Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari LBKK (Lembaga Bina Keluarga Kristen), telah siap menemani Anda dalam sebuah perbincangan dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling dan dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Pada kesempatan kali ini Ibu Idajanti Raharjo tidak bisa menemani kami tetapi kami yakin pada kesempatan yang akan datang beliau akan bersama-sama dengan kami pada acara TELAGA ini. Dan kali ini kami akan berbincang-bincang tentang "Menumbuhkan Rasa Tanggung Jawab pada Anak." Kami percaya acara ini akan sangat bermanfaat bagi kita semua, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
Lengkap
(1) GS : Pak Paul, kalau judul yang kita pilih malam hari ini menumbuhkan rasa tanggung jawab pada anak, yang saya ingin tanyakan apakah tanggung jawab tidak dengan sendirinya ada dalam diri setiap anak atau setiap orang itu?
PG : Kenyataannya memang tidak, jadi anak-anak itu sebetulnya lahir tanpa mempunyai kesadaran akan tanggung jawabnya, jadi merupakan tugas orang tualah untuk menumbuhkan rasa tanggung jawab itu Pak Gunawan.
Sekali lagi anak-anak dilahirkan memang untuk bergantung pada orang tuanya dan dalam kebergantungan itu anak-anak mengharapkan orang tua untuk melakukan semuanya bagi si anak. Nah dalam fase ini memang si anak belum mampu untuk mengerjakan semuanya sendiri, dia harus bergantung pada si orang tua. Namun perlahan-lahan orang tua harus melatih atau menanamkan rasa tanggung jawab pada si anak sehingga pada akhirnya si anak akan melepaskan diri dari si orang tua dan mulai melakukan yang dia harus lakukan dari dirinya sendiri.
(2) GS : Jadi sejak kapan sebenarnya orang tua sudah mulai bisa menanamkan rasa tanggung jawab pada anak dan dalam bentuk apa, Pak Paul?
PG : Sebetulnya tidak ada patokan usia yang baku namun pada intinya kita mulai menanamkan rasa tanggung jawab itu pada anak, pada usia sedini mungkin. Jadi pada usia sedini mungkin itu sudah tetu adalah usia di mana anak mulai dapat berinteraksi dengan orang tua.
Mulai dapat mendengarkan atau menerima instruksi dari orang tua dan si anak pun mulai dapat mengkomunikasikan dirinya pada orang tua. Nah pada waktu hal-hal tersebut mulai berjalan dan mulai ada saya kira orang tua harus mulai menanamkan rasa tanggung jawab itu, sebab ini adalah sesuatu yang penting sekali untuk dimiliki oleh si anak.
GS : Dalam hal melatih tanggung jawab anak ini Pak Paul, bentuk-bentuk apa yang bisa diberikan oleh orang tua?
PG : Misalkan kita ingin menanamkan tanggung jawab agar si anak itu mengurus dirinya, nah ini adalah hal yang sederhana dan simpel. Salah satu hal yang penting dalam pertumbuhan seorang anak adlah si anak memiliki kemampuan atau merawat dirinya secara jasmani.
Jadi hal apakah yang perlu dia lakukan, sederhana misalnya pagi-pagi dia menggosok giginya, nah otomatis pada masa kecil kita harus mengajarkan pada si anak untuk menggosok giginya. Namun setelah itu kebiasaan ini mulai harus diingatkan kepada si anak sehingga pada akhirnya dialah yang akan memikul tanggung jawab untuk menggosok giginya. Sama juga dengan misalnya mandi, nah pada waktu usianya meningkat misalnya 8, 10 tahun, di sini orang tua mulai menanamkan tanggung jawab bukan saja merawat tubuh si anak misal tadinya gosok gigi, mandi tapi menanamkan tanggung jawab atas barang-barang kepunyaan si anak itu. Jadi misalkan si anak diajarkan untuk membereskan tempat tidurnya, menaruh sepatunya di tempat yang seharusnya, meletakkan piring di dapur dan sebagainya. Jadi tanggung jawab sekarang mulai kita kembangkan dari tubuh secara jasmani akhirnya ke barang-barang milik si anak itu. Dan ini berkembang ke usia dewasa sebab kalau anak-anak sudah menginjak usia remaja kita juga akan menanamkan tanggung jawab untuk hal-hal yang berkaitan dengan kebutuhan-kebutuhan emosionalnya dan sebagainya.
GS : Biasanya anak-anak 'kan cenderungnya bermain-main Pak Paul, juga dalam hal mandi sempat Pak Paul singgung. Sering kali yang terjadi anak-anak itu mau mandi sendiri tapi juga bermain-main dengan sabun.
PG : Kita harus memahami itulah fase di mana si anak berada dan itulah hal yang alamiah dilakukan oleh seorang anak. Jadi sewaktu seorang ayah atau ibu melihat anak-anaknya bermain-main dengan ir di kamar mandi dan sebagainya, orang tua tidak usah panik dan memarahi si anak, biarkan dia bermain-main di kamar mandi.
Misalkan dia membawa mobil-mobilannya, perahu-perahuannya atau kalau dia anak perempuan membawa bonekanya, dia akan memandikan bonekanya, biarkan sebab itu adalah bagian dari pertumbuhan si anak yang memang alamiah, yang memang normal.
GS : Jadi di samping bermain, unsur-unsur tanggung jawab sudah mulai bisa ditanamkan Pak Paul?
PG : Betul, jadi hal-hal yang memang bersifat alamiah itu kita mulai sisipkan dengan tanggung jawab. Saya ingin menggarisbawahi Pak Gunawan, bahwa hal tanggung jawab ini sangat penting sekali. ebetulnya Pak Gunawan, bukankah kita ini mengukur kedewasaan seseorang berdasarkan rasa tanggung jawabnya, jadi seseorang yang kita labelkan kekanak-kanakan atau belum dewasa biasanya adalah orang yang kita anggap tidak bertanggung jawab.
Jadi penting sekali hal ini diajarkan, nah saya mau menggarisbawahi kata diajarkan, sebab tadi Pak Gunawan sudah singgung juga, anak-anak tidak dilahirkan dengan rasa tanggung jawab, tugas orang tualah mendidik anak sehingga si anak akhirnya memiliki kesadaran untuk bertanggung jawab.
GS : Cuma kesulitan kami orang tua, tidak punya semacam kurikulum atau tingkatan-tingkatan sampai di mana kami itu mengajarkan tanggung jawab kepada anak, Pak Paul. Kalau orang belajar itu jelas semacam kurikulumnya, setelah ini apa, setelah ini apa, nah kami ini tidak punya Pak Paul hal semacam itu.
PG : Betul, memang betapa indahnya kalau kita mempunyai pedoman Pak Gunawan, namun secara garis besarnya atau prinsip umumnya kita ini melimpahkan tanggung jawab pada si anak dalam hal-hal yangbersifat alamiah atau natural atau bersifat sehari-hari.
Dan saya percaya Tuhan akan menumbuhkan pengetahuan itu dalam diri kita, bahwa ada hal-hal yang seharusnya dilakukan oleh si anak. Nah saya kira sebagai orang tua yang memperhatikan anak, dengan sendirinya kita mulai memiliki kesadaran tersebut Pak Gunawan. Bahwa seharusnyalah sepatu ini tidak di lempar-lempar di mana saja dia mau, seharusnyalah diletakkan di rak sepatu misalnya, seharusnyalah piring tidak ditinggalkan di meja, tapi dibawanya ke dapur dan sebagainya.
GS : Tapi memang biasanya kami sendiri justru sebagai orang tua yang tidak disiplin Pak Paul, artinya kalau kita melihat hal-hal yang semacam itu, bukan kami perintahkan kepada anak untuk melakukannya sebagai bagian dari tanggung jawab tapi biasanya kami yang melakukan sebagai orang tua walaupun dengan ngomel, dengan memarahi si anak.
PG : Kadang kala orang tua berpikir dia masih terlalu kecil ya biarkanlah orang tua yang melakukannya atau nanti dia lakukan tidak beres, nanti piringnya pecah sudah biarkanlah kami yang melakuannya.
Hal-hal itu yang akhirnya mendorong orang tua mengambil alih tugas anak, ini tidak sehat. Satu lagi yang tidak sehat yang kadang kala orang tua tidak begitu perhatikan adalah struktur kehidupan untuk masa sekarang di mana untuk orang-orang yang berada sebetulnya anak-anak itu hanya perlu bernafas saja, itu tanggung jawabnya dia. Sebab kalau ada suster atau ada pembantu, baju pun disiapkan, air untuk mandi sudah disiapkan, handuk sudah disiapkan, kemudian dia akan ke luar kamar sudah ada sepatu yang disiapkan oleh pembantu rumah tangga, piring makan sudah tersedia di atas meja, sesudah makan piring di taruh di situ tidak usah dibawa ke mana-mana, belajar ada guru les yang akan menanyakan, mendorong si anak untuk mengerjakan soalnya. Nah kadang-kadang orang tua tidak realistik karena orang tua tidak memperhatikan proses pertumbuhan si anak ini, tiba-tiba si anak sudah berumur 14 tahun atau 15 tahun, orang tua marah-marah, anak saya tidak bertanggung jawab, anak saya disuruh kok tidak mau. Nah masalahnya adalah anak ini selama 14 tahun hidup sebagai bayi semua sudah disuapkan ke mulut si anak itu, sehingga si anak memang tidak pernah belajar untuk bertanggung jawab. Nah akhirnya apa yang terjadi, yang terjadi adalah si anak tidak memiliki tanggung jawab itu. Nah biasanya ini disadari oleh orang tua setelah anak menginjak usia remaja dan pada saat itu memang sudah lumayan terlambat.
GS : Cuma memang pada pikiran kami sebagai orang tua biasanya, nanti itu 'kan diajarkan di sekolah soal tanggung jawab itu. 'Kan anak itu di TK dan sebagainya itu dilatih dengan tanggung jawab, apakah kami nanti tidak keliru mengajarkan sesuatu, Pak Paul?
PG : Saya kira kita harus membedakan tanggung jawab yang internal dan tanggung jawab yang eksternal. Yang saya maksud adalah ini, memang anak-anak itu semuanya harus bersekolah dan diapun tahu tu, oleh karenanya anak-anak meskipun tidak mau sekolah terpaksa sekolah.
Nah dia diharuskan juga belajar, sudah tentu hal-hal yang bersifat eksternal ini, yang dipaksakan dari luar ke dalam tetap berguna dan akan berdampak positif buat dia, waktu dia mengerjakan tugas sekolahnya dan sebagainya. Namun demikian kita harus akui pada masa-masa anak-anak bersekolah terutama pada masa di bawah SMP, SMA mungkin sudah tumbuh kesadaran. Tapi sebelum itu pada masa SMP ke bawah anak-anak sesungguhnya belum memahami apa kegunaannya bersekolah, dia hanya melakukan tugas dan kewajibannya karena memang diharuskan. Tapi belum ada kesadaran, sebab sekolah itu sesuatu yang di luar dirinya, oleh sebab itulah orang tua perlu menumbuhkan tanggung jawab yang bersifat internal. Yaitu melakukan sesuatu yang berkaitan langsung dengan dirinya, misalkan tadi saya beri contoh tentang sikat gigi, mandi dan sebagainya itu berkaitan langsung dengan tubuhnya. Membereskan tempat tidur atau membereskan piringnya atau membereskan bekas mainannya kemudian ditaruh ke dalam box yang tertentu dan sebagainya, itu juga berkaitan langsung dengan dirinya. Jadi dia melakukan sesuatu bukan hanya diharuskan saja, tapi ini hal-hal langsung yang dia harus lakukan, maksudnya mainan itu dia yang mainkan, mainan ini adalah miliknya, ranjang ini kemarin malam dia yang tiduri. Nah dengan kata lain karena dia sudah melaksanakannya, kasarnya dia sudah membuat kerepotan itu maka sekarang dia harus membenahinya. Kalau belajar atau sekolah kurang mengandung unsur tersebut, sebab seolah-olah merupakan sesuatu yang berasal dari luar dirinya; guru meminta dia mengerjakan PR, guru berkata ada ulangan minggu depan dan dia belum menyadari apa kegunaan sekolah, jadi saya kira memang harus ada keseimbangan.
GS : Kalau seseorang anak dalam tingkat usianya itu bertanggung jawab, apa sebenarnya yang terjadi pada dirinya?
PG : Waktu dia mulai memikul tanggung jawab, yang akan terjadi adalah nomor satu dia akan lebih bisa mempercayai kelebihannya. Sebab akan ada banyak hal yang dia mampu lakukan, hal-hal kecil yag tadinya dia pikir tidak berguna, tapi waktu dia mulai lakukan, sesungguhnya itu akan menumbuhkan rasa keyakinan dirinya.
Dia bisa mencuci piring, hal yang sederhana seperti itu. Misalkan suatu ketika kami tidak ada pembantu rumah tangga, terus kami mencuci piring, nah saya dan istri saya melibatkan anak-anak untuk mencuci piring kemudian saya mengajarkan kepada anak saya bagaimana mencuci piring itu dan sebagainya, istri saya juga mengajarkan pada anak saya untuk melap meja. Nah dengan kata lain hal-hal kecil seperti itu akan menjadi suatu proyek yang sekarang dikuasai oleh si anak, dia mengerti bagaimana melakukan tugas-tugas kecil seperti itu. Nah ini berdampak buat kepercayaan diri si anak itu.
GS : Kalau di samping keyakinan diri Pak Paul, adakah hal lain yang timbul dalam diri si anak?
PG : Yang lainnya lagi adalah kita menyadari bahwa pada akhirnya anak-anak itu harus bekerja, dia tidak akan dianggap sebagai manusia yang berharga kalau dia sama sekali tidak bekerja. Nah pekejaan mempunyai satu substansi, satu akar yakni tanggung jawab, jadi orang tua perlu mengajarkan anak-anak bertanggung jawab agar nanti si anak menjadi seorang pekerja yang baik.
Ini kita siapkan juga dari mulanya melakukan sesuatu karena menyadari kegunaannya. Kedua melakukan sesuatu karena memang diwajibkan, nah itu dua-duanya harus berimbang dan dimiliki oleh si anak. Ini dua hal menjadi bahan yang sangat penting untuk kesuksesan dia dalam pekerjaannya di masa mendatang.
GS : Yang Pak Paul maksudkan pekerjaan itu setelah nanti dia selesai dengan studinya?
PG : Betul, jadi tadi saya tekankan dua hal Pak Gunawan, yaitu si anak memang harus mengerti kegunaannya. Apa gunanya dia bekerja ini dan itu, tapi yang kedua si anak juga harus melaksanakan keajibannya, di saat dia sendiri tidak begitu menyadari kegunaannya.
Jadi jangan sampai si anak hanya memilih satu di antara dua, itu tidak sehat.
GS : Pak Paul, kadang-kadang di dalam satu keluarga yang anaknya cukup banyak atau kondisi perekonomiannya kurang itu biasanya anak yang sulung mendapatkan beban yang rasanya terlalu berat. Misalnya menggendong adiknya di mana dia sendiri masih kecil, atau bahkan sampai bekerja. Nah apakah dampak sebenarnya pada diri anak itu, Pak Paul?
PG : Anak-anak yang terlalu kecil untuk memikul tanggung jawab yang sebesar itu akhirnya akan kehilangan masa kecilnya, Pak Gunawan. Jadi artinya mereka seharusnya hidup pada tahap usianya namu terpaksa dikarbitkan untuk hidup di luar usianya.
Nah hal-hal yang seharusnya dia dapatkan di usia itu misalnya bergantung pada orang, bermain dengan teman-teman sebayanya, akan terhilang sebab yang dia harus lakukan adalah tugas membantu orang tuanya itu.
GS : Tapi yang kita lihat sebagai orang awam bukankah seolah-olah anak ini sudah bertanggung jawab, Pak Paul?
PG : Nah dalam hal ini memang tanggung jawabnya akan bertumbuh dengan baik sekali, namun dalam pertumbuhan si anak akan ada yang terhilang, sehingga menimbulkan ketidakseimbangan. Misalnya sala satu aspek kehidupan yang harus dikembangkan oleh seorang anak adalah aspek rekreasi, jadi aspek mengisi baterai, aspek menyegarkan jiwa.
Nah anak-anak yang pada masa kecil diwajibkan untuk hidup lebih tua dari usianya terpaksa akan kehilangan kemampuan berekreasi, menyegarkan jiwa atau mengisi baterai. Kenapa kehilangan, karena memang tidak ada kesempatan itu, sejak kecil dia harus menjadi asisten mama atau papanya.
GS : Pak Paul kalau kita memberikan tanggung jawab itu sedini mungkin apakah itu tidak ada pengaruh dengan hubungannya atau interaksi dengan sesamanya khususnya teman-teman sebayanya, Pak Paul?
PG : Saya kira kalau kita memberikan tugas yang berlebihan pasti mengganggu Pak Gunawan, jadi secara prinsip kita harus selalu mengingat bahwa anak-anak itu memerlukan waktu bermain jauh lebih anyak daripada hal-hal yang berhubungan tanggung jawabnya.
Jadi semakin kecil semakin banyak waktu bermain yang dia butuhkan dan waktu untuk bertanggung jawab itu sebetulnya masih sangat kecil sekali jadi jangan sampai kita ini salah prioritas. Anak usia 4, 5 tahun kita wajibkan dia untuk mengepel, untuk menyapu dan sebagainya dan dia akan kehilangan waktu bermainnya, sedangkan itu adalah bagian yang sangat penting dalam pertumbuhannya.
GS : Tapi memang perlu diberi suatu contoh nyata kepada anak-anak ini mungkin Pak Paul.
PG : Tepat sekali Pak Gunawan, jadi pada waktu kita menanamkan tanggung jawab kita perlu mengajarkan dengan contoh konkret. Contoh tadi misalnya kita mau mengajarkan anak kita mencuci piring, jngan sampai kita hanya berkata ini piringnya, ini sabunnya, ini kran airnya, tidak.
Anak-anak akan menikmati sekali kalau pada awal-awalnya bersama dengan kita melakukan tugas itu. Misalkan kita mengajarkan dia mencuci piring seperti ini, pegang piringnya keras kemudian kita gosokkan sabunnya, air dan sebagainya. Setelah kita lakukan 1, 2 kali, kita minta dia melakukannya, kita jangan pergi, kita disamping dia melihat dia melakukannya. Kemudian misalkan kita yang mengeringkan piring-piring yang telah dicuci olehnya itu atau kita juga di dapur membereskan barang-barang yang lainnya sewaktu dia melakukan tugas itu.
GS : Jadi dia tidak merasa ditinggalkan .
PG : Betul, waktu dia ditinggalkan dia akan merasakan ini adalah suatu hukuman atau tugas. Nah ini sama dengan membuat PR lagi, ke sekolah lagi, jadi akan kehilangan kesempatan bertanggung jawa untuk hal-hal yang berkaitan dengan dirinya.
Nah waktu kita meminta bantuannya, meminta pertolongannya untuk mencuci piring itu 'kan berkaitan dengan dirinya, itu piring yang dia pakai, itu adalah panci yang dipakai untuk memasak makanan yang dimakannya, jadi itu bagian dari dirinya. Jadi sekali lagi tanggung jawab memang dimulai dari hal-hal yang berkaitan dengan diri si anak itu.
GS : Pak Paul, kalau kita menanamkan tanggung jawab itu sedini mungkin, sementara anak itu masih dibawah asuhan kita di rumah, mungkin lebih gampang. Tapi kalau nanti suatu saat dia toh mulai bersosialisasi di sekolah dan teman-temannya. Apakah pengaruh teman-temannya itu tidak bisa mempengaruhi rasa tanggung jawabnya dia?
PG : Teman-teman itu sebetulnya akan bisa mempengaruhi tanggung jawabnya, Pak Gunawan. Dalam pengertian teman-teman waktu bermain akan mulai mengajak dia melakukan sesuatu untuk mengerjakan sesatu pula.
Nah dalam kesempatan seperti itu si anak akan juga berkesempatan untuk mengembangkan tanggung jawabnya, misalnya temannya berkata e...besok jangan lupa ya membawa gundu atau kelereng, dia besok akan membawa kelereng. E... besok jangan lupa ya kita main sepak bola, bawa bolanya, nah hal seperti itu yang berkaitan dengan teman juga akan bisa menumbuhkan tanggung jawab. Tapi biasanya memang tanggung jawab yang menyenangkan, sedangkan kita juga mau menanamkan tanggung jawab yang multidimensional yang bukan saja menyenangkan tapi hal-hal yang tidak terlalu menyenangkan.
GS : Dalam hal ini Pak Paul kalau anak itu menghadapi 2 hal pilihan untuk tanggung jawab yang tadi Pak Paul katakan di satu sisi dia sudah berjanji kepada temannya untuk membawa bola dan bermain bola pada suatu saat. Tapi pada sisi yang lain, pada saat yang bersamaan orang tuanya memberikan tanggung jawab, nah bukankah ini bisa jadi membingungkan Pak Paul, mana yang harus dia prioritaskan?
PG : Nah kalau memang si anak itu sudah berkata pada orang tuanya: "Bu, Pak saya besok sudah berjanji untuk bermain sepak bola setelah sekolah." Nah orang tua memang harus menimbang aakah sedemikian perlunya si anak membatalkan janji untuk bermain sepak bola itu.
Kalau orang tua berpikir tugas ini bisa ditangguhkan, silakan tangguhkan biarkan si anak main sepak bola dulu, setelah itu baru katakan saya minta engkau membantu saya untuk hal ini setelah sepak bola dan sebagainya.
GS : Dalam kaitan tanggung jawab ini Pak Paul apakah firman Tuhan yang bisa dijadikan pedoman khususnya untuk kami sebagai orang tua?
PG : Saya akan bacakan dari kitab Amsal 12:11, "Siapa mengerjakan tanahnya akan kenyang dengan makanan, tetapi siapa mengejar barang yang sia-sia tidak berakal budi." Say ulangi lagi, "Siapa mengerjakan tanahnya akan kenyang dengan makanan, tetapi siapa mengejar barang yang sia-sia tidak berakal budi."
Salah satu ciri orang yang bertanggung jawab adalah dia akan lebih realistik, anak-anak yang dilatih sejak kecil untuk belajar bertanggung jawab menjadi anak-anak yang mengerti realitas kehidupan, justru anak-anak yang tidak mengerti tanggung jawab, mengertinya hanya menuntut orang untuk melakukan semua baginya akan seperti dikatakan di Alkitab tadi akan mengejar barang yang sia-sia atau mengejar barang yang tidak ada. Namun orang yang bertanggung jawab akan melihat realitas kehidupannya dan justru firman Tuhan berkata dia yang akan mengerjakan tanahnya akan kenyang, karena bisa memakan hasil tanahnya itu. Jadi sekali lagi firman Tuhan juga mengajarkan anak-anak Tuhan untuk bertanggung jawab atas dirinya, atas kebutuhannya. Dia perlu makan, dia perlu bekerja dengan cara apa, mengerjakan tanahnya.
GS : Di dalam mengetahui dirinya sudah bertanggung jawab, apakah orang lain bisa tahu Pak Paul bahwa seseorang itu memang punya tanggung jawab atau tidak?
PG : Salah satu hal yang akan kita bisa lihat adalah anak-anak yang bertanggung jawab, anak-anak yang berani mengakui perbuatannya, itu salah satu ciri atau tolok ukur yang penting sekali. Anakanak yang seolah-olah rajin, banyak bekerja dan sebagainya tapi belum berani mengakui perbuatannya apa yang telah dia kerjakan belumlah memiliki kedewasaan.
Jadi kita janganlah dikecohkan oleh kerajinan Pak Gunawan, ada anak-anak yang rajin tapi kerajinannya itu bersifat eksternal tadi yang saya sebut itu, dia harus melakukannya karena memang dituntut oleh orang lain. Tapi dia tidak memahami kenapa dia melakukannya dalam kaitan dengan dirinya sendiri, nah anak yang bertanggung jawab, anak yang tahu apa kaitan itu dengan dirinya sehingga waktu ada sesuatu terjadi atau melakukan hal yang keliru atau salah dia berani berkata saya yang salah.
GS : Dan bertanggung jawab saya rasa.
GS : Ya demikianlah tadi para pendengar yang kami kasihi, kami telah persembahkan sebuah perbincangan ke hadapan Anda tentang bagaimana "Menumbuhkan Rasa Tanggung Jawab pada Anak." Dan pembicaraan ini kami lakukan bersama Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kalau Anda berminat untuk melanjutkan acara tegur sapa ini, kami persilakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Dan dari studio kami mengucapkan terima kasih.
PERTANYAAN KASET T 54 A
- Apakah tanggung jawab, ada dengan sendirinya dalam diri setiap anak…?
- Sejak kapan dan dalam bentuk bagimana orang tua dapat menanamkan tanggung jawab pada anak…?