Tantangan Orangtua Tunggal

Versi printer-friendly
Kode Kaset: 
T492A
Nara Sumber: 
Pdt. Dr. Paul Gunadi
Abstrak: 
Kadang di dalam perjalanan hidup pernikahan, tidak selamanya suami istri bisa hidup berpasangan hingga masa tua. Ada yang harus bercerai, ada pula yang pasangannya meninggal ketika anak-anaknya masih kecil. Tentu ini menimbulkan tantangan tersendiri bagi orangtua tunggal yang tersisa. Apa saja tantangannya dan bagaimana cara menghadapinya?
Audio
MP3: 
Play Audio: 
Ringkasan

Hidup tidak sempurna. Kadang hal yang tak diharapkan terjadi; mau tidak mau, siap tidak siap, karena hidup harus terus berjalan, kita terpaksa menghadapinya. Salah satu hal yang tak diharapkan yang kadang menimpa adalah kematian suami atau istri. Bukan saja kita harus bersiap menghadapi kesedihan dan hidup dalam kesendirian, kita pun mesti siap merawat dan membesarkan anak—sendirian. Berbahagialah kita yang bertemu dengan seseorang yang mengasihi kita dan anak-anak kita; bersamanya kita dapat "menyambung" hidup berkeluarga. Masalahnya adalah, tidak semua berkesempatan membangun keluarga baru. Sebagian akan harus membesarkan anak sendirian, tanpa suami atau istri. Berikut akan dipaparkan beberapa tantangan yang mesti dihadapi orangtua tunggal dan bagaimana cara menghadapinya.

  • MEMBAGI WAKTU ANTARA KERJA DAN MERAWAT ANAK.
    Orangtua tunggal tetap harus mencari nafkah dan itu berarti ia harus meninggalkan rumah. Masalahnya adalah, ia pun diharapkan berada di dalam rumah untuk dapat memperhatikan kebutuhan anak-anaknya. Tidak bisa tidak, akan harus ada yang dikorbankan; karena nafkah harus dicari biasanya yang dikorbankan adalah waktu bersama anak. Jika itu yang terjadi, orangtua tunggal mesti sedapatnya menggantikan waktu yang terhilang agar interaksi antara anak-orangtua tetap terjaga, walau tidak banyak. Misalkan, pada akhir pekan, pergilah bersama anak untuk berekreasi. Atau, di malam hari sebelum tidur, sediakanlah waktu setidaknya 30 menit untuk bercakap-cakap dan berdoa bersama. Singkat kata, semasa anak kecil, pergunakanlah waktu yang tersisa untuk anak. Untuk sementara kurangilah waktu di luar rumah, bahkan untuk pelayanan sekalipun.
  • KETIDAKADAAN PERAN DAN SUMBANGSIH YANG SEHARUSNYA DIBERIKAN KEPADA ANAK OLEH ORANGTUA YANG SEKARANG TELAH TIDAK ADA.
    Jadi, jika ibu yang tertinggal, itu berarti ia mesti menjadi ibu dan ayah bagi anak-anak; dan sebaliknya, jika ayah yang tertinggal, itu berarti ia harus berperan ganda sebagai ayah dan ibu bagi anak-anak. Sudah tentu tidak mudah menggandakan peran sebab Tuhan menciptakan kita—laki-laki dan perempuan—dengan karakteristik khusus, yang berguna untuk pertumbuhan anak. Misalkan, figur ibu adalah figur pengasuh sedang figur ayah adalah figur penegak disiplin di dalam rumah. Menjadi pengasuh sekaligus penegak disiplin tidaklah mudah sebab pada umumnya peran dan karateristik ini terpisah pada dua pribadi. Namun, tidak bisa tidak, ini mesti dilakukan.
  • MENJAGA KESEIMBANGAN ANTARA MEMENUHI KEBUTUHAN PRIBADI DAN KEBUTUHAN ANAK.
    Pada akhirnya kebanyakan orangtua tunggal—yang bertanggung jawab—tidak mempunyai waktu untuk diri sendiri. Memang tidak mudah menyeimbangkan hidup dalam kondisi yang tidak ideal. Namun meski susah, sedapatnya lakukanlah hal-hal kecil yang bermakna untuk diri sendiri, seperti membaca buku atau pergi bersama sahabat. Walau tidak sering, usahakanlah untuk melakukan penyegaran jiwa sebab jiwa yang lesu tidak dapat menjadi jiwa yang efektif.
  • PENGAWASAN ANAK.
    Tidak bisa tidak, kepergian pasangan menimbulkan kekosongan pengawasan anak. Sebagai akibatnya anak pun melihat celah dan cenderung memanfaatkan kekosongan itu. Mereka lebih mudah berbohong karena tidak ada yang melihat, apalagi membuktikan mereka bohong. Mereka pun lebih mudah melakukan perbuatan yang terlarang sebab pengawasan telah mengendor. Alhasil problem dengan perilaku anak mudah berkembang. Tidak selalu ada jalan keluar untuk masalah ini. Dalam kasus tertentu kita masih dapat meminta bantuan orangtua untuk menolong mengawasi anak, tetapi itu tidak selalu dimungkinkan. Itu sebab langkah terpenting adalah mengajak anak untuk bersekutu dan bercengkerama bersama setiap malam. Lewat interaksi ini anak merasa lebih dekat dengan kita dan ini membuatnya lebih sungkan untuk melukai kita dan lebih terbuka kepada kita.
  • MENJAGA BATAS.
    Ada kecenderungan karena sepi dan letih, kita malah membebani anak dengan beban dan derita yang tengah kita tanggung. Akhirnya kita menumpahkan kesedihan dan kekesalan kita pada anak. Alhasil sejak kecil anak harus memikul beban yang tidak seharusnya berada di pundaknya dan ini dapat menghambat serta mengganggu pertumbuhannya. Kita harus menjaga batas yang jelas—bahwa kita adalah orangtua dan mereka adalah anak—agar kita tidak menciptakan problem yang baru dalam diri anak. Ingatlah bahwa problem yang kita tumpahkan PADA mereka akan menjadi problem BAGI mereka. Semua kisah penderitaan yang kita bagikan tidak berlalu begitu saja dari kuping kiri ke kuping kanan. Tidak! Sebaliknya, problem itu akan menyangkut di hati dan kepala anak dan menjadi problem bagi mereka.
  • MENJADIKAN ANAK SEBAGAI KUDA PACUNYA YANG SEMPURNA.
    Karena hidup susah, orangtua cenderung menuntut anak untuk menjadi anak yang bukan saja baik, tetapi juga berprestasi tinggi. Orangtua tunggal sering pula menuntut anak untuk sempurna, tidak pernah melakukan kesalahan. Itu sebab kadang orangtua tunggal sulit untuk menoleransi kegagalan anak, padahal itu adalah hal yang lumrah. Dengan kata lain, karena hidup penuh derita, akhirnya orangtua tunggal menuntut anak untuk membuatnya bahagia.
    Sesungguhnya tanpa dituntut pun, banyak anak yang dibesarkan oleh orangtua tunggal sudah mendapatkan tekanan untuk membuat orangtuanya bahagia. Tekanan itu datang dari dalam dirinya sendiri. Mereka ingin membahagiakan orantuanya karena merasa kasihan. Itu sebab menuntut anak untuk sempurna akan menambah berat beban tuntutan yang dialami anak dan ini bukanlah hal yang sehat. Jadi, sedapatnya janganlah tambahkan beban yang tidak semestinya ini.
  • GODAAN UNTUK HIDUP TIDAK KUDUS.
    Tidak bisa tidak, harus diakui bahwa pernikahan sedikit banyak menutup pintu pencobaan—orang lebih enggan menggoda kita yang menikah. Begitu kita menjanda, terbukalah pintu pencobaan lebar-lebar, baik itu pencobaan yang datang dari dalam—kesepian dan kebutuhan romantis—atau dari luar—ajakan orang untuk menodai kekudusan. Itu sebab penting bagi orangtua tunggal untuk hidup dekat dengan Tuhan setiap hari agar tidak jatuh ke dalam dosa. Orangtua tunggal juga perlu memelihara relasi rohani dengan satu atau dua orang sahabat. Di dalam persahabatan itu, Firman Tuhan dapat dibagikan dan mengingatkan satu sama lain, juga pertanggungjawaban dapat diberikan kepada satu sama lain. Alhasil persahabatan ini dapat menjaga kita hidup kudus dan jauh dari dosa. Sudah tentu, jangan sampai kita mengabaikan ibadah dan saat teduh dengan Tuhan. Ia berbicara dan menguatkan kita melalui pemberitaan Firman dan saat teduh dengan-Nya.

Nasihat Firman Tuhan Yesaya 26:3-4 berkata, "Yang hatinya teguh Kaujagai dengan damai sejahtera, sebab kepada-Mulah ia percaya. Percayalah kepada Tuhan selama-lamanya, sebab Tuhan Allah adalah gunung batu yang kekal." Orangtua tunggal hanyalah tunggal di mata manusia. Sesungguhnya ia tidak tunggal—sendirian—dalam membesarkan anak-anaknya sebab Tuhan, Allah Imanuel, senantiasa bersamanya. Percaya dan serahkan segala tantangan ini kepada Tuhan sebab Ia menjaga dengan damai sejahtera orang yang hatinya teguh tertambat pada Tuhan.