Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi di mana pun Anda berada, Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Acara ini diselenggarakan oleh Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK bekerjasama dengan radio kesayangan Anda ini. Saya, Hendra, akan berbincang-bincang dengan Bapak Penginjil Sindunata Kurniawan, MK. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling keluarga. Perbincangan kami kali ini tentang topik "Menolong Pelaku Bulllying". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
H : Pak Sindu, bullying atau perundungan ini adalah sebuah topik yang sangat serius dan membutuhkan perhatian para orang tua sejak dini. Apa yang perlu orang tua perhatikan kalau anak adalah pelaku bullying, Pak ?
SK : Yang pertama, orang tua perlu menerima kenyataan bahwa memang anaknya adalah pelaku bullying. Jadi lebih mudah secara manusiawi kita sebagai orang tua akan menolak kenyataan. "Tidak, anakku baik-baik saja di rumah. Itu pasti fitnah. Pasti temannya yang memulai dan dia hanya membalas. Tidak mungkin! Anak saya anak yang baik." Pihak orang tua perlu berbesar hati. Secara alami pasti kaget. Tetapi di dalam kekagetan dan rasa ingin menyangkal ini, mari kita para orang tua untuk coba mengambil jarak. Karena apa yang dilaporkan oleh guru, ataupun kita mendengar informasi apalagi lebih dari satu orang, berarti itu sebuah kenyataan. Berilah diri kita untuk mengolah informasi ini sementara perasaan kita yang terluka, merasa harga diri terinjak, mari kita atasi dengan kita datang kepada Tuhan, "Tuhan ini aku. Aku marah, aku tidak terima. Tapi tolong aku beri hati yang lapang dan jernih, dan aku mau terima hati yang lapang dari Tuhan dan aku mau memproses dengan jernih informasi ini."
H : Tapi orang tua tidak pernah melihat gejala itu di rumah. Jadi kalau anaknya dikatakan membully orang lain, orang tua susah menerima kenyataan, karena di rumah anaknya baik-baik saja. Bagaimana, Pak ?
SK : Itu wajar. Di dalam proses itu ‘kan ada kalanya orang tua sangat sibuk sehingga waktu bersama anak sangat minim. Itu kemungkinan pertama. Yang kedua, karena kesibukan itu, pikiran orang tua tidak bisa fokus kepada anak walaupun sedang ada bersama-sama anak. Sehingga sebenarnya ada penampakan-penampakan secara kasat mata yang orang tua lihat, tetapi orang tua abaikan. "Ah, itu ‘kan hanya anak-anak. Itu hanya nakalnya anak-anak, tidak apa-apa ‘kan ?" Kemudian yang ketiga, anak bertumbuh semakin besar dia akan semakin cerdas di dalam bagaimana menyenangkan orang tua. Dia semacam bermuka dua di depan orang tua perilakunya baik, manis, menurut, tetapi di luar rumah dia akan menampilkan diri yang asli, yang brutal, kurang empati, atau diri yang menikmati bagaimana dia melakukan tindakan bullying pada teman-temannya. Sisi inilah yang perlu diberi ruang oleh orang tua, bahwa ada hal-hal yang bisa terluput dari perhatian orang tua.
H : Artinya orang tua jangan menutup mata dan mereka perlu obyektif karena ada kemungkinan-kemungkinan seperti itu ? Apa yang terlihat di rumah bisa jadi berbeda dengan yang terlihat di luar rumah.
SK : Betul, Pak Hendra. Kalau kita membicarakan hal ini, kita para orang tua perlu punya banyak mata dan telinga. Jadi kita perlu punya rekanan dengan guru anak kita di sekolah, rekanan dengan teman-teman anak kita itu, rekanan dengan tetangga atau dengan guru Sekolah Minggunya. Kita perlu dengar dan perlu melihat dari mata dan telinga mereka masing-masing, apakah anak yang saya kenali di rumah adalah anak yang sama di tempat-tempat yang berbeda. Dengan cara begitu kita tidak perlu terkaget-kaget bila tiba-tiba meletus kasus bullying, dilaporkan oleh pihak sekolah, oleh pihak orang tua teman anak kita itu, kita tidak perlu kaget karena kita sudah rajin menjalin relasi dan mengecek informasi bagaimana keberadaan anak kita di tempat-tempat yang berbeda itu.
H : Jadi orang tua jangan terlalu reaktif begitu mendapatkan laporan atau masukan-masukan bahwa anak kita menjadi pelaku bullying. Mereka seharusnya tidak reaktif dalam arti langsung menyangkal. Tetapi mereka perlu mengolah, karena ini bisa dicegah lebih awal lebih baik, demi kebaikan anak tersebut.
SK : Betul. Marilah ketika kita mendapatkan informasi tentang perilaku buruk anak kita, coba kita beri hati yang lapang. Mungkin kita kaget, tidak apa-apa. Tarik diri dulu, tarik nafas panjang selama beberapa menit kita coba tarik diri, berdiam diri datang kepada Tuhan atau ke sahabat kita, atau ke pasangan kita untuk curhat sampai emosi kita terasa lebih stabil dan kita mengolah informasi itu dengan kepala dingin.
H : Setelah bisa menerima kenyataan dengan kepala dingin, langkah berikutnya apa, Pak ?
SK : Langkah yang kedua, kita sebagai orang tua perlu bekerja sama dengan pihak sekolah dan konselor. Jadi pihak sekolah, bagaimana pun sangat tahu tentang anak kita. Katakan kalau 6 hari sekolah, berarti dari pagi sampai siang atau menjelang sore, anak kita ada di sana. Itu waktu yang panjang. Kasus bullying yang dilakukan anak kita pun mungkin bukan satu-satunya kasus yang pernah dihadapi oleh sekolah, sangat mungkin sudah pernah ada kasus-kasus lain yang dihadapi atau ditangani oleh pihak sekolah. Jadi mereka punya pengetahuan, punya cara. Mari bekerja sama dengan kepala sekolah, wali kelas, guru bimbingan konseling (BK), atau kalau itu terbatas, kita bisa mencari konselor di luar sekolah itu sebagai salah satu pendamping kita dalam menghadapi dan menangani kasus anak kita yang melakukan bullying itu.
H : Contoh langkah konkret bentuk kerja sama ini seperti apa, Pak ?
SK : Dalam hal ini kita bertanya data-data apa yang dimiliki oleh pihak sekolah. Informasinya seperti apa, kronologisnya seperti apa, apa yang dilakukan, siapa korbannya, apa yang terjadi pada korban itu, bagaimana respons anak kita waktu dipanggil sekolah. Jadi kita coba mencermati dari berbagai sisi, baik korban dan pelaku tersebut. Termasuk kita coba tanya sebagai orang tua, "Bapak, Ibu Guru, apa yang sebaiknya perlu kami lakukan dalam menghadapi situasi seperti ini ?" Coba dengarkan masukan-masukan mereka. Kalau kita merasakan pihak sekolah – guru atau kepala sekolah - berseberangan dengan kita atau kurang memberikan empati kepada kita, lebih menuntut dan mempermasalahkan sehingga kita merasa seorang diri, sangat baik bila kita mencari konselor di luar sekolah untuk mendukung kita dalam menghadapi proses ini.
H : Dan itu perlu ditanyakan kepada konselor atau pihak sekolah itu ya. Jadi saya harus melakukan apa di rumah, harus bagaimana mendampingi anak saya dan sebagainya. Begitu ?
SK : Betul. Termasuk kerja sama dengan pihak sekolah di antaranya kita bisa mendatangi anak-anak yang menjadi korban bullying anak kita. Kita temui mereka, kita bisa klarifikasi apa yang terjadi, kemudian kita sebagai orang tua bisa turut meminta maaf atas apa yang dilakukan anak kita atau kita menemui orang tua dari anak-anak korban bullying anak kita, meminta maaf atau mendengar jika mereka keberatan dan mengajukan tuntutan-tuntutan tertentu, kita coba dengar dan akomodasi. Bagaimanapun kita menanggung kesalahan anak kita dan jangan bersikap reaktif, melarikan diri dengan cara seperti, "Saya bayar ! Ibu mau uang berapa ? Saya mampu, kok. Tidak apa-apa. Ayo tutup kasus." Jangan ! Atau "Sudah ayo kemasi barang-barangmu. Kita pindah sekolah! Cari saja sekolah lain di luar kota, di luar negeri. Ini memang sekolah yang tidak baik ya sampai kamu dipersalahkan. Ini ‘kan hal kecil !" Tindakan itu bagaikan menyimpan bom waktu, Pak Hendra. Artinya, masalah itu belum terurai dengan jelas dan belum terselesaikan dengan baik. Kita tergesa-gesa menutup masalah itu tanpa menyadari kita sedang memperbesar masalah itu di sekolah yang lain, di kota yang lain, di tempat yang lain. Anak kita tidak belajar dari apa yang telah terjadi dan itu sangat fatal. Marilah jadikan pilihan untuk pindah sekolah, pindah kota, pindah negara itu sebagai pilihan yang sangat terakhir. Lebih baik bertahan hadapi. Itu juga baik untuk anak kita, supaya ada proses pembelajaran dan pendewasaan.
H : Jadi anak kita jangan seolah-olah dimudahkan. Begitu dia bersalah langsung instan selesai.
SK : Betul.
H : Kadang kita sebagai orang tua juga bertanya-tanya apa yang menyebabkan anak kita bisa sampai menjadi pelaku bullying. Kita juga ingin tahu faktor-faktor penyebabnya.
SK : Betul, Pak Hendra. Dalam hal ini memang langkah yang ketiga adalah sebagai orang tua, kita perlu mengenali faktor-faktor penyebabnya sehingga anak kita melakukan bullying dan kemudian sekaligus kita buat langkah-langkah pembaharuan konkret bagi anak kita, termasuk bagi kita sebagai orang tua. Dan bicara tentang faktor-faktor penyebab, ada banyak kemungkinannya. Saya akan paparkan satu per satu sambil kita diskusikan. Salah satunya adalah mungkin kita sebagai orang tua memang melakukan kekerasan atau bullying terhadap pasangan kita, baik itu kekerasan fisik ataupun kekerasan verbal berupa kata-kata. Atau mungkin gurauan-gurauan kita kepada pasangan adalah gurauan yang sebenarnya bernada kasar, melecehkan atau merendahkan. Sehingga tontonan menjadi tuntunan. Anak kita melihat kita sebagai suami istri melakukan hal-hal yang akhirnya memberikan keteladanan anak untuk "tidak apa-apa melakukan bullying. Itu ‘kan umum." Dari keluarga dibawa ke sekolah dan pergaulan di masyarakat.
H : Jadi apa yang dilihat oleh anak di rumah itu akhirnya menuntun dia melakukan hal serupa ?
SK : Iya, betul.
H : Itu salah satu faktornya. Ada faktor yang lain ?
SK : Faktor kedua adalah mungkin anak kita adalah korban kekerasan dari kita sebagai orang tua. Bisa kekerasan fisik yang kita lakukan terhadapnya, misalnya memukul, mencubit, menjewer, menendang. Atau kita mengata-ngatai dengan kata-kata, "Bodoh kamu! Kamu ini lambat, pemalas!" kata-kata yang menghancurkan harga dirinya. Jadi kita sendiri melakukan bullying dan kekerasan kepada anak kita sehingga anak kita punya luka-luka, kepahitan, akhirnya melihat bagaimana dia menjadi korban sehingga dia menjadi pelaku di tempat yang lain saat dia menghadapi orang yang lebih lemah, lebih muda, yang kekuasaannya lebih kecil darinya. Akhirnya dia melakukan. Di rumah dengan posisinya yang kecil dan lemah, dia menjadi korban kita yang lebih dewasa dan berkuasa. Ada mata rantai kekerasan yang dilanjutkan oleh anak kita.
H : Jadi boleh saya simpulkan seperti ini ? Misalnya untuk dua penyebab pertama ini yaitu adanya kekerasan "bullying" di rumah baik oleh orang tua – papa ke mama atau mama ke papa - atau oleh orang tua ke anak. Dan langkah pembaharuannya adalah mereka harus menghentikan itu. Mereka harus memutuskan mata rantai itu.
SK : Iya, dalam hal ini, orang tua tidak boleh tutup mata dan tutup hati. Carilah pertolongan ke konselor. Ini bukan sekadar butuh nasehat. Saya yakin nasehat tidak bisa menyelesaikan, karena ini sudah dataran emosi spiritual. Butuh konseling mendalam. Orang tua perlu dilayani oleh konselor, mengenali rekam jejak kehidupannya, luka-luka yang dia alami. Sangat mungkin dan sangat manusiawi bahwa orang tua yang demikian juga adalah korban kekerasan dari orang tuanya dulu ketika dia kanak-kanak. Jadi dia membawa luka emosi spiritual ini menjadi pola kepribadiannya menjadi kepribadian pelaku bullying atau pelaku kekerasan dan anaklah yang jadi korbannya. Dalam hal ini, perlu dijalani proses konseling yang mendalam, bersentuhan dengan situasi emosinya di masa lalu, situasi kehidupan rohani di masa lalu dan bagaimana dia mengakui, melepaskan, beban itu kepada Kristus dan menerima pembaharuan dari Tuhan. Sambil dia melatih pola-pola yang baru dalam mendisiplin anak, dalam berkomunikasi dengan tanpa melakukan kekerasan atau bullying kepada anak.
H : Selain mata rantai kekerasan di rumah, saya juga melihat, kelihatannya ketika seseorang melakukan bullying terhadap orang lain atau terhadap temannya di sekolah, dia merasa berkuasa dan superior di atas temannya.
SK : Betul. Memang itu adalah kebutuhan anak. Setiap kita manusia, termasuk anak-anak, sudah diciptakan Tuhan dengan kebutuhan rasa berharga. Rasa berkuasa, rasa memiliki diri yang berharga. Ketika orang tua tidak memberikan penghargaan yang sehat kepada anaknya, maka anak itu mencari penghargaan dengan cara-cara yang keliru dan destruktif atau merusak, termasuk dengan perilaku bullying.
H : Apa langkah konkret mengatasi dorongan untuk berkuasa seperti itu, salah satunya apa, Pak ?
SK : Tadi saya paparkan soal orang tua perlu dikonseling ya. Sejalan dengan itu, anak juga perlu dikonseling. Berarti anak juga sudah punya luka sehingga dia juga perlu dikonseling secara mendalam oleh seorang konselor yang berkompeten untuk mengenali lukanya. Dia juga menjalani proses seperti orang tuanya, menyerahkan luka itu satu per satu kepada Kristus dan menerima pembaharuan hati secara emosi dan secara spiritual, termasuk rasa keberhargaan yang terinjak mungkin oleh orang tuanya. Dia perlu memberikan langkah pengampunan bagi orang tua dan bagi siapa pun yang pernah menginjak. Dengan dia mengampuni, dia juga perlu dibimbing mengakui dosa perilaku kekerasan yang telah dilakukan. Mengaku dosa kepada Tuhan untuk menerima pembaharuan hati. Dengan cara pembersihan hati, berarti akan ada ruang yang kosong untuk diisi oleh kebenaran Allah, kasih Allah dan kemurahan hati Allah untuk menjadi bagian dari dirinya. Sejalan dengan itu orang tua perlu belajar pola yang baru bagaimana menanamkan penghargaan diri yang sehat kepada anaknya, kasih sayang kepada anaknya secara sehat dan itu pasti tidak mudah, tidak bisa instan. Maka orang tua juga butuh bimbingan. Kalau boleh dikatakan, orang tua dan anak ini perlu menjalani terapi keluarga.
H : Seiring proses tersebut, anak juga perlu dibekali bagaimana mengembangkan rasa empatinya ya, Pak ?
SK : Betul. Jadi tanpa disadari, orang tua tidak mengembangkan sisi empati. Akhirnya hati anak kosong, nuraninya tumpul. Anak pun perlu dipulihkan. Selain dari luka-luka yang diproses tadi, perlu juga orang tua didampingi konselor mengembangkan kurikulum pengasahan empati.
H : Contohnya seperti apa ?
SK : Misalnya anak diajar untuk berbuat baik, "Coba kamu beri uang ke pengemis ini. Ini hari ulang tahunmu, biasanya kamu mendapat hadiah. Boleh tidak kali ini kamu pilihkan hadiah lalu berikan ke anak di Panti Asuhan ?" dan dia memberikan langsung. Dan setelah pulang dari Panti Asuhan itu kita bahas, "Apa respons anak Panti Asuhan saat menerima hadiah darimu ? Apa yang kamu rasakan ?" Nah itu pengasahan empati. Atau mungkin menyaksikan sebuah film, kemudian dibahas film-film tentang kebaikan atau yang ada adegan-adegan bullying. Kita ajak dia membahas, sebagai korban di film itu seperti apa, yang jadi pelaku seperti apa. Dari sudut-sudut yang berbeda, kita membangkitkan perspektif anak termasuk segi oleh rasa dan olah batinnya.
H : Termasuk acara-acara komedi di TV ya, Pak ? Banyak kali, konteksnya hiburan, lawakan, gurauan, tapi ada unsur-unsur bullying juga.
SK : Betul, saya setuju. Itu boleh ditonton dan dibahas sisi buruknya apa. Berkaitan dengan itu, orang tua perlu mengecek media-media itu. Apakah selama ini sang anak menjalani kehidupan media yang tanpa batas. Artinya film-film, games mungkin mengandung kekerasan dan pola-pola bullying. Orang tua perlu mengkaji kembali apa yang ditonton, apa yang diterima dari media oleh anak kita itu. Karena "garbage in, garbage out". Kalau yang masuk adalah pola-pola kekerasaan atau bullying, maka diapun bisa jadi pelakunya.
H : Termasuk sampai di suatu titik kalau anak itu mulai merasa bersalah, dia juga harus ditolong untuk mengungkapkan rasa bersalahnya dan meminta maaf kepada para korbannya ya, Pak ?
SK : Betul. Dalam hal ini, orang tua jangan buru-buru memaksa, "Ayo cepat minta maaf. Awas kalau tidak minta maaf, papa hukum kamu !" Anak tidak merasa melakukan, karena terpaksa saja dia meminta maaf. Ajak anak untuk menyadari kesalahannya, merasakannya, kemudian diajak meminta maaf dengan tulus kepada korban atau orang tua korban itu. Dengan begitu dia terkoneksi dengan perasaannya itu. Dan dia akhirnya lebih mudah untuk tidak melakukan karena dia mulai bisa merasakan apa yang dirasakan korban. Seringkali perilaku bullying dilakukan karena dia tidak bisa merasakan apa yang dirasakan korban, atau dia tidak bisa berempati itu.
H : Terkait tentang faktor penyebab ini, orang tua mungkin bertanya-tanya kenapa banyak sekali anak-anak yang melakukan bullying di usia sekolah ? Sebenarnya apa pengaruhnya yang membuat mereka sangat berpotensi besar melakukan bullying di masa sekolah ?
SK : Salah satunya, masa anak adalah masa kebutuhan yang besar akan kasih, rasa bermakna, melakukan hal-hal yang memberikan rasa senang. Sebenarnya itu tanggung jawab dan tugas yang Allah berikan kepada orang tua. Kasih sayang, bermain, bercanda dengan orang tua secara sehat. Sisi-sisi ketika orang tua sangat sibuk, tidak memberi ruang yang nyaman dan leluasa bagi anak, tidak menciptakan kebersamaan yang hangat dengan anak; menimbulkan rasa kesepian dan kebosanan anak, inilah yang melahirkan anak untuk mencari kepuasan dan kenikmatan, rasa relaks dengan cara-cara kekerasan, cara-cara gurauan yang tidak sehat dan akhirnya menjadi pelaku bullying. Disamping itu kita perlu menyadari situasi di Indonesia, beban studi anak-anak kita tambah berat, dibandingkan dulu tahun 70 atau 80-an, sebenarnya bebannya tambah banyak dan memang dunia ini semakin kompetitif. Anak mengalami stres. Stres pelajaran sekolah, stres kemacetan jalan raya di kota-kota besar, stres karena orang tua terlalu sibuk dan suka bertengkar di rumah. Akhirnya rasa stres ini dilampiaskan dengan cara dia menjadi pelaku kekerasan. Dalam hal ini juga, orang tua perlu menciptakan oase-oase jiwa. Janganlah hanya sekadar berani membawa ke gereja atau Sekolah Minggu, tapi ciptakanlah rumah Allah di rumah kita sendiri, suasana surgawi hadir dalam relasi orang tua dan anak termasuk ketika anak di rumah.
H : Jadi mereka menggunakan bullying sebagai wadah untuk refreshing dan penyaluran stres ?
SK : Tepat ! Kalau dalam bentuk yang lain, refreshing dalam bentuk game online, gadget dengan kekerasan. Akhirnya tidak puas karena hanya secara virtual. Akhirnya secara dibuat nyata, anak orang lain atau temannya yang lebih lemah dijadikan korban. Ada mata rantai ya, dan ada asal muasalnya. Ini yang perlu diisi orang tua. Dalam hal ini memang akhirnya sekolah pun perlu merancang dan mengkaji ulang. Kalau bullying bukan haya satu kasus namun beberapa kasus, bahkan dari angkatan demi angkatan siswa melakukan bullying, maka ini bukan hanya kasus, tapi sebuah fenomena gejala umum dari sekolah ini. Maka sekolah harus mengambil langkah radikal untuk berani mengkaji pola pendidikan, pola relasi guru-anak dan aktivitas di sekolah, bagaimana menciptakan suasana yang kondusif, bagi lahirnya relasi yang saling menghormati, relasi kasih sayang dan bukan relasi kebencian atau kekerasan.
H : Biasanya mereka yang melakukan bullying di sekolah itu berkelompok terhadap korban yang jumlahnya lebih sedikit atau minoritas. Bagaimana pandangan Bapak, mengapa bisa seperti itu ?
SK : Ini memang rasa solidaritas, penerimaan. Anak butuh teman. Apalagi di masa SMP dan SMA, rasa solidaritas itu semakin menguat. Karena dengan identitas kelompok, membangun identitas diri. Khususnya bagi remaja. Anak juga perlu penerimaan sosial. Maka sebenarnya fondasinya kembali kepada penerimaan orang tua. Kalau orang tua memberikan penerimaan kepada anaknya secara sehat dan juga sekaligus menanamkan nilai moralitas yang sehat dengan cara yang sehat dan hangat, anak akan pilih-pilih teman. Kalau temannya melakukan kekerasan, "Tidak, aku tidak mau diajak mencuri ! Aku tidak mau menyontek. Aku tidak mau diajak melakukan kekerasan. Aku akan pilih teman yang sama-sama baik." Sekolah juga perlu mengenali, kalau memang beberapa anak ini lahir dari keluarga-keluarga yang bermasalah dan miskin cinta, maka sedapat-dapatnya sekolah melakukan bimbingan konseling secara mendalam terhadap anak dan orang tua. Supaya anak-anak yang berpotensi ini tidak meluas, tapi ditangani sejak dini. Ini tugas mulia sekolah. Ketika orang tua gagal atau terbelenggu, sekolah menjadi alat anugerah Tuhan untuk menolong anak dan orang tuanya. Mumpung masih dini. Semakin anak bertambah usia, semakin tidak mudah untuk melakukan perubahan secara manusia.
H : Jadi orang tua harus menitikberatkan pada pemberian kasih sayang di rumah, sehingga anak tidak perlu mencarinya di luar dengan cara kekerasan seperti itu. Dan orang tua perlu bekerja sama dengan pihak sekolah, bahkan dengan pihak gereja misalnya dengan guru Sekolah Minggunya atau pembina remaja pemuda.
SK : Betul. Mari jadilah orang tua yang berani bertumbuh dan berubah, demi anak kita dan jangan lupa bahwa itulah upah yang akan Tuhan berikan. Kalau kita setia menjadi hamba yang setia bagi anak yang Tuhan percayakan kepada kita, maka upah di Surga, mahkota kemuliaan akan kita dapatkan. Jadi jangan hanya melihat bisnis, pekerjaan, karir dan pelayanan di gereja yang jadi tolok ukur evaluasi Tuhan terhadap kita, tapi bagaimana kita membesarkan dan mengarahkan anak-anak kita. Itu juga jadi poin yang akan Tuhan audit dari hidup kita ketika kita berhadapan langsung dengan Allah nanti.
H : Apa pesan firman Tuhan untuk hal ini, Pak?
SK : Saya bacakan dari Amsal 29:17, "Didiklah anakmu maka ia akan memberikan ketentraman kepadamu dan mendatangkan sukacita kepadamu." Firman Tuhan mengajarkan kepada kita mendidik. Mendidik itu bukan tindakan sesaat, hanya tindakan sebagian kecil waktu; tapi membutuhkan kepenuhan hati, fokus. Dan mari kita sebagai orang tua berani mengambil tanggung jawab ini sekaligus menerima kemuliaan dan kehormatan. Kalau kita setia mendidik anak kita maka kita yang akan menerima ketentraman dan sukacita dari apa yang kita tabur dengan kasih sayang dan kesetiaan kepada anak-anak kita ini.
H : Terima kasih, Pak Sindu. Para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bapak Penginjil Sindunata Kurniawan, MK. dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang topik "Menolong Pelaku Bullying". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan menghubungi kami melalui surat yang dapat dialamatkan kepada Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org. Kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan, serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.