sama-sama bekerja dengan mereka, kemudian naik jabatan dan hal ini seringkali tidak bisa diterima secara langsung oleh bawahan-bawahan itu.
PG : Seringkali kita beranggapan bahwa kita mempunyai hak yang sama dengan si pemimpin, bahwa suara kita harus didengarkan sama seperti seorang pemimpin, namun tidak demikian! Di dalam strukturorganisasi ada yang menjadi atasan atau ada yang menjadi bawahan dan haknya tidak sama, kalau semua beranggapan bahwa haknya sama maka kita akan benar-benar menuai kekacauan maka perlu adanya ketertiban dan ini adalah sebuah perintah bahwa Tuhan pun menginginkan adanya ketertiban.
Misalkan di 1 Korintus, waktu Tuhan mengatur tata ibadah tentang berbicara dalam bahasa roh dan sebagainya, Tuhan memang dengan jelas menekankan ketertiban maka kita harus tunduk kepada yang memimpin.
GS : Apakah ada hal lain yang perlu dipertimbangkan, Pak Paul ?
PG : Bila si pemimpin itu bijak dan tanggap secara berkala dia pun harus mengalah demi menjaga kesatuan dan rasa dihargai oleh bawahannya. Dengan kata lain jika dia melihat bahwa hal ini bukan asalah benar atau salah, maka akan jauh lebih baik jika sekali-kali ia melakukan apa yang disarankan bawahannya kendati itu berbeda dari apa yang dipikirkannya.
Alhasil bawahan merasa bahwa pandangannya itu didengarkan dan dihargai. Jadi pemimpin harus fleksibel untuk hal-hal yang tidak terlalu prinsipiil dan dia tidak berbeda pandang, jangan selalu meminta orang mengikuti pendapatnya. Pemimpin yang bijak akan sesekali memberikan ruangan kepada bawahannya untuk melakukan apa yang memang disarankan dan dia akan mengikuti yang diminta oleh bawahannya meskipun sebenarnya dia punya ide yang lain dan bisa jadi idenya itu memang lebih baik, tapi sekali lagi kalau ini bukan hal yang besar, sekali-sekali biarkan, agar bawahan merasa bahwa pemimpin itu sungguh-sungguh mendengarkannya sehingga mereka nanti akan terus bersemangat memberikan masukan-masukan yang berharga sebab mereka tahu kalau mereka akan di- dengarkan dan sekali-sekali si pemimpin akan melakukan apa yang mereka sarankan.
GS : Tapi masalahnya ada pada gengsi si pemimpin itu, Pak Paul.
PG : Memang ini masalahnya. Kadang-kadang si pemimpin itu merasa orang itu tidak boleh memiliki ide yang lebih baik darinya dan tidak boleh dia itu ikut pendapat bawahannya. Itu adakalanya pandngan yang keliru.
Justru kerjasama akan lebih optimal jika si pemimpin sekali-sekali bersedia merendahkan diri dan mengalah.
GS : Itu kalau hubungan atasan dan bawahan, pemimpin dan yang dipimpin, tetapi bagaimana kalau ini setara jadi sama-sama bawahan.
PG : Kalau setara sebaiknya digunakan sistem giliran. Jadi jika terdapat perbedaan yang tidak menyangkut benar salah maka masing-masing berinisiatif untuk mengalah sesuai giliran. Problem timbu jika satu pihak terus mengalah dan satu pihak tidak mau mengambil giliran mengalah.
Jika ini yang terjadi maka kita mengingatkan pihak yang satunya agar dia pun juga mengalah jika ia menolak maka besar kemungkinan itu akan menjadi akhir dari pertemanan atau kerjasama kita. Di sini kita bisa melihat bahwa sesungguhnya pertemanan atau kerjasama dibangun di atas prinsip timbal balik. Di dalam benak kita sebenarnya akan mencatat 'track record', jadi berapa seringnya kita mengalah dan berapa seringnya dia mengalah, kalau tidak seimbang maka akan menimbulkan banyak masalah. Jika tidak ada timbal balik maka kerjasama itu juga akan harus disudahi.
GS : Ini juga dibutuhkan dalam relasi hubungan suami istri, Pak Paul ?
PG : Benar sekali. Jadi masing-masing mesti mengingat giliran mengalahnya itu.
GS : Pak Paul, apakah ada pertimbangan lain yang harus diperhatikan ?
PG : Bisa juga perbedaan itu diperdekat lewat penjelasan dan pencarian alternatif. Jadi kita harus mengomunikasikan alasan, di balik pandangan dan gaya hidup yang kita anut, seringkali pemahama akan menolong kita untuk berkompromi karena makin mengerti, maka makin tinggi penghargaan kita satu sama lain.
Jadi kita mesti memelihara semangat pencarian alternatif sebab jalan ini akan dengan cepat menyelesaikan perbedaan dan alternatif kerap memuaskan dan menghilangkan kebutuhan akan giliran, sebab kedua belah pihak berada di posisi yang setara.
GS : Mencari alternatif ini yang tidak mudah dilakukan sebab ini membutuhkan suatu kreatifitas tersendiri, kemampuan orang berkreasi sehingga bisa menemukan alternatif itu.
PG : Betul dan kadang-kadang kalau tidak bertemu jalan alternatif, maka jalan giliranlah yang kita harus tempuh kalau kita memang setara.
GS : Pak Paul, apakah Pak Paul bisa menyampaikan suatu kesimpulan dari apa yang kita sudah bicarakan ini ?
PG : Firman Tuhan di Amsal 13:10 berkata, "Keangkuhan hanya menimbulkan pertengkaran, tetapi mereka yang mendengarkan nasihat mempunyai hikmat." Firman Tuhan jelas menyoroti masalah keangkuhan an bukankah seringkali keangkuhanlah yang menghalangi kita untuk merendahkan diri, mengalah, mendengarkan nasehat dan masukan dari orang atau bawahan di sekitar kita.
Jangan sampai keangkuhan menghancurkan pertemanan atau kerjasama kita. Firman Tuhan jelas berkata, "Mereka yang mendengarkan nasihat mempunyai hikmat."
GS : Terima kasih, Pak Paul untuk perbincangan ini. Para pendengar sekalian kami mengucapkan terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Menghadapi Pribadi yang Berbeda". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.