Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso bersama Ibu Idayanti Raharjo dari Lembaga Bina Keluarga Kristen, telah siap menemani Anda dalam sebuah perbincangan dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling dan dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Kali ini kami akan berbincang-bincang tentang pandangan-pandangan yang ada seputar kehidupan berkeluarga. Dan kami percaya acara ini akan sangat bermanfaat bagi kita sekalian, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
Lengkap
(1) GS : Pak Paul, di dalam kehidupan kita sehari-hari sebagai keluarga, sebagai suami-istri khususnya suami-istri Kristen, sering kali ada pandangan-pandangan atau pendapat-pendapat bahkan itu cenderung seperti mitos yaitu sesuatu yang dipercayai dari waktu ke waktu sehingga mengkristal. Ada pandangan yang mengatakan bahwa kalau pernikahan itu sudah diberkati di gereja, itu bisa bebas konflik, jadi pertengkaran-pertengkaran itu tetap ada tetapi tidak berarti Pak Paul. Tapi dalam pengalaman saya khususnya setelah sekian tahun menikah, kadang-kadang juga mengalami pertengkaran yang cukup panas. Kemudian mendengar ungkapan-ungkapan seperti itu saya menjadi bingung, kita tahu bahwa pernikahan itu diperkenan oleh Tuhan dan diberkati di gereja, tapi konflik itu masih tetap ada, itu bagaimana Pak Paul?
PG : Saya juga mengalami yang Pak Gunawan alami, jadi waktu saya baru menikah saya lumayan terkejut sewaktu menyaksikan bahwa saya dan istri saya bisa bertengkar dan bertengkar yang lumayan anas.
Dan itu tidak saya harapkan, kenapa tidak saya harapkan karena adanya mitos tersebut Pak Gunawan, jadi saya pun berkesan bahwa kalau kami ini dijodohkan Tuhan dan hubungan kami diberkati Tuhan, seharusnyalah tidak ada lagi konflik dalam hubungan kami. Ternyata yang terjadi tidaklah demikian, kita acapkali mengidentikkan berkat Tuhan dengan hidup tanpa pergumulan atau hidup tanpa ketegangan atau masalah. Nah, setelah saya menikah dan juga mengamati pasangan-pasangan Kristen lain, saya akhirnya menemukan bahwa hidup dalam Tuhan tidaklah senantiasa berarti bebas dari problem, hidup dalam pernikahan memang benar-benar memberikan peluang bagi kita untuk berkonflik. Karena definisi konflik itu sendiri adalah perbedaan pendapat atau perbedaan pandangan. Dua orang yang tidak dibesarkan dalam rumah dan keluarga yang sama, sudah tentu mempunyai cara pikir yang berbeda dan cara hidup yang juga tidak sama, otomatis proses pernikahan menjadi proses penyesuaian diri. Dan dalam penyesuaian itu sudah tentu ada tarik ulur, ada rasa tidak senang, ada rasa tidak mau berubah, ada rasa menuntut yang satunya untuk lebih berubah, ada rasa kurang dimengerti dan sebagainya dan semua itu adalah bagian yang alamiah atau yang normal dalam suatu pernikahan. Jadi jangan sampai kita ini terburu-buru melabelkan bahwa karena kami sekarang mengalami konflik berarti pernikahan kami ini tidak dikehendaki Tuhan.
(2) IR : Pak Paul, konflik itu akan selalu terjadi, apakah konflik itu bisa menghancurkan pernikahan atau mungkin juga bisa sebaliknya, memperkuat pernikahan?
PG : Itu adalah mitos nomor dua Bu Ida, yaitu ada di antara kita yang berpandangan bahwa kalau konflik terjadi itu berarti akan memperkuat pernikahan kita, jadi konflik dilihat sebagai sesuau yang positif.
Saya mempunyai suatu pandangan yang sedikit berbeda dari keyakinan tersebut, konflik itu sendiri memang tidak apa-apa, konflik dalam pengertian beda pandang. Namun yang sering kali terjadi adalah konflik akhirnya membuahkan pertengkaran, jadi saya bedakan konflik dengan pertengkaran. Pertengkaran adalah di mana kita dengan emosi yang tinggi mengeluarkan pendapat kita dan mulai menyerang pasangan kita. Saya justru melihat kalau konflik sudah berkembang menjadi pertengkaran, sebetulnya pertengkaran itu tidaklah membawa hal yang positif di dalam pernikahan. Konflik tidak apa-apa, tapi pernikahan kalau terus-menerus dilanda oleh pertengkaran, pernikahan itu justru menjadi goyang. Ibaratnya pondasi pernikahan itu makin terkikis oleh pertengkaran yang terjadi.
(3) GS : Tapi tadi Pak Paul bedakan antara konflik dan pertengkaran, kalau konflik itu cuma berbeda pandangan sedangkan pertengkaran itu sudah diwarnai dengan emosi-emosi yang membuat orang mata gelap dan sebagainya. Tapi konflik itu sendiri, apakah suatu dosa Pak Paul?
PG : OK! Itu pertanyaan yang bagus sekali Pak Gunawan, menurut saya konflik itu sendiri bukanlah dosa, jadi konflik memang muncul secara natural karena kita harus menyesuaikan diri dengan orng yang beda dari kita.
Pertengkaran adalah usaha kita untuk mempertahankan kebenaran kita dengan emosi yang tinggi dan juga adakalanya dengan upaya untuk menyerang atau melemahkan lawan bicara kita. Konflik itu sendiri tidak berdosa dan Alkitab pun tidak memanggil itu dosa, bahkan marah sendiri pun tidak dilabelkan dosa oleh Tuhan. Kita tahu di
Efesus 3 dikatakan kalau marah boleh, dipersilakan kita untuk marah, tapi yang diminta agar kita membereskan kemarahan itu sebelum matahari terbenam, yang mempunyai makna janganlah kita menyimpan kemarahan untuk jangka waktu yang berkepanjangan. Jadi konflik itu sendiri saya kira bukanlah dosa Pak Gunawan, sesuatu yang manusiawi sekali.
GS : Sejauh itu tidak diwarnai dengan perasaan-perasaan yang negatif tadi Pak Paul, tapi itu 'kan sulit untuk menghindari hal itu, kalau misalnya saya konflik dengan istri saya, sampai sejauh mana saya bisa mengontrol perasaan itu tadi Pak Paul?
PG : Saya adakalanya juga berkonflik, bertengkar dengan istri saya dan ini yang kami coba lakukan, waktu suami dan istri itu berkonflik atau bertengkar sudah tentu biasanya masing-masing mersa diri benar.
Nah, bagaimanakah orang yang masing-masing merasa diri benar didamaikan, akan sangat sulit sekali Pak Gunawan. Jadi yang kami coba lakukan adalah kami mencoba melihat diri masing-masing tatkala sedang bertengkar itu. Apakah waktu kami bertengkar, kami misalnya menjatuhkan satu sama lain, apakah saya mengucapkan kata-kata yang kasar, ataukah saya mengucapkan kata yang memang benar-benar sepertinya menghina dia. Nah, sejauh saya itu hanyalah mengungkapkan ketidaksenangan saya dan di mana kami berbeda, saya kira itu tidak apa-apa. Tapi sewaktu saya misalnya mulai menggunakan kata-kata yang kasar dan sebagainya kepada dia, di saat itulah saya berdosa.
GS : Mungkin itu yang Pak Paul katakan bahwa yang kita serang itu adalah masalahnya, yang berbeda itu kita selesaikan tapi kita tidak menyerang orangnya yang bisa menimbulkan sakit hati pada pihak yang lain.
PG : Betul, itupun saya pelajari dari istri saya sebelum saya menikah Pak Gunawan dan Ibu Ida. Saya masih ingat kami bertengkar sewaktu kami masih berpacaran, saya masih ingat sekali itu teradi sewaktu kami masih kuliah, saya mengunjungi sekolahnya dan di situ kami berbeda pendapat dan bertengkar.
Dan dia yang memberitahu saya, dia berkata: "Kenapa kamu kalau lagi marah, kamu menyerang saya, kamu tidak membahas problemnya saja," dan di situ baru saya mengerti memang harus dibedakan antara orang dan problem.
GS : Yang sulit dihindari lagi adalah bagaimana kita itu membuat konflik tidak berlarut-larut. Tadi Pak Paul mengambil ayat dari Efesus yang mengatakan harus diselesaikan sebelum matahari terbenam. Nah, biasanya konflik itu justru terjadinya mungkin malam hari karena kalau pagi hari kami tidak sempat membahas banyak masalah Pak Paul, pagi-pagi istri saya juga sibuk, kemudian saya juga mesti ke kantor terus kerja sampai sore. Nah, sore itu justru banyak masalah yang muncul, itu bagaimana Pak Paul?
PG : Kita mempunyai waktu 24 jam itu sampai besok matahari terbenam lagi. Saya kira yang paling efektif adalah sewaktu kita bertengkar dengan pasangan kita, kita tidak mencoba untuk memaksa asangan kita mengerti apa yang sedang kita lakukan.
Kita tidak mencoba untuk membuat dia setuju dengan kita, sebab usaha-usaha itu saya rasa sering kali gagal atau sia-sia. Jadi yang lebih efektif adalah sewaktu kita akhirnya mulai bertengkar sebaiknya kita melihat apa yang sedang kita lakukan saat itu. Apakah kita mulai bertindak kasar, apakah kita mulai sepertinya menghina dia, nah bagian-bagian itulah kita mesti meminta maaf kepadanya. Jadi tadi saya sudah singgung, misalkan saya tahu saya itu berkata sesuatu yang salah bukan berkaitan dengan solusi atau masalahnya tapi dalam mengungkapkan, ekspresi diri saya marah dan sebagainya saya malah melukai dia, nah untuk hal itu saya minta maaf. Dan yang saya temukan adalah sewaktu saya atau dia meminta maaf, mengambil inisiatif meminta maaf atas cara kita bertengkar tiba-tiba seolah-olah emosi yang sedang tinggi itu langsung turun. Dan biasanya problem itu tidaklah menjadi sebesar tadi.
IR : Nah, untuk itu dibutuhkan penyangkalan diri juga kerendahan hati untuk minta maaf Pak Paul?
PG : Betul, saya kira itu yang susah.
IR : Itu sering kali yang susah dilakukan ya.
GS : Terutama oleh kaum pria ini Pak Paul.
PG : Tapi saya temukan wanita juga begitu, ada pria yang mengeluh aduh istri saya tidak pernah minta maaf.
IR : Dan kalau kita berpikir bahwa jangan sampai pertengkaran ini merusak suasana rumah tangga, terutama kasih untuk mengasihi pasangan kita, itu mungkin satu-satunya jalan untuk meredakan konflik itu Pak Paul?
PG : Betul, saya mau menggarisbawahi yang tadi ibu Ida katakan yaitu penyangkalan diri dalam wujud kerendahan hati. Saya pernah mempunyai pengalaman seperti itu Ibu Ida, ini beberapa tahun yng lalu, kami bertengkar istri saya dan saya bertengkar.
Saya tidak tahu saat itu apa yang menjadi penyebabnya, tapi yang saya ingat adalah saya marah sekali, waktu itu kami masih di Jakarta. Saya marah sekali dan saya merasa kali ini saya tidak mau minta maaf, dia yang harus minta maaf itulah keputusan saya. Dia masuk ke kamar anak saya, saya tetap di kamar kami jadi saya sendirian di kamar mencoba untuk tidur karena itu sudah tengah malam. Saya tidak bisa tidur Bu Ida, kenapa tidak bisa tidur, karena firman Tuhan terngiang-ngiang di telinga saya yaitu dari
Efesus 5:22-33 dikatakan "Suami hendaklah engkau mengasihi istrimu seperti Kristus mengasihi jemaatNya." Nah, saya pernah mengkhotbahkan ayat-ayat itu dan saya pernah mengaitkannya dengan
Filipi 2:5-11 di mana Yesus mengosongkan diriNya menjadi manusia. Jadi mengosongkan diri dalam bahasa Yunaninya mengosongkan ego, nah saya pernah khotbahkan itu berkali-kali dan tiba-tiba khotbah itu hidup di telinga saya pada malam hari itu. Jadi saya tahu maksud Tuhan, yaitu Tuhan meminta saya untuk berinisiatif, berdamai kembali dengan istri saya, tapi karena jengkelnya saya tidak mau Bu Ida. Saya berkata kepada diri saya, pokoknya harus dia yang minta maaf sekarang ini, saya tidak akan minta maaf. Tapi firman Tuhan terus menegur saya akhirnya saya tidak lagi bisa tidur dengan damai saya terpaksa meminta maaf. Saya gunakan kata terpaksa sebab kalau menuruti isi hati, saya tidak mau minta maaf lebih dulu, sebab saya merasa tidak bersalah sama sekali. Jadi saya datang ke kamar anak saya dan saya melihat dia sedang jongkok di lantai menangis, waktu saya melihat dia menangis tiba-tiba kemarahan saya sirna, tidak ada lagi kemarahan saya justru merasa iba, dan mendekatinya, saya membelai rambutnya dan saya hanya berkata sorry ya dan dia berkata: "Tidak, tidak apa-apa, saya juga sorry." Beres, saya kembali ke kamar saya dia masih mau menangis jadi saya tinggalkan tapi saya kembali ke kamar saya tiba-tiba seperti 10 kilo lebih ringan, tiba-tiba beban itu hilang dari hati saya. Nah, yang saya maksud adalah itu, jadi konflik itu sendiri mungkin belum bisa diselesaikan karena adakalanya perlu waktu untuk menyesuaikan diri, untuk supaya kita mengerti pasangan kita dan dia mengerti pikiran kita dan sebagainya. Jadi adakalanya konflik memakan waktu yang lebih lama untuk diselesaikan, tapi pertengkaran itu bisa diselesaikan, bisa dihentikan yaitu dengan cara melihat caranya kita bertengkar. Kalau memang kita keterlaluan atau apa jangan ragu mengambil inisiatif dan meminta maaf untuk perlakuan kita.
GS : Tapi sebenarnya unsur yang mendorong Pak Paul sampai mau datang ke kamar sebelah itu tadi menemui istri, sebenarnya 'kan ada sesuatu kekuatan Pak Paul, apa itu yang disebut kasih terhadap pasangan kita atau apa Pak Paul?
PG : Saya jujur Pak Gunawan, saat itu tidak ada kasih sebab saya lagi jengkel.
GS : Tapi firman Tuhan yang tadi tergiang-ngiang itu mengingatkan.
PG : Mengingatkan, jadi motivasi saya adalah menaati firman Tuhan itu saja.
GS : Kalau begitu Pak Paul, anggapan bahwa kasih itu merupakan satu-satunya yang mengikat hubungan pernikahan itu bagaimana?
PG : Ini adalah salah satu mitos juga Pak Gunawan, apalagi di kalangan pasangan muda yang masih berpacaran, mereka acapkali berkata pokoknya cinta semuanya akan beres. Justru saya temukan tiak begitu, cinta tidak cukup untuk mempertahankan atau memelihara pernikahan, cinta mungkin cukup untuk membangun pernikahan maksudnya untuk memulainya saja cukup cinta, tapi untuk mempertahankan atau memelihara dan apa lagi menumbuhkembangkan pernikahan dibutuhkan lebih banyak faktor selain dari cinta atau kasih.
Jadi kalau misalkan kita melihat cinta itu sebagai cinta agape seperti Tuhan mencintai kita otomatis komplet, saya setuju itu memang satu-satunya yang kita perlukan. Tapi kita harus mengakui bahwa tidak semua kita mempunyai cinta agape, seperti cintanya Tuhan mencintai kita tanpa kondisi. Kita adalah manusia yang tetap memiliki tuntutan, pengharapan-pengharapan, jadi cinta kita tidak murni seperti cinta Tuhan kepada kita semua. Jadi apalagi yang diperlukan selain cinta kasih? Ada segudang hal. Pak Gunawan dan Ibu Ida sudah menikah lama bisa meng-iakan, sebetulnya ada segudang hal yang tidak berkaitan dengan cinta yang kita harus hadapi setelah menikah.
GS : Ada yang beranggapan juga bahwa faktor keturunan, jadi kalau kita sudah mempunyai anak-anak konfliknya menjadi makin berkurang Pak Paul?
PG : Bisa jadi, berkurang dalam pengertian teralihkan karena adanya kesibukan dengan anak, dan anak itu menuntut perhatian dari orang tua. Tapi biasanya kalau memang masalah belum sungguh-sugguh selesai, adanya anak hanya akan menunda pertengkaran yang akan nanti muncul kembali.
Biasanya sewaktu anak-anak sudah remaja saat itulah pertengkaran mulai muncul lagi, karena apa, setelah remaja anak-anak tidak terlalu menyita perhatian seperti waktu masih kecil, dan bahkan ada kecenderungan anak-anak pada masa remaja menyita perhatian orang tua secara negatif karena mereka mulai nakal, mulai memberontak dan sebagainya. Jadi akibatnya adalah orang tua menghadapi stres yang ditimbulkan oleh kenakalan anak remajanya. Stres ini sewaktu menekan hubungan yang memang pada dasarnya kurang kuat akan benar-benar bisa menggoyangkan pernikahan itu.
IR : Justru konflik itu kadang-kadang terjadi waktu kita menghadapi anak-anak Pak Paul. karena pandangan atau sudut pandang kita antara suami dan istri berbeda.
PG : Betul, dan yang juga sering terjadi adalah pada masa anak remaja orang tua itu berkonflik dalam pengertian mulai membangkit-bangkitkan penyesalannya yaitu misalnya seorang suami berkata "Engkau terlalu lunak kepada anak," seorang ibu yang berkata: "Engkau terlalu keras kepada anak."
Nah, kenapa masing-masing bisa berkata begitu karena memang adanya ketidakpuasan sebelum anak itu remaja. Namun karena anak itu belum benar-benar bermasalah, konflik bisa dihindarkan. Waktu anak itu akhirnya bermasalah maka muncullah keinginan untuk mempermasalahkan pasangan kita, sebab kita merasa anak menjadi begini gara-gara ulahmu, begitu biasanya yang terjadi.
GS : Itu akan lebih sukar dalam penyelesaian konflik kalau yang menjadi obyek ini anak kita yang sama-sama kita kasihi daripada suatu barang atau apa. Tapi penyelesaiannya bagaimana Pak Paul?
PG : Nomor satu, saya kira yang perlu dilakukan berhenti mempermasalahkan pasangan kita, kita mungkin marah karena mungkin sekali pasangan kita keliru, namun setelah kita marah saya kira yan baik adalah tidak lagi membangkit-bangkitkan kesalahan pasangan kita.
Yang penting sekarang adalah apa yang harus kita lakukan dari titik ini sampai ke depan, apa yang harus dilakukan sudah pasti menyelaraskan kembali bagaimana kedua orang tua ini bisa bersatu dalam menghadapi masalah si anak. Nah, di sini memang yang nomor satu harus dipersatukan bukannya anak dengan orang tua, tapi ayah dan ibu harus bersatu dulu, kalau ayah dan ibu belum bersatu, belum sevisi, belum sependapat dalam menghadapi si anak, anak biasanya terus bermasalah jadi sangat diperlukan kesatuan orang tua.
GS : Konflik-konflik jenis ini yang tidak bisa selesai dalam semalam Pak Paul?
PG : Lama sekali biasanya, sebab waktu anak-anak sudah remaja dan bila memang masalah itu muncul dari hubungan orang tua yang kurang baik, sebetulnya sudah sedikit terlambat untuk bisa dikorksi karena apa, karena anak itu sudah lumayan dewasa.
Jadi untuk memutar kembali jarum jam kehidupan tidak mungkin lagi.
GS : Tapi pasangan suami-istri yang sering kali konflik di depan anak mereka, apa dampaknya bagi anak Pak Paul?
PG : Biasanya akan membuat si anak itu hidup dalam rasa frustrasi, karena ketegangan yang bertubi-tubi dan terus berkepanjangan akan membuat daya tahannya dalam menghadapi stres makin lemah,sehingga dia memerlukan ruang gerak atau tempat untuk bisa bebas dari ketegangan ini.
Nah, biasanya dia akan lari keluar, dia akan mencari teman supaya dia lebih bisa tenang itu yang positif, yang negatif adalah justru dia akan berbuat lebih banyak masalah di luar karena dia juga marah di dalam rumah, tapi tidak bisa mengungkapkannya jadi dia akan keluar dan mengkompensasikannya itu dengan berbuat hal-hal yang lebih bermasalah lagi.
GS : Berarti pasangan-pasangan suami-istri Kristen ini juga tidak kebal terhadap konflik Pak Paul,jadi walaupun diberkati di gereja tetap bisa terjadi konflik. Konflik itu juga tidak selalu memperkuat pernikahan, bisa menghancurkan kalau tidak diselesaikan dengan baik. Apakah ada ayat Alkitab yang Pak Paul siapkan untuk itu?
PG : Saya ingin membacakan dari Galatia 6:1 yang saya kira banyak sekali di antara kita yang sudah mengenalnya. Ayatnya berbunyi: "Saudara-saudara, kalaupun seseorang kedapatan elakukan suatu pelanggaran, maka kamu yang rohani harus memimpin orang itu ke jalan yang benar dalam roh lemah lembut sambil menjaga dirimu sendiri supaya kamu juga jangan kena pencobaan."
Jadi di sini ditekankan kalau kita misalnya ada masalah dengan yang lain kita ini seyogyanyalah memimpin, dalam pertengkaran, dalam konflik juga sama memimpin dengan lemah lembut bukan menghancurkan, bukan menyerang jadi kita ikuti prinsip firman Tuhan ini.
IR : Jadi kita itu tidak terlepas sendiri dalam menyelesaikan masalah atau konflik, kalau kita itu dekat dengan Tuhan dan selalu membaca firman pasti telinga kita juga akan terngiang untuk senantiasa merendahkan hati, menyangkal diri, sehingga kita akan mengasihi pasangan kita walaupun mungkin mereka menyakitkan hati kita, kita itu akan bisa mengampuni.
GS : Saya setuju sekali dengan apa yang Ibu Ida katakan. Jadi demikianlah tadi saudara-saudara pendengar kami telah persembahkan sebuah perbincangan seputar kehidupan keluarga khususnya tentang masalah-masalah mitos yang berkaitan dengan konflik di dalam kehidupan rumah tangga, bersama Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Dan bagi Anda yang berminat untuk melanjutkan acara tegur sapa ini, silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.