Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi,
di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur
Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen
dan kali ini saya bersama Ibu Dientje Laluyan, kami akan berbincang-bincang
dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang
konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan
kami kali ini tentang "Remaja dan Iman". Kami percaya acara ini pasti
bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat
mengikuti.
DL : Pak Paul, saya ingin bertanya bagaimanakah seorang remaja dapat
sampai pada iman kepercayaan yang diajarkan orang tuanya kepada mereka ?
PG : Bu Dientje, memang salah satu misteri dalam hidup adalah
bagaimanakah seseorang itu bisa sampai kepada iman kepercayaannya sebagai
pengikut Tuhan kita Yesus Kristus, kita berusaha menaati perintah Tuhan yang
dititipkan di Kitab Ulangan 6:6 yang berkata, "Apa yang
kuperintahkan kepadamu pada hari ini haruslah engkau perhatikan, haruslah
engkau mengajarkannya berulang-ulang kepada anak-anakmu". Nah, inilah
yang Tuhan telah titipkan kepada kita dan kita mencoba untuk menaatinya namun
pada kenyataannya kita hanya dapat mengusahakannya. Apakah dan bagaimanakah
anak akhirnya memeluk iman kepercayaan kita tidaklah sepenuhnya berada dalam
kendali kita. Marilah kita melihat hal ini dengan lebih seksama supaya kita
bisa memahami apa yang sebenarnya terjadi sampai seseorang terutama anak remaja
kita itu bisa sampai kepada iman kepercayaannya.
GS : Masalahnya kadang-kadang pada masa anak-anak mereka mengikut
saja, Pak Paul, dengan orang tuanya diberitahu, diajarkan dan sebagainya tetapi
baru kelihatan setelah anak itu remaja. Apakah memang hal ini sering terjadi
seperti itu dan umum ?
PG : Sangat umum, jadi kebanyakan memang anak-anak itu mulai
mempertanyakan iman kepercayaannya di usia remaja. Kalau misalkan si anak
mendapatkan kejelasan dalam perjalanan imannya, dia akan terus mengikuti tapi
misalkan dalam masa itu dia mengalami goncangan-goncangan tertentu atau juga
mendapatkan pengaruh-pengaruh lain bisa saja pada saat remaja lah si anak mulai
berontak dan akhirnya menolak iman kepercayaan orang tuanya.
GS : Tetapi memang perintah Tuhan yang ada di Ulangan 6:6 harus
dilakukan ketika anak itu masih kecil, sedini mungkin maksudnya, Pak Paul.
PG : Betul sekali jadi bukanlah dalam pengertian secara formal kita
mengajak anak-anak tentang Tuhan tetapi dalam konteks hidup yang lebih apa
adanya. Jadikanlah firman Tuhan itu bagian hidup kita dan secara terencana
bagikanlah kepada anak-anak. Biarlah anak-anak mengerti dan mendengar tentang
siapakah Tuhan yang kita percayai itu.
GS : Bahkan ada orang tua yang mengajak bayi yang dikandungnya
berdoa, Pak Paul, apakah hal itu perlu dilakukan seperti itu ?
PG : Mendoakan bayi sudah tentu baik dan perlu jadi kita meminta agar
Tuhan menyertai anak kita, memberikan kepadanya kesehatan dan tuntunan dalam
hidupnya. Sudah tentu itu baik sekali.
GS : Tetapi masalahnya yang tadi Pak Paul katakan, itu tidak semua
dalam kendali kita. Ada hal-hal lain yang memengaruhi, apa saja, Pak Paul ?
PG : Jadi ada beberapa hal yang kita mesti sadari sehingga dalam kita
mencoba untuk mengenalkan anak kita kepada Tuhan kita Yesus Kristus, kita bisa
juga mengerti prosesnya. Sebab kadang kala karena kita kurang memahami
prosesnya akhirnya terjadilah salah langkah, bukannya hasil yang kita harapkan
yang kita dapatkan justru kebalikannya. Yang pertama yang kita mesti sadari
adalah pada kenyataannya kita tidak mewariskan iman. Kita hanya dapat
mengajarkan tentang iman, memang dalam pembicaraan atau mungkin sering juga
dalam khotbah kita mendengar istilah kita wariskan iman kita kepada anak-anak,
biarlah anak-anak kita mewarisi iman kepercayaan kita tetapi sebetulnya tidak
bisa kita mewariskan iman. Itu sebabnya firman Tuhan yang baru saja kita baca
di Kitab Ulangan 6:6, "Apa yang kuperintahkan kepadamu pada hari
ini haruslah engkau perhatikan, haruslah engkau mengajarkannya berulang-ulang
kepada anak-anakmu". Tuhan tidak berkata mewariskan melainkan mengajarkan.
Mengapa tidak bisa mewariskan iman ? Sebab iman itu keluar dari dalam diri
bukan datang atau disuntikkan dari luar, iman adalah respons terhadap apa yang
dialami oleh seseorang dalam hal ini pengalaman yang berhubungan dengan Tuhan.
Jadi anak tidak dapat mewarisi iman orang tuanya, ini bukan masalah seperti
mewarisi harta, mewarisi buku dari orang tua kita yang memang kita bisa terima,
tapi iman tidak bisa. Iman bukan kita import dari luar dan dimasukkan ke dalam
diri kita. Pengetahuan dapat kita terima tetapi iman tidak bisa, anak
sendirilah yang harus memberikan respons terhadap penyataan dan perbuatan Tuhan
dalam hidupnya. Tugas kita sebagai orang tua hanyalah mengajarkan tentang Tuhan
kita Yesus Kristus lewat firman-Nya dan pengalaman hidup agar anak mengenal
Tuhan. Sekali lagi tugas kita adalah membawanya kepada Tuhan, tetapi apakah
pada akhirnya dia akan memberi respons iman kepada Tuhan, itu adalah keputusan
pribadinya sendiri.
GS : Dengan mengajarkan berulang-ulang sebenarnya orang tua sedang
mentransfer apa yang dia miliki, memang tidak bisa diwariskan seperti sebuah
benda yang diserahkan kepada anak itu, tetapi pengertian tentang iman bisa
ditransfer, Pak Paul ?
PG : Sebenarnya yang ditransfer pengetahuannya tetapi apakah anak itu
nantinya akan memiliki iman, itu soal kedua dan sebelumnya kita juga akan
memiliki iman, apakah anak itu akan memercayai yang kita katakan dan
menyetujuinya, itu juga sebetulnya sudah di luar kendali kita.
DL : Jadi kita harus mendoakan agar apa yang kita ajarkan betul-betul
bisa diterimanya.
PG : Betul, jadi memang kita menyadari bahwa kita sangat terbatas.
Kita tidak bisa mentransfer iman, menumbuhkan atau menciptakan iman pada diri
anak-anak kita meskipun itulah kerinduan hati kita tetapi memang tidak bisa.
GS : Di sana yang dikatakan Kitab Suci bahwa iman itu adalah suatu
anugerah dari Tuhan, pemberian dari Tuhan jadi kalau benih itu sudah diberikan
oleh Tuhan maka tanggungjawab kita sebagai orang tua untuk menyirami dan
memupuk supaya iman itu terus bertumbuh, Pak Paul.
PG : Tetapi bagaimanakah bertumbuhnya, prosesnya pertemuan itu
mengapa dia bertumbuh, itu di luar jangkauan kita.
GS : Itu yang Rasul Paulus katakan, Tuhan yang menumbuhkan, kita
hanya bisa menyiram, kita bisa menanam tetapi Allah yang menumbuhkan. Termasuk
iman di dalam diri anak-anak ini, Pak Paul. Tetapi kita sebagai orang tua tidak
bisa membiarkan anak itu memilih imannya sendiri karena ada kecenderungan yang
lain, orang tua tidak mau mengajarkan berulang-ulang seperti ini dengan alasan
nanti kalau besar biarkan memilih sendiri. Tanggapan yang seperti itu menurut
Pak Paul bagaimana ?
PG : Kita bertanggungjawab menaati perintah Tuhan dan dengan jelas
firman Tuhan memang memberikan perintah itu kepada kita agar kita
mengajarkannya berulang-ulang kepada anak-anak kita. Apa yang harus kita
ajarkan yaitu apa yang Tuhan telah perintahkan lewat firman-Nya, tentang
siapakah Tuhan, tentang apakah kehendak Tuhan, semua itu yang kita harus
ajarkan kepada anak-anak kita. Jadi kalau kita berkata, "Biar anak kita pilih
sendiri" saya kira kita nomor satu sudah bersalah karena kita tidak menaati
perintah Tuhan yang meminta kita untuk mengajarkannya berulang-ulang kepada
anak-anak kita.
GS : Atau menyerahkan pengajaran itu kepada pihak lain misalnya guru
Sekolah Minggu atau guru di sekolahnya tetapi orang tua sendiri sebagai yang
bertanggungjawab, lepas tangan, Pak Paul.
PG : Ini disayangkan karena guru pertama yang anak kenal adalah orang
tua, maka Tuhan memberikan tugas pertama-tama kepada orang tua, karena orang
tua menempati posisi paling strategis dalam kehidupan anak. Belum ada yang
menyentuh hidup anak sedekat itu dan terlibat dalam kehidupan anak seaktif itu,
selain orang tua. Benar-benar yang memang berkesempatan untuk bisa membagikan
pengetahuan tentang Tuhan itu adalah orang tua.
GS : Mungkin ada hal lain, Pak Paul, yang memengaruhi mengapa kita
tidak bisa mewariskan iman kita ?
PG : Yang kedua, iman itu mengandung 2 unsur; pertama, unsur percaya
kepada apa yang diajarkan misalkan orang tua berkata kepada anak, "Tuhan itu
Maha Pengasih". Anak mendengar perkataan tersebut, yang pertama yang harus
dilakukan adalah menimbang apakah ia akan memercayai perkataan tersebut. Jadi
iman berawal dari percaya atau tidak kepada apa yang telah diajarkan. Yang
kedua adalah unsur berserah kepada pemeliharaan dan kehendak Tuhan. Satu hal
kita berkata, "Oke, saya percaya Tuhan itu Maha Pengasih" tetapi dalam
kehidupan kita sehari-hari kita tidak memercayai dalam pengertian kita tidak
menyerahkan hidup kita pada tangan pemeliharaan Tuhan yang kita yakini penuh
kasih, sebab kita memunyai anggapan, "Oh, Tuhan itu sebetulnya bisa
meninggalkan kita, membiarkan kita hidup sembarangan akhirnya kita rusak
hidupnya atau melarat hidupnya". Apakah kita sungguh-sungguh akan menyerahkan
hidup kita sepenuhnya kepada Tuhan, itu soal kedua. Iman memunyai 2 dimensi
itu. Anak sudah tentu tidak mungkin percaya bila tidak mengetahui siapakah Tuhan.
Itu sebabnya tugas kitalah mengajarkannya kepadanya tentang Tuhan dan
keselamatannya dalam Yesus Kristus. Namun apakah dia memercayai apa yang
diajarkan, itu di luar jangkauan kita. Setelah anak memercayai, anak juga harus
naik ke tahapan berikut yaitu berserah. Anak mesti secara pribadi menyerahkan
hidup dan kehendaknya kepada Tuhan. Dengan perkataan lain, satu hal kita
memercayai tentang Tuhan, hal lain kita memercayakan hidup kita sepenuhnya
kepada Dia. Masalahnya adalah untuk sampai pada tahap penyerahan diperlukan
proses yang kadang panjang, adakalanya kita sebagai orang tua tidak sabar, anak
sudah cukup mengetahui tentang Tuhan tetapi tidak kunjung menyerahkan segenap
hidupnya kepada Tuhan sebab ternyata penyerahan membutuhkan waktu dan situasi
tertentu. Dengan perkataan lain, pengalaman pribadi si anak itu sendiri
memainkan peran besar dalam keputusannya menyerahkan hidup pada pemeliharaan
dan kehendak Tuhan.
DL : Pak Paul, kalau anak itu hanya memiliki pengalaman pribadi
dengan Tuhan waktu masih kecil, pada waktu dia sakit didoakan kemudian sembuh.
Tapi setelah remaja dia kurang mengalami pengalaman pribadi dengan Tuhan dan
imannya labil, kapan dia bisa mengalami pengalaman iman ?
PG : Memang kita tidak bisa menciptakan pengalaman itu, jadi dalam hal
ini kita hanya bisa terus mendoakan agar dia akhirnya harus berjumpa dengan
Tuhan lewat pengalaman pribadinya. Saya melihat ada orang yang ikut saja tetapi
tidak pernah memunyai sungguh-sungguh pengalaman pribadi, benar-benar berjumpa
dengan Tuhan, benar-benar menyerahkan hidupnya kepada Tuhan. Meskipun dari luar
tampaknya Oke-Oke saja, tetapi sesungguhnya fondasinya agak kurang kuat, Bu
Dientje. Justru yang kuat adalah anak-anak yang mungkin saja di awalnya
mempertanyakan, tidak sepenuhnya bisa percaya tapi kemudian pada suatu ketika
mengalami perjumpaan pribadi dengan Tuhan lewat kehidupannya, itu benar-benar
mengubah hidupnya dan bahkan meletakkan dasar yang kuat dalam dirinya untuk
terus ikut Tuhan.
GS : Memang langkah pertama yang bisa kita pantau dalam diri anak itu
adalah percaya itu tadi, Pak Paul, karena ini merupakan satu kesatuan yang
tidak bisa dipisahkan antara percaya dan berserah. Orang tidak mungkin berserah
kalau ia tidak percaya dan orang yang percaya sudah pasti berserah, begitu Pak
Paul.
PG : Percaya pada apa yang diajarkan itu tahap pertama dan mungkin
meskipun bisa panjang namun itu lebih bisa dikendalikan, lebih bisa diusahakan.
Misalkan kita menjelaskan kepada anak bahwa "kalau kamu mengalami kesulitan
jangan sampai ragu, datang kepada Tuhan, Dia pasti mendengar doamu dan
menolongmu". Mungkin saja anak mendengar hal itu, dia percaya, "OK, Tuhan itu
seperti yang digambarkan oleh orang tuanya akan siap menolong dia", namun pada
saat dia benar-benar berhadapan dengan situasi di mana dia harus memilih antara
mengusahakan dengan kepandaian, kecakapannya sendiri atau mempercayakannya
kepada pemeliharaan Tuhan, di situlah baru ia harus mengalami ujian. Apakah dia
benar-benar menyerahkan hidupnya kepada Tuhan ? Anak-anak yang tidak melewati hal-hal
ini atau melewati lalu memilih tidak memercayai Tuhan, pada akhirnya
kepercayaannya kepada Tuhan mulai luntur, itu kadang-kadang kita saksikan.
Anak-anak waktu masih kecil ikut saja, percaya saja, makin hari makin tidak
sebab besar kemungkinan waktu dia berhadapan dengan situasi di mana dia
semestinya berserah, dia memilih tidak. Semakin banyak dia memilih tidak
berserah, makin banyak ia menguras kepercayaan yang tadinya sudah ada dalam
hatinya.
GS : Memang di situ peran orang tua besar sekali, ketika kita melihat
bahwa anak kita hidup dalam pergumulan yang berat dan dia harus memilih seperti
itu sebenarnya peran orang tua adalah mengarahkan anak ini untuk hidup berserah
kepada Tuhan. Kalau tidak maka besar kemungkinan anak itu memilih jalannya
sendiri, mengatasi dengan caranya sendiri dan berhasil, sehingga dia merasa
bahwa dengan caranya sendiri dia berhasil. Dengan demikian dia mulai
mengabaikan Tuhan.
PG : Memang sekali lagi perlu kedekatan antara orang tua dan anak
sehingga orang tua bisa mengikuti perkembangan atau pergumulan iman anaknya.
Saya mengenal seseorang yang anaknya begitu ambisius padahal anak ini
dibesarkan dalam keluarga Kristen, diajarkan tentang Tuhan Yesus dan dibawa ke
Sekolah Minggu dan sebagainya, tetapi begitu sudah menginjak dewasa benar-benar
fokus hidupnya hanya pada satu yaitu uang dan saya kira, inilah saatnya si anak
mengambil keputusan tetapi dalam kondisi itu dia selalu mengambil keputusan
pokoknya kejar uang, kejar uang ! Kalau orang tua tidak terlibat dekat dan
terus mendorong anak untuk "jangan ya kamu terlalu mengejar, kamu harus
mengerem, kamu harus berserah bahwa Tuhan pasti akan mencukupi", kalau orang
tua tidak memberikan tanggapan-tanggapan itu memang betul tadi Pak Gunawan
berbicara, anak ini lama-lama makin hanyut.
GS : Apakah ada faktor lain, Pak Paul, yang membuat seorang anak atau
remaja itu sulit beriman ?
PG : Yang ketiga adalah ini, Pak Gunawan, kita harus menyadari bahwa
anak itu bukan tabung kosong yang pasif dan hanya menunggu untuk diisi, tidak demikian.
Anak itu memunyai kehendak dan pilihan, adakalanya ia memilih untuk merumuskan
dan akhirnya memilih iman kepercayaannya yang berbeda bahkan adakalanya anak
memilih untuk tidak memercayai apa pun. Semua ini memperlihatkan dan
mengingatkan kita bahwa anak adalah pribadi yang terpisah dari kita.
Keselamatan melalui Tuhan kita Yesus Kristus tidak diberikan per kelompok
tetapi pribadi lepas pribadi. Pada akhirnya anak sebagai pribadi yang utuh dan
terpisah harus mengambil keputusannya sendiri, dia menerima atau menolak.
Intinya sekali lagi saya ingin garisbawahi bahwa kita tidak bisa membuat anak
percaya kepada Tuhan kita Yesus Kristus, kita hanya dapat membawanya kepada
Tuhan kita Yesus Kristus.
DL : Bagaimana kalau anak itu memilih, tidak percaya apa pun, tidak
percaya siapa pun bahkan tidak ke gereja, apakah orang tua hanya mendoakan dia
karena diajak ke gereja tidak mau, lalu apa yang harus diperbuat orang tua
selain berdoa ?
PG : Sudah tentu anak yang memang sudah mengeraskan hati tidak akan
suka kalau orang tua terus memberitahukan dia "Kamu jangan begini, kamu harus
percaya", anak tidak akan suka, si anak malah akan memberontak. Jadi dalam
kondisi seperti itu yang terbaik kita memang harus berdoa untuk si anak, kita
mesti yakin Tuhan mendengarkan doa kita dan akan bekerja dalam hidup si anak.
Kedua, kita sendiri harus menjadi wakil Kristus yang tepat dalam hidupnya.
Jangan sampai anak itu melihat, mama atau papa hanya bisa suruh saya ke gereja,
tetapi lihat kehidupan papa mama sendiri memunyai kehidupan seperti itu. Kita
mesti menjadi saksi Tuhan yang mewakili Tuhan secara utuh dan tepat, supaya
anak-anak bisa berkata, "Orang tua saya hidup seperti ini, begitu baik begitu
rukun, penuh cinta kasih" sehingga dia tetap mengingat bahwa ini adalah hasil dari
iman orang tua saya kepada Tuhan, sehingga akhirnya hidupnya baik dan lurus.
Itu yang kedua. Yang ketiga adalah kalau ada kesempatan kita masih bisa berkata
sesuatu, katakanlah tetapi sesingkat mungkin misalnya dia sedang mengalami
suatu persoalan, "Nak aku akan doakan kamu ya supaya Tuhan menolong", kemudian
setop di situ. Kita tidak berkata kepadanya, "Kamu harus berdoa, jangan kamu
lalai berdoa". Atau "Kamu mengalami masalah karena kamu jauh dari Tuhan karena
itu sekarang Tuhan menghukum kamu", jangan, kata-kata seperti itu akan makin
membuat anak tawar tidak mau mendengarkan kita. Katakan dengan singkat, "Nak,
saya akan doakan kamu".
GS : Pak Paul, ada kejadian di mana anak di keluarga yang non-Kristen
tapi anak ini menjadi percaya kepada Tuhan Yesus entah karena di sekolah atau
di mana, tetapi anak ini percaya kepada Tuhan Yesus, bahkan mengajak orang
tuanya untuk percaya kepada Tuhan Yesus. Jadi terbalik yang terjadi.
PG : Benar-benar dalam hal-hal ini kita menyadari bahwa anak memang
pribadi yang terpisah, apa pun yang kita lakukan kalau memang pada akhirnya dia
memilih untuk menolak, kita juga susah untuk bisa terus merangkul dia. Tapi
kalau misalkan kehidupan kita yang bermasalah sehingga anak itu menolak, sudah
tentu itu yang kita coba untuk bereskan. Seperti tadi kata Pak Gunawan,
adakalanya justru ada anak yang dibesarkan dalam keluarga yang tidak mengenal
Tuhan kita Yesus Kristus tapi akhirnya dalam perkembangannya dia bisa mengenal
Tuhan dan bisa juga mengenalkan Tuhan Yesus kepada keluarganya pula.
GS : Berarti itu ada faktor dari luar rumah itu sendiri, Pak Paul ?
Bukan diajarkan oleh orang tuanya tetapi ada orang lain yang dipakai Tuhan
untuk membuat anak ini percaya kepada Tuhan Yesus.
PG : Sudah tentu sama seperti yang telah kita bicarakan, orang di
luar atau temannya hanya bisa membawanya kepada Tuhan, mengenalkannya tentang
siapakah Tuhan, tetapi apakah dia percaya atau tidak, mau ikut atau tidak sekali
lagi itu terserah dia juga.
DL : Pak Paul, kalau firman Tuhan mengatakan, "Percayalah akan Tuhan
Yesus maka seisi rumahmu akan selamat", itu kita percaya memang iman itu
anugerah, bisa satu keluarga bisa selamat, Pak Paul ? Maksud saya walaupun anak
ini keras tetapi pada saatnya dia akan dimenangkan, bisa begitu, Pak Paul ?
PG : Saya terus terang tidak berani mengatakan seperti itu sebab
tentang firman Tuhan yang tadi Ibu Dientje kutip, yang dikatakan oleh Paulus
kepada kepala penjara memang itu bukanlah janji yang berlaku untuk semuanya
sebab hanya ada itu kali saja diucapkan oleh Paulus, bukanlah sesuatu yang diajarkan
terus-menerus oleh Alkitab bahwa kalau satu orang percaya pasti semua akan
percaya, tidak demikian. Oleh karena itu Tuhan Yesus berkata, "Aku datang untuk
memisahkan ayah dari anaknya, ibu dari anaknya" artinya akan ada orang yang
menerima-Nya dalam satu keluarga itu, ada juga yang akan menolaknya sehingga
keluarga itu tidak lagi bisa sama-sama, karena yang satu akan memilih Tuhan
kita Yesus Kristus, yang satu lagi menolak. Itulah konsekwensi dari kedatangan
Tuhan Yesus, Dia tidak menjanjikan pastilah semuanya satu keluarga akan
mengenal dan menerima Dia. Dia berkata dengan jelas, "Dia datang membawa pedang
yang memisahkan anggota-anggota keluarga, karena pilihan untuk mengikut Yesus
seringkali menjadi pilihan yang memisahkan seseorang dari orang-orang lain.
Jadi yang Paulus katakan di situ, saya lebih percaya bahwa itu yang terjadi
pada keluarga kepala penjara itu, bukan berarti berlaku untuk semua orang.
Memang kalau itu harus terjadi pada keluarga kita sudah tentu akan menghancurkan
hati kita, tapi kita tidak akan berhenti berdoa, berharap sampai titik
terakhir.
GS : Pak Paul, memang kita berharap anak-anak kita beroleh anugerah
keselamatan melalui Tuhan Yesus, tetapi ini sesuatu hal di luar kendali kita
artinya kita tidak bisa mengendalikan sepenuhnya. Namun kesimpulan apa yang
ingin Pak Paul sampaikan kepada kita semua yang bisa menguatkan kita untuk
tetap mematuhi firman Tuhan dalam Ulangan 6:6 itu ?
PG : Tugas kita adalah mengajarkan anak tentang Tuhan lewat
firman-Nya, apa yang diajarkan kepada anak dapat diibaratkan seperti batu
fondasi, memang pada akhirnya anak dapat mengembangkan iman kepercayaan yang
berbeda namun jika kita telah meletakkan batu fondasi dengan benar, besar
kemungkinan anak akan membangun rumah imannya di atas batu fondasi tersebut.
Itulah yang mesti kita lakukan, meletakkan batu fondasi yang tepat sehingga
anak nanti lebih besar kemungkinannya akan membangun rumah iman di atas batu
fondasi tersebut.
GS : Dan itu dengan suatu cara mengajarkan berulang-ulang di dalam
setiap kesempatan. Kitab Ulangan mengatakan, dimana pun kita berada dan dengan
cara apa pun. Artinya harus ada usaha yang keras, Pak Paul ?
PG : Betul sekali.
GS : Terima kasih, Pak Paul untuk perbincangan
ini dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah
mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, dalam acara Telaga
(Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Remaja
dan Iman". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai
acara ini silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga
Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan
e-mail dengan alamat telaga@telaga.org kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org.
Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya
dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa
pada acara TELAGA yang akan datang.