Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Sepi di Hari Tua" bagian yang kedua, karena perbincangan ini merupakan kelanjutan dari perbincangan kami terdahulu mengenai hilangnya kesibukan rutin dan makna yang terkandung di dalamnya. Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
GS : Pak Paul, sebelum kita melanjutkan perbincangan ini ke perbincangan yang berikutnya supaya para pendengar kita punya hubungan antara pembicaraan yang terdahulu dengan yang sekarang, mungkin Pak Paul bisa secara sekilas menjelaskan apa yang kita perbincangkan pada pembicaraan terdahulu, Pak Paul.
PG : Kehadiran anak dalam hidup kita membawa banyak perubahan, rumah yang tadinya sepi menjadi ramai, waktu yang tadinya agak senggang sekarang menjadi terisi oleh kegiatan anak. Waktu anak-anak pergi, itu juga membawa perubahan besar dalam kehidupan kita, sehingga yang tadinya sehari-hari itu dilalui dalam kesibukan, sekarang tiba-tiba senggang sekali. Namun selain dari hilangnya kegiatan-kegiatan itu, Pak Gunawan, yang memang membuat hari-hari itu sepi sekali setelah kita pension, anak-anak sudah meninggalkan rumah adalah hilangnya makna yang terkandung dalam semua kegiatan itu. Kita yang terbiasa bekerja, terbiasa masuk kantor, bertemu dengan teman melakukan ini dan itu semua itu memberi makna tertentu dan memberikan perasaan tertentu dalam diri kita. Seorang ibu yang mengurus anak, membesarkannya dari kecil sampai besar, sekarang tidak ada lagi anak. Nah tidak bisa tidak dia akan kehilangan juga makna yang terkandung dalam tugas membesarkan anak, jadi kita memang harus menghadapi kehilangan ini. Kita harus menerima fakta bahwa memang kehilangan ini tidak dapat dihindari dan tidak ada yang bisa mengganti makna itu sendiri, karena memang hal-hal itu terkait dalam pekerjaan-pekerjaan yang dulu kita lakukan. Tidak kita lakukan ya memang maknanya pun turut hilang. Kita harus siap menerima itu, namun saya anjurkan agar kita mencoba untuk mengisi hari-hari kita dengan kegiatan yang serutin mungkin dan juga berhubungan dengan orang sehingga kita masih bisa mengerjakan sesuatu secara berkala, secara rutin dan bertemu dengan orang. Saya pun menyarankan agar sebagai orang tua kita memelihara hubungan yang baik dengan anak-anak, jangan mencampuri jangan masuk ke dalam kehidupannya tanpa diundang, tapi tetaplah pelihara hubungan dengan cara menyediakan waktu untuk menolongnya kalau memang diperlukan, menghubunginya, menelepon, berinisiatif untuk juga memerhatikan pasangan hidupnya dan anak-anaknya supaya mereka pun tetap mengingat kita dan memelihara hubungan yang baik dengan kita pula. Itulah letak kekuatan kita menghadapi hari-hari tua yang sepi.
GS : Pak Paul, selain hilangnya kesibukan rutin dan makna yang membuat orang sepi, orang bisa menjadi sepi karena hilangnya apa lagi, Pak Paul?
PG : Yang berikut adalah hilangnya rasa berguna dan dibutuhkan, Pak Gunawan. Bagi kita yang terbiasa hidup dibutuhkan orang, melewati hari tua tanpa ada yang datang meminta bantuan, sungguh menyiksa. Kita terbiasa ditanya, dikonsultasikan, dimintai bantuan tiba-tiba makin hari makin berkurang dan hampir tidak ada lagi orang yang menyapa dan meminta bantuan kita. Nah semua kegiatan yang berkaitan dengan manusia berpotensi melahirkan rasa berguna, itu sebabnya kita yang tergolong pekerja kemanusiaan cenderung akan mengalami kehampaan yang lebih besar dibanding dengan orang yang pekerjaannya berhubungan dengan benda atau data. Jadi memang rasa berguna dan dibutuhkan ini tidak bisa tidak makin tua, anak-anak telah meninggalkan rumah kita juga telah pensiun itu juga makin hari akan makin berkurang.
GS : Sekali pun orang itu tadinya berhubungan dengan benda, Pak Paul, tapi mau tidak mau terkait dengan orang misalnya dia seorang montir. Dia merasa sungguh berjasa ketika mobil yang rusak dia betulkan dan bisa menyenangkan orang lain, sehingga ketika dia pension ini menjadi suatu pukulan bagi kehidupannya.
PG : Betul, saya tahu ada orang yang seperti ini Pak Gunawan. Memang ini perusahaan dia sendiri jadi dia masih bisa berbuat yang dia inginkan, tapi sesungguhnya dia tidak lagi mengelola, tidak lagi mengatur namun ia akan tetap datang setiap hari. Berpakaian serapi seperti sediakala padahal di sana dia hanya duduk beberapa jam, hanya itu saja Pak Gunawan. Setelah itu pulang dan hampir tidak ada lagi yang dikerjakannya, namun sekali lagi untuk dia datang ke tempat pekerjaan, duduk seolah-olah membuat dia merasa seolah-olah masih dibutuhkan. Setidak-tidaknya masih ada yang menyapa dia, ada yang mengajak berbicara dan mungkin yang diajak bicara masih bertanya sesuatu kepadanya, sehingga rasa dibutuhkan rasa berguna itu masih sedikit banyak terpelihara.
GS : Tapi itu buat yang melanjutkan pekerjaannya atau jabatannya, ini menjadi suatu gangguan, Pak Paul.
PG : Seringkali begitu, Pak Gunawan. Jadi kalau memang kita sadari bahwa waktunya sudah tiba mungkin secara perlahan kita harus merelakan diri, terpinggirkan dan menerima fakta. Ya sudah seharusnya begini.
GS : Ya lalu masukan dari Pak Paul, apa ?
PG : Yang pertama, Pak Gunawan, menghadapi semua ini menghadapi hilangnya rasa berguna dan dibutuhkan, terimalah fakta bahwa setelah mencapai usia tertentu kita tidak bertambah bijak. Memang ada yang berkata bahwa makin tua makin kita berpengalaman dan makin berpengalaman makin kita dibutuhkan. Itu benar ya namun semua ada batasnya sampai titik tertentu mungkin kita akan tambah bijak tapi lewat fase tertentu kita tidak akan lagi menambah pengalaman. Makin tua makin sukar buat kita untuk terlibat dalam kegiatan kerja dan hal itu akan membatasi pengalaman kerja. Dengan berkurangnya jam terbang, makin berkurang pula hikmat yang dapat ditimba. Jadi ini, Pak Gunawan, singkat kata kendati sampai titik tertentu benarlah pepatah berkata, bahwa "Makin tua kita semakin seperti barang klasik, barang antik" namun lewat masa tertentu sesungguhnya yang terjadi adalah makin tua makin kita menjadi seperti barang kuno, barang yang tidak lagi terpakai. Inilah fakta kehidupan yang tak dapat kita ingkari.
GS : Ya jadi dirinya sendiri mungkin merasa masih dibutuhkan makin menjadi bijak, tapi orang lain menilai sebaliknya, Pak Paul.
PG : Betul, Pak Gunawan karena bijak atau hikmat itu keluar dari pengalaman-pengalaman. Nah dunia berubah, kemajuan teknologi dan banyak hal lainnya, otomatis kita tidak bisa menguasai semuanya lagi. Sebagai contoh banyak orang sekarang ke "facebook" ke "tualler". Terus terang Pak Gunawan, saya tidak masuk ke dua-duanya, bahkan saya pun belum pernah melihat, tidak pernah membuka-buka tualor atau facebook. Mengapa? Ya saya merasa karena kesibukan saya, interes saya, jadi memang tidak adalah minat ke sana. Saya hanya fokus pada menulis email, menjawab email dan menggunakan sarana internet, itu saja. Berarti dengan bertambahnya kemajuan dan perkembangan ilmu dan sebagainya, makin banyak yang tidak lagi saya ketahui. Ada seorang penulis yang pernah dengan terbuka berkata, seorang yang memang diberkati Tuhan dengan karunia menulis yang baik, namun dia sendiri berkata dia selalu menulis dengan tangannya. Dia tidak menulis dengan komputer, jadi meskipun menulis dengan komputer sudah begitu umum sekarang masih ada penulis yang tidak menulis dengan komputer, tetap dengan tulisan tangan. Nah waktu dia selesai menulis manuskripnya, sampai bermeter-meter panjangnya kertas tulisan itu, karena dia memang menggunakan pena dan kertas. Jadi bagaimanakah kita bisa berkata kita bertambah bijak, dalam hal-hal tertentu, untuk hal-hal tertentu memang ya kita bertambah matang, tapi dalam hal-hal lainnya kita memang akan ketinggalan dan tak mungkin lagi kita akan mendapatkan hikmat dari pengalaman yang tak pernah terjadi dalam hidup kita.
GS : Ya mungkin kita tidak perlu secara terus terang atau secara terbuka berkata bahwa tambah tua tambah bijak, nanti malah ditertawai orang. Kita sendiri mengatakan diri kita bijak, tapi orang melihat bahwa kita tidak bijak malah merepotkan. Tapi kalau orang lain yang memberikan penilaian itu, silakan saja. Kita terima dengan senang hati.
PG : Betul, jadi yang penting adalah sebuah kesadaran diri, Pak Gunawan. Jangan sampai kita makin tua makin mau mengokohkan tempat kedudukan kita dan berkata bahwa kita makin berpengalaman, makin berhikmat. Sampai titik tertentu betul ya, tapi lewat titik tertentu ya tidak lagi. Banyak penemuan yang lebih baru dan orang lebih mengetahui akan cara ini dan itu, akhirnya harus kita sadari bahwa memang kita tidak mengetahui lagi akan hal-hal itu. Waktu saya berbicara dengan seseorang yang baru lulus, membicarakan tentang ilmu-ilmu tertentu dalam psikologi, terus terang Pak Gunawan, saya tidak pernah mendengar tentang hal-hal itu. Terlalu banyak yang memang dimunculkan dan kita tidak bisa menyerap semua dengan bertambahnya usia kita makin tersingkirkan.
GS : Masukan yang lain, apa Pak Paul ?
PG : Yang kedua, terimalah kenyataan bahwa pada usia tua kita tidak lagi diingat orang. Bagi kita yang biasa dibutuhkan, kondisi tidak dibutuhkan akan membuat kita merasa tidak berguna. Barang usang, kita merasa dipinggirkan. Nama kita makin jarang disebut, sumbangsih kita makin jarang diingat. Menghadapi masa tua ada orang yang berusaha tetap berguna dengan menggunakan berbagai macam cara, ada orang-orang yang berupaya keras hadir dalam kehidupan orang lain supaya rasa berguna tetap terpelihara dan mereka pun tetap diingat dan diperhitungkan orang, tapi belum tentu cara-cara itu sehat dan justru membangun orang lain. Ini adalah suatu kenyataan yang sedikit melukai, Pak Gunawan, menyedihkan. Akan ada masa dimana nama kita jarang disebut, Pak Gunawan. Ada masa dimana orang mencari, misalnya "Cari Pak Gunawan, dia bisa ini dan itu, Komisi apa perlu bantuan Pak Gunawan", sebut nama Pak Gunawan, tapi lama-kelamaan nama kita makin jarang disebut, karena sudah ada yang lain yang bisa menggantikan, yang lebih produktif, yang lebih muda, yang lebih baik dan nama kita makin jarang disebut. Berarti kita makin jarang diingat, itu faktanya, bahwa hidup mereka sudah berjalan dan kita makin jarang diingat.
GS : Ini terkait dengan pengaruh, Pak Paul ya, pengaruh pada waktu masa muda waktu kita masih jaya dan punya potensi, sekarang pengaruhnya makin kecil dan lama-lama akan hilang.
PG : Betul sekali dan itulah perputaran hidup yang mesti kita terima. Di tahun 70-an, 80-an kita juga mengetahui ada orang-orang tertentu yang berpengaruh yang sering namanya disebut, yang sering pendapatnya dikutip, tapi 20 tahun kemudian mereka jarang ditanya atau dikutip. Nama mereka pun jarang disebut di media massa dan kita pun sudah melupakan mereka. Apalagi generasi yang di bawah kita yang tidak pernah mengetahui mereka, sama sekali tidak akan mengutip mereka.
GS : Ya tapi itu mestinya masih lebih baik, Pak Paul, daripada mereka ingat kita tapi kejelekan-kejelekan kita yang diingat.
PG : Ya memang begitu juga, yang diingat adalah yang jelek-jelek saja.
GS : Masukan yang lain, apa Pak Paul ?
PG : Yang ketiga adalah hiduplah berkenan kepada Tuhan dan jangan berdosa. Masalahnya adalah untuk memertahankan rasa berguna ada yang menggunakan cara yang sehat dan berkenan kepada Tuhan. Namun ada pula yang menggunakan cara yang licik dan tidak berkenan pada Tuhan. Kita ingat ya Pak Gunawan, kisah raja Saul yang tidak bisa menerima kenyataan bahwa masa memerintahnya telah habis kendati Tuhan sudah memberikan waktu yang sangat lama lebih dari 40 tahun, bahkan lebih lama dari raja Daud tapi sayang raja Saul ini tidak bisa melepaskan takhtanya karena ia terlalu mencintai kuasa. Alhasil ia pun menggunakan cara yang salah untuk mempertahankan kedudukannya. Kita tahu dia berusaha membunuh Daud yang telah ditunjuk Tuhan untuk menggantikannya. Jadi di hari tua waktu kita ingin memertahankan rasa berguna dan dibutuhkan kita mesti terus hidup takut akan Tuhan, sehingga tidak terperosok masuk dalam perangkap dosa. Pada hari tua tatkala kita merasa tidak berguna dan tidak dibutuhkan lagi, ingatlah akan Tuhan dan hidup takut akan Dia supaya kita tetap hidup berkenan kepadaNya. Jangan membuat cara berdosa untuk membuat diri berguna.
GS : Dalam hal ini memang sering orang yang ingin mengabadikan namanya, entah dalam suatu organisasi atau apa, dia selalu ingin hadir di sana, Pak Paul dan ini membawa dampak yang buruk bagi organisasi atau kelompok orang itu termasuk juga kepada anak-anaknya. Mestinya dia sudah tidak lagi berpengaruh tapi dia memaksakan pengaruhnya di keluarga anak-anak itu. Ini bisa terjadi pada pria maupun wanita, Pak Paul ?
PG : Ada orang yang misalkan mempunyai perusahaan yang ingin diwariskan kepada anaknya. Sebetulnya anak-anaknya senang menerima warisan itu, tetapi mereka menolak. Mengapa mereka menolak ? Sebab si ayah tetap ingin bercokol dan yang menjadi masalah adalah tetap ingin melakukannya dengan cara yang dulu. Padahal dunia sudah berubah, manajemen sudah bertambah jadi sebaiknyalah gunakan cara-cara yang lebih efisien, tapi ada orang tua yang tidak mau, tetap menggunakan caranya. Namun ia berkata, "Ini nanti untuk kamu", entah sampai kapan yang dimaksud, tapi si orang tua tetap bercokol dan memaksakan cara dan kehendaknya. Sayang, anak-anak akhirnya melepaskan diri tidak mau lagi campur dalam urusan orang tuanya. Orang tuanya merasa sedih, "Saya sudah membangun perusahaan ini, nanti saya mau serahkan kepada anak-anak", tapi anak-anak tidak mau. Masalahnya adalah seharusnya si orang tua bercermin diri dan mengakui bahwa "anak-anak saya hidup di zaman yang berbeda, mempunyai pengetahuan yang mungkin lebih efisien. Kita pun harus mendengarkan masukan-masukan dari anak-anak kita.
GS : Kalau seorang wanita, pengaruhnya biasanya di mana, Pak Paul ?
PG : Maksudnya pengaruh-pengaruh ?
GS : Pria dalam pekerjaannya dia memunyai pengaruh-pengaruh yang besar lalu pada suatu saat harus dihibahkan kepada anaknya, tetapi anaknya menolak. Kalau perempuan bagaimana, Pak Paul ?
PG : Saya kira memang yang paling besar yang harus dilepaskan oleh seorang ibu adalah pengaruh atas anak-anaknya. Tidak bisa tidak, anak-anak tetap akan dengarkan tapi tidak terlalu lagi memberikan penekanan pada perkataan orang tuanya atau ibunya itu. Ini memang sebuah kenyataan yang lumayan pahit untuk diterima oleh si ibu, sebab bertahun-tahun bahkan berbelasan atau berpuluhan tahun, omongannya yang terbiasa didengarkan oleh anak-anaknya. Sekarang seperti angin berlalu, dia bicara apa, anaknya tetap saja tidak mendengarkan, jalan saja. Si ibu merasa pengaruhnya terhadap anak sudah begitu tipis hampir tidak ada sama sekali. Hati-hati sebab saya tahu kadang-kadang sebagai ibu, sebagai manusia kadang-kadang terpukul, tersakiti, kecewa berat, sehingga mengatakan, "Kalau tidak mau sama saya, ya sudah saya tidak mau menghubungi kamu, telepon-telepon kamu". Itu yang saya kira keliru. Tetaplah kita menjalin hubungan dengan anak, meskipun masukan-masukan kita belum tentu didengarkannya.
GS : Ya bahkan bertentangan bukan hanya tidak didengarkan. Kadang-kadang bertentangan dengan ide-ide yang diberikan oleh ibunya dan ibu ini merasa dia sudah tidak berguna lagi dalam kehidupan ini.
PG : Ya tidak bisa tidak, sebagai seorang ibu yang terbiasa mengurus anak, terbiasa memberi arahan kepada anak, melepaskan peranan itu berat. Tapi kalau memang itu penting, hal itu berkaitan dengan dosa atau apa, sudah seyogianya kita memberikan peringatan kepada anak.
GS : Masukan yang lain apa, Pak Paul ?
PG : Yang keempat adalah akuilah keterbatasan dan alihkan tanggung jawab. Ada pula orang yang berusaha memertahankan kebergunaannya dengan cara terus ikut campur dalam hal yang bukan lagi menjadi kewenangan dan keahliannya. Ia tidak bisa menerima kenyataan bahwa ketrampilannya tidak lagi setajam dulu. Dan bahwa pengetahuannya tidak lagi sekini atau "updated" mitra kerjanya atau bahkan bawahannya. Sebagai akibatnya ia bukan membantu melainkan merugikan banyak orang. Di hari tua kita mesti jeli dan berbesar hati melihat keterbatasan. Kita pun harus memberikan kesempatan pada yang lebih muda untuk mengambil alih bagian yang tadinya menjadi porsi kita. Orang yang jeli dan berbesar hati menerima keterbatasannya justru akan lebih dihormati, kendati ia tidak seberguna dulu, namun masukannya tetap dihargai. Sebab hikmat tetap menjadi bagian hidupnya.
GS : Itulah sebabnya biasa para senior, orang-orang yang lebih berpengalaman ditempatkan sebagai Penasehat, Pak Paul, supaya bisa memberikan masukan dan ia tetap merasa berarti di dalam organisasi itu dengan nasihat-nasihatnya.
PG : Betul ya karena memang pengalamannya menunjang sehingga nasihatnya itu diperlukan oleh mereka yang lebih muda. Namun sekali lagi kita mesti terima, diminta untuk menjadi Penasehat bukan berarti menjadi seorang yang harus dituruti segala kemauannya. Kadang-kadang kita tersinggung, sudah dimintai menjadi Penasehat kok tidak diikuti. Ya belum tentu setiap nasihat kita akan dituruti. Jadi tugas kita hanya memberikannya.
GS : Karena sebagai sosok yang lebih tua atau yang dituakan, bisa menjadi figur pemersatu yang bisa mendamaikan bila terjadi pertengkaran dan sebagainya. Di situlah perannya yang paling kuat.
PG : Betul dan dengan perkataan lain dia bisa merasa dibutuhkan dan berguna.
GS : Apakah masih ada masukan yang lain, Pak Paul?
PG : Yang kelima adalah ciptakanlah kebergunaan dalam hal yang lebih sederhana. Makin tua makin terbataslah wilayah dimana kita dapat berkiprah dan menimba rasa berguna. Mungkin pada akhirnya kita hanyalah berguna dalam hal mengurus misalnya cucu atau kita berguna mengurus burung peliharaan atau tanaman di sekitar rumah. Jadi makin tua makin terbatas pilihan untuk berguna, makin sederhana pilihan yang tersedia. Sungguhpun demikian tetaplah berkiprah dalam kesederhanaan. Misalnya, kunjungilah orang yang sakit, sediakanlah waktu untuk menyediakan ruang ibadah, bantulah pelayanan anak di gereja atau pelayanan lainnya. Belajarlah menikmati dan menghargai yang sederhana, saya kira ini salah satu kuncinya, Pak Gunawan.
GS : Ya jadi bukan lagi kita menekankan pada kualitas pekerjaan atau bahkan jumlah pekerjaan yang harus ditangani, ya Pak Paul, atau ini semacam pekerjaan yang justru penting untuk kita dan bukan untuk orang yang kita layani.
PG : Betul, betul, ya jadi memang makin tua makin menyempitlah ruang lingkup kita dan makin mengecil obyek-obyek yang nanti bisa kita sentuh atau jadikan bagian dari kehidupan atau pekerjaan kita.
GS : Nah ini dibutuhkan kreatifitas yang cukup tinggi bagi seseorang itu untuk mau meluaskan ruang lingkupnya.
PG : Betul, memang perlu kreatifitas dan kerendahan hati, Pak Gunawan, untuk mengerjakan hal-hal yang mungkin tadinya tak terpikir karena terlalu sederhana.
GS : Masih ada lagi, Pak Paul, masukan lainnya ?
PG : Yang terakhir yaitu peliharalah relasi yang membangun dan mendukung dengan generasi penerus. Misalnya, jangan membanding-bandingkan diri dan meninggikan kemuliaan masa lalu. Setiap masa mempunyai kekuatan dan kelemahannya masing-masing. Singkat kata, jangan menghancurkan jembatan antara kita dan generasi penerus, sebaliknya perkuatlah tali persahabatan. Disitulah terletak kekuatan kita.
GS : Di sini kesulitannya generasi yang melanjutkan kita juga membutuhkan juga pandangan-pandangan kita pada masa-masa yang lampau, Pak Paul. Kadang-kadang mereka menanyakan, misalnya papa dulu seperti apa? Kakek dulu seperti apa. Kadang-kadang kita bercerita kebablasan, terlalu jauh dan membanggakan diri yang akhirnya memuakkan.
PG : Betul, ya kita terlalu banyak mencela dari apa yang kita lihat sekarang dan membandingkannya dengan zaman kita dulu. Itu memang yang harus kita hindari. Kalau mau membicarakan tentang itu, bicaralah dengan sesama kita. Jangan mengatakannya kepada generasi penerus, itu sangat mengecilkan hati mereka.
GS : Tapi dalam Alkitab juga diajarkan, bahwa yang tua harus mengajarkan kepada yang muda berdasarkan pengalaman masa lampau.
PG : Betul kita harus membagikan dari pelajararan yang telah kita petik pada masa lampau, namun harus kita ingat bahwa kita pun terbatas. Pelajaran yang telah kita timba juga terbatas dan belum tentu semuanya itu dapat diterapkan pada masa sekarang, untuk situasi yang sedang dihadapi. Jadi kita harus menyadari bahwa kita bukanlah Tuhan, jadi hikmat kita pun terbatas.
GS : Nah disitu mungkin perlu diseimbangkan antara kita berbagi pengalaman masa lampau dan menanyakan atau memuji tentang kemajuan-kemajuan yang telah dicapai oleh generasi penerus kita.
PG : Itu ide yang baik sekali ya, jadi mereka pun melihat bahwa kita pun tertarik dengan apa yang telah mereka kerjakan, kita pun masih mau belajar dari mereka. Dengan kita berinteraksi, saling bertukar ide itu 'kan sebuah sinergi yang akan menguntungkan kita semua.
GS : Pak Paul, apakah ada ayat Firman Tuhan yang mendukung pembicaraan kita ini?
PG : Kitab Pengkhotbah 1:9 berkata, "Apa yang pernah ada akan ada lagi dan apa yang pernah dibuat akan dibuat lagi. Tak ada sesuatu yang baru di bawah matahari". Nah kita yang tidak ingin hidup sia-sia perlu melihat hidup dari perspektif Tuhan. Kadang kita cepat berbesar hati, karena merasa telah berhasil melakukan sesuatu yang berguna. Kita ingin dapat meninggalkan sesuatu yang abadi, namun kita mesti ingat hanya Tuhan yang kekal, tidak ada yang lain. Tuhan memakai kita untuk menggenapi kehendakNya pada masa kita. Bersyukurlah untuk kesempatan yang diberikan-Nya, setelah itu lepaskanlah genggaman.
GS : Jadi sebenarnya rasa sepi di masa tua ini bisa diatasi jika kita mau membuka diri, berelasi, berinteraksi dengan orang lain, begitu Pak Paul?
PG : Tepat sekali, Pak Gunawan, apalagi dengan generasi penerus. Kalau kita masih terus menjalin kontak dengan mereka, kesepian kita akan relatif dapat terobati.
GS : Tapi sebaliknya kalau kita malah mengurung diri kita akan makin bertambah sepi, apalagi kalau penyakit datang, misalnya kebutaan, tuli dan sebagainya. Ini bisa merasa benar-benar tak berguna lagi.
PG : Betul sekali, memang ada tanggungjawab dalam diri kita untuk dapat mengurangi derita ini.
GS : Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan ini. Dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Sepi di Hari Tua" bagian yang kedua. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.