Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Berpacaran dengan Siapa ?". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
GS : Kalau kita memikirkan tentang para remaja dan pemuda yang mau berpacaran, untuk menentukan itu menjadi masalah yang cukup besar, Pak Paul, karena mereka tahu bahwa ini adalah pilihan sekali untuk seumur hidup. Ini merupakan suatu gejala yang umum atau pada tempat-tempat tertentu saja, Pak Paul ?
PG : Memang kita harus menerima fakta bahwa dewasa ini agak sedikit sulit bagi orang itu bertemu dengan orang yang seiman karena bukankah kita sekarang tahu kalau pergaulan itu sangat meluas, misalkan di tempat kuliah kita bertemu dengan banyak orang, kemudian sekarang lewat 'internet chatting', kita juga bisa bertemu dengan banyak orang atau melalui facebook dan sebagainya. Jadi dengan kata lain terjadi perubahan secara sosiologis, kelompok-kelompok dimana kita bertemu dengan teman-teman. Jadi makin banyak kesempatan kita bertemu dengan orang-orang di luar sehingga akhirnya kemungkinan-kemungkinan kita tidak memilih yang di dalam gereja itu juga besar. Maka bagi sebagian orang yang menghabiskan waktunya dalam konteks gerejawi, kadang-kadang mereka kesulitan untuk menemukan pasangan hidup. Dan adakalanya kita juga menemukan fakta bahwa di dalam gereja misalkan lebih banyak wanita daripada pria, sehingga akhirnya para wanita itu mengalami kesulitan karena adanya batas dan tidak banyak anak-anak muda pria yang masih bergereja.
GS : Jadi masalah ini lebih banyak menjadi persoalan bagi remaja putri atau pemudi, begitu Pak Paul?
PG : Saya kira ya. Jadi lebih banyak masalah ini ditemukan oleh para wanita yang lajang apalagi waktu usia mereka mulai meningkat dan akan lebih kesulitan lagi mendapatkan pasangan karena kebanyakan pria seumur mereka sudah menikah namun dia di gereja masih tetap lajang. Akhirnya ada godaan untuk mengkompromikan nilai-nilai dan akhirnya asal terima saja dan yang penting menyandang status nikah, ini yang nanti harus kita waspadai.
GS : Sebenarnya dalam hal apa Pak Paul, mereka harus punya pedoman atau suatu norma atau ukuran pasangan hidup seperti apa yang layak menjadi pasangannya ?
PG : Kita memang harus setia pada panduan atau pedoman yang benar dan yang Tuhan juga tetapkan, misalkan yang pertama adalah kita tidak boleh berkompomi dalam hal yang penting yakni mencari pasangan yang seiman dan jangan sampai kita itu mengkompromikan dengan berkata, "Saya sepadan, cocok, tapi tidak seiman. Mungkin hal seperti ini tidak apa-apa dan nanti kita bisa bersama-sama ke gereja." Tapi Firman Tuhan dengan jelas mengatakan di 1 Korintus 7:39, "Ia bebas kawin dengan siapa saja yang dikehendakinya, asal orang itu adalah seorang percaya." Dalam konteks percaya di sini adalah percaya kepada Tuhan kita Yesus Kristus, juga di 2 Korintus 6:14, Firman Tuhan menegaskan, "Janganlah kamu merupakan pasangan yang tidak seimbang dengan orang-orang yang tak percaya." Sudah tentu Rasul Paulus di sini merujuk pada orang yang tak percaya kepada Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juru Selamat mereka. Jadi meskipun kondisi mendesak, pilihan terbatas namun jangan kompromi dalam hal yang paling penting ini sebab ini adalah perintah Tuhan untuk anak-anak-Nya.
GS : Dalam hal ini sebenarnya gereja berpeluang atau memunyai panggilan untuk memertemukan para pemuda dan pemudinya. Jadi membuat suatu program yang bisa memertemukan mereka.
PG : Sayangnya kita harus akui, program seperti itu sangat langka. Jadi tidak terlalu banyak gereja yang memunyai program khusus untuk memertemukan para pria lajang dengan wanita lajang. Dan adakalanya gereja pun memunyai kesulitan untuk melakukan ini sebab kita tidak bisa memaksa-maksa orang untuk datang kalau orang itu tidak mau datang. Jadi intinya adalah seringkali ini menjadi masalah yang berat dalam gereja karena saya tahu bahwa bagi kebanyakan orang pernikahan menjadi sangat penting. Jadi mereka berusaha sedapat-dapatnya untuk menikah dan seringkali akhirnya mereka berkompromi dalam hal yang paling penting yaitu mereka akhirnya tidak menikah dengan yang seiman.
GS : Dengan alasan, beberapa orang yang mengatakan, "Nanti kalau kami sudah menikah, kami akan mengajak dia ke gereja dan sebagainya."
PG : Memang ada yang berkata seperti itu, namun kita mesti mengingat bahwa begitu kita memutuskan menikah dengan orang yang tidak seiman, sebetulnya kita telah mendukakan hati Tuhan yang memberikan perintah-perintah ini. Tuhan memberikan perintah untuk ditaati dan bukan hanya untuk dibaca. Waktu Tuhan memberikan perintah, Dia memikirkan kepentingan kita. Kita kadang berpikir bahwa Tuhan menyusahkan kita dengan perintah-perintah-Nya tapi sesungguhnya perintah Tuhan adalah untuk kebaikan kita. Bukankah akan jauh lebih indah jika kita hidup bersama seorang suami atau seorang istri yang seiman, yang sama-sama mengasihi Tuhan dan Juruselamat kita. Memang ada orang yang berkata bahwa, "Ini bukanlah hal yang besar, kami berbeda juga tidak mengapa," tapi seringkali saya harus berkata, "Yesus Tuhan adalah Bapa kita, Dia adalah Juruselamat yang telah mati untuk kita dan Dia telah mengadopsi kita sebagai anak-anak-Nya, jadi Dia adalah Bapa kita dan mana mungkin saya akan menikah dengan orang yang tidak mau mengakui Bapa saya, yang tidak mau bercakap-cakap dengan Bapa saya." Jadi masalahnya seperti itu, bagi saya penting sekali kita menikah dengan yang seiman yang dapat memanggil Bapa surgawi kita, yang mengakui bahwa Dia adalah Tuhan dan Juruselamat kita."
GS : Seringkali yang dipakai alasan adalah pasangan yang sama-sama Kristen seringkali menemui banyak masalah di dalam kehidupan rumah tangganya sedangkan mereka yang tidak seiman masih kelihatan lebih baik.
PG : Ini memang salah satu dalih atau rasionalisasi yang dikemukakan oleh orang untuk mengizinkan dirinya menikah dengan yang tidak seiman dan ini membawa kita kepada panduan yang berikutnya. Setelah kita tekankan jangan berkompromi dalam hal yang paling penting yakni menikahlah dengan yang seiman, kita juga harus mendengarkan panduan yang kedua yaitu kita tidak boleh berkompromi dengan hal yang paling penting lainnya yakni mencari pasangan yang sepadan. Artinya kalau kita bertemu dengan yang seiman namun tidak sepadan maka jangan teruskan dan jangan kita berkata, "Yang penting seiman karena kita berdua sudah sama-sama Kristen jadi tidak ada masalah meskipun banyak ketidakcocokan." Ingat bahwa pernikahan tidak dibangun di atas kesamaan iman saja, tapi juga di atas kecocokan atau kesepadanan. Jadi janganlah menggampangkan dengan berkata bahwa selama seiman maka segala macam masalah akan bisa diselesaikan. Secara teoritis hal itu betul, tapi kita ini bukanlah orang yang selalu super rohani. Jadi kalau kita memulai pernikahan dengan perbedaan-perbedaan, dengan ketidakcocokan yang begitu besar maka jurang ini akan memisahkan kita meskipun kita seiman. Jadi mesti kita camkan baik-baik walaupun kita dapat menyelesaikan satu dua hal, namun kalau kesepadanan begitu banyak, nanti akan menyulitkan kita dalam fase penyesuaian.
GS : Ketidaksepadanan itu juga dalam bidang kerohanian, jadi walaupun seiman tapi kalau di dalam pertumbuhan iman mereka itu tidak sepadan, maka itu akan menimbulkan masalah dalam rumah tangga mereka.
PG : Betul sekali, Pak Gunawan. Jadi misalkan ada orang yang berkata, "Hidup ini adalah untuk Tuhan, uang adalah uangnya Tuhan, yang penting kita mengelolanya dengan bertanggung-jawab," orang ini kadang-kadang akan tergerak untuk memberikan lebih dari apa yang biasanya dia beri, sebab dia merasakan bahwa Tuhan menggerakkan dia untuk memberikan persembahan ekstra kali ini. Pasangan yang tidak memiliki persamaan pertumbuhan rohani mungkin sekali akan marah dan berkata, "Kenapa kamu memberikan lebih, untuk apa? Itu tidak perlu." Bagaimanakah kita menjelaskan kepada dia bahwa pada saat itu entah mengapa itulah yang Tuhan kehendaki untuk kita lakukan. Tapi bagi orang yang tidak mengalami hal-hal seperti ini sulit untuk dia menerimanya. Pak Gunawan benar mengemukakan bahwa kita mesti menemukan yang sepadan juga dalam hal pertumbuhan rohaninya, dan yang sepadan dalam hal kepribadian. Jangan sampai kita menikah dengan orang yang kepribadiannya terlalu bertolak belakang dengan kita dan kita mesti ingat prinsip bahwa semakin berbeda maka semakin keras kerja atau usaha yang nanti harus kita keluarkan untuk menyesuaikan diri. Jadi dari awal pilihlan seseorang yang memang memunyai banyak kesamaan baik dalam hal nilai hidup, kebiasaan, dalam hal sifat-sifat. Makin sepadan maka makin memudahkan kita untuk menyesuaikan diri.
GS : Kesepadanan ini saya rasa juga penting dalam hal tujuan hidup. Jadi perlu ada kesamaan tujuan hidup kalau yang satu ke Utara dan yang lain ke Selatan, maka akan menimbulkan masalah dalam rumah tangga itu.
PG : Betul. Jadi misalkan tujuan hidupnya adalah kita hidup untuk Kristus artinya kita akan mendahulukan kepentingan Kristus dan bukan kepentingan kita. Tapi ada orang yang memunyai tujuan hidup hanyalah untuk mengumpulkan harta supaya nanti bisa diwariskan kepada anak-anak dan cucu kita sehingga tujuan mereka adalah membesarkan anak maka semua yang dihasilkan, sedapatnya disimpan untuk keperluan anak-anaknya. Atau ada orang yang memunyai tujuan hidup mengumpulkan harta atau melebarkan karier usahanya sebesar besarnya dan tidak sama sekali memikirkan kepentingan Tuhan. Sudah tentu jika itu yang terjadi yakni adanya perbedaan-perbeaan itu, tidak bisa tidak akan menimbulkan masalah.
GS : Dua syarat itu saja sudah membuat orang sulit untuk mendapatkan pasangan hidup, kemudian bagaimana dengan yang lainnya, Pak Paul ?
PG : Kalau dua syarat ini dipenuhi dan kita mendapatkan orang yang sepadan dan seiman, faktor lainnya dapat dikompromikan misalkan kriteria 'seberapa cantik dan tampannya pasangan kita.' Hal itu mungkin masih bisa kita kompromikan. Atau tingkat pendidikan, asal tidak terlalu jauh berbeda maka kita masih bisa kompromikan, misalkan lagi tentang suku, ada orang yang memunyai target menikah dengan orang yang sesuku dan kadang-kadang hal ini tidak dapat kita lakukan, dan kita masih bisa terima asalkan kita menyadari perbedaan latar belakang yang ditimbulkan oleh perbedaan suku itu. Kemudian kita juga masih bisa mengkompromikan kemapanan ekonomi, ada orang yang tadinya memiliki prinsip akan menikah dengan orang yang sudah mapan, mapan artinya sudah punya rumah dan sebagainya. Sudahlah kita terima bahwa dia memang belum punya rumah, tapi nanti masih bisa kontrak rumah, yang penting dia sudah memunyai pekerjaan. Atau hal lain seperti warna kulit dan penampilan fisik lainnya. Semua ini adalah faktor yang terbuka untuk dipertimbangkan ulang, namun tetap satu pertanyaan yang mesti diajukan adalah dapatkah saya tinggal bersamanya dan terus menghormati serta mencintainya seumur hidup. Pada akhirnya kita harus bertanya apakah kita dapat hidup bersamanya tanpa kriteria-kriteria yang kita dambakan itu. Jadi kalau kita berkata, "Kalau tingkat pendidikan tidak sama maka saya sulit untuk menghormatinya, kalau kemapanan ekonominya belum maka saya juga sulit menghormatinya," itu berarti jangan, sebab pertanyaan tadi harus kita jawab secara positif, "Ya, saya dapat tinggal bersamanya, saya dapat terus menghormatinya serta mencintainya seumur hidup meskipun hal-hal yang tadinya saya dambakan tidak ada." Jadi bila kita memutuskan untuk menikah dengannya walaupun salah satu faktor idaman tidak ada dalam dirinya, kita mesti menetapkan hati menerima dirinya apa adanya. Jadi saya meminta kepada para pendengar kita, sekali kita menerimanya maka kita tidak boleh lagi membangkitkan faktor-faktor yang tidak ada dalam dirinya itu. Ada orang yang tidak suka kalau pasangannya itu makin gemuk, waktu menikah dengan dia pun sebetulnya orangnya tidak terlalu kurus dan sekarang tambah gemuk dan tambah gemuk. Dia memang telah berusaha menjaga makan tapi bawaannya sejak lahir memang sudah gemuk, maka janganlah kita membangkit-bangkitkan dan jangan malah menambah luka di hati orang dengan terus mengkritik tentang kegemukannya. Ingat bahwa menerima berarti tidak menuntutnya.
GS : Kesulitannya ini muncul tatkala masih dalam pacaran apalagi seperti yang kita sudah bicarakan, orang cenderung memilih, "Tidak mengapa kalau ini kita kompromikan." Tapi sejak awalnya memang sudah diragukan apakah dia bisa hidup terus dengan orang yang seperti ini. Kalau pun mereka memutuskan untuk menikah apakah nanti tidak merupakan suatu benih yang nantinya menjadi sumber permasalahan ?
PG : Sudah pasti, Pak Gunawan. Jadi ini sebetulnya terjadi. Ada orang-orang yang menggampangkan, "Tidak mengapalah", tapi dalam hitungan beberapa tahun dan bukan hitungan puluhan tahun, sudah terjadi beberapa masalah dan akhirnya hendak bercerai. Karena mengharapkan menuntut pasangan menjadi seseorang yang bukanlah dia. Tapi persoalannya adalah dari awal dia sudah tahu namun tetap menerima dan setelah menikah menuntut pasangannya harus menjadi seperti itu. Ini benar-benar sesuatu yang tidak realistis, kalau kita sudah tahu kita tidak bisa menerimanya, maka jangan dilakukan dan kalau kita memang menerimanya maka kita harus diam dan jangan menuntut lagi.
GS : Di sini faktor keluarga juga penting dalam menentukan hal-hal yang bisa dikompromikan. Kadang-kadang pasangan itu sendiri kemungkinan besar bisa mengkompromikan itu tapi dari pihak keluarga itu keberatan, misalnya dalam hal suku, tingkat pendidikan, kemapanan ekonomi, di sini peran keluarga sangat kuat, Pak Paul ?
PG : Betul. Jadi kadang-kadang kita harus menimbang banyak faktor dan tidak ada jalan yang paling mudah yang bisa kita lalui. Kita harus berbicara dengan orang tua kita, menjelaskan, meyakinkan dan pada akhirnya kalau memang adanya keterbatasan pilihan dan ini adalah yang terbaik maka terimalah dan jangan persoalkan lagi.
GS : Selanjutnya apa, Pak Paul ?
PG : Panduan yang lain adalah boleh melihat, namun sebaiknya jangan mencari-cari pasangan hidup. Maksud saya seperti ini, silakan membuka mata dan diri untuk berkenalan namun jangan sampai kita pergi ke sana ke sini untuk mendapatkan jodoh, ini yang saya maksud dengan jangan mencari-cari pasangan hidup. Ada orang-orang yang sangat membutuhkan pasangan hidup sehingga ke sana ke sini tujuannya hanya satu, yakni mencari pasangan hidup. Jadi saya lebih menganjurkan, silakan bergabung dengan kelompok lajang agar dapat berkenalan namun jangan sampai kita terlalu menggebu-gebu dalam mencari pasangan hidup. Pada umumnya saya kira kita ini tidak suka dengan orang yang terlihat jelas tengah mencari-cari jodoh. Pada dasarnya kita tidak menyukainya oleh karena kita tidak ingin diperlakukan sebagai objek semata, objek untuk dinikahinya dan kita tidak mau diperlakukan seperti itu tapi kita ingin diperlakukan sebagai manusia yang utuh dan bernilai, kita menuntut orang untuk berkenalan dan menyukai kita atas dasar keberadaan diri kita bukan atas dasar kebutuhannya mencari pasangan hidup.
GS : Seringkali yang menjadi masalah adalah bagi pribadinya itu sendiri, tidak menjadi masalah dan dia tetap tenang menghadapi semua ini tapi lingkungan sekitar dia yang menjodoh-jodohkan dia, mendorong-dorong dia sehingga dia merasa terusik, Pak Paul.
PG : Kadang-kadang lingkungan yang terlalu bersemangat menolong kita, dan mungkin kita juga harus berhati-hati jangan sampai terlalu bersemangat sehingga membuat orang juga merasa tidak nyaman, namun kita sendiri kalau sedang menanti-nantikan pasangan hidup, jangan sampai kita ini terlalu agresif sebab pada umumnya baik laki-laki maupun perempuan yang terlalu agresif, biasanya membuat orang lain itu tidak suka dan bahkan menjauhkan diri dari mereka.
GS : Zaman sekarang, kalau kita ingin menghubungi seseorang itu mudah sekali seperti yang Pak Paul tadi katakan yaitu lewat 'online' dan macam-macam sarana yang tersedia. Menurut pandangan Pak Paul ini bagaimana ?
PG : Sekarang ini ada banyak layanan-layanan 'online' untuk mendapatkan jodoh, berkenalan lewat 'online', dan ada juga yang lewat 'Facebook' dan 'Chatting' dikenalkan lewat teman dan sebagainya. Maka berhati-hatilah sebab kita bisa menaruh apa saja di layar dan kita bisa mengetikkan siapa kita, dari mana, gelar kita apa, saya berpendidikan apa, kita bisa menaruh itu di layar Facebook, 'Chatting lewat Online', tapi kita tidak tahu siapa yang akan mengecek. Bagi saya ini adalah membuka kesempatan untuk orang-orang yang tidak bertanggung-jawab dan orang-orang yang jahat untuk bisa memangsa kita-kita ini yang tulus mencari pasangan hidup. Jadi saya mau mengingatkan bahwa mencari pasangan hidup tidaklah sama dengan dengan mencari buku lewat Online. Bahkan dalam membeli buku pun kalau kita membelinya Online, salah satu kerugian terbesarnya adalah kita tidak tahu isinya dan sebaliknya bila kita membeli buku di toko buku, maka kita akan dapat membaca dan mengetahui isinya, demikianlah dengan mencari pasangan hidup, perkenalan lewat Online menurut saya tidak sama dengan perkenalan lewat interaksi langsung. Perkenalan yang langsung dan melewati rentang waktu yang panjang pun tetap menuntut penyesuaian. Apalagi bila kita berkenalan lewat Online. Jadi ini kesimpulannya, untuk urusan sepenting pernikahan lakukanlah dengan cara yang tradisional namun terbukti ampuh yakni perkenalan langsung, kalau memungkinkan kenalilah juga keluarganya, kenali juga komunitasnya, lingkungannya dan ini akan menolong kita mengenal siapa pasangan kita, jangan tergopoh-gopoh mengiyakan lewat Online. Saya tahu memang ada yang berhasil tapi saya tahu juga ada yang kurang berhasil, karena bisa saja terjadi kebohongan.
GS : Tapi kalau itu dipakai sebagai langkah awal saya rasa masih dimungkinkan, Pak Paul, jadi hanya tahap perkenalan kemudian mereka saling bertemu, saling pendekatan dan sebagainya, apakah itu masih dimungkinkan, Pak Paul?
PG : Betul. Jadi kalau dalam masa perkenalan yang normal, itu masih tidak mengapa jadi Online itu adalah tahap pertama berkenalan dengan seseorang, tapi setelah itu gunakan cara-cara yang tradisional namun yang terbukti ampuh yakni berkenalanlah dengan langsung.
GS : Sebagai kesimpulan dari pembicaraan ini, Pak Paul, apakah yang ingin Pak Paul sampaikan ?
PG : Kita harus mengingat bahwa hidup tidak hanya terdiri dari pernikahan dan kita pun tidak hidup hanya untuk menikah. Dan ini penting, Firman Tuhan mengingatkan di 2 Korintus 5:15, "Dan Kristus telah mati untuk semua orang, supaya mereka yang hidup, tidak lagi hidup untuk dirinya sendiri, tetapi untuk Dia, yang telah mati dan telah dibangkitkan untuk mereka." Kita hidup untuk Kristus sebagaimana Firman Tuhan katakan, oleh karena itu terpenting adalah melakukan pekerjaan-Nya selama kita hidup. Adakalanya kita terkecoh dan kita menyangka bahwa tujuan hidup adalah untuk menikah, itu salah! Kita hidup bukanlah untuk menikah melainkan untuk Kristus, kita hidup bukan untuk menyenangkan hati sendiri tapi hati Kristus. Setelah kita menyenangkan hati Kristus, biarlah kita menyerahkan hidup kepada-Nya termasuk hal perjodohan ini.
GS : Ada semacam pendapat yang kurang tepat yang menganggap menikah itu adalah perintah dari Tuhan seperti kita mengasihi sesama, kalau kita mengasihi sesama, perintah itu jelas. Dan bagaimana dengan menikah, Pak Paul ?
PG : Saya senang Pak Gunawan mengangkat hal itu sebab itu adalah sebuah kekeliruan bahwa Tuhan tidak pernah memerintahkan kita untuk menikah. Coba cari di sepuluh Hukum Tuhan, apakah ada perintah untuk menikah? Tidak ada. Perintah yang Tuhan intisarikan dari semua perintah-perintah Tuhan di dalam Matius 22:37-39, "Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu dan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri." Tidak ada sebutan tentang harus menikah, tapi perintah untuk hidup kudus, perintah untuk menyenangkan hati Tuhan, perintah untuk hidup bagi Kristus, semua ada namun kalau untuk menikah tidak ada. Dan hati-hati dengan kesalahpahaman yang kedua yaitu orang yang berkata, "Kalau tidak menikah berarti tidak normal, ada yang keliru, ada yang tidak benar dengan dirinya," itu salah! Ini adalah sebuah panggilan yang Tuhan berikan kepada sebagian anak-anak-Nya dan kita harus terima itu, tidak ada yang keliru dan tidak ada yang salah, tidak ada yang tidak normal dengan diri kita kalau kita memutuskan untuk tidak menikah.
GS : Hanya lingkungan sosial saja yang menganggap bahwa kalau tidak menikah itu menjadi tidak normal karena sebagian besar orang menikah.
PG : Betul sekali. Jadi konsep inilah yang mesti kita waspadai sehingga kita tidak termakan olehnya. Sekali lagi kita harus selalu menguji apakah hal-hal ini seturut dengan Firman Tuhan atau tidak, kalau tidak seturut maka jangan kita menerimanya.
GS : Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan ini. Dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Berpacaran dengan Siapa ?" Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.