Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso bersama Ibu Idajanti Raharjo dari LBKK (Lembaga Bina Keluarga Kristen), telah siap menemani Anda dalam sebuah perbincangan dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling dan dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Kali ini perbincangan kami mungkin kami tujukan kepada para remaja dan pemuda, karena kali ini kami akan membahas tentang bagaimana menghadapi orang tua yang tidak lagi berwibawa di mata Anda. Kami percaya acara ini akan sangat bermanfaat bagi kita semua, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
Lengkap
(1) GS : Pak Paul, beberapa waktu yang lalu kita berbincang-bincang tentang bagaimana orang tua itu membangun wibawanya baik terhadap pasangan hidupnya maupun terhadap anak-anaknya. Dan masalahnya adalah sekalipun orang tua itu berusaha membangun kemungkinan keliru, salah langkah dan sebagainya sehingga di depan mata anak-anaknya mereka atau salah satu dari kedua orang tua itu sudah tidak lagi berwibawa, anaknya berani melawan orang tuanya dan kata-katanya pun tidak di anggap. Nah, sebenarnya akar permasalahannya di mana Pak Paul?
PG : Seperti yang telah kita bicarakan Pak Gunawan, bahwa yang anak-anak akan lihat dan akan dijadikan ukuran untuk menghormati orang tua atau tidak adalah yang pertama kualitas hubungan papa mmanya.
Apakah ayah ibu memiliki hubungan yang baik saling menghormati, saling mencintai, tidak berlaku kasar satu sama lain. Yang kedua adalah perlakuan orang tua terhadap anak apakah adil, apakah sepatutnya, apakah juga orang tua menghormati mereka. Dan yang ketiga adalah integritas hidup orang tua, apakah mereka hidup dengan benar di hadapan Tuhan atau tidak, apakah mereka orang-orang yang hidup munafik tidak sama luar dan dalam dan sebagainya. Nah ketiga hal ini mutlak perlu dilihat oleh anak-anak barulah anak-anak cenderung menghormati orang tua, tapi dalam perjalanan hidup memang adakalanya kita tidak sempurna. Yang saya temukan Pak Gunawan, kebanyakan anak-anak sebetulnya siap untuk menerima orang tua dan memaafkan orang tua kalau orang tua kadang-kadang berbuat kesalahan dalam perlakuannya, dalam disiplinnya kepada anak-anak dan sebagainya. Tapi adakalanya anak-anak akan sukar sekali untuk menerima orang tua, nah saya tidak berbicara tentang kasus di mana memang yang bersalah adalah anak-anaknya, tapi saya bicara di mana yang bermasalah adalah orang tua. Nah, akhirnya anak-anak tidak bisa menerima atau menoleransi orang tua, biasanya karena perbuatan itu di ulang-ulang, yang keliru itu, yang salah itu, baik misalnya cara papa memperlakukan mama, cara mama memperlakukan papa, cara memperlakukan anak yang semena-mena atau hidup mereka yang tidak benar. Nah, hal yang terjadi berulang-ulang akhirnya membuat anak-anak tidak bisa menoleransi dan tidak bisa menerima orang tua, sehingga akhirnya mereka harus menyadari dan menerima fakta bahwa inilah orang tua mereka. Yang berikutnya Pak Gunawan kita harus juga camkan bahwa dengan menjadi orang tua artinya menjadi ayah ibu, tidak berarti mempunyai kedewasaan sebagai orang tua. Kita harus benar-benar berhati-hati di sini, jangan sampai para pendengar yang remaja atau yang pemuda langsung berkesimpulan mama saya, papa saya tidak dewasa, saya yang benar dari dulu. Nah, saya juga tidak mau para remaja, para pemuda yang mendengarkan program ini langsung mengambil kesimpulan yang begitu cepat. Tapi memang saya harus akui adakalanya orang tua bersifat atau bersikap kekanak-kanakan, tidak berarti sewaktu seseorang menjadi orang tua jiwa dan karakternya akan menjadi matang sesuai dengan usia dan tanggung jawabnya. Ada orang tua yang kekanak-kanakan, mempunyai kebutuhan yang bahkan lebih besar dari anak-anak mereka, contoh misalnya kebutuhan untuk disayangi seharusnya 'kan orang tua yang menyayangi anak, memberikan kepada anak kasih sayang. Tapi ada orang tua yang begitu tidak aman dengan dirinya, karena kemungkinan besar, masa lalunya sehingga dia menjadi orang tua yang akan memanipulasi anak untuk senantiasa menyayangi, mengutamakan dia. Kalau anak misalnya mulai merdeka, mulai mandiri, misalkan si orang tua akan memelas, akan membuat anak merasa bersalah meninggalkan dia di rumah sendirian, sehingga anak tidak bisa pergi harus di rumah, jadi di sini yang kekanak-kanakan memang si orang tua. Nah adakalanya itu yang terjadi dan anak-anak terpaksa hidup dalam keadaan seperti ini.
(2) GS : Dalam hal seperti itu Pak Paul, kondisi orang tua sudah sedemikian katakan buruknya di hadapan mata anak itu, apa yang seharusnya anak itu lakukan?
PG : Yang pertama adalah anak-anak perlu melihat dengan jelas, di mana duduk masalahnya sebab apa, ada kecenderungan anak-anak ini akan terjerat di dalam hubungan yang tidak sehat ini sehingga aktu si orang tua berkata engkau tidak sayang kepada papa, engkau tidak sayang kepada mama, engkau kok tega-teganya meninggalkan mama di rumah atau apa, si anak merasa bersalah, si anak merasa ya saya yang jahat, saya yang tidak baik, saya yang harus diam di rumah.
Atau contoh si anak tidak bisa keluar, disimpan di rumah terus, sudah umur 22 tahun tapi tidak keluar rumah, harus pulang sore, tidak boleh pergi dengan teman-teman. Waktu dia mau keluar dengan teman-teman, orang tua langsung memarahinya, nah akhirnya si anak jadi bertanya-tanya saya salah ini ya, saya seharusnya memang di rumah, saya seharusnya memang tidak keluar dengan teman-teman. Nah anak-anak perlu melihat dengan jelas di mana duduk masalahnya, yang lain lagi yang juga klasik, orang tua yang sering bertengkar, terus bertengkar, anak-anak kadang-kadang beranggapan merekalah pokok pertengkaran antara orang tua. Mungkin waktu masih kecil ada peristiwa di mana orang tua bertengkar, dan memang melibatkan si anak, misalkan si anak terlalu nakal atau si anak kurang bertanggung jawab dalam studinya, akhirnya si mama marah, si papa membela ribut besar, mungkin pernah terjadi sekali-sekali. Tapi sebetulnya mereka bertengkar terus-menerus karena memang kualitas hubungan suami istri yang tidak baik, namun si anak karena pernah merasa dia menjadi pokok pertengkaran orang tua akhirnya beranggapan setiap kali orang tua bertengkar pasti salahnya. Jadi apa yang terjadi, si anak merasa dia anak yang tidak baik, karena dialah orang tua menjadi susah hati, apalagi kalau orang tua berkata kenapa kamu membuat susah kami, kamu kenapa begitu jahat pada kami, tidak memperhatikan kami dan sebagainya. Nah, di sini anak-anak perlu melihat dengan pikiran yang jernih di mana duduk masalahnya, tempatkan masalahnya di tempat yang sebenar-benarnya. Kalau memang bukan mereka sebagai anak, tapi pada orang tua, anak-anak harus berkata memang ini masalah mereka. Ada contoh yang klasik misalnya yang terjadi, ada anak-anak yang sampai tidak berani tinggal di luar rumah, karena mereka selalu sadar, kalau dulu keluar rumah orang tua pasti berkelahi, jadi anak-anak harus di rumah terus. Sehingga akhirnya tidak berani keluar rumah dalam pengertian sudah akil balig, umur sudah 30 tahun tidak berani menikah, tidak berani punya pacar, kalaupun punya pacar atau punya istri diharapkan tinggal di rumah; misalnya seperti itu karena harus menjadi penjaga orang tua terus-menerus. Nah saya kira anak-anak harus tempatkan problemnya ini di mana.
IR : Tapi sebaliknya Pak Paul, ada orang tua yang tidak dewasa membuat anak itu justru tidak betah di rumah, tidak kerasan di rumah. Kadang-kadang untuk menghilangkan kejenuhan itu dia naik bus dari ujung kota satu ke kota yang lain, keujung yang satu lagi kemudian dia pulang. Tapi kalau dia di rumah lagi mendapatkan situasi di mana orang tuanya tidak dewasa minta dikasihani terus dia tidak ingin pulang, dia pergi.
PG : Betul, yang tadi pun anak-anak yang di rumah terpaksa di rumah sebetulnya tidak betah di rumah, tapi terpaksa di rumah. Ada yang terpaksa di rumah untuk menjadi pendamai atau terpaksa di rmah karena kehadiran anak-anak setidaknya mencegah orang tua berkelahi atau bertengkar.
Atau sengaja di rumah supaya misalnya ayah tidak memukuli ibu, namun sebetulnya mereka di rumah secara terpaksa, nah kalau bisa mereka ingin keluar. Tapi waktu ingin keluar rasa bersalahnya dibangkitkan kembali sehingga tidak berani keluar, jadi yang berani keluar seperti tadi itu masih lebih bagus.
GS : Masih tersalurkan.
PG : Masih tersalurkan, betul.
GS : Tapi Pak Paul, ada khususnya ini yang mendapat pendidikan iman sejak kecil terus diajarkan untuk menghormati orang tuanya, nah itu kadang-kadang sulit untuk mengekspresikan bagaimana dia harus menghormati orang tuanya. Kepada siapa mereka itu tidak respek, tidak menaruh rasa hormat lagi Pak Paul, padahal 'kan perintah itu jelas hormatilah ibu bapakmu.
PG : Saya akan bacakan dari Amsal 23:22, "Dengarkanlah ayahmu yang memperanakkan engkau, dan janganlah menghina ibumu kalau dia sudah tua." Nah ada dua kata di sini yang pelu diperhatikan, pertama ialah kata mendengarkan.
Nah, mendengarkan dalam pengertian kita tidak semena-mena menutup telinga terhadap apa yang dikatakan oleh orang tua kita, mungkin mereka mempunyai sifat kekanak-kanakan, tapi mereka sebagai manusia yang hidup lebih tua dari kita dan sebagai manusia yang sebetulnya juga mencintai kita sebagai anak mereka pasti memberikan kita sumbangsih. Ada hal-hal yang mereka bisa sampaikan dan kita bisa pelajari dari mereka, jadi betapa buruknya pun orang tua kita, mereka tidak semuanya buruk, tidak seluruh tentang diri mereka itu buruk. Nah, Tuhan meminta kita tetap membuka telinga untuk memberikan kesempatan kepada orang tua memberikan petuah kepada kita. Yang kedua, Tuhan berkata jangan menghina ibumu kalau dia sudah tua, dengarkanlah dan jangan menghina, sebetulnya dua sisi dari satu logam yang sama. Menghina artinya memang mereka salah misalkan, memang mereka punya kelemahan-kelemahan tapi Tuhan meminta kita jangan menghina, menginjak-injak, memaki-maki, itu adalah contoh-contoh menghina, jadi tetap yang Tuhan minta jangan kita menghina mereka. Tapi dalam prakteknya apa yang bisa kita lakukan, tadi saya sudah singgung yang pertama adalah kita mesti jelas tempatkan masalahnya di mana seharusnya berada. Yang kedua adalah kita juga mesti berani untuk memisahkan diri dari orang tua secara emosional dan kalau perlu secara fisik, artinya begini, adakalanya karena kita sudah menjadi bagian keluarga ini, kita akhirnya tidak berani untuk pisah atau misalnya mandiri karena kita merasa haruslah kita ini bertanggung jawab berbuat sesuatu dan sebagainya untuk mereka. Nah, yang saya mau tekankan adalah jangan terlalu berharap bahwa kita akan bisa mengubah mereka, kadang kala saya harus berkata kepada para pemuda atau siapa yang tinggal dalam rumah atau tinggal dengan orang tua yang memang bermasalah berat. Saya harus berkata biarlah orang tuamu mengurus masalah mereka sendiri, sebab mereka sudah hidup dalam masalah ini berpuluhan tahun dan jangan jadikan dirimu korban berikutnya, lebih baik tali ini diputuskan dalam pengertian bukannya tidak menjadi anak lagi, tapi jangan sampai korban ini dilanjutkan yaitu kepada engkau. Karena kalau tidak, engkau akan hidup dalam ikatan yang tidak sehat dan pasti akan mempengaruhi kehidupan keluargamu nanti dengan istri atau dengan suami ataupun dengan anak-anakmu nanti. Jadi langkah kedua adalah kita memang mesti berani mengambil langkah untuk pisah, untuk mandiri dan berkatalah biarkanlah orang tua menyelesaikan masalah mereka, dan saya harus membangun keluarga sendiri sekarang. Memang kedengarannya egois, apalagi kita sebagai orang Kristen rasanya kok tidak seharusnya berkata demikian, tapi kita memang berkewajiban pertama-tama untuk membangun keluarga kita sekarang, yang sudah terjadi dengan orang tua ya sudah terjadi, begitu. Misalnya mama kita sering dipukuli oleh ayah kita dan sebagainya, waktu kita mandiri kita ajak mama untuk pergi dengan kita, tinggal dengan kita biarkan papa tinggal sendiri supaya dia tidak bisa memukuli mama lagi, daripada kita semua masih tinggal di situ misalnya.
GS : Dalam rangka peringatan Tuhan tadi bahwa kita sebagai anak tidak boleh menghina orang tua Pak Paul, yang kita alami sekarang adalah anak-anak kita pendidikannya lebih tinggi, bahkan jauh lebih tinggi dari orang tuanya. Sehingga kalau mereka berbicara, kalau anak-anak ini membicarakan sesuatu kadang-kadang tidak pas, orang tua tidak bisa menanggapi dan itu di hadapan mata anak-anak sering kali mengurangi wibawa orang tua, bagaimana pandangan Pak Paul tentang hal ini?
PG : Adakalanya memang masalah ini muncul kalau anak dan papa misalnya bekerja di satu perusahaan yang sama. Anak lebih sekolah tinggi, lebih mengerti sistem managemen yang baru, orang tua misanya ingin mempertahankan managemen yang sudah dipakai sejak seratus tahun yang lalu misalnya.
Nah, memang sering kali menjadi masalah di sini, tapi tetap Tuhan meminta tidak boleh menghina, jadi silakan berbeda pandang, silakan beritahukan yang seharusnya dia kerjakan tapi kalau orang tua tidak setuju dan memang sampai saat ini merekalah empunya perusahaan saya kira anak harus mengikuti. Kalau anak mungkin berkata bagaimana kalau perusahaannya rugi ya biarkan, memang ini adalah keputusan orang tua, biar orang tua melihat sendiri, nah nanti karena dia melihat rugi, ya keliru, dia akan bisa berkata anak saya betul. Tapi justru kalau anak itu misalnya memaki-maki orang tua karena dianggap kolotlah apa dan sebagainya, meskipun rugi, keliru pun orang tua enggan mengakuinya, gengsi. Tapi kalau anak tidak menghina orang tua, hanya memaparkan jalan yang seharusnya dilakukan dia akan lebih berani mengakui keunggulan si anak, dan nanti malahan mendayagunakan si anak.
GS : Apakah cukup bijaksana kalau anak itu memberitahukan kepada orang tuanya entah ayah atau ibunya atau keduanya itu, apa yang dia inginkan orang tuanya itu lakukan untuk dia?
PG : Boleh, silakan kalau memang orang tuanya masih bisa mendengar, kalau tidak bisa mendengarkan lagi karena tidak mampu juga untuk mendengarkan, karena terlalu memikirkan diri mereka sangat eois dan kekanak-kanakan saya pikir tidak perlu terlalu bersemangat memberitahukan kepada orang tua apa yang menjadi kebutuhannya, sebab mungkin tidak bisa didengar malahan menjadi bumerang dipersalahkan oleh orang tua.
Kamu kok tidak bisa melihat orang tua sudah susah, jadi salah lagi ya lebih baik sudah diamkan. Terimalah kondisi orang tua yang memang begini.
GS : Ya memang kadang-kadang agak sulit Pak Paul, kondisinya itu misalnya ada anak yang mengatakan kepada ayahnya, sebenarnya saya itu respek kepada ayah, hormat, menghargai wibawa ayah, kalau ayah mau menceraikan istri yang kedua dan sebagainya dan tinggal bersama kami di rumah ini. Nah, apakah permintaan seperti itu cukup wajar, Pak Paul? 'Kan ini ayahnya sudah terlanjur punya istri kedua dan sebagainya, si anak ini tidak bisa respek kepada orang tuanya terutama ayahnya karena punya istri kedua dan dia merasa ibunya yang menjadi korban, diapun menjadi korban.
PG : Nah ini membawa kita kepada point yang ketiga Pak Gunawan, tadi saya katakan point pertama adalah kita tempatkan duduk masalahnya dengan jelas dan yang berikutnya adalah kita memisahkan dii dari problem orang tua dan yang ketiga adalah kita harus melihat ayah dan ibu kita ini secara spesifik sekali.
Sebab kita tidak bisa dengan mudah seolah-olah melabelkan papa mama baik atau tidak baik, tidak bisa, jadi dalam kasus seperti ini kita harus melihat seolah-olah ayah ibu kita itu terdiri dari kepingan-kepingan, kepingan-kepingan sifat kualitas atau perbuatan. Lihatlah dengan jelas perbuatan, sifat atau sikapnya yang tidak benar sekaligus lihatlah yang juga benar. Jadi point yang ketiga adalah untuk tetap berhadapan atau berhubungan dengan orang tua yang bermasalah carilah hal-hal yang memang tetap masih bisa kita hormati dan yang baik, dan hormatilah mereka untuk hal-hal tersebut. Sebab jalan yang sering kali ditempuh oleh anak-anak adalah ekstrim, ada anak-anak yang membela buta orang tuanya, orang tua salah seperti apapun pokoknya dia bela buta, dia akan menjaga kehormatan keluarganya, nah itu juga keliru. Tidak bisa melihat kelemahan orang tua atau ada anak yang membuang orang tuanya sama sekali, orang tua yang jahat, tidak baik, yang buruk nah saya kira kita perlu di tengah dalam pengertian melihat jelas setiap perbuatan, kelakuan atau sifat sikapnya. Adakah yang baik, adakah yang memang sangat menunjang kita dulu, yang kita hargai, di situlah kita menghargai mereka, di situlah kita menghormati mereka.
GS : Tapi biasanya memang khalayak masyarakat itu bisa menerima Pak Paul, kalau anaknya tidak menghormati orang tua karena ulah dari orang tuanya sendiri, masyarakat itu masih bisa menerima. Ada anak yang sampai ketika ayahnya meninggal dia tidak mau hadir pada saat penutupan peti maupun pemakamannya, karena ayahnya sudah menyakiti hati dia, dan dia sama sekali tidak respek terhadap ayahnya. Tapi kalau itu kita kaitkan dalam kehidupan kekristenan 'kan sangat bertentangan Pak Paul, orang sudah mati masih dibenci, dendamnya itu kok sampai segitu Pak Paul, seolah-olah tidak ada pengampunan sama sekali.
PG : Ini membawa kita ke point berikutnya Pak Gunawan, yaitu pada akhirnya tidak bisa tidak kita harus mengampuni. Kita mengampuni bukan berarti tidak mengakui kemarahan kita, kita perlu mengaki luka yang ditimbulkan oleh orang tua kita bahwa kita telah diciderai olehnya.
Dan bahkan dalam kasus-kasus tertentu ada yang cacat oleh karena orang tua, namun setelah kita akui luka yang ditimbulkan, kita akui kemarahan kita bahwa kita memang marah mendapatkan perlakuan seperti itu, langkah selanjutnya memang harus mengampuni. Sebab tetap kalau kita kembali kepada Tuhan, Tuhan selalu memisahkan orang dari perbuatan memang susah sekali, karena antara orang dan perbuatan memang menyatu. Tapi Tuhan mencintai orang berdosa dan membenci dosa, jadi kita juga akan diminta Tuhan pada akhirnya untuk sampai ke situ, tapi sekaligus saya juga akan menekankan silakan marah, silakan menangis karena cidera-cidera yang telah ditimbulkan oleh orang tua. Namun sekaligus ampuni mereka, ya nanti bisa marah silakan, tapi setelah itu coba ampuni lagi, jadi memang langkah yang terakhir menghadapi orang tua yang bermasalah, kita akhirnya tetap harus berlutut dalam doa dan mengampuni mereka.
GS : Memang biasanya anak itu hormat atau menaruh hormat kepada orang tuanya ketika orang tuanya itu masih kuat, masih punya penghasilan dan sebagainya. Tetapi kalau anak itu mulai merasa bahwa orang tuanya itu menjadi beban, rasa hormat itu lama-lama luntur, dia mengharapkan orang tuanya yang menghormati dia sekarang, karena seolah-olah orang tua ini yang bergantung pada dia Pak Paul.
IR : Itu apa karena sikap egois Pak Paul?
PG : Bisa egois, tapi mungkin juga bisa karena sikap manusia yang berdosa, yaitu kita cenderung mengukur dari segi keuntungan. Nah, waktu kita merasa kita yang memberi keuntungan kepada orang ta, seolah-olah orang tua yang harus berterima kasih kepada kita dan menghormati kita.
Dan memang dunia ini diukur oleh nilai sistem material, kita harus akui itu sehingga yang beruang yang berkuasa, yang beruang yang mempunyai kehormatan. Jadi kadang-kadang orang tua pun terjebak dalam sistem itu, anak yang kaya lebih dihormati, menantu yang kaya lebih disanjung-sanjung, yang kurang, kurang diperhatikan.
IR : Tapi juga harus kembali pada Tuhan ya, kalau orang yang sungguh-sungguh beriman mungkin tidak mengukur untung rugi Pak Paul?
PG : Betul, jadi anak-anak yang mempunyai orang tua bermasalah akhirnya ditantang, ini kesimpulannya Pak Gunawan, ditantang apakah akan hidup bermasalah atau hidup benar, dan pada akhirnya ada ua pilihan.
Dan pilihan ini tanggung jawab anak-anak, pada titik terakhir anak-anak tidak bisa berkata saya begini karena orang tua seperti itu, tidak bisa. Sebab sekarang setelah dewasa anak-anak memiliki pilihan untuk hidup benar atau untuk hidup bermasalah seperti orang tua. Jadi tetap pilihan yang seharusnya adalah hidup benar, hidup berintegritas meskipun orang tua dulu tidak berintegritas atau tidak benar.
GS : Tetapi di dalam memilih, justru itu yang sulit Pak Paul untuk merealisasikan, karena rasa hormat itu sudah tidak ada.
PG : Meskipun tidak ada lagi, tadi yang berikutnya yang saya tekankan adalah carilah yang positif, yang baik, tetap dia harus memilih hidup benar, dia harus tidak tunduk pada masa lalunya. Jangn sampai dia meneruskan masalah yang sama itu.
GS : Mungkin dia harus lakukan karena mungkin Tuhan yang memerintahkan dia untuk melakukan itu Pak Paul ya.
PG : Seperti firman Tuhan katakan bahwa setiap manusia harus mempertanggungjawabkan perbuatannya. Dia tidak bisa berkata di Sorga nanti: "Tuhan, saya begini, karena papa saya dulu begini, tidak bisa.
Jadi titik akhirnya adalah kepada siapakah kita harus bertanggungjawab dan jawabannya kepada Tuhan.
IR : Jadi masing-masing harus bertanggungjawab Pak Paul, segala sikap dan perbuatan yang dilakukan?
PG : Betul, waktu dia terus hidup di dalam masa lalunya dan menyalahkan orang tua, dia menjadi seperti orang tua yang kekanak-kanakan.
GS : Dan kesalahan itu akan berulang kembali, padahal kita terpanggil untuk memutuskan hal-hal yang tidak benar seperti itu dan berjalan pada jalan kebenaran firman Tuhan.
GS : Jadi demikianlah tadi para pendengar yang kami kasihi, kami telah persembahkan sebuah perbincangan tentang bagaimana kalau kita berhadapan dengan orangtua yang di mata kita sudah tidak berwibawa lagi. Dan perbincangan ini kami lakukan bersama Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kalau Anda berminat untuk melanjutkan acara tegur sapa ini, kami persilakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Dan dari studio kami mengucapkan terima kasih.
PERTANYAAN KASET 46 B
- Apakah yang melatarbelakangi orangtua kehilangan wibawa …?
- Apa yang harus dilakukan seorang anak dalam menghadapi...?
- Apa yang harus dilakukan seorang anak dalam menghadapi orangtua yang demikian…?