GS | : | Pada kesempatan yang lampau kita berbicara tentang saling menajamkan berlandaskan pada ayat yang ada dalam Amsal 27:17 yang mengatakan, "Besi menajamkan besi, orang menajamkan sesamanya." Kita sudah membahas beberapa hal bagaimana suami istri memang terpanggil untuk bisa saling menumbuhkan karakter-karakter yang baik dan kita masih akan melanjutkan bagaimana caranya supaya orang atau pasangan kita bisa saling menajamkan. Namun sebelum kita melanjutkan perbincangan ini mungkin Pak Paul bisa mengulas secara singkat hal-hal yang kita bicarakan pada kesempatan yang lampau. |
PG | : | Ada beberapa syarat yang harus kita penuhi sebelum kita bisa saling menajamkan. Yang pertama adalah kita seharusnya menjadi pasangan yang sepadan dalam pengertian memiliki tingkat kematangan karakter yang setara. Kalau misalkan kita kebetulan berpasangan dengan seseorang yang kematangannya jauh di bawah kita, maka akan sulit bagi kita untuk saling menajamkan atau menunjukkan kelemahan masing-masing dan memberikan koreksi atas kelemahan tersebut. Kita juga membahas bahwa kita baru dapat saling menajamkan bila kita hidup dalam alam realitas dan bukan alam fantasi. Artinya kita memandang pasangan kita secara objektif dan tidak mengagung-agungkannya tapi juga tidak merendah-rendahkannya. Kalau kita terlalu mengagungkan pasangan kita maka kita akhirnya selalu membela dia bahwa dia benar, sehingga kita tidak bisa berfungsi sebagai penajam pasangan kita pula. Atau kalau kita terus menyalahkan pasangan kita, maka kita pun tidak akan bisa menjadi penajam bagi dia, sebab kita hanya terus mengkritik kelemahannya. Yang ketiga, kita baru dapat saling menajamkan kalau kita saling mengasihi dan berkomitmen untuk menjadikan pernikahan kita pernikahan yang sehat. Ini harus selalu menjadi target kita sehingga waktu kita memberikan masukan kepada pasangan maka kita dapat mengatakan kepadanya bahwa, "Saya mengatakan ini sebab saya ingin pernikahan kita menjadi sehat, ini bukan untuk kepentingan saya, tapi untuk kepentingan kita bersama". Jadi tekad inilah yang seharusnya ada dalam diri kita untuk menajamkan satu sama lain. Dan yang keempat kita hanya baru dapat saling menajamkan bila kita bersedia untuk ditajamkan alias menerima masukan dari pasangan. Jangan sampai kita melihat diri kita sebagai orang yang berperan sebagai penajam, sebagai orang yang hanya dapat memberikan masukan kepada orang, menunjukkan kelemahan orang tapi tidak melihat diri sebagai orang yang juga memerlukan penajaman dari orang lain. Tuhan memakai satu sama lain untuk saling menajamkan, jadi terbukalah terhadap pasangan sewaktu dia menyampaikan tegurannya kepada kita. |
GS | : | Sebelum kita melanjutkan ke hal-hal lain tentang cara bagaimana kita saling menajamkan, saya melihat bahwa proses ini pasti menimbulkan rasa sakit, pasti menimbulkan luka di dalam diri kita karena tajam itu tadi. Apakah hal ini memang wajar terjadi di dalam hubungan interaksi suami istri, Pak Paul ? |
PG | : | Saya kira ini adalah sebuah reaksi yang wajar waktu kita menerima masukan dari pasangan yang berkenaan dengan pasangan kita, saya kira reaksi yang pertama adalah tidak suka sebab kita tidak suka untuk menerima masukan tentang kelemahan kita, apalagi kalau pasangan juga menyediakan koreksi bagi kita, apa yang seharusnya kita perbuat yang mungkin selama ini kita tidak perbuat. Itu juga sangat susah untuk kita dengar karena sewaktu dia memberikan koreksi kita merasa seolah-olah dia berada di atas kita. Ini sudah tentu tidak mudah untuk kita terima namun kita harus mendisiplin diri kita untuk menerimanya meskipun kita tidak menyukainya. Kalau kita hanya menuruti suara hati kita bahwa saya tidak terima karena engkau seolah-olah menempatkan diri di atas saya sewaktu memberikan teguran kepada saya, maka kita selamanya tidak akan bertumbuh, sebab itulah yang memang terjadi. Sewaktu seseorang memberitahukan akan kelemahan kita dan memberikan koreksi terhadap diri kita, maka tidak bisa tidak kita akan merasa kita berada di bawah dan dia di atas. Tapi itulah yang memang sangat mungkin terjadi. Jadi kalau kita merasa seperti itu maka tidak apa-apa dan jangan dipersoalkan kalau kita ada di bawah atau di atas karena memang begitu. Tapi yang penting adalah kita menerima masukan yang berguna bagi kita. |
GS | : | Perlu bagi kita melihat lebih luas tujuan daripada proses saling menajamkan. Kalau kita bisa melihat hal itu maka kita bisa menerimanya, Pak Paul. |
PG | : | Betul sekali. Sayangnya banyak orang yang karena tidak begitu aman dengan diri atau mudah sekali tersinggung akhirnya terlalu cepat mengaburkan makna atau motivasi penyampaian itu. Dengan cara kita mengaitkannya dengan caranya atau orangnya, "Kamu bicaranya seperti ini, kamu membuat saya merasa tidak berguna, kamu membuat saya merasa rendah", sekali lagi saya tekankan semua koreksian tidak terlalu enak untuk kita terima. Sebaik apa pun disampaikannya tetap tidak sedap untuk kita dengar, tapi kita harus siap untuk mendengarkannya. |
GS | : | Itu semacam pil pahit yang menyembuhkan sakit kita, Pak Paul ? |
PG | : | Betul. |
GS | : | Kalau begitu kita akan lanjutkan lagi hal apa yang perlu kita perhatikan di dalam proses saling menajamkan ? |
PG | : | Yang kelima adalah kita harus membedakan antara selera dan karakter. Ingatlah bahwa kita dipanggil untuk menajamkan karakter bukan menyamakan selera; warna dinding atau jenis makanan adalah masalah selera dan kita tidak harus membuat pasangan menyukai selera kita. Terpenting adalah menghargai selera masing-masing dan berupaya mencapai kesepakatan bersama. Jadi apa yang kita mesti targetkan ? Di dalam Galatia 5:22-23 tertera buah Roh yaitu "kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan dan penguasaan diri". Buah Roh ini adalah karakter, kita harus menolong pasangan agar memiliki buah Roh ini yaitu menolong pasangan agar lebih mengasihi, agar lebih murah hati, agar lebih baik, agar lebih sabar, agar lebih setia dan agar lebih lemah lembut serta agar lebih menguasai diri. Inilah karakter yang diinginkan oleh Tuhan kita Yesus dan inilah karakter yang harus kita miliki pula. |
GS | : | Kalau itu adalah buah Roh, mestinya dengan sendirinya akan bertumbuh dengan baik sesuai dengan kematangan iman orang itu kepada Tuhan. Jadi walaupun tanpa pasangan atau orang lain, itu juga akan bertumbuh. |
PG | : | Pekerjaan Roh Kudus seringkali tidak sendirian, pekerjaan Roh Kudus seringkali adalah pekerjaan bersama antara suara Roh Kudus dalam hati kita, firman Tuhan yang kita baca dan sesuatu yang kita alami, baik itu mungkin percakapan dengan orang, baik itu teguran dari orang. Semua itu adalah cara-cara yang digunakan Tuhan untuk menajamkan karakter kita. Sebagai contoh, berkali-kali sebetulnya Raja Saul mendapatkan kesempatan untuk berubah lewat orang-orang di sekelilingnya, misalnya waktu dia di Moab dia marah karena para imam menolong Daud. Imam berkata kepada Saul, "Raja kenapa seperti itu kepada menantu sendiri padahal Daud telah berjasa kepadamu" bukannya mendengar dan berterimakasih telah diingatkan tapi malah marah dan kemudian menyuruh agar semua imam dibunuh. Daud juga berkali-kali berkata kepada Saul walaupun Daud memunyai kesempatan untuk membalas dan membunuh Saul, Daud berkata, "Apa salah saya, kenapa raja mengejar-ngejar dan mau membunuh saya, selama ini saya telah membuktikan diri setia kepada raja", tapi Saul tidak mendengarkan. Jadi kita melihat pekerjaan Roh Kudus tidak sendiri. Tuhan bekerja lewat segala cara termasuk lewat orang-orang yang dihadirkan Tuhan untuk memberikan teguran dan koreksian kepada kita. |
GS | : | Memang yang perlu ditajamkan adalah karakter dan bukan selera yang tadi sudah dikatakan seperti warna dan makanan. Tapi seringkali justru selera yang justru membimbing kita untuk membangun karakter maksudnya kalau saya menyukai suatu jenis makanan dan istri saya tidak, seringkali harus memasakkan dua jenis makanan supaya bisa makan, tapi apa salahnya kalau saya mencoba makanan yang tadinya saya tidak sukai atau sebaliknya istri saya melakukan itu, supaya terjadi kesamaan di dalam hal makan ini tadi dan tidak terlalu merepotkan pasangan kita misalnya mau masak harus dengan dua macam masakan, demikian juga dengan warna memang tidak terlalu penting dan ini bukan sesuatu prinsip yang harus dipaksakan, tapi kalau kita bisa menerima, mentolerir warna yang dia sukai dan kita mencoba menyukai pasti ada hal positif di situ dan tidak ada salahnya saya menyukai. Dan ini melatih kita rendah hati, sabar, melatih kita menerima apa yang diusulkan pasangan kita. |
PG | : | Betul sekali. Jadi lewat kerelaan kita menerima selera pasangan atau menyesuaikan diri dengan selera pasangan maka kita juga akan sedikit banyak mendapatkan tempaan, penajaman untuk lebih bermurah hati untuk lebih bersabar untuk lebih memercayakan pada pertimbangan pasangan kita, betul. Jadi itu bisa terjadi lewat selera dan kita akhirnya juga ditumbuhkan. Namun dalam pemikiran masing-masing kita tetap harus memunyai target yang jelas bahwa tujuan akhirnya sebetulnya bukanlah penyelarasan selera, tapi pertumbuhan karakter. |
GS | : | Karena itu juga bisa dijadikan dasar, saya sudah menuruti dan menyesuaikan diri sekarang saya minta kesediaanmu juga menuruti apa yang saya inginkan sesuai selera saya, paling tidak memahami dan mengerti apa yang saya sukai. |
PG | : | Betul. Jadi dalam proses kita belajar untuk saling mengerti tidak bisa tidak kita juga akan belajar untuk misalkan melepaskan keinginan kita untuk mengalah, dalam proses itu kita pun bertumbuh. |
GS | : | Hal lain yang perlu kita perhatikan apa, Pak Paul ? |
PG | : | Yang keenam kita harus membedakan antara menunjukkan kelemahan dan menvonis kelemahan. Kita memvonis kelemahan tatkala kita tidak lagi memberi kesempatan kepada pasangan untuk memerbaiki dirinya. Kita memvonis kelemahan sewaktu kita memutuskan bahwa ia akan selalu berkubang di dalam kolam kelemahan yang sama. Inilah yang mesti dihindari, sebab memvonis kelemahan makin melemahkan motivasi orang untuk berubah. Jadi sebaiknya ketika kita menunjukkan kelemahan pasangan, kita harus memerlihatkan keyakinan bahwa dia dapat berubah, kita dapat memerlihatkan sisi positif dalam dirinya, pada saat kita menunjukkan kelemahannya supaya dia tahu bahwa kita melihatnya secara utuh dan kita tidak hanya menyoroti kelemahannya dan kita dapat pula misalnya membagikan pengakuan bahwa kita pun memunyai kelemahan dan jauh dari sempurna atau kita dapat mengatakan bahwa kita menghargai masukannya yang telah menyegarkan kita akan kelemahan sendiri. Jadi intinya adalah menyoroti kelemahan pasangan terus menerus tidak akan membawa perubahan, sebaliknya dia justru akan terus menunjukkan sikap melawan itu sebabnya kita harus lebih banyak memberi perhatian dan pengakuan pada kekuatannya. Silakan sampaikan kelemahannya namun jangan terus ungkit masalah yang sama, sebaliknya fokuskan perhatian pada kekuatannya. |
GS | : | Contoh konkretnya seperti apa, Pak Paul ? |
PG | : | Contohnya, misalnya saya pernah juga bagikan dalam acara ini, istri saya ingin saya menjadi orang yang lebih romantis, tapi ini merupakan kelemahan saya. Suatu hari dia frustrasi karena dia mengharapkan saya lebih romantis dan dia berkata, "Paul, rasanya kamu ini susah untuk romantis, tapi tidak apa-apa sebab ini hanyalah sekitar 20 persen dari dirimu, selebihnya tentang dirimu saya sukai dan bahkan bahagia sekali dengan yang lainnya tentang diri kamu". Sewaktu dia berkata begitu, saya tidak merasa diserang atau dijatuhkan justru lebih termotivasi untuk belajar lebih bisa memenuhi kebutuhannya itu. Jadi terpenting waktu kita menunjukkan kelemahan kita bisa menunjukkan kekuatan orang itu, sehingga orang itu tahu bahwa kita itu tidak hanya melihat kelemahannya tapi melihatnya secara utuh dan itu membangun semangatnya untuk dapat memenuhi yang kita minta. |
GS | : | Sebenarnya tidak ada maksud dari pasangan untuk memvonis tapi pasangan kita justru merasa, "Memang saya dari dulu seperti ini dan dari latar belakang saya seperti ini" berarti dia memvonis dirinya sendiri tidak bisa berubah karena dari dulu seperti ini. |
PG | : | Memang mengubah sesuatu yang sudah menjadi bagian kita itu susah, tapi kita sendiri tidak boleh menjadi orang yang menetapkan itu pada diri sendiri bahwa selama-lamanya saya begini terus. Contoh, misalnya kita mudah marah dan kita tidak bisa berkata, "Sudah dari dulu saya memang pemarah jadi kamu harus terima saya" tidak bisa seperti itu dan kita harus berkata, "Ini bukan hal yang baik dan yang saya miliki adalah kelemahan dan bukan kelebihan, maka saya akan berusaha untuk dengan kekuatan Tuhan mengubahnya supaya saya tidak harus menjadi orang yang pemarah dan tidak harus melukai kamu dengan kemarahan saya". |
GS | : | Jadi memang kelemahan ini ketika ditunjukkan, orang juga bisa menerimanya dengan suka artinya dia menyadari kelemahannya itu, tapi bisa juga dia malah melindungi dirinya dan mengatakan, "Saya tidak seperti itu". |
PG | : | Makanya penting bagi kita untuk membedakan antara memerlihatkan kelemahan dan memvonis kelemahan. Memvonis kelemahan yang sudah saya singgung yaitu mengatakan kalau engkau akan selama-lamanya seperti itu, engkau tidak bisa diapa-apakan dan tidak lagi harapan dan engkau begitu buruknya. Itu tidak membangun justru waktu kita menunjukkan kekuatannya juga, dia lebih disemangati untuk berubah. |
GS | : | Hal lain lagi yang perlu kita perhatikan apa, Pak Paul ? |
PG | : | Yang ketujuh adalah jangan bandingkan dirinya dengan diri kita atau orang lain sebaliknya jadikanlah Tuhan Yesus sebagai tolok ukur atau target perubahan. Saya menyadari ada kecenderungan kita membandingkan orang dengan diri kita. Masalahnya adalah kita tidak sempurna dan tidak selalu hidup konsisten, kadang kita melakukan kesalahan yang sama. Juga bila kita membandingkan dirinya dengan diri kita sendiri belum tentu dia akan terbuka menerimanya sebab pada umumnya orang tidak suka dibandingkan dengan orang lain. Maka kita harus mengarahkannya pada Tuhan Yesus, mungkin dia perlu lebih murah hati, mungkin dia harus belajar lebih bersabar dan menguasai diri, mungkin dia perlu lebih berbaik hati. Namun tujuannya bukan supaya ia lebih serupa dengan kita dan bukan pula supaya ia menyenangkan hati kita melainkan agar dia lebih serupa dengan Tuhan kita Yesus dan lebih menyenangkan hati-Nya. |
GS | : | Seringkali kita mengatakan Tuhan Yesus adalah Tuhan dan sempurna, kita hanyalah manusia tentu saja banyak kekurangannya, dengan begitu kita menutup atau menghentikan proses saling menajamkan. Memang kalau panutannya Tuhan Yesus lalu kita bisa mengatakan seperti itu, Dia adalah Tuhan dan saya adalah manusia. |
PG | : | Meskipun itu adalah bagian dari firman Tuhan, Tuhan Yesus berkata, "Belajarlah dari-Ku" karena Dia ingin kita bertumbuh dan Dia tidak ingin kita tetap memertahankan manusia yang lama. Waktu kita mengatakan bahwa kita juga punya kelemahan dan kita membutuhkan teguran, koreksian dari pasangan kita agar kita lebih serupa dengan Tuhan. Kalau dua-dua bisa setuju bahwa targetnya bukanlah diri kita, melainkan sama dengan Tuhan, tapi targetnya adalah supaya kita nanti serupa dengan Tuhan dan akhirnya lebih menyenangkan hati Tuhan, saya kira kedua-duanya lebih bersedia mendengarkan masukan dari satu sama lain. |
GS | : | Karena itu seringkali dianggap target terlalu tinggi dan muluk-muluk karena kita manusia dibandingkan dengan Tuhan, karena Tuhan sempurna sedangkan kita masih penuh dengan dosa. |
PG | : | Mungkin pada akhirnya kita harus mengakui kita tidak bisa sampai ke level Tuhan. Tapi setidak-tidaknya setiap hari kita lebih mendekati target itu dan jangan kita menguburkan diri di dalam pasir dan berkata, "Ya sudah saya begini dan saya akan terus begini dan selamanya saya akan begini. Kalau itulah sikap kita berarti kita tidak akan lebih mendekati target yang sebetulnya Tuhan inginkan. |
GS | : | Makanya dibutuhkan pasangan yang seiman dan sepadan di sini, Pak Paul. |
PG | : | Betul. |
GS | : | Karena kalau tidak maka panutannya bisa berubah-ubah. |
PG | : | Benar, itu kadang yang terjadi sebab ada orang-orang yang membandingkan dirinya dengan orang lain, "Kamu harus menjadi seperti dia dan dia lihai, dia dagang dengan begitu hebat dan cepat bisa besar sekarang" meskipun cara-caranya tidak sehat dan cara-caranya salah di mata Tuhan karena kita tidak ingat dan tidak peduli dengan standart Tuhan maka yang kita gunakan adalah tolok ukur manusia itu. Memang kita harus ingat tolok ukur kita bukanlah standart manusia, bukanlah standart dunia tapi standart Tuhan sendiri. |
GS | : | Dan memang orang bisa tersinggung ketika dibandingkan dengan orang lain tapi kalau pembandingnya adalah Tuhan memang sulit orang akan berkelit di sana, Pak Paul. |
PG | : | Tapi kalau kita mau mengakui bahwa orang yang makin serupa dengan Tuhan menjadi orang yang lebih berpengaruh di dalam dunia ini. Sebagai contoh saya masih mengingat waktu Ibu Teresa meninggal dunia di Calcuta, di India begitu banyak orang yang bersimpati dan kemudian beritanya masuk disiarkan dan dibahas dimana-mana padahalnya kalau kita pikir-pikir siapakah Ibu Teresa ? Dia hanyalah seorang wanita kecil yang renta yang mengurus orang yang dibuang oleh masyarakat. Tapi lewat cinta kasihnya dan pengorbanannya, orang ditolong dan orang seperti dialah yang memang memberi dampak pengaruh yang besar karena orang melihat inilah orang yang lebih menyerupai Tuhan dibandingkan kita-kita ini. |
GS | : | Masih ada hal lain yang harus kita perhatikan, Pak Paul ? |
PG | : | Yang terakhir kita harus bersabar sebab perubahan memerlukan waktu dan situasi tertentu. Adakalanya kita berubah dengan mudah tapi kadang kita membutuhkan waktu dan situasi tertentu untuk berubah. Ada kelemahan yang dapat dengan mudah kita sadari namun ada kelemahan yang sukar kita sadari akhirnya kita baru melek mata tatkala kita mengalami situasi tertentu. Lewat pergumulan seperti ini kita diingatkan bahwa ada banyak hal yang berada di luar kendali kita, kita bisa mengingatkan tapi kita tidak bisa membuat orang mengingat, ini penting. Kita bisa mengingatkan tapi kita tidak bisa membuat orang mengingat, kita dapat menunjukkan kelemahan namun kita tidak dapat membuat orang menyadari kelemahannya. Itu sebabnya kita harus datang kepada Tuhan Yesus dan merendahkan diri serta mengakui keterbatasan kita, kita harus memohon pertolongan-Nya sehingga dengan cara-Nya dan dalam waktu-Nya, perubahan karakter dapat terjadi. |
GS | : | Panjangnya waktu, memang kita menyadari bahwa ini membutuhkan waktu tapi kalau sampai berlarut-larut dan pasangan tidak berubah, apakah itu berarti cara kita menajamkan ini salah atau memang sudah tidak bisa berubah lagi, Pak Paul ? |
PG | : | Kita sudah tentu perlu introspeksi apakah cara yang kita gunakan adalah cara yang tepat tapi di pihak lain kita harus mengakui bahwa ada hal-hal tentang karakter orang yang memang sukar berubah, akan memakan waktu yang sangat lama atau bisa juga sampai dia meninggal, dia tidak mau berubah. Tapi yang membuat karakter itu tidak berubah, bukan karena sebetulnya tidak bisa berubah, tapi orang itu memang pada akhirnya tidak mau berubah sebab saya meyakini kalau kita mau dan berserah kepada Tuhan, merendahkan diri kepada-Nya maka kuasa Tuhan akan sanggup mengubah kita, jikalau kita memang tetap tidak mau berubah maka Tuhan akan mendiamkan. Sama seperti contoh ada Yudas meskipun 3 tahun bersama Tuhan, Tuhan ingatkan dia dan tetap saja dia memilih jalannya tidak mau berubah. Seperti Raja Saul berkali-kali diingatkan Tuhan tapi tidak mau sadar, pada akhirnya Tuhan membiarkan dia berjalan dalam jalannya sendiri. Jadi kalau kita masih mau, saya percaya kita akan dapat berubah. |
GS | : | Dan masalahnya adalah makin bertambah usia kita, maka makin sulit pasangan atau diri kita sendiri mengubah karakter-karakter buruk yang ada di dalam diri kita. |
PG | : | Betul dan harus saya akui bahwa kalau kita kebetulan memunyai banyak karakter buruk, kadang itu makin melemahkan motivasi kita untuk berubah sebab kita berpikir, "Kenapa saya lagi, kenapa kelemahan saya lagi" dan kita dalam hati kecil mengakui, "Memang ini adalah masalah saya". Tapi karena kebanyakan akhirnya kita juga sudah malas untuk mengubahnya. Jikalau itulah kondisinya maka jangan lupa bahwa kita berubah lewat satu perubahan demi satu perubahan, satu hal lewat satu hal. |
GS | : | Dan memang itu membutuhkan pengorbanan yang luar biasa kadang-kadang. |
PG | : | Betul. |
GS | : | Pak Paul, apakah ada ayat firman Tuhan yang ingin Pak Paul bagikan sehubungan dengan perbincangan ini ? |
PG | : | Mazmur 126:5-6 mengingatkan, "Orang-orang yang menabur dengan mencucurkan air mata, akan menuai dengan bersorak-sorai. Orang yang berjalan maju dengan menangis sambil menabur benih, pasti pulang dengan sorak-sorai sambil membawa berkas-berkasnya." Menajamkan karakter pasangan dapat diibaratkan dengan upaya menabur benih, kadang kita harus mencucurkan air mata namun jika kita tidak menyerah maka suatu hari kelak kita akan menuai hasilnya. |
GS | : | Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan ini. Para pendengar sekalian, kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Saling Menajamkan" bagian yang kedua dan yang terakhir. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telagatelaga.org kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang. |