Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Sepi di Hari Tua". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
GS : Memang sulit dihindari bagi teman-teman yang sudah memasuki usia lanjut, Pak Paul, mungkin pasangannya juga sudah meninggal, anak-anak sudah meninggalkan rumah, sehingga ada kesepian yang menyergap dan bagaimana mengatasinya, Pak Paul ?
PG : Kita harus memahami, Pak Gunawan, bahwa kehadiran anak membawa perubahan yang besar dalam hidup kita. Saya gambarkan, rumah yang tadinya sepi sekarang berubah ramai, lantai yang tadinya mengkilap sekarang cemong karena tumpahan makanan dan minuman. Hari lepas hari diisi dengan pelbagai kegiatan yang berkaitan dengan anak, dari mengantar ke sekolah di pagi hari sampai meninabobokan anak di kala malam. Nah, jika kehadiran anak membawa perubahan yang begitu besar dalam kehidupan kita, maka dapat dibayangkan bahwa kepergian anak waktu mereka sudah dewasa juga membawa perubahan besar. Rumah yang tadinya hiruk-pikuk sekarang menjadi sepi dan dingin, hari yang tadinya berlimpah ruah dengan pelbagai aktifitas tiba-tiba menjadi senggang. Waktu yang tadinya terbatas sekarang menjadi tanpa batas.
GS : Dan ketika anak-anak masih di rumah waktu kita dengan mereka juga cukup panjang, sehingga membekas dalam diri seseorang. Sudah terbiasa dengan keramaian, dan waktu dia masih belum menikah, dia berasal dari keluarga besar yang cukup ramai namun sekarang semuanya pergi satu demi satu sehingga dia harus tinggal sendirian, mungkin dengan pembantu atau dengan perawat saja dan itu membuat hidup terasa sepi.
PG : Betul sekali, Pak Gunawan. Jadi misalkan kita berkata bahwa seseorang menikah di usia sekitar 25 tahun, berarti 25 tahun pertama hidupnya dia dikelilingi oleh banyak orang. Dalam keluarga ada ayah, ibu, kakak, adik. Kemudian ketika dia menikah, membesarkan anak, misalkan ada beberapa anak. Berarti kalau ditotal mungkin sekitar 25 tahun berikutnya dia pun hidup dalam keramaian, diisi oleh anak-anak. Dengan kata lain, 2/3 hidup kita diisi dengan kehidupan bersama banyak orang. 1/3 sisanya, di atas usia 50-an sampai usia mungkin 70-an atau 80-an kita ini sendirian, tidak ada lagi orang yang mesti kita rawat, benar-benar kita akan menjalani kehidupan yang sepi. Memang masih ada keluarga yang bersedia menampung orang tua yang uzur, namun tidak semua bersedia. Banyak faktor yang harus dipertimbangkan agar tidak menimbulkan dampak yang buruk pada hubungan kita dengan anak. Itu sebabnya dewasa ini makin banyak orang tua yang hidup mandiri, lepas dari anak. Sebagai akibatnya kesepian pun melanda masuk, terutama bila kita tidak lagi bekerja dan tidak lagi menikmati kesehatan yang prima.
GS : Biasanya dalam hal apa seseorang itu merasa kesepian di hari tuanya ?
PG : Ada dua yang nanti akan kita bahas, Pak Gunawan. Jadi kita akan bahas yang pertama dulu yaitu hilangnya kesibukan rutin dan makna yang terkandung di dalamnya. Jadi bagi kita yang terbiasa hidup sibuk, hari tua tanpa kegiatan akan menghadirkan rasa jenuh yang luar biasa besar. Memang ada yang berusaha mengisi waktu dengan melakukan kegiatan lain, namun tidak bisa disangkal kita tidak selalu bisa menggantikan kegiatan yang satu dengan kegiatan yang lain. Nah saya berikan contoh, misalnya kita tidak bisa mengganti kegiatan mengurus anak dengan kegiatan lain. Sebab mengurus anak sendiri memberi sukacita dan kepuasan tersendiri. Apa pun itu yang kita lakukan untuk mengisi waktu yang terhilang, tidak akan bisa memenuhi sukacita dan kehangatan di hati dalam mengurus anak. Singkat kata, Pak Gunawan, pada akhirnya kita mesti menyadari bahwa yang terhilang bukanlah kegiatan itu semata, melainkan makna dan semua perasaan yang terkait dengan kegiatan itu. Misalkan, kita terbiasa bekerja, datang ke kantor mendapatkan pengharapan, mendapatkan pengakuan, mendapatkan tugas. Itu semua memberikan kepada kita makna dan memberikan kepada kita perasaan-perasaan tertentu yang terkandung di dalamnya. Nah, sewaktu itu semua terhilang, itulah yang membuat hidup begitu kosong dan hambar.
GS : Padahal ketika masih sibuk, ketika masih banyak tugas yang dialami, seringkali juga terjadi atau keluar keluhan, "Kapan saya bisa mengakhiri semuanya dan bisa duduk santai" dan sebagainya. Kenapa pada saat waktu itu tiba, dia menjadi kesepian, Pak Paul ?
PG : Sebab yang biasanya kita keluhkan adalah efek dari pekerjaan itu. Misalkan, efek dari pekerjaan itu adalah kita menjadi terlalu letih, karena tugas-tugas menumpuk atau efek dari pekerjaan itu adalah kadang-kadang kita harus bersitegang dengan pelanggan atau bahkan dengan rekan kerja atau efek dari pekerjaan itu misalkan kita mendapatkan kritikan. Jadi harus kita bedakan, efek dan makna yang terkandung dalam pekerjaan itu sendiri. Sebab pekerjaan itu sebetulnya memberi makna tersendiri kepada kita dan membuat kita merasakan perasaan-perasaan tertentu. Sewaktu itu tidak lagi kita melakukan maka terhilanglah sebuah makna yang tadinya sudah mengisi hampir segala lini kehidupan kita. Sebagai seorang ibu yang tadinya biasa mengurus anak-anak, meskipun ada kalanya dalam keletihan dia akan berkata, "Kapan anak-anak ini bisa pergi dari rumah, saya sudah capek dan sebagainya". Itu normal karena memang efeknya kadang-kadang meletihkan dan menjengkelkan, tapi di dalam mengurus anak sendiri terkandung makna yang begitu dalam, menciptakan perasaan yang begitu hangat dalam diri kita. Sekarang sewaktu tidak ada lagi, benar-benar ada sebuah rongga yang hampa dalam hati kita.
GS : Kalau begitu, Pak Paul, sebenarnya kaum pria pun akan mengalami kesepian ini juga, sama seperti wanita yang juga bekerja pada saat masih muda, lalu tiba-tiba dia harus berhenti dari pekerjaannya. Apakah dampaknya sama, Pak Paul?
PG : Sama, Pak Gunawan. Belum lama ini saya berbicara dengan seseorang yang baru saja pensiun, karena sudah mencapai batas usia pensiun. Dia baru pensiun 2 atau 3 hari sebelum berbicara dengan saya dan dia bercerita bahwa dia tetap mau ke tempat pekerjaannya di hari itu hanya untuk menyapa teman-temannya. Istrinya menegur, "Mengapa mesti ke sana padahal kamu sudah pensiun, nanti mengganggu teman-temanmu". Tapi memang itulah yang menjadi kebutuhannya, dia mesti datang karena setiap pagi selama berpuluhan tahun, tempat itulah yang dikunjunginya. Tubuhnya, pikirannya sudah seperti robot yang diprogram dan programnya adalah pagi ke sana, ke tempat pekerjaan, bertemu dengan orang-orang yang dilihatnya setiap hari selama puluhan tahun. Tiba-tiba ada satu titik di mana dia harus berkata, "Saya tidak lagi bisa ke situ". Jadi dia bertanya, "Apa yang harus saya perbuat?" Saya katakan, "Silakan datang ke tempat pekerjaan dan sudah tentu jangan terlalu lama, silakan menyapa teman-teman, setelah itu pulang". Dia menceritakan betapa susahnya untuk kembali ke rumah, dia berkata, "Apa yang harus saya lakukan? Saya mau pergi ke sana ke sini juga susah, tidak ada teman-teman sebab sebagian teman-teman masih bekerja". Memang sebuah derita yang tidak bisa tidak kita semua harus mengalaminya.
GS : Kalau begitu apa yang bisa kita lakukan atau apa saran Pak Paul supaya kekosongan seperti yang dialami oleh teman Pak Paul bisa diatasi dengan baik.
PG : Yang pertama, Pak Gunawan, ini bukan suatu tips atau solusi. Justru masukan pertama saya adalah kita harus hidup dengan kekosongan ini, tidak ada jalan lain. Kita mesti menerima kenyataan bahwa masa tua adalah masa kehilangan. Kalau kita berkata masa tua adalah masa kelimpahan, masa banyak ini dan itu, mendapatkan ini mendapatkan itu, mungkin kita sedang menghibur diri sebab pada kenyataannya itu adalah masa kehilangan, ada yang besar yang bermakna yang tadinya mengisi hidup kita dengan penuh tiba-tiba sekarang tidak ada lagi. Jadi kita mesti terima, sesuaikanlah harapan dengan kenyataan. Jangan kita menuntut, mengharapkan pada masa tua kita akan lebih apa lagi, bisa mengerjakan ini dan itu, sebab pada faktanya belum tentu. Ada orang yang tidak lama setelah pensiun, sakit, tidak bisa lagi ke mana-mana, sangat terbatas. Itu adalah bagian dari hari tua. Kita akan jauh kurang sehat dibandingkan ketika masih muda. Jadi terimalah fakta bahwa kebahagiaan kita pun akan berkurang bukan bertambah. Sewaktu kita tidak bisa lagi pergi ke tempat pekerjaan, bertemu dengan teman-teman, ketika kita tidak lagi bisa mengurus anak-anak yang telah menjadi bagian penting dalam hidup kita, yang tadinya setiap hari bertemu dengan anak-anak namun sekarang hanya seminggu sekali atau bahkan ada yang 2 minggu sekali dan ada yang sebulan sekali. Bagaimanakah kita berkata, kebahagiaan kita akan bertambah? Jadi sewaktu kita harus mendekam dalam rumah, dikelilingi tembok yang dingin, tanpa satu suara pun tidak bisa tidak kebahagiaan kita pun akan menguap.
GS : Pak Paul, hal itu mungkin tidak terlalu berat bagi seseorang jika itu terjadi secara bertahap. Namun faktanya seringkali terjadi secara mendadak, dan itu membuat suatu kejutan besar dalam kehidupan seseorang.
PG : Dan kebanyakan semuanya terjadi seketika, Pak Gunawan. Pensiun tidak ada yang dari 40 jam menjadi 35 jam per minggu. Langsung dari 40 jam kemudian langsung stop, tidak ada lagi kerja. Anak-anak begitu keluar dari rumah, maka dia pergi. Jarang yang 2 hari sekali pulang, kebanyakan pergi ya pergi. Kebanyakan perubahan yang terjadi seketika memang tetap akan mengguncangkan, membuat hidup kita kehilangan keseimbangan.
GS : Masukan yang lain yang ingin Pak Paul sampaikan ?
PG : Kendati tidak ada satu pun kegiatan yang dapat sepenuhnya mengganti makna yang terkandung dalam kegiatan yang lama, seperti membesarkan anak, namun isilah hari dengan kegiatan lainnya serutin mungkin. Jadi kuncinya di sini adalah rutin. Seringkali pada usia tua, kita beranggapan tidak semestinya kita mengikatkan diri dalam kegiatan yang rutin. Justru menurut saya, ini adalah anggapan yang keliru. Makna sesungguhnya dari apa yang kita kerjakan, hanya dapat bertunas dalam jadwal yang rutin. Misalnya, kita bekerja sebagai guru. Kita akan datang ke sekolah setiap hari, kita mengajar. Kita melakukan itu dengan rutin setiap hari, dan dalam kerutinan mengajar itulah kita akan memetik makna mengajar. Kita tidak bisa mendapatkan makna yang sama kalau kita mengajar misalnya sebulan 2-3 hari kemudian berhenti, nanti disambung lagi 2-3 hari. Jadi makna itu terkandung dalam kerutinan itu sendiri. Rasa sayang pada apa pun yang kita kerjakan hanyalah bisa tercicipi bila kita melakukannya sesering dan serutin mungkin. Misalkan, mengurus anak, setiap hari mengurus anak, memandikan, memberinya makan, mengajarkan tugas-tugas sekolah. Mengajaknya berbicara, menidurkannya di waktu malam; rutin hari lepas hari, minggu demi minggu, bulan demi bulan hingga tahun demi tahun. Tapi bukankah makna keluar dan dicicipi dari kerutinan itu? Maka ketika kita mau menggantikannya, carilah kegiatan yang memungkinkan kita melakukan kegiatan itu secara rutin, baik itu setiap hari atau pun beberapa hari seminggu. Tiga hari seminggu pun tidak apa-apa, asalkan rutin, kegiatan yang sama yang kita lakukan. Kita sebagai manusia memang memerlukan kerutinan itu.
GS : Tapi pada masa lanjut usia, kesulitan bagi yang bersangkutan itu ialah mencari sesuatu yang rutin, Pak Paul. Kalau pun ia menemukan sesuatu yang rutin karena itu dilakukan sendirian, itu cepat membosankan bagi dia. Dia merasa hidup ini begini-begini saja. Apakah tidak ada yang lain yang bisa dikerjakan ?
PG : Di Amerika Serikat, Pak Gunawan. Beberapa perusahaan memunyai program-program untuk orang-orang yang sudah berusia senja. Misalkan, hampir setiap Rumah Sakit yang pernah saya kunjungi di sana, selalu yang menjaga, yang menjadi receptionist, yang menjadi pengantar tamu, yang menjadi penunjuk jalan supaya para pengunjung mengetahui apa yang harus dilakukan, adalah orang-orang tua. Dan di sana sudah tentu mereka tidak sendirian, karena ada sejumlah orang tua yang terlibat di dalam pekerjaan itu. Saya juga melihat misalkan di beberapa rumah cepat saji. Yang bekerja ada sebagian orang-orang tua. Jadi mereka memang dipekerjakan, karena mereka mau, mungkin dengan gaji yang minim. Tapi sekali lagi itulah yang dapat memberikan kepada mereka kerutinan. Nah, menurut pendapat saya untuk orang-orang di Indonesia kita harus memikirkan hal-hal seperti itu atau kita menawarkan diri, secara proaktif kita datang ke sebuah tempat dan berkata, "Apakah ada yang bisa saya kerjakan di sini? Apakah ada yang bisa saya bantu di sini?" Segala sesuatu yang bisa kita kerjakan dengan rutin akan menolong kita. Asalkan di tempat itu juga kita bisa berinteraksi dengan orang lain.
GS : Kuncinya mungkin berinteraksi dengan orang lain, Pak Paul. Kalau mengerjakan sesuatu tanpa berinteraksi dengan orang lain, itu yang membuat seseorang cepat jenuh.
PG : Saya kira demikian. Betul sekali apalagi kita yang terbiasa bekerja, berhubungan dengan orang. Misalkan orang itu terbiasa bekerja dengan mesin, mungkin untuk dia tidak apa-apalah, dia sudah pensiun dia tetap mengotak-atik mesin, tapi kita yang terbiasa sebaiknya melakukan pekerjaan yang berhubungan dengan manusia.
GS : Walaupun kita tidak dibayar atau hanya dibayar dengan gaji yang minim, seringkali orang lain menganggap kita sudah mestinya pensiun, mestinya istirahat tapi masih bekerja terus. Seringkali seperti itu Pak Paul.
PG : Memang ada saja orang yang salah menilai atau mungkin ada yang berpikiran buruk, "Wah pasti anak-anaknya kurang memerhatikan orang tua, orang tua sudah uzur tapi masih disuruh bekerja dan sebagainya". Memang pandangan-pandangan ini masih belum terbiasa, namun saya kira dengan penjelasan maka orang akan terbiasa. Dan justru memberi kepada mereka ide, "Benar juga, lain kali bila saya sudah berusia lanjut, mungkin saya bisa melakukan hal yang serupa, mengisi hari-hari saya dengan kegiatan yang rutin".
GS : Masukan yang lain, apa Pak Paul ?
PG : Yang berikut adalah peliharalah relasi yang baik dengan anak, jangan malah merusakkannya. Jadi kunci memelihara hubungan dengan anak pada masa tua adalah hormati batas dan bersedia menolong. Saya jelaskan, hormati batas berarti senantiasa mengingat bahwa kendati ia tetap anak kita, namun ia bukan kepunyaan kita lagi. Artinya begini, kita mesti menyadari bahwa ada tanggung jawab lain dalam hidupnya, selain kita sebagai orang tuanya. Kita tidak bisa menuntutnya untuk menyediakan waktu dan perhatian sama seperti dulu lagi. Kita pun harus menghormati pasangannya dan selalu melibatkan pasangannya tatkala kita meminta anak untuk melakukan sesuatu bagi kita. Jika hal ini dilanggar, besar kemungkinan pasangan hidupnya akan merasa tidak lagi dihargai atau dihormati oleh kita.
GS : Seringkali hubungan dengan anak sudah berjauhan, agak renggang sehingga hal-hal yang kecil pun kadang-kadang menjadi pemicu terputusnya hubungan.
PG : Itu bisa terjadi dan memang jika tidak berhati-hati justru di hari tua hubungan dengan anak bisa renggang. Pada masa anak-anak lebih kecil kita lebih mudah menoleransi apa pun, sebab bukankah pada masa anak-anak remaja ada saja pertengkaran dengan anak, tapi kita begitu cepatnya melupakan dan memaafkan anak. Kita tidak mengambil hati sama sekali, dan anak pun sama dengan kita, pada masa kecil atau masa remaja ada konflik kalau hari ini konflik besok sudah baik lagi, tapi waktu anak-anak sudah besar apalagi kalau sudah berkeluarga dan ada konflik dengan kita, biasanya itu menimbulkan ketegangan untuk waktu yang lebih lama. Memang tidak sama lagi, Pak Gunawan.
GS : Hal itu terkesan bahwa kita menjadi orang tua yang egois, kalau kita hanya memikirkan diri kita sendiri.
PG : Betul, Pak Gunawan. Kita tidak boleh menjadi orang tua yang egois yang hanya memikirkan kepentingan pribadi. Itu sebabnya saya ingin memberikan masukan dalam hal memelihara relasi yang baik dengan anak, kita perlu menawarkan bantuan kepada anak dan pasangannya dan menyediakan pertolongan yang dibutuhkan. Kadang-kadang kita lupa bahwa anak dan keluarganya juga memunyai kebutuhan, karena kita terlalu terserap dalam kebutuhan kita saja. Nah, untuk memelihara relasi yang baik, tawarkan, sediakan bantuan sedapatnya, agar hubungan kita dengan anak menjadi relasi memberi dan menerima, bukan meminta dan menerima saja.
GS : Itu pun harus atas permintaan anak atau menantu, Pak Paul? Kalau kita berinisiatif sendiri membersihkan rumahnya, dia bisa tersinggung.
PG : Betul, jadi kita selalu hanya menawarkan. Misalnya mereka hendak pergi ke mana, kita bisa berkata, "Titipkan saja anak-anak di sini, saya senang anak-anak di rumah, saya akan bisa menjaga". Jadi hanya tawarkan, jangan kita nyelonong. masuk ke rumah orang, mau beres-beres, menata-nata rumahnya, belum tentu menantu kita bahkan anak kita pun bisa menerima tindakan kita.
GS : Hal lain tentang masukan ini apa, Pak Paul?
PG : Yang keempat, berinisiatiflah untuk memelihara kontak dengan anak. Sudah tentu kita harus memelihara relasi yang baik dengan anak terlebih dahulu sebelum dapat menikmati kontak yang menyenangkan dengan anak. Bila relasi dengan anak sudah terjalin baik, berinisiatiflah menghubungi anak secara rutin dan jangan menunggunya untuk menghubungi kita. Kenyataan bahwa anak tidak menghubungi kita sesering yang kita inginkan, tidaklah berarti bahwa ia tidak ingin menjalin hubungan dengan kita. Besar kemungkinan oleh karena kesibukannya ia tidak begitu terpikir untuk menghubungi kita. Selama kita sehat dan dalam keadaan baik, ia beranggapan ia tidak harus sering-sering menghubungi kita. Jadi saran saya, teleponlah dan tanyakanlah keadaannya serta kondisi istri atau suaminya dan anak-anaknya. Secara berkala ajaklah anak untuk pergi bersama kita atau undanglah mereka datang ke rumah asalkan tidak terlalu sering, besar kemungkinan suami atau istrinya dan anak-anaknya tidak akan berkeberatan.
GS : Jadi harus inisiatif dari kita, hanya kadang-kadang kalau kita sudah berinisiatif lalu tanggapannya negative dan kita menjadi malas. Misalnya saja kita menelepon dan dia sedang sibuk kemudian mengatakan bahwa nanti dia akan menelepon kembali, tapi ditunggu-tunggu ternyata dia tidak telepon. Waktu kita telepon kembali, dia mengatakan "Wah, maaf lupa". Hal itu untuk kami yang sudah lebih tua merasa, itu berarti dia tidak memerhatikan saya. Dia tidak menganggap ini sesuatu yang penting, karena itu begitu mudah dilupakan, biasanya begitu Pak Paul.
PG : Pada faktanya memang demikian, tatkala anak-anak semakin sibuk dalam pekerjaannya dan makin beragam tanggungjawabnya, dia memunyai suami, punya istri, punya anak-anak, ada mertua, ada teman-teman, ada relasi kerja. Dengan kata lain, hal-hal lain atau orang-orang lain itu akan seringkali lebih mendesak untuk diperhatikan. Sedangkan kita selama dia tahu kita baik-baik saja, dia beranggapan kita bisa menunggu, bisa sabarlah. Dengan perkataan lain bisa dinomorduakan. Jadi pada faktanya, memang begitu Pak Gunawan, kita harus dengan hati yang sedikit terluka berkata, memang di hari tua kita tidaklah menjadi orang yang sepenting itu dalam hidupnya.
GS : Mungkin masih ada masukan lain yang ingin Pak Paul sampaikan?
PG : Yang kelima atau terakhir adalah doronglah anak untuk mengasihi dan mementingkan pasangan hidupnya serta anak-anaknya. Serta perhatikanlah istri, suami dan anak-anaknya pula. Makin kita mendorong anak untuk mementingkan suami, istri dan anak-anaknya dan makin pula kita memerhatikan mereka, makin besar penghargaan yang akan kita terima dari suami, istri dan anak-anaknya. Singkat kata, walaupun kita "kehilangan" anak di usia senja ini, kita mungkin akan mendapat gantinya lewat kasih sayang dan perhatian dari suami, istri dan anak-anaknya. Sebaliknya bila kita hanya memerhatikan anak sendiri, hanya menanyakan anak, kebutuhannya apa, sedangkan tidak mau menanyakan atau mau tahu tentang suami, istri atau anak-anaknya, tidak bisa tidak mereka akan merasa dirinya tidak bernilai di mata kita. Sebagai akibatnya, mereka pun tidak lagi berminat menjalin hubungan dengan kita.
GS : Tapi yang seringkali kontak dengan kita biasanya anak kandung kita, Pak Paul. Dengan menantu, kuatirnya kalau nanti berbicara keliru dan sebagainya, sehingga mungkin hanya titip salam. Kalau perlu dia berbicara baru kita menjalin komunikasi, kalau tidak nanti terkesan mencampuri urusan mereka, Pak Paul.
PG : Betul, memang tidak baik kalau kita mencampuri, tapi berinisiatiflah untuk bertanya. Kadang-kadang juga bertanya apa yang dibutuhkan, apa yang kami bisa bantu. Sebab seringkali juga menantu itu mengeluh, "mertua saya tidak pernah menelepon saya dan diinterpretasi tidak suka dengan saya". Jadi memang sebaiknya kita mementingkan mereka sehingga mereka merasakan kasih sayang kita kepadanya.
GS : Pak Paul, apakah ada ayat firman Tuhan yang mendukung perbincangan kita ini?
PG : Amsal 14:1 mengingatkan, "Perempuan yang bijak mendirikan rumahnya tapi yang bodoh meruntuhkannya dengan tangannya sendiri". Sudah tentu ayat ini berkenaan baik dengan perempuan maupun laki-laki. Pada hari tua kita akan memetik buah dari pohon yang kita tanam. Bila kita telah menanam relasi yang sehat dengan anak, pada hari tua kita akan menikmati buah manis dengan anak-anak. Juga di hari tua janganlah kita malah merusakkan hubungan dengan anak dengan keluarganya. Jagalah baik-baik, sebab di situlah terletak kekuatan untuk menghadapi hari-hari yang sepi.
GS : Terima kasih, Pak Paul untuk perbincangan ini. Dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Sepi di Hari Tua" bagian yang pertama, dimana kami fokus membicarakan hilangnya kesibukan rutin dan makna yang terkandung di dalamnya. Kami masih akan melanjutkan perbincangan ini pada kesempatan yang lain. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.