Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi di mana pun Anda berada, Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Acara ini diselenggarakan oleh Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK bekerjasama dengan radio kesayangan Anda ini. Saya, Hendra, akan berbincang-bincang dengan Bapak Penginjil Sindunata Kurniawan, MK. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling keluarga. Perbincangan kami kali ini tentang topik "Menciptakan Anak-Anak yang Rukun". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
H : Pak Sindu, dewasa ini ada fenomena terjadinya perpecahan, persaingan, pertengkaran, bahkan putus hubungan antar saudara kandung. Bagaimana tanggapan Bapak ?
SK : Itu memang fakta yang nyata, Pak Hendra, sekaligus sebuah kesedihan kalau kita mengetahuinya. Apalagi kalau itu terjadi di antara satu keluarga yang mengenal Kristus dan mengaku diri sebagai orang percaya. Tapi terjadi hal itu. Itu hal yang sangat ironis.
H : Tapi biasanya ini dimulai dari hal-hal yang kecil. Misalnya di waktu kecil mereka berdebat kecil, beradu argumen, ada perbedaan pendapat. Kenapa yang kecil ini bisa menjadi besar seperti itu ?
SK : Memang itu sebuah kebiasaan, Pak Hendra. Dan itu sebuah pola yang berulang dan akhirnya menjadi model relasi yang permanen antar saudara kandung ini. Dalam hal ini memang sebuah penelitian memperlihatkan bahwa orang tua sangat memberi sumbangsih yang besar bagi terciptanya kondisi yang rukun atau kondisi pertengkaran dan persaingan antar saudara kandung.
H : Misalnya anak-anaknya menganggap orang tua memperlakukan mereka secara tidak adil. Ada yang lebih dikasihi sehingga mereka menyebutnya pilih kasih. Misalnya begitu, Pak ?
SK : Betul. Di dalam masyarakat, ketika ada pertengkaran atau ada hubungan yang tidak beres antar saudara kandung, sepertinya orang tua bebas dari kondisi itu. Tapi sebenarnya fakta menunjukkan bahwa orang tualah yang sebenarnya mampu meletakkan dasar bagi terciptanya kerukunan antar saudara kandung. Kalau itu sudah dipupuk sejak anak dalam usia dini, maka hampir bisa dipastikan di masa dewasa akan tercipta solidaritas persaudaraan, kekeluargaan dan kehangatan yang terpelihara anta saudara kandung.
H : Kalau boleh diformulasikan dalam bentuk tips-tips, apa yang harus diperhatikan oleh orang tua untuk menciptakan anak-anak yang rukun ?
SK : Yang pertama, orang tua perlu memenuhi tabung cinta dari tiap anaknya.
H : Maksudnya seperti apa ?
SK : Tiap anak dilahirkan seperti sebuah tabung. Yaitu tabung cinta, artinya cinta dari orang tualah yang perlu mengisi tabung tiap-tiap anak. Jadi tiap anak diciptakan Tuhan sebagai makhluk cinta, memiliki kebutuhan kasih, penerimaan, penghargaan, arahan dan disiplin. Jadi kalau orang tua fokus mengisi tabung anak per anak dari hari ke hari secara melimpah dengan aspek cinta itu, maka dengan sendirinya anak tidak akan mencarinya, anak tidak akan saling merasa iri, anak akan lahir dan hidup dalam rasa kelimpahan cinta. Itu memberi modal bagi tiap-tiap anak untuk saling mencintai antar saudara kandung.
H : Cinta yang dimaksud disini tentu tidak terbatas pada materi tapi juga termasuk dalam hal seperti pelukan, kecupan. Apakah seperti itu, Pak ?
SK : Betul. Ada satu paparan tentang Lima Bahasa Kasih. Baik secara sentuhan fisik yang sehat, kata-kata yang meneguhkan, kebersamaan yang sangat dirasakan oleh anak itu, hadiah artinya kejutan-kejutan yang menyenangkan, pelayanan. Kalau orang tua mengisikan hal-hal ini kepada tiap-tiap anak, maka akan membuat anak-anak itu kaya dengan cinta dan anak itu bisa memiliki modal untuk memberi cintanya kepada orang tua termasuk kepada saudara kandungnya.
H : Saya tertarik, tadi Bapak menyebutkan contoh bahasa cinta dalam bentuk menyediakan waktu khusus. Biasanya kita menyediakan waktu khusus bagi pasangan, suami untuk istri, istri untuk suami, kalau anak-anak biasanya menemani bermain. Tapi apakah ada ide juga untuk mengadakan kencan antara orang tua dan anak ?
SK : Betul, jadi akan sangat baik, bila kita secara sengaja dalam perencanaan hidup kita, perencanaan waktu kita, misalnya dalam satu minggu ketika kita memiliki beberapa anak, kita beri waktu. Setiap hari Sabtu dan Minggu itu tiap-tiap anak diberi jatah pergi bersama orang tuanya, yah misalnya selama satu jam. Pergi beli es krim, makanan kecil, atau sekadar jalan-jalan sambil berbincang-bincang. Jadi anak merasa, "Oh, aku spesial. Aku diistimewakan oleh mamaku." Jadi itu perlu. Misalnya papa terhadap empat anaknya. Tiap-tiap anak dijadwalkan khusus pergi berdua dengan papa. "Kamu mau kemana ? Ayo pergi dengan papa." Janjian. Dengan cara ini kita akan memastikan tiap-tiap anak memiliki kekhususan atau menerima rasa keadilan dari perhatian kita sebagai orang tua ditengah kepadatan aktifitas kita masing-masing.
H : Karena pilihan kata yang digunakan kata "kencan", berarti misalnya ini antara satu papa dengan satu anak, bukan satu papa dengan beberapa anak ya ?
SK : Iya, jadi spesial. Dalam hal ini yang saya lihat cukup sensitif itu isu papa. Mama secara alami lebih banyak merangkul dan mengasuh anak. Mengasuh kebersamaan dengan anak. Papa ‘kan yang lebih banyak berkaitan dengan bekerja di luar rumah sehingga waktu dengan anak lebih minim. Dalam hal ini, papa sangat penting menjadwalkan waktu. Kalaupun tidak bisa seminggu sekali, paling maksimal dua minggu sekali dipastikan ada waktu khusus untuk setiap anak.
H : Selain memenuhi tabung cinta kasih setiap anak, apa tips berikutnya ?
SK : Berikutnya adalah rumuskan nilai-nilai keluarga dan sosialisasikan sebagai pedoman perilaku tiap anak ataupun tiap anggota keluarga. Dalam hal ini, ada nilai-nilai keluarga yang kita jadikan sebagai nilai yang bersifat kekal. Misalnya seperti saling menghormati bahwa kakak menghormati adik, adik pun menghormati kakak, saling mendukung pertumbuhan masing-masing, saling bertenggang rasa, saling bermurah hati, saling mengasihi bahwa bersaudara itu berkat bukan beban. Lahir sebagai satu saudara kandung itu berarti ada maksud Tuhan yang indah dan luar biasa, berkat yang spesial untuk tiap saudara kandung ini.
H : Termasuk dalam hal bagaimana mereka mengungkapkan perasaannya ya ? Kadang anak-anak itu marah lalu memukul, marah kemudian membanting barang, menimpuk saudaranya, melukai, seperti itu.
SK : Betul, Pak Hendra. Dalam mengekspresikan perasaan emosi itu pun menjadi nilai keluarga yang perlu dirumuskan dan disosialisasikan sejak dini. Yaitu adalah diijinkan untuk marah tapi ekspresinya dengan cara yang benar. Marah tanpa kekerasan. Marah tanpa caci maki. Itulah yang sangat penting sejak awal. Makanya kedua orang tua perlu duduk bersama, percakapkan dan tuliskan nilai-nilai keluarga, lalu bisa didoakan, konsultasi dengan orang-orang lain - hamba Tuhan, konselor, ataupun orang yang sudah berpengalaman dalam kehidupan berkeluarga – kemudian ini diintisarikan, diketik atau ditulis tangan, lalu ditempel di dinding, dibaca seminggu sekali, anak-anak diberitahu. Dan setiap kali ada masalah keluarga, sengketa, konflik, semuanya dikembalikan kepada nilai-nilai ini, bagaimana nilai-nilai ini memberi pedoman dan umpan balik bagi masalah keluarga ini.
H : Bapak sempat menyinggung tentang marah tanpa kekerasan, marah tanpa caci maki, marah dengan cara yang sehat. Mungkin banyak pendengar bertanya-tanya, marah dengan cara yang sehat itu seperti apa, Pak ? Karena pada umumnya ketika marah, kita ingin mencaci maki dan memukul.
SK : Marah yang sehat secara sederhana adalah pesan saya. "Saya marah dengan apa yang kamu lakukan ini. Saya merasa disakiti." Begitu. Dengan nada cukup tinggi tapi tidak perlu membentak. "Apa yang kamu lakukan ini ?" itu sudah mengarah kepada kekerasan.
H : Baik, Pak. Selain merumuskan nilai-nilai keluarga dan mensosialisasikannya sebagai pedoman perilaku, apalagi tips yang ketiga ?
SK : Yang ketiga, berilah tugas dan tanggung jawab sesuai usia anak. Memang tiap anak dari yang sulung sampai yang bungsu, berikan tanggung jawab yang jelas di dalam rumah. Sekali pun keluarga ini mempekerjakan pembantu rumah tangga, tetap anak perlu diberi tanggungjawab. Kembali, adanya tanggung jawab fisik tertentu yang anak kerjakan, hal itu akan mengembangkan sisi kemandiriannya dan sisi rasa mampu atau kapabilitasnya, akan meningkatkan rasa percaya diri. Dalam konteks menciptakan kerukunan antar saudara kandung, berilah tugas yang sesuai. Masih kecil, paling tidak "Kamu membantu memungut sampah yang tercecer lalu buanglah ke tempat sampah." Bagi yang besar dijadwalkan menyiram tanaman tiap sore atau dua hari sekali. Bagi yang paling besar, membantu menyapu dan mengepel atau sehabis makan malam dia membantu cuci piring. Dan berbagai hal bisa dievaluasi dan diperbaharui dari waktu ke waktu.
H : Mulai usia berapa kita memberi anak suatu tugas tanggung jawab ?
SK : Sejak usia dini. Misalnya ketika anak itu sudah bisa berjalan, berlari. Tanggung jawab itu sudah dilakukan. Tentunya sesuai dengan apa yang dia bisa lakukan.
H : Pak, apakah ini tidak menimbulkan kecemburuan misalnya kakaknya diberi tugas yang lebih banyak dari adiknya. Bagaimana cara mengatasinya ?
SK : Ini kembali kepada nilai keluarga. Misalnya salah satu nilai keluarga yang kuat adalah membantu yang lemah. Sebaliknya yang lemah menghormati bantuan yang kuat tanpa memanipulasi atau memanfaatkan. Ini bagian dari nilai.
H: Jadi memang berkaitan ya, Pak. Kita memberikan nilai tapi juga kita konkretkan di dalam bentuk pemberian tugas dan tanggung jawab.
SK : Iya.
H : Biasanya kalau di dalam dunia orang dewasa, kalau kita mengerjakan sebuah tugas tanggung jawab - misalnya di kampus, di sekolah atau di tempat kerja - setelah selesai kita akan mendapat penghargaan berupa nilai, gaji dan sebagainya. Apakah ini kita lakukan kepada anak-anak juga ?
SK : Iya. Poin yang keempat untuk menciptakan anak-anak yang rukun adalah berilah pujian dan apresiasi untuk setiap keberhasilan ataupun pencapaian setiap anak kita, yang pasti penghargaan itu secara verbal. Kata-kata pujian, tepukan di bahu, pelukan hangat. Itu akan memberikan apresiasi yang positif bagi anak kita. Dalam hal ini, memang anak-anak bisa jadi punya kebutuhan-kebutuhan tertentu untuk mengembangkan kebiasaan yang baik. Orang tua bisa memakai sistem poin. Kalau kamu melakukan ini poinnya sekian. Setiap anak bisa berbeda-beda poinnya. Memang ada seperti kerumitan ya. Tapi kembali, ini bisa dibicarakan bersama-sama. Poinnya adalah tiap anak diberi tugas dan tanggung jawab tapi juga diberi pujian dan apresiasi untuk setiap keberhasilan dan pencapaiannya. Hal ini akan meneguhkan anak untuk mengembangkan rasa keadilan bahwa "Aku melakukan yang baik. Selalu dipuji. Jadi bukan hanya kakak yang dipuji."
H : Sebaliknya, ketika dia tidak berhasil, apa yang harus dikatakan atau diberikan oleh orang tua ?
SK : Sebuah dorongan tanpa membanding-bandingkan. Ini penting. Seringkali tanpa sadar orang tua seperti ini, "Lihat adikmu! Dia bisa. Masa kamu tidak bisa ? Apa kamu tidak malu ?" atau kepada si adik, "Contohlah kakakmu itu. Tanpa banyak diomongi, tanpa banyak diomeli, dia berinisiatif melakukan. Berprestasi pula. Apa yang bisa papa banggakan dengan kamu ?" Nah, hal-hal pembanding ini menciptakan luka, rasa tertolak dan ujungnya adalah permusuhan antar saudara kandung. Ini suatu sumber yang sangat menentukan. Jadi berhentilah, tolaklah pembandingan antar anak. Dalam hal ini, akan membuat anak itu dihargai secara individual, keunikannya dihargai. Bandingkan anak sesuai dengan pencapaiannya di masa lalu. Ada kemajuan sedikit, apresiasi. Ada kemajuan sedikit, apresiasi. Jadi apresiasi pujian itu bukan karena dia mencapai standard kakak atau adiknya atau dia melampaui baru diberi apresiasi. Itu keliru.
H : Artinya kita sebagai orang tua juga harus memerhatikan kemampuan anak ketika anak itu memang punya kemampuan-kemampuan yang berbeda. Dan ketika ada ketidakberhasilan, kita tetap harus merangkul dan menerima dia apa adanya. Begitu ya, Pak ?
SK : Betul. Penting juga orang tua jangan bersikap overprotektif, terlalu melindungi anak yang kecil atau si bungsu atau salah satu anak yang terlalu lemah fisiknya, atau anak yang dalam kondisi memiliki kemampuan fisik yang lebih lemah. Justru kalau terlalu dilindungi dan semua saudara diminta untuk mengalah, ini akan menciptakan kemarahan pada saudara yang lebih mampu, atau menciptakan rasa tidak berdaya pada anak yang diistimewakan ini.
H : Batasannya seperti apa, Pak ?
SK : Batasan yang pertama, orang tua perlu membangun sebuah cara pandang bahwa anak ini punya sesuatu yang positif, yang unggul yang Allah sudah taruh pada anak ini. Jadi, orang tua cari cara pandangnya dulu. "Anak ini punya kemampuan untuk bertahan. Jadi dengan cara pandang yang positif ini, orang tua melakukan aksi, berikan stimulasi. Dia bisa berjalan, lepaskan untuk dia pergi sekolah sendiri, dia melakukan aktifitasnya. Dengan cara seperti itu, nanti akan tumbuh rasa percaya dirinya. Saudara-saudaranya juga tidak merasa perlu terlalu mengistimewakan saudaranya yang lebih lemah secara fisik atau lemah dalam kemampuan tertentu.
H : Satu hal lagi, dalam hal pendisiplinan. Orang tua ‘kan perlu bersikap tegas. Tapi kalau anak-anaknya punya keunikan-keunikan yang berbeda-beda seperti yang Bapak sampaikan, ada kelemahan fisik dan sebagainya. Bagaimana orang tua tetap bersikap tegas dan konsisten ?
SK : Memang kondisinya kasus per kasus. Agak berbeda kalau anak itu mengalami keterbelakangan mental, mau tidak mau ada ruang yang khusus. Tapi kalau itu bersifat keterbatasan fisik semata, anak masih bisa dilatih dan dikembangkan. Tapi kalau keterbelakangan mental, berarti ada titik tertentu kemampuan intelegensi atau kecerdasan intelektualnya itu terhenti. Dalam hal ini saudaranya yang normal perlu maklum. Tapi anak yang mentalnya terbelakang ini tetap kita optimalkan. Memang kita tidak bisa menghindari bahwa sebagai orang tua kita perlu menjadi pengamat bagi anak kita, menjadi penilai dari tahap ini anak ini seperti apa dan apakah masih bisa dikembangkan atau tidak. Jadi memang membutuhkan orang tua yang mau belajar dan berdialog dengan ahli-ahli tertentu berkaitan dengan perkembangan anak, sehingga dia memiliki kemampuan penilaian dan eksekusi yang tepat sebagai dasar perlakuan yang adil bagi anak yang berbeda-beda ini.
H : Ada pandangan yang berkata bahwa dalam kita bersikap tegas dan konsisten tentang perilaku negatif, sebaiknya jangan sampai membuat anak merasa bersalah. Apa tanggapan Bapak ?
SK : Boleh diperjelas, rasa bersalah seperti apa, Pak Hendra ?
H : Maksudnya, kita mendisiplin perilakunya tapi bukan membuat dia merasa terintimidasi oleh kegagalan atau ketidaktaatannya ini.
SK : Kalau saya memandang rasa bersalah itu sehat. Kalau rasa bersalah yang berlebihan itu yang tidak sehat. Rasa bersalah itu suatu hal yang dibutuhkan setiap manusia supaya ada rasa penyesalan. Dari itu kita memiliki pijakan untuk melakukan yang benar dan tepat dikali berikutnya. Memang ini poin yang kelima untuk menciptakan anak-anak yang rukun, bersikap tegas pada setiap perilaku negatif anak. Tiap anak perlu mendapatkan sanksi yang jelas dan konsisten sehingga mengurangi atau meminimalisasi kemungkinan anak merasa dirinya diperlakukan kurang adil oleh orang tuanya.
H : Jadi tetap harus ada rasa bersalah rasa penyesalan itu tapi sesuai dengan kadarnya ?
SK : Iya. Yang salah itu kalau mengungkit-ungkit. "Kamu tahu tidak ? Dulu kamu salah ini. Yang lalu salah ini. Selalu ini. Kamu memang…!" ini sudah memberi cap kepada anak dan mengungkit-ungkit. Itu bukan cara yang tepat. Lebih baik setiap kesalahan mendapatkan respons ketegasan ataupun sanksi pada saat itu. Kemudian dirumuskan apa kesalahannya, kenapa dia dihukum, anak itu diminta merumuskan perilaku berikutnya sebaiknya seperti apa. Setelah itu tutup dengan pelukan orang tua dan fokus pada perilaku berikutnya. Jadi bukan serba diakumulasi dan diungkit-ungkit, ini yang menciptakan rasa bersalah yang tidak sehat dan akhirnya memukul konsep diri anak itu. "Oh, memang aku anak nakal. Aku memang orang yang selalu menimbulkan masalah bagi orang tua." Ini produk ketika orang tua mengungkit-ungkit.
H : Kadang ada anak yang misalnya dia memang melakukan kesalahan tapi mungkin tidak disengaja. Tapi dia tidak mau mengutarakannya. Atau misal dia merasa ada kekesalan kepada saudaranya, ada iri hati dan sebagainya. Jadi banyak yang dia pendam di dalam hati, tidak diungkapkan kepada orang tua. Sehingga orang tua hanya menilai berdasarkan apa yang dilihatnya. Padahal yang di dalam hati si anak itu belum diketahui.
SK : Yang disampaikan Pak Hendra ini memang sangat nyata dihadapi dalam kehidupan keluarga atau persaudaraan. Maka dalam hal ini orang tua benar-benar perlu mendengar tiap-tiap anaknya. Mendengar itu membutuhkan waktu, tidak bisa terburu-buru. Butuh memenangkan hati agar anak itu mau cerita. Dalam hal ini, kencan untuk tiap anak itu sangat strategis. Anak merasa nyaman papa menemani, mama menemani, mengistimewakan dia pada satu jam itu. Akhirnya anak akan bercerita, "Pa, aku begini." Itu bukan hal yang bisa dipupuk waktu anak berusia 10 tahun, tapi sejak kecil. Pasti anak akan bercerita kalau orang tua suka bercerita, bercanda bersama anak-anaknya. Anak-anak akan menceritakan isi hatinya tanpa dia pendam. Kenapa anak memendam ? Karena orang tua tidak pernah atau minim menciptakan kehangatan pada diri anak, sehingga anak takut untuk bercerita.
H : Selain keterbukaan antar pribadi satu orang tua dengan satu anak, mungkin juga perlu ada keterbukaan melalui pertemuan keluarga yang rutin ?
SK : Betul. Ini poin yang keenam yaitu membangun keterbukaan antar anggota keluarga melalui pertemuan rutin. Ini bisa dilakukan setelah jam makan malam. Bagi keluarga yang bisa menciptakan tradisi makan malam, sehabis makan malam tidak langsung pergi tetapi bisa mengevaluasi misalnya bagaimana hari ini, apa yang telah terjadi, ada uneg-uneg apa. Saling berbicara. Itu juga bagian dari nilai yang dirumuskan, misalnya "saling mendengar itu penting.", "Mendengar untuk memahami bukan mendengar untuk memotong, membenarkan diri atau menjawab." Dengan cara itu belajar mendengar dari hati ke hati, kecerdasan emosi, kecerdasan berkomunikasi anak pun akan berkembang. Dalam hal ini juga ada ruang fleksibilitas untuk memperbaiki dan menyempurnakan aturan yang sudah dirumuskan, beban kerja, tugas kerja tiap anak masih bisa diperbaiki atau disesuaikan dari hasil pertemuan rutin antar anggota keluarga ini.
H : Yang terakhir, Pak. Ini yang paling banyak dikeluhkan oleh banyak anak yaitu mereka menganggap orang tuanya pilih kasih. Dan harus diakui biasanya orangtua punya kecenderungan seperti itu, lebih mengidolakan anak tertentu.
SK : Betul ini poin terakhir, sebagai orang tua mari mengakui kalau ada kecenderungan mengidolakan anak-anak tertentu. Dari pengakuan itu mari kita berespons dengan tepat. Artinya akui dulu, "Ini kok mirip denganku. Hobinya sama. Ini anak yang lebih cerdas secara akademis. "Senang dia menjadi bintang kelas dan orang tua kecipratan kemuliaannya itu. Sedangkan anak yang satu anak yang pas-pasan atau model sifatnya mirip dengan mertua yang tidak disukai. Akhirnya anak itu menjadi korban kejengkelan orang tua yang seharusnya jengkel pada mertua. Akuilah dan cari pertolongan agar cara pandang itu dimurnikan, orang tua menyadari sikap favorit ini bisa mengambil langkah nyata supaya sikap favorit itu lebih reda dan anak yang terabaikan itu bisa diberi perhatian supaya ada rasa keadilan.
H : Terima kasih untuk semua tips yang berharga ini, Pak Sindu. Terakhir, apa pesan firman Tuhan bangi kita semua ?
SK : Saya bacakan dari Amsal 22:6,"Didiklah orang muda menurut jalan yang patut baginya, maka pada masa tuanya pun ia tidak akan menyimpang daripada jalan itu." Dalam hal ini kalau tiap-tiap anak kita didik, kita perlakukan secara konsisten dengan jalur-jalur yang tepat termasuk jalur penghargaan, jalur menciptakan kerukunan antar saudara kandung sejak kecil, rasa persaudaraan dan kehangatan antara saudara kandung itu dipupuk sejak dini, maka yakinlah pada masa dewasanya mereka akan tetap akur. Apabila sejak mereka kecil, kalau ada masalah selalu dibicarakan dengan cara yang baik, maka ketika ada konflik di masa dewasa pun pasti akan bisa dibicarakan dengan baik, karena itu pola yang dipupuk dan dididik oleh orang tuanya.
H : Terima kasih, Pak Sindu, untuk percakapan kita yang sangat menarik ini. Para pendengar sekalian kami mengucapkan terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bapak Penginjil Sindunata Kurniawan, MK. dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang topik "Menciptakan Anak-Anak yang Rukun". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan menghubungi kami melalui surat yang dapat dialamatkan kepada Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org. Kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan, serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.