[mengasihi_anak_dengan_benar] =>
"Mengasihi Anak dengan Benar" oleh Pdt. Dr. Paul Gunadi
Lengkap
Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Mengasihi Anak dengan Benar". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
GS : Semua orang tua kalau ditanya, pasti akan menjawab kalau mereka mengasihi anaknya, Pak Paul, tapi masalahnya adalah apakah mereka mengasihi anak secara benar atau tidak. Karena nyatanya ada orang tua yang modelnya begitu melimpahkan kasihnya kepada anak-anak, mungkin karena anak tunggal, anak yang sakit-sakitan, anak pertama dan sebagainya tapi nyatanya anak ini bukan menjadi baik tetapi malah menjadi misalnya saja manja atau keras kepala dan sebagainya. Jadi bagaimana sikap orang tua mengasihi anaknya dengan benar ?
PG : Ada beberapa hal yang akan kita pelajari pada kesempatan ini agar nanti kita bisa mengerti apa yang harus kita lakukan supaya kasih yang kita miliki kepada anak, dapat diekspresikan denganbenar supaya anak-anak pun nantinya dapat bertumbuh dengan sehat.
Yang pertama adalah kita harus membedakan antara menerima anak dan membiarkan anak, kadang-kadang kita itu mengaitkan mengasihi anak dengan membiarkan anak, kalau mengasihi berarti tidak melarang, tidak memarahi jadi membiarkan anak, justru ini yang tidak tepat. Mengasihi mengandung unsur menerima dan bukan membiarkan, menerima artinya tidak mendasari kasih atas prestasi atau perbuatannya melainkan atas dasar fakta bahwa dia adalah anak pemberian Tuhan untuk kita. Artinya kita tidak berseri-seri, baru memeluknya sewaktu dia pulang membawa hasil ujian yang bagus. Kita tidak mengatakan, "Saya sayang kepada kamu" tatkala dia mendapatkan gelar atau penghargaan tertentu, tidak seperti itu. Justru dalam kondisi dimana dia tidak melakukan hal-hal yang dapat dia persembahkan kepada kita untuk membuat hati kita bangga, kita justru dalam keseharianlah menyatakan secara langsung bahwa kita itu mengasihi dia. Menerima berarti kita juga menyadari bahwa dia adalah manusia yang tidak sempurna seperti kita. Jadi kadang-kadang dia akan melakukan hal-hal yang keliru. Kita tidak boleh mendasarkannya pada prestasi-prestasinya. Jadi menerima adalah bagian-bagian yang penting didalam mengasihi. Misalkan waktu dia salah, maka kita merangkul dia kembali, ini artinya kita menerima anak dan menerima anak adalah porsi yang besar dalam mengasihi anak.
GS : Tetapi menghargai anak ketika dia berprestasi, sebenarnya tujuan kita sebagai orang tua adalah memotivasi anak ini untuk lebih maju lagi di dalam pelajarannya atau di dalam apa yang dia tekuni, Pak Paul.
PG : Kita perlu untuk mendorong anak karena anak itu seperti kita, kita kadang juga perlu dorongan orang untuk bisa memacu kita melakukan sesuatu dengan lebih baik lagi. Tapi kita juga perlu meyeimbangkan itu dengan penerimaan-penerimaan atas dirinya tanpa dikaitkan dengan prestasinya.
Jadi apakah boleh kita mendorong atau memacu anak? Itu boleh-boleh saja dan tidak menjadi masalah, misalkan kita berkata, "Kemampuanmu sepertinya bisa lebih dari ini, kamu masih bisa memerbaiki, dan tingkatkan." Hal-hal seperti itu tidak mengapa namun jangan lupa bahwa kasih itu mengandung unsur menerima dan menerima tidak ditentukan dengan prestasi atau perbuatan si anak. Jadi dalam kesempatan yang lain, dimana tidak ada urusan atau kaitannya dengan prestasi, kita itu menunjukkan kasih sayang kepadanya, kita memeluknya atau kita memberikan sesuatu untuknya dan itu semua kita lakukan tanpa alasan atau tanpa situasi tertentu. Kalau tidak hati-hati kita ini akhirnya membuat anak mengasosiasikan dikasihi orang tua dengan memberikan sesuatu yang diinginkan orang tua terlebih dahulu. Banyak anak akhirnya bertumbuh besar dengan konsep seperti ini, kalau mereka tidak dapat memberikan sesuatu yang diminta oleh orang tua berarti orang tua tidak mengasihi mereka dan hal ini yang kita mau pisahkan dan uraikan supaya anak-anak itu tahu kalau mereka itu dikasihi apa adanya.
GS : Kalau orang tua yang membiarkan, itu tadi seperti apa, Pak Paul ?
PG : Membiarkan berarti tidak berbuat apa-apa sewaktu melihat anak melakukan perbuatan yang salah dan ada orang tua yang seperti itu karena sudah terlanjur sayang, "Saya dulu diperlakukan tidakbaik oleh orang tua saya maka sekarang saya tidak mau tegas kepada anak, saya tidak mau mendisiplin anak, kalau dia berbuat salah juga tidak apa-apa".
Atau membiarkan juga bisa berarti melepaskan tanggung-jawab untuk membentuk anak menjadi diri yang baik. Waktu anak melakukan yang salah, kita harus mengoreksinya, kita tidak boleh melepaskan tanggung jawab dan berkata, "Tidak mengapa kita terima saja dan tidak perlu kita mendorong dia menjadi tidak baik lagi," itu tidak benar. Membiarkan berarti mengizinkannya berjalan menuju ke jurang kehancuran tanpa berbuat apa-apa untuk menghentikan langkahnya. Jadi kalau kita tahu bahwa anak kita sedang berjalan dalam penyimpangan menuju kepada kehancuran, sedapatnya kita mencegah langkahnya itu. Apa pun yang harus kita lakukan maka kita akan lakukan karena kita mengasihi. Jadi mengasihi itu tidak membiarkan anak untuk melakukan kesalahan mengambil keputusan yang keliru, yang pada akhirnya akan menghancurkan hidupnya.
GS : Tapi ada sebagian orang tua yang mengatakan, "Anak ini 'kan belum mengerti, nanti kalau dia sudah dewasa pasti mengerti sendiri dan dia tidak akan melakukan itu". Dan itu bagaimana, Pak Paul ?
PG : Jadi kita mendidik anak, pada awalnya lewat pengendalian perilakunya. Jadi luarnya dulu, misalkan kita melarangnya bermain dengan api tanpa bisa menjelaskan kepada si anak bahaya api itu sndiri, kenapa ? Misalkan anak kita baru berusia tiga tahun.
Bagaimana kita menjelaskan tentang bahaya api secara lengkap kepada anak usia tiga tahun dengan mengatakan, "Jangan bermain api, tidak boleh" dan mungkin kita hanya bisa berkata, "Panas, nanti membakar telunjukmu," dan kita berhenti sampai di situ, karena kita tidak bisa berkata bahwa "Nanti kalau bermain api, api ini bisa menjalar dan akhirnya bisa membakar satu ruangan, satu rumah dan sebagainya". Kita belum bisa menjelaskan. Jadi itulah cara kita mendidik anak dan mula-mula lewat batasan atau pembatasan perilakunya dulu, lama kelamaan barulah kita menjelaskan alasan-alasan di belakangnya.
GS : Jadi kalau itu yang merupakan hal pertama Pak Paul, membedakan antara menerima dan membiarkan. Mungkin ada hal lain, Pak Paul ?
PG : Untuk kita bisa mengasihi anak dengan benar, kita juga harus mengenal bahasa kasih anak kita masing-masing dan ini penting sebab setiap anak itu unik dan tidak setiap anak serupa dengan kia.
Itu sebabnya kita harus memahami bahasa kasih anak, sehingga kita dapat menyampaikan kasih itu secara tepat. Misalnya ada anak yang membutuhkan pengungkapan kasih secara verbal alias lewat perkataan, kepada anak itu sebaiknya kita juga menyiraminya dengan perkataan yang berisikan kasih, "Papa sayang kamu, Mama sayang kamu". Atau ada anak yang membutuhkan sentuhan fisik karena itulah bahasa kasihnya, dan kepada anak-anak ini sering-seringlah kita memeluk, membelainya dan dia mungkin tidak terlalu butuh mendengarkan perkataan-perkataan yang mengandung kasih, tapi dia perlu mendapatkan pelukan-pelukan atau sentuhan-sentuhan. Ada pula anak yang tidak terlalu membutuhkan bahasa kasih verbal maupun fisik, tapi membutuhkan ungkapan kasih lewat pemberian. Dan kepada anak ini secara berkala berilah sesuatu yang tidak harus mahal, sebagai wujud kasih kita kepada dia, kita memberikan makanan, kita tahu kalau dia sedang memikirkan memunyai sepeda dan kemudian kita memberikan sepeda, kita memberikan dia bolpoint dan sebagainya. Dan yang terakhir, ada anak yang berbahasa kasih konkret, alias ingin melihat perbuatan langsung, nah kepada anak ini kita harus peka dan cepat melihat kebutuhannya sehingga kita dapat dengan segera memberinya pertolongan tanpa dia harus meminta-minta, jadi kita harus melihat berilah bantuan yang dia butuhkan. Inilah wujud kasih yang dibutuhkannya. Jadi kalau kita mengerti apa bahasa kasih yang dibutuhkan oleh anak-anak kita, maka nanti kita bisa men-'supply' kasih itu kepadanya dengan cara yang tepat pula.
GS : Seringkali yang kita lakukan sebagai orang tua adalah memberi yang kita punya misalnya kita tahu kalau anak kita membutuhkan ungkapan kasih yang verbal tapi karena kita bukan orang yang bisa mengungkapkan bahasa kasih lewat kata-kata dengan baik maka kita menggunakan lewat pemberian karena itu lebih mudah bagi kita yaitu diberikan sesuatu dan diterima. Apakah hal seperti itu salah, Pak Paul ?
PG : Sudah tentu anak perlu dan harus belajar mengerti bahasa kasih orang tuanya tapi pada waktu anak-anak kecil, masalahnya adalah anak-anak belum bisa memahami kita, kitalah yang berada di poisi dapat memahami anak.
Itu sebabnya kitalah yang harus tahu apa yang dirasakan cocok oleh anak itu. Jadi misalnya ada anak yang senang bicara, dan dia adalah anak-anak yang sangat verbal maka dapat dipastikan kalau anak-anak seperti ini membutuhkan perkataan-perkataan, "Jangan seperti itu ya, mama sayang sama kamu, mama nanti akan pulang karena mama rindu sekali kepadamu. Kamu sayang tidak sama Papa, pasti kamu juga sayang pada Papa." Jadi anak-anak yang verbal cenderung ingin mendengar perkataan-perkataan langsung yang mengandung kasih. Atau anak-anak yang lebih bersifat konkret, tidak banyak bicara dan lebih banyak berbuat sesuatu dan anak seperti ini sangat membutuhkan pertolongan langsung dari kita, misalnya kita memberikan dia pertolongan membuatkan sesuatu, mencarikan bahan dan sebagainya. Itulah bahasa kasih yang dapat diterimanya. Jadi kita harus menyadari bahasa kasih anak karena biasanya sudah terlihat sejak mereka kecil dan anak belum berada di posisi memahami bahasa kasih kita. Jadi kitalah yang harus memulainya supaya anak-anak tahu bahwa dia dikasihi.
GS : Apakah hal itu bukan karena kita melatih mereka seperti itu ? Maksud saya misalkan kalau anak ini perempuan dan ibunya ini suka berbicara maka anak ini menjadi anak yang membutuhkan sentuhan kasih lewat kata-kata. Tapi kalau anaknya laki-laki lalu jarang diajak bicara, melainkan diberikan sesuatu lalu jadilah anak yang membutuhkan pemberian sebagai ungkapan kasih.
PG : Ternyata memang tidak selalu seperti itu. Ada anak-anak perempuan yang justru tidak begitu nyaman dengan ungkapan-ungkapan langsung. Jadi misalnya orang-orang yang lebih introvert umumnya idak terlalu verbal.
Dan orang-orang yang lebih introvert, bisa jadi lebih suka dengan perbuatan langsung, menolongnya, bisa jadi dengan pemberian-pemberian, bisa juga misalkan dengan sentuhan. Ada juga anak laki-laki yang seperti itu yaitu membutuhkan pengakuan-pengakuan secara verbal, meskipun dia laki-laki tapi dia menikmati mendengarkan perkataan, "Saya sayang kamu, saya rindu pada kamu". Jadi kita harus peka melihat apa yang menjadi bahasa kasih anak kita.
GS : Kalau yang mengenai perbuatan langsung itu yang seperti apa, Pak Paul ?
PG : Pada dasarnya perbuatan langsung adalah perbuatan menolongnya, apa yang dia butuhkan dan kita bisa berikan, itulah yang kita lakukan. Jadi benar-benar kasih dalam bentuk konkret, karena itlah yang nanti bisa mengkomunikasikan kepadanya kalau kita sungguh-sungguh memedulikannya.
Intinya makin kita dekat dengan anak maka seyogianya kita makin tepat pula mengasihinya. Jadi kita perlu rendah hati dalam hal ini dan kita tidak boleh berkata, "Pokoknya ini adalah cara saya, saya mengasihinya dengan cara yang seperti ini". Maka kita harus berhati-hati, bersedialah berubah karena sekali lagi yang terpenting bukanlah apakah kita mengasihi anak atau tidak, melainkan apakah anak dapat menerima kasih itu atau tidak. Kita harus memelajari dan coba mengekspresikan kasih sesuai dengan bahasa yang dikenalnya.
GS : Apakah bisa terlihat kalau anak ini menerima kasih yang kita berikan kepadanya atau tidak, Pak Paul. Apakah ada tanda-tandanya ?
PG : Jadi awal-awalnya dia akan mencari perhatian, dia haus akan kasih. Dia akan berbuat hal-hal tertentu guna menarik perhatian kita. Misalkan kalau anak itu masih lebih kecil, dia akan cepat enangis, dia akan minta diperhatikan, mau digendong dan sebagainya tapi makin anak besar, kalau dia merasa dia tidak mendapatkan kasih itu dengan cukup, umumnya mulailah muncul perilaku-perilaku yang negatif.
Kalau masih kecil sekali misalkan di bawah umur 6 atau 7 tahun maka dia mungkin akan mencari perhatian, menangis dan sebagainya. Tapi kalau umurnya sudah mulai pra-remaja umur 8, 9, 10, 11 tahun, dia memang mulai melakukan hal-hal yang mengganggu ketentraman. Kalau sudah mulai remaja dan dia tidak mendapatkan kasih sayang, umumnya dia mungkin bisa menjadi pendiam, pemurung, tidak terlalu mau untuk bergaul, tertutup dengan orang atau dia akan mencari-cari kasih itu di luar misalnya dekat dengan orang, kalau sudah dekat dengan orang, dia tidak bisa lepas dan dia benar-benar bergantung pada orang itu untuk menjadi penyedia kasihnya. Atau misalkan sikapnya lebih keras maka dia akan berbuat keonaran di luar, sebetulnya yang dibutuhkan adalah kasih sayang dari orang tuanya.
GS : Apakah ada hal lain yang perlu kita pelajari sebagai orang tua, didalam menyatakan kasih kita kepada anak, Pak Paul ?
PG : Kita harus mengungkapkan kasih pada segala waktu, namun terpenting adalah ungkapkanlah kasih pada waktu dia berada di titik terlemahnya. Jadi ungkapkanlah kasih kepadanya tatkala ia sedangmerasa takut, pada waktu dia meragukan kemampuannya, pada waktu dia gagal dan pada waktu dia menyesali kesalahannya.
Jadi itu adalah titik rawan atau lemahnya. Di saat seperti itulah kita perlu mengungkapkan kasih. Pertanyaannya adalah kenapa kita harus menunjukkan kasih kepadanya pada waktu dia berada pada titik terlemahnya. Sebab kasih yang dinyatakan pada titik terlemah, memberinya kepastian bahwa kita sungguh mengasihinya, kadang-kadang anak memang tidak tahu apakah kita sungguh mengasihinya ataukah hanya mengasihi perbuatannya yang menyenangkan hati kita, tapi ketika kita melakukan tatkala anak berada pada titik terlemah, memerlihatkan betapa besar dan murninya kasih kita atau penerimaan kita kepadanya.
GS : Apakah tidak berarti kita mengeksploitasi kelemahan atau kegagalan anak supaya kita dekat dengan dia, Pak Paul ?
PG : Saya kira bukan. Jadi yang pertama adalah kita peka dengan kondisinya dan yang kedua adalah justru kita mau memberikan dukungan yang sebesar-besarnya pada titik terlemahnya dan biasanya itlah yang menunjukkan kasih.
Kita sebagai orang dewasa mengerti akan hal itu pula. Kalau misalkan kita sedang mengalami kemalangan, musibah, kejatuhan, kemudian ada teman yang akan mengulurkan tangan, yang peduli, yang menelepon, yang mengajak kita bertemu, itu adalah teman-teman yang sejati yang kita tahu bahwa mereka ini sungguh mengasihi kita, bukan hanya berteman dengan kita karena ada kebutuhannya yang dapat kita penuhi. Jadi anak juga seperti itu, kalau kita hanya memberikan kasih, bangga kepada anak waktu anak berhasil menyenangkan hati kita, pada akhirnya anak pun nanti mengadopsi sikap itu, kepada orang lain pun dia akan bersikap yang sama. Kalau orang menyenangkan hatinya, barulah dia baik. Kalau sedikit orang mengecewakannya kemudian kita langsung tidak mau peduli. Itu sebabnya kita sebagai orang dewasa terkadang juga bertemu dengan orang yang seperti itu, yakni mereka berbuat baik kepada kita, karena ada perlunya dengan kita, tapi begitu kita sedikit mengecewakannya, mereka langsung mencoret kita dari daftar pertemanannya. Jadi benar-benar, sama sekali mereka tidak peduli dengan kita. Mungkin sekali dia adalah korban sewaktu dia kecil, hal itu juga yang diperlakukan orang kepada dia, kalau dia berhasil menyenangkan orang tua maka dia akan mendapatkan perlakuan yang baik, kalau tidak melakukan dan mengecewakan orang tua sedikit, dia diabaikan dan didiamkan. Akhirnya hal itu yang dia teruskan kepada orang lain pula.
GS : Sebenarnya sebagai orang tua kita juga mau turun tangan mendampingi anak yang sedang mengalami kegagalan dan sebagainya, tapi ada juga anak yang justru malah menjauhkan diri, dia mau menyendiri, dia mau menyelesaikan masalahnya sendiri dan baru kalau semuanya sudah selesai pada waktu tertentu, barulah dia berbicara dengan kita tentang masalahnya. Jadi bagaimana kita mendekati orang yang memang menarik dirinya dan tidak mau didekati ?
PG : Menunjukkan kasih memang memerlukan hikmat untuk tahu bahwa apakah ini waktu yang tepat atau cara yang tepat untuk menunjukkan kasih sedekat itu. Kadangkala kita juga harus menunjukkan kash dari jauh, tapi kadang juga dari dekat, sehingga pada akhirnya kita perlu hikmat untuk membedakan keduanya.
Adakalanya memang anak-anak itu tidak nyaman, ada anak-anak tertentu yang memang cenderung mandiri, tidak suka bergantung dan tidak terlalu mengutarakan perasaan. Waktu sedang mengalami masalah, susah sekali untuk terbuka dan bercerita kepada orang tua. Kepada anak yang seperti ini, kita juga jangan mendiamkan dan kita tetap mau menunjukkan kepedulian dan kasih kita kepadanya, tapi lakukanlah dari jauh, misalkan dengan meninggalkan sebuah kartu dengan firman Tuhan di situ dan berikan sebuah kata-kata mutiara atau katakan bahwa saya melihat bahwa engkau sedang sedih, jadi saya mendoakan kamu dan kemudian kita bisa menulis catatan, "Kalau kamu butuh bicara, maka saya senang sekali berbicara dengan kamu". Jadi hal-hal seperti itu kita lakukan dari jarak jauh. Tapi kalau kita tahu bahwa anak-anak kita cenderung terbuka dan mau berbicara maka kita langsung tunjukkan dan tanya, kemudian kita langsung peluk dia dan sebagainya. Jadi perlu menunjukkan kasihnya dari jarak jauh atau dari jarak dekat.
GS : Berarti kita harus mengenal sifat dari anak itu sendiri, Pak Paul ?
PG : Sebab kalau tidak, untuk anak-anak yang memang tidak suka dengan jarak dekat, mereka akan marah karena mereka merasa seperti diganggu, ditanya-tanya dan tidak memberikan kesempatan bagi saa berdiam diri dulu.
Jadi akhirnya salah terima.
GS : Apakah mungkin anak itu menggunakan kegagalan atau masalahnya, supaya kita mengasihi dia. Jadi semacam menarik perhatian kepada orang tua.
PG : Ada. Jadi ada anak-anak yang manipulatif, terlalu 'self-centred' terlalu berpusat pada dirinya, egois, dia memang akan memanipulasi hal-hal yang terjadi di dalam dirinya misalnya kegagalanya untuk mendapatkan perhatian dan kasih sayang orang tuanya.
Namun pada umumnya, pada masa atau pada waktu anak itu jatuh kedalam kegagalan, dia justru ingin melihat dan menguji apakah orang tua tetap tidak mengasihi dia, apakah orang tua akan memarahinya, tapi apakah orang tua justru akan menerimanya dan ini yang perlu diyakininya. Jadi selalu tanpa diyakini anak itu benar-benar mengerti dan melihat bahwa kasih orang tua itu kepadanya adalah murni.
GS : Pak Paul, apakah ada hal lain yang harus kita perhatikan sebagai orang tua? Pada akhirnya kita tetap harus mengatakannya yaitu bahwa kita mengasihinya, kendati bahasa kasih anak dan juga kita kadang berbeda, tapi anak perlu mendengar dengan jelas bahwa kita mengasihinya dan bahwa dia juga berharga dan bahwa dia juga pemberian Tuhan untuk kita, sebab tidak ada yang dapat menggantikan dampak dari mendengar ucapan bahwa kita dikasihi. Itu sebabnya walaupun kadang tidak mudah bagi sebagian dari kita, tapi teruslah berusaha untuk mengkomunikasikan kasih kepada anak secara verbal. Tidak harus terlalu sering, tidak apa-apa tapi sekali-sekali perlu kita sampaikan itu. Jika tidak bisa secara ucapan langsung maka kita mengungkapkannya lewat tulisan, maka tulislah bahwa saya mengasihi kamu, saya mendoakan kamu. Jadi hal-hal kecil seperti itu lakukanlah sebab anak tetap harus mendengarnya secara langsung atau membacanya secara langsung.
GS : Apakah itu harus dilakukan oleh kedua orang tuanya yaitu dari pihak ayah dan ibu, atau cukup hanya satu saja, Pak Paul ?
PG : Saya kira harus dari dua-duanya supaya dia benar-benar tahu bahwa dia itu di mata Mama dan Papanya berharga, dikasihi tanpa syarat.
GS : Bagaimana kalau anak itu lebih dari satu. Bagaimana supaya kita tidak tampak di depan anak kita membeda-bedakan dengan mengasihi yang satu dan membenci yang lain. Dan bagaimana upaya kita, Pak Paul ?
PG : Itu sebabnya kita harus mengerti secara merata mengatakan hal-hal itu atau mengungkapkan kasih secara tepat kepada semua anak dan yang penting sekali yaitu untuk tidak memberikan dengan wuud-wujud kasih sewaktu anak berhasil menyenangkan hati kita.
Kalau kita hanya memberikan kasih tatkala anak bisa menyenangkan hati kita, maka yang tidak menyenangkan kita akhirnya tambah merasa terbuang dan takutnya nanti setelah dia remaja, dialah nanti yang akan mengembangkan masalah.
GS : Tapi kalau semua diberikan kasih yang sama, misalnya yang satu merasa tidak ada bedanya antara saudara yang berprestasi dengan yang tidak berprestasi. Kalau timbul anggapan seperti itu, maka apa tanggapan kita ?
PG : Sudah tentu, tadi Pak Gunawan sudah munculkan yaitu kita tetap perlu memacu atau mendorong anak. Jadi selain dari memberikan kasih kepada anak-anak, kita juga perlu menyuruh anak untuk lebh giat belajar, lebih keras bekerja dan sebagainya.
Dan itu harus kita lakukan kepada semuanya.
GS : Apakah ada ayat firman Tuhan yang bisa dijadikan pedoman dalam hal ini, Pak Paul ?
PG : Keluaran 34:6,7 berkata, "Tuhan, Tuhan, Allah penyayang dan pengasih, panjang sabar, berlimpah kasih-Nya dan setia-Nya, yang meneguhkan kasih setia-Nya kepada beribu-ribu orang, yang mengapuni kesalahan, pelanggaran dan dosa; tetapi tidaklah sekali-kali membebaskan orang yang bersalah dari hukuman."
Dari firman Tuhan ini, kita bisa melihat bahwa kasih setia adalah karakter Tuhan yang terutama tetapi dalam kasih-Nya, Ia pun tidak membiarkan kita hidup semaunya. Kita pun harus melakukan hal yang sama kepada anak-anak kita. Kasih setia kita tak berkesudahan kepada anak-anak, tapi kita juga tidak membiarkannya hidup semaunya.
GS : Jadi ada keseimbangan, seperti Tuhan telah melakukan hal itu kepada kita.
GS : Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan kali ini. Dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Mengasihi Anak dengan Benar". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.