Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi di mana pun Anda berada. Kita bertemu kembali dalam acara TELAGA (TEgur Sapa GembaLA KeluarGA). Acara ini diselenggarakan oleh Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) bekerjasama dengan radio kesayangan Anda ini. Saya, Necholas David, akan berbincang-bincang dengan Bapak Pdt. Dr. Paul Gunadi, seorang pakar dalam bidang konseling. Perbincangan kami kali ini tentang "Kedukaan Karena Covid-19". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
ND : Pak Paul, kematian orang yang kita kasihi adalah hal yang niscaya terjadi dalam hidup kita, namun saat ini kita merasakan pedihnya hati para pendengar yang kehilangan anggota keluarga oleh karena COVID-19. Bagaimana kita bisa melewati kedukaan yang ditimbulkan oleh pandemi ini?
PG : Bagi sebagian kita masa pandemi adalah masa kehilangan. Ada yang kehilangan pekerjaan sehingga akhirnya kehilangan mata pencaharian, ada yang kehilangan pelayanan tidak bisa lagi melayani seperti biasa, ada yang kehilangan kehidupan sosial tidak dapat bertemu dengan kerabat dan teman. Ada yang kehilangan kesehatan karena sakit jadi sekarang terbatas tidak bisa beraktifitas seperti sedia kala, tapi ada juga yang kehilangan orang yang kita kasihi, ada yang mungkin kehilangan suami, ada yang kehilangan istri, ada yang kehilangan orangtua. Nah, pada kesempatan ini kita akan memfokuskan pada topik kehilangan akibat COVID-19, apakah yang mesti kita perhatikan pada waktu kita menjalani proses kedukaan akibat COVID-19 ini? Satu hal yang perlu kita camkan adalah bahwa setiap kematian unik, demikian pula kedukaan. Tidak ada kematian yang persis sama, itu sebab tidak ada kedukaan atau proses menjalani kedukaan yang persis sama. Seberapa dekatnya hubungan kita dengan yang telah meninggal dan seberapa baiknya relasi kita dengan dia, ini berperan dalam proses menjalani kedukaan. Sudah tentu makin dekat dan positif relasi kita dengan yang telah meninggal maka makin berat dan lama proses kedukaan yang mesti kita lalui. Sebaliknya makin jauh hubungan kita atau makin buruk relasi kita dengan yang telah meninggal, mungkin makin tidak terlalu berat dan lama proses kedukaan yang mesti kita lewati. Ada juga faktor lain yang akan berpengaruh yaitu tipe kepribadian kita. Misalkan kita bertipe kepribadian ekstrovert maka kita akan mengungkapkan dan menjalani kedukaan kita secara lebih ekspresif, kita lebih berani untuk menangis, kita lebih berani untuk mengungkapkan kesedihan kita di muka umum. Atau kita lebih berani untuk cerita, berbagi perasaan yang sedang berkecamuk dalam diri kita. Sedangkan kita yang bertipe introvert cenderung menyimpan kedukaan di dalam hati. Kita tidak begitu nyaman untuk bercerita kepada orang apa yang tengah kita alami, kita tidak nyaman untuk menangis secara terbuka, hal-hal itu membuat kita akhirnya tidak bisa membagikannya secara terbuka, maka ya sudah kita simpan saja semuanya di dalam hati kita. Selain dari itu ada lagi satu faktor yang berperan besar di dalam melewati kedukaan yaitu penyebab dan cara kematian. Pada umumnya kita akan menjalani proses kedukaan secara lebih mulus bila penyebab kematian adalah penyakit di usia tua. Misalkan seseorang meninggal dunia setelah berusia lanjut, kita akan lebih mudah menerima kematiannya. Dan kalau cara kematian itu kita anggap lebih wajar karena sakit-penyakit yang biasa dialami oleh orangtua, kita akan lebih bisa menerima kematiannya. Sebaliknya akan lebih susah untuk kita menerima kematian dan menjalani kedukaan jika kita menganggap kematian terjadi secara tidak wajar dalam pengertian dia meninggal di usia yang relatif muda. Kita lebih susah menerimanya, atau kita menganggap seharusnya dia tidak meninggal dunia, kalau saja dia mendapatkan perawatan yang lebih baik dan sebagainya. Atau dia meninggal lewat sakit-penyakit yang datang secara mendadak, tiba-tiba, semua itu membuat kita lebih sulit untuk menerima kematiannya dan lebih sulit juga untuk menjalani proses kedukaan itu. Berdasarkan pengertian ini maka kita perlu menyadari bahwa COVID-19 membawa dampak tertentu ke dalam proses kedukaan. Sudah tentu ada yang dapat menerima kematian akibat COVID-19 tapi ada pula yang mengalami kesulitan, tidak semua dapat menerima karena COVID-19 ini, akhirnya ada proses kedukaan yang berjalan secara tertatih-tatih, jauh dari mulus. Kita sulit menerima kenyataan bahwa orang yang dikasihi telah tiada dan perasaan kita terus berkecamuk, diombang-ambingkan oleh penyesalan. Itu sebab penting untuk kita melihat dengan seksama dampak COVID-19 pada proses kedukaan. Saya akan jabarkan beberapa di antaranya, oleh karena gejala awal COVID-19 tidak berbeda dari gejala flu pada umumnya, kematian akibat COVID-19 biasanya membuat kita terkejut. Kita tidak menyangka bahwa sesungguhnya orang yang kita kasihi telah berada di ambang kematian. Memang kematian karena sakit jantung juga terjadi secara tiba-tiba dan membuat kita terkejut tapi pada umumnya kita tahu bahwa serangan jantung adalah sesuatu yang serius, sedikit banyak ini memudahkan kita menerima kematiannya. Sebaliknya pada tahap awal COVID-19, ini tidak menampakkan gejala yang serius, baik kita yang melihat maupun si penderita, kita sama-sama tidak menyangka bahwa pilek batuk yang dialaminya adalah pertanda infeksi COVID-19 telah terjadi.
ND : Betul, Pak Paul, disini ada unsur kejutan yang tidak kita duga sebelumnya, bahwa gejala sakit yang ringan, tampak sepele ternyata membawa konsekwensi fatal.
PG : Keterkejutan yang dirasakan sebelum kematian akhirnya berlanjut menjadi penyesalan setelah kematian. Kita tidak menyangka bahwa pilek batuk ini berakhir dengan kematian, itu sebabnya kita terkejut. Akhirnya kita lebih rentan menyalahkan diri, sebab kita menyalahkan diri mengapa tidak berikhtiar, mencari pertolongan secara lebih gencar, lebih serius, mungkin kita pun menyalahkan si penderita sebab ia menyepelekan gejala yang dialami dan tidak mau mencari pertolongan. Masalahnya adalah pada tahap awal, COVID_19 memang tidak menampakkan gejala yang mengkhawatirkan. Si penderita dan mungkin kita beranggapan bahwa ini adalah flu biasa. Mungkin pula si penderita dan kita berpikir bahwa terpenting adalah karantina diri dan beristirahat cukup untuk memberi kesempatan kepada antibodi untuk melawan virus. Saudara, keterkejutan dan penyesalan dapat mengeruhkan dan memperlambat proses kedukaan. Kita sulit percaya bahwa orang yang kita kasihi sekarang telah tiada. Mungkin kita berpikir minggu lalu dia masih bersama kita, tapi hari ini dia telah tiada. Kita merasakan kehilangan yang amat besar dan sulit menerima kenyataan bahwa orang yang kita kasihi telah tiada dan penyesalan biasanya berujung pada menyalahkan diri. Kita akhirnya merasa bertanggungjawab atas kematian orang yang kita kasihi. Seakan-akan kitalah penyebab kematiannya.
ND : Namun Pak Paul, bukankah kita patut mempersalahkan diri sendiri karena kita memang tidak cukup melakukan sesuatu untuk menolong dia.
PG : Ya kita akan berkata, "Kenapa tidak membawa dia ke Rumah Sakit ini atau itu, kenapa saya tidak lebih memberi perhatian akan keluhannya?" Saudara, kita hanya dapat berbuat sesuatu bila kita tahu sesuatu. Didalam ketidaktahuan, kita tidak dapat berbuat apa-apa, menyalahkan diri atau menyalahkan si penderita tidak dapat membangkitkannya dari kematian. Jadi kita mesti menerima keterbatasan kita bahwa memang kita tidak tahu. Andaikan kita tahu sudah tentu kita akan langsung membawanya ke Rumah Sakit, atau mencari pertolongan yang lebih intens.
ND : Benar, Pak Paul. Penyakit ringan yang tiba-tiba memburuk ini bisa membuat kita cenderung menyalahkan diri sendiri, namun mungkin yang terjadi adalah sebaliknya. Kita menuding orang lain, staf Rumah Sakit, dokter, suster yang tidak bisa menyembuhkan orang yang kita kasihi. Bagaimana menurut Pak Paul sikap seperti ini?
PG : Si penderita juga seringkali menggampangkan karena ia menganggap ini flu biasa. Mengapa harus repot-repot, kenapa harus bereaksi seperti itu, ya tidak perlu, tidak sakit berat ! Memang duduk masalahnya adalah kita tidak tahu, karena tidak tahu maka tidak mengambil tindakan-tindakan yang lebih serius untuk mendapatkan perawatan. Sebaiknya kita menerima keterbatasan ini, bahwa kita sama-sama tidak tahu. Jadi saya berharap kita tidak menyalahkan diri, menyesali diri karena ini akan memperkeruh proses kedukaan yang kita jalani. Hal berikut yang mesti kita camkan adalah, COVID-19 adalah penyakit baru, bukan penyakit lama seperti pneumonia atau pendarahan di otak. Hampir setiap minggu muncul penemuan baru tentang virus ini dan dampak penyerangannya pada tubuh manusia. Sudah tentu pengetahuan akan penyakit ini, hari ini sudah jauh lebih baik daripada tujuh bulan yang lalu. Namun tetap oleh karena COVID-19 adalah penyakit baru, maka metode penanganannya masih dalam tahap uji coba dan belum baku. Buat penderita tertentu penanganan dengan cara ini berhasil, tapi buat penderita yang lain tidak berhasil. Buat penderita tertentu obat ini berkhasiat namun untuk penderita yang lain obat yang sama malah menimbulkan efek sampingan yang tidak diharapkan. Kita mesti memahami bahwa ini adalah penyakit baru jadi belum ada metode penanganan yang mapan, yang sudah terbukti, karena ini semua masih dalam tahap pencarian. Untuk vaksinasi saja sampai saat ini masih dalam tahap uji coba, belum ditemukan vaksinasi yang ampuh untuk menangkal virus ini. Kita perlu memahami hal ini sebab pada umumnya kita menaruh harapan besar bahwa penanganan medis yang diberikan pastilah akan dapat menyembuhkan orang yang kita kasihi. Sewaktu ia meninggal dunia, kita marah dan menyalahkan penanganan medis yang diberikan. Kita mesti menyadari bahwa keterbatasan pengetahuan dan keterbatasan pengobatan berandil besar dalam penanganan yang diberikan. Memang di era globalisasi dan kemajuan teknologi kita sekarang dapat berbagi dan saling tukar pengetahuan dan pengalaman dan ini sudah tentu sangat membantu penanganan medis COVID-19 namun kita tetap perlu mengingat bahwa pada kenyataannya semua menghadapi masalah yang sama. Bahwa COVID-19 adalah penyakit baru dan kita masih terus memelajarinya dan berusaha menemukan cara pengobatannya. Dengan kata lain, kita harus bersikap realistik terhadap tenaga medis yang terlibat dalam perawatan orang yang kita kasihi. Jangan kita terlalu cepat menyalahkan mereka, kita harus terus mengingatkan diri bahwa mereka, para personel medis ini hanya dapat berusaha menyembuhkan. Mereka tidak punya kuasa untuk menyembuhkan dan bahwa mereka pun masih terus memelajari daya kerja virus ini dan berusaha menemukan cara pengobatan yang tepat.
ND : Pak Paul, kita bergumul dengan rasa bersalah juga ingin mengecam orang lain. Di sisi lain kita merasa sedih dan tidak tega melihat orang yang kita kasihi itu berjuang sendiri. Kita tidak bisa menemani dia di hari-harinya yang terakhir dan bahkan hingga dia tiba di ujung kehidupannya.
PG : Sekali lagi saya meminta agar kita jangan terlalu cepat melimpahkan tanggungjawab yang begitu besar terhadap personel medis sebab sekali lagi ini adalah penyakit baru dan penanganannya masih belum baku, masih dalam tahap pencarian, uji coba jadi terimalah keterbatasan ini. Makin kita menuntut pertanggungjawaban personel medis, menyalahkan mereka, ini makin menyulitkan kita melewati kedukaan sebab kita akan terus berkata kepada pasangan atau orang yang kita kasihi yang telah meninggal ini, "Tidak seharusnya kamu meninggal, tidak seharusnya kamu meninggal". Kita akhirnya terus diisi dengan kemarahan kepada pihak personel medis yang menangani orang yang kita kasihi itu. Tidak ya, kita mesti berkata bahwa memang mereka terbatas, mereka juga tidak memunyai jawaban untuk penyakit ini dan bukan hanya di tempat dimana kita tinggal tapi di mana-mana sama, mereka masing-masing berusaha mencari cara penanganan yang paling baik, yang paling tepat namun belum ada satu metode yang paling pas untuk semuanya, belum ada. Terakhir, oleh karena merosotnya sistim imun pada tubuh maka penderita COVID-19 mesti diisolasi, ini berarti bukan saja si penderita tidak dapat melihat wajah personel medis yang merawatnya, mereka pun tidak dapat berjumpa dengan sanak keluarga serta kerabat. Inilah yang sering menjadi beban kita menjelang dan setelah kematiannya. Kita sedih dan kasihan memikirkan akhir hidup orang yang kita kasihi itu, mungkin kita bertanya-tanya apa yang direnungkannya, dipikirkannya, dirasakannya dalam kesendiriannya. Bagi si penderita maupun bagi kita yang mengasihinya, kesendirian di masa sakit dan terpisah dari orang yang dikasihi merupakan kesengsaraan dan kesedihan yang besar, namun di dalam kesendirian itulah kita datang kepada Tuhan dan memohon penyertaan-Nya. Didalam keheningan kita dapat merenungkan karya dan pemeliharaan Tuhan di dalam hidup kita, didalam kesunyian kita dapat mendengar suara Tuhan lewat Roh Kudusnya berbicara dan menguatkan hati kita. Singkat kata, bagi orang percaya, kita tidak pernah sendirian, Yesus adalah Imanuel, Allah beserta kita. Nah, kita mesti meyakini inilah yang juga akan dialami oleh orang yang kita kasihi di saat-saat akhir hidupnya. Yesus tidak akan tinggal diam, lewat Roh Kudusnya Dia akan memberikan peneguhan, Dia akan memberikan bimbingan, Dia akan memberikan penghiburan dan pengharapan. Lewat Roh Kudusnya Dia akan membawa orang yang kita kasihi masuk ke dalam Kerajaannya di surga. Dia akan memberikan kepada orang yang kita kasihi damai sejahtera, keyakinan dan kepastian bahwa Dia sudah menanti dan akan membukakan pintu surga buat orang yang kita kasihi. Jadi tenanglah, ketahuilah dengan pasti kalau di masa sehat Yesus lewat Roh Kudusnya tidak pernah meninggalkan kita sendirian dan tidak pernah berhenti berbicara kepada kita, di masa akhir kehidupan orang yang kita kasihi, meski dia sendirian yakinilah bahwa dia pun tidak sendirian. Yesus lewat Rohnya yang kudus akan berbicara, akan menguatkannya, akan memberikan penghiburan.
ND : Terima kasih Pak Paul, ini sungguh menguatkan hati bahwa di waktu-waktu yang paling sepi, paling hening dan paling terasing, Tuhan menyertai kita. Tuhan selalu hadir mengiringi orang yang kita kasihi itu sampai dia pulang ke pangkuan-Nya.
PG : Saya akan akhiri dengan firman Tuhan yang saya ambil dari kitab Ayub 42:2, "Aku tahu bahwa Engkau sanggup melakukan segala sesuatu dan tidak ada rencana-Mu yang gagal". Inilah dasar iman kita, kita percaya pada Allah yang Mahakuasa, Dia berkuasa melakukan segalanya, termasuk menyembuhkan orang yang kita kasihi tapi memang Dia tidak selalu melakukannya sebab dalam rencana-Nya yang baik dan sempurna, adakalanya Dia memakai sakit-penyakit termasuk COVID-19 untuk membawa anak-anak-Nya pulang, ke Rumahnya yang kekal. Kematian orang yang kita kasihi berada di dalam rencana Tuhan dan tidak ada yang dapat menggagalkan rencana Tuhan. Mungkin buat kita caranya Tuhan memanggilnya pulang lewat COVID-19 bukan cara yang elok, bukan cara yang indah, tapi yakinlah bahwa rencana-Nya adalah indah. Rencana Tuhan pasti indah karena keluar dari kemahakuasaan-Nya, kemahatahuan-Nya dan terutama keluar dari kebaikan hati-Nya yang penuh dengan kasih kepada kita. Biar Tuhan menguatkan kita semua melalui firman Tuhan ini, Amin.
ND : Para pendengar sekalian, terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bapak Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (TEgur sapa GembaLA KeluarGA). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Kedukaan Karena COVID-19". Jika Anda berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan menghubungi kami melalui surat ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK), Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat mengirimkan e-mail ke telaga@telaga.org. Kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa dalam acara TELAGA yang akan datang.