Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi di mana pun anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya, Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling. Perbincangan kami kali ini merupakan kelanjutan dari perbincangan sebelumnya yaitu tentang "Mengapa Sesuatu yang Indah Bisa Berubah Menjadi begitu buruk?". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
GS : Pada kesempatan yang lalu Pak Paul sudah menjelaskan tentang pentingnya memahami makna pernikahan sebelum memasuki hidup pernikahan. Kita akan lanjutkan perbincangan ini namun sebelum kita lanjutkan, mungkin Pak Paul bisa mengulas sebentar tentang apa yang kita perbincangkan pada kesempatan yang lalu?
PG : Kita mesti memunyai pemahaman yang tepat tentang pernikahan. Pemahaman yang tepat tentang pernikahan adalah pernikahan bukanlah sebuah utopia, tempat dimana banyak cinta kasih, kebahagiaan, dan sebagainya. Tidak. Pernikahan itu dapat kita ibaratkan seperti tanah yang harus kita garap sebelum bisa kita tanami benih dan kita harus rawat sehingga benih itu bisa bertumbuh menjadi pohon dan akhirnya berbuah. Itulah pernikahan. Jadi, kita bertanggung jawab penuh untuk menciptakan pernikahan yang baik dan yang memang bisa membuat kita itu bahagia.
GS : Ya. Lalu bagian berikutnya yang akan kita bicarakan ini tentang apa, Pak Paul?
PG : Selain kita perlu memunyai pemahaman yang tepat tentang pernikahan, yang kedua adalah kita mesti memelihara pernikahan, Pak Gunawan. Saya boleh gunakan sekali lagi ya istilah bercocok tanam. Sebelum bercocok tanam kita mesti melihat kecocokan tanah untuk menerima benih sebab tidak semua tanah cocok untuk semua tanaman. Kalaupun cocok, seringkali kita harus menyiapkannya atau menggarapnya sebelum kita mulai dapat menanaminya. Tidak jarang proses penyiapan ini juga akan memakan waktu yang panjang. Kita juga harus memelihara pernikahan, Pak Gunawan. Di dalam kalimat ini tersirat satu kebenaran, yakni PERNIKAHAN TIDAK HIDUP SENDIRI, KITA HARUS MENGHIDUPINYA, kita harus melakukan banyak hal yang tepat untuk membuat pernikahan kita hidup, sebab bila tidak pernikahan akan mati. Jadi, sekarang kita akan bahas apa yang harus kita lakukan untuk memelihara atau menghidupi pernikahan. Ada dua hal yang dapat kita lakukan. Yang pertama adalah KITA MESTI MELIHAT SECARA REALISTIS KESANGGUPAN DAN KETERBATASAN PASANGAN KITA. Yang kedua, KITA MESTI MENYIAPKANNYA UNTUK DAPAT MENERIMA MASUKAN DARI KITA DAN MEMENUHI PENGHARAPAN KITA. Coba saya jelaskan ya. Ibarat tanah yang tidak selalu cocok untuk tanaman tertentu, demikian pula pasangan kita, belum tentu dia cocok atau sanggup menjadi seperti yang kita dambakan. Tidak seharusnya kita berasumsi bahwa kalau saja dia mau maka dia pasti bisa menjadi pasangan yang sesuai dengan pengharapan kita. Tidak, ya. Bukankah kita sendiri harus mengakui bahwa kita tidak selalu dapat menjadi diri yang diharapkan orang. Tidak soal seberapa kuatnya kemauan kita. Jadi, saya mau memberikan masukan disini, yaitu terimalah hal-hal yang hakiki yang telah menjadi ciri khas pasangan kita. Sebagai contoh, bila dia seorang yang ekstrovert, terima. Jangan mengharuskannya lebih banyak diam dan tidak banyak bergerak, sebaliknya jika pasangan kita seorang yang introvert, jangan berusaha mengubahnya menjadi lebih banyak bicara atau lebih banyak beraktifitas. Atau kalau pasangan kita bukan seorang yang rapi, ya jangan tuntut dia untuk menjadi serapi kita. mintalah ia untuk rapi dalam satu dua hal saja selebihnya biarkan dan relalah untuk mengambil alih tugas untuk merapikan. Sebab jika kita tidak mau mengerti dan terus menuntutnya, pertengkaran pasti timbul. Dan pertengkaran yang timbul gara-gara hal seperti ini bukan saja menguras tenaga, terlebih penting lagi tidak membawa perubahan. Jadi, jangan buang waktu dan tenaga untuk hal-hal yang tidak dapat diubah. Atau kalaupun terjadi perubahan, tidak berlangsung lama dan tidak begitu berarti. Ini yang saya ingin kita semua perhatikan ya. Kita senantiasa harus menimbang-nimbang mana yang lebih menguras tenaga. Mencoba mengubahnya atau mengkompensasi kekurangannya, Pak Gunawan. Kadang-kadang kita terus mencoba mengubahnya. Buang waktu, buang tenaga. Belum lagi harus akhirnya ribut, cekcok dengan pasangan kita. harganya terlalu mahal menurut saya. Kadang-kadang jauh lebih murah, jauh lebih gampang, sudahlah kita kompensasi kekurangannya, sehingga kita tidak harus terlalu banyak buang waktu dan tenaga dan tidak harus bertengkar dengan dia terus menerus.
GS : Iya. Tapi yang sulit itu untuk melihat secara obyektif pasangan kita, Pak Paul. Karena pengharapan-pengharapan yang ada dalam diri kita terhadap pasangan itu seringkali diwarnai oleh kehidupan rumah tangga orangtua kita. Misalnya orangtua kita adalah orang yang sangat rapi di dalam kehidupannya sehingga kita pun terdidik untuk rapi. Kita mengharapkan pasangan kita juga bisa rapi seperti orangtua kita, Pak Paul. Dan ini yang agak sulit, butuh waktu panjang untuk kita bisa realistis memberikan tuntutan kepada pasangan kita. kita anggap dia mampu kok untuk itu. Bagaimana ini, Pak Paul? Bukankah mengganggu sekali sebenarnya?
PG : Betul. Kita memang harus benar-benar melihat apakah pasangan kita itu sanggup atau tidak sanggup ya. Kadang kala kita selalu berkata, "Pasti bisa kok, asal mau pasti bisa." Tapi kalau memang itu bukanlah diri dia, akan sangat sukar sekali untuk dia berubah. Sebab itu memang bukan diri dia. Kalau kita memang terbiasa rapi dan kita memang orangnya rapi ya tidak terlalu susah untuk kita rapi. Tapi untuk orang yang memang agak berantakan, untuk dia rapi itu benar-benar susah. Mungkin kita minta dia, marahi dia, okelah dia kerjakan, tapi bertahan hanya sementara, akhirnya balik lagi balik lagi. Jadi, misalkan tadi saya sarankan, daripada menuntut dia untuk selalu membereskan barangnya, pokoknya rapilah jangan sampai ambil barang tidak dikembalikan lagi, akhirnya kita harus berkata sudahlah biarkan saja. Nah, satu dua hal yang bisa dia kerjakan, misalkan yang gampang: bangun tidur tolong rapikan ranjang. Yang saya minta hanya itu dalam rumah tangga ini kamu membereskan ranjang. Sudah. Nah, kita hanya tuntut itu saja.
GS : Tapi lama-lama ‘kan tuntutan itu juga berkembang, Pak Paul? Misalnya dia sudah berhasil merapikan tempat tidurnya, tinggal baju-baju yang kotor, nah ini yang masih tetap tercecer dimana-mana. Ini yang kita tuntut lagi. Lama-lama dia merasa juga.
PG : Kalau memang kita lakukannya satu demi satu, Pak Gunawan, itu lebih bisa dilakukan oleh dia. Dia sudah melakukannya ya. Ranjang dia rapikan setiap hari sudah beres. Dan itu bisa bertahan untuk waktu yang lama. Nah, kita tahu. Okey, dia sudah bisa dan ini sudah menjadi bagian dari diri dia. Kemudian misalkan baju-baju, kita minta dia taruh saja di keranjang. Kita minta dia, kita minta dia, akhirnya dia bisa kerjakan. Jadi, ya tidak apa-apa. Kalau kita bisa memberikannya tugas satu demi satu itu lebih mungkin dia lakukan.
GS : Nah, biasanya kita kaum pria ini yang tidak sabar untuk melatih atau membiasakan dia melakukan sesuatu yang sesuai dengan keinginan atau harapan kita.
PG : Betul. Jadi, memang kedua belah pihak mesti menyadari siapakah pasangan kita. Contoh yang lain adalah kalau kita ini sebagai seorang pria kita sering kali mengharapkan istri kita dalam menyikapi sesuatu lebih tenang, jangan emosional. Tapi ya cukup banyak wanita yang lebih sering emosional. Jadi, kita sebagai suami ya harus juga menerima bahkan biarkan saja dia emosional sejenak tapi setelah dia emosional, kita berkata: okay sekarang kita bicara baik-baik. Jadi, beri dia ruangan untuk menjadi dirinya juga. Jangan sampai kita paksa dia tidak boleh bereaksi sama sekali dengan emosi, ya tidak mungkin.
GS : Ya, tapi ‘kan ada beberapa hal yang tidak bisa kita tolerir yang pada waktu pacaran atau sebelum menikah itu tidak terlalu menonjol, Pak Paul. Tapi setelah menikah, sifat-sifat itu menonjol. Misalnya boros. Tentang dia tidak bisa menguasai keuangan padahal kita serahkan keuangan kepadanya untuk dikelola. Ini ‘kan tidak bisa kita tolerir. Kalau kita tunggu makin lama makin runyam kehidupan rumah tangga kita.
PG : Betul. Ini poin yang baik. Memang ada hal-hal tertentu yang tidak ya, kita memang harus mengambil alih. Sebab kalau tidak ini bisa benar-benar menenggelamkan bahtera keluarga kita.
GS : Kalau sudah begitu harus diambil alih, ya?
PG : Betul. Kalau ada hal-hal tentang diri pasangan kita yang juga memang kita sulit terima, tidak apa-apa kita sampaikan permohonan kita agar dia berubah. Tapi sebelum kita menuntutnya berubah, ada hal-hal yang perlu kita lakukan menyiapkannya supaya dia bisa lebih mudah berubah. Ada tiga, yang pertama adalah kita mengomunikasikan penerimaan kita dulu kepada dia. Maksudnya kita harus membuatnya yakin bahwa kita menerima dia apa adanya. Kalaupun dia tidak menjadi seperti yang kita harapkan, kita akan tetap menerimanya. Perubahan yang kita harapkan adalah baik. Tapi kalaupun itu tidak terjadi, dia tetap baik di hadapan kita. singkat kata, kasih dan penerimaan kita terhadapnya sudah kita berikan dan segel. Jadi, sebelum kita menuntutnya membuat perubahan ini itu, kita mesti mengomunikasikan penerimaan tanpa kondisi ini. Berikut, kita menyiapkannya untuk bisa menerima atau mendengar tuntutan atau pengharapan kita yaitu dengan cara memberi tanggapan positif terhadap hal-hal yang dilakukannya secara umum. Kita tidak memfokuskan penghargaan kita hanya atas hal-hal yang kita harapkan. Jika itu yang kita lakukan dia akan merasa bahwa kita ini kok tidak menerima diri kita seutuhnya dan hanya mementingkan diri sendiri. kita harus memberikannya tanggapan positif atas semua, bukan hanya sebagian hal yang diperbuatnya. Misalkan kita ini hanya mau memfokuskan tentang pemakaian uang, tadi Pak Gunawan sudah munculkan topik itu. Kita terus soroti dia itu tidak hati-hati pakai uang, dia itu tidak hati-hati pakai uang. Di luar itu dia melakukan hal-hal yang baik, dia selalu pulang kerja tepat pada waktunya, dia juga tidak pernah berbuat apa-apa (yang salah), hidupnya setia, dia juga memberi waktu yang cukup buat anak-anak, kalau kita sakit dia akan perhatikan kita. Untuk hal-hal lain itu kita tidak pernah memberikan tanggapan positif. Lama-lama dia akan merasa, "Kamu kok egois ya. Kamu hanya soroti saya hal-hal yang bagi kamu penting. Hal-hal lain yang baik yang saya lakukan kok kamu tidak mau melihatnya." Jadi, itu poin kedua yang bisa kita lakukan untuk menyiapkannya berubah. Yang terakhir adalah kita menyiapkannya untuk berubah dengan cara memberi tanggapan positif atas usahanya untuk berubah. Perubahan adalah sebuah proses yang kadang memakan waktu dan upaya yang jatuh bangun. Jadi, hargailah usahanya. Setiap penghargaan yang diberikan akan memberinya kekuatan dan motivasi untuk terus mengusahakan perubahan. Setiap penghargaan yang kita berikan mengomunikasikan perhatian kita terhadapnya dan bahwa kita melihat usahanya dan dia akan tambah yakin bahwa kita memang mengasihinya.
GS : Iya. Memang memberikan tanggapan positif ini adalah sesuatu yang belum biasa dilakukan oleh pasangan suami istri, Pak Paul. Karena ada kekuatiran nanti kalau ditanggapi positif lalu dia cepat puas, lalu dia tidak melakukan hal itu lagi dengan baik. Bagaimana ini?
PG : Makanya kita harus terus menerus menyampaikan penghargaan itu dan kita mesti menyadari satu hal ini yaitu, dalam hal menyampaikan pengharapan kita supaya dia berubah, kita harus mengulangnya berkali-kali dan kadang-kadang bertahun-tahun, Pak Gunawan. Kadang karena putus asa, karena kita merasa percuma memberitahu, ya sudahlah, kita akhirnya tidak mau lagi bicara dengan dia. Tidak bisa ya. Benar-benar secara harafiah kita harus terus menerus mengingatkan dia. Ya kita tidak usah memakai nama atau kata menuntutnya, kita mengingatkan ya. Supaya dia juga tidak terlalu merasa terganggu. Kita bisa berkata, "Saya hanya ingin mengingatkan." tapi tidak bisa tidak kita harus melakukan itu berulang-ulang, Pak Gunawan dan kadang-kadang makan waktu bertahun-tahun.
GS : Tapi walaupun kita sudah sampaikan itu baik-baik, ada sebagian orang yang menganggap ini semacam ancaman. Semacam peringatan. Ini ‘kan tergantung bagaimana kita menyampaikannya, Pak Paul. Bahasa tubuh kita, intonasi kita berbicara kepadanya, sehingga dia tidak merasa terancam. Kalau terancam, juga sulit sekali dia untuk berubah, Pak Paul.
PG : Iya. Kita memang bisa memberikan peringatan atau mengingatkannya setelah sesuatu terjadi atau kita bisa mengingatkannya sebelum terjadi. Sebagai contoh, misalkan pasangan kita itu memang orangnya spontan, kadang-kadang bicara lupa bahwa o iya ya seharusnya saya tidak bicara itu. Jadi kita kadang-kadang takut juga bicara sama pasangan kita, takut kalau yang kita sampaikan nanti dia ceritakan kepada orang lain. Nah, sebelum kita bicara, kita bisa ingatkan dia, "Tolong ya, yang ingin saya sampaikan ini jangan dibicarakan lagi. Saya mau ingatkan dulu. Bisa tidak, kamu ingat ini?" baru kita bicara. Dengan kita bicara seperti itu, biasanya dia akan lebih berhati-hati. Jadi, saya sarankan untuk hal-hal yang kita coba ubah dari pasangan kita, kita memang harus memberitahukannya terlebih dahulu. Saya mau begini, jadi tolong ya kamu ingat dulu ya, baru kita lakukan.
GS : Kadang-kadang itu bukan dibicarakan dengan orang lain tapi dia menanggapi kita secara salah. Antara yang kita maksudkan dan yang dia tanggapi. Jadi, umpan baliknya yang tidak tepat. Kita merasa bosan diperlakukan seperti itu. Kok setiap kali saya bicara ditanggapi keliru.
PG : Iya. Memang kadang-kadang ada masalah dalam komunikasi karena memang pasangan kita tidak bisa mengerti dengan cepat dan tepat apa yang kita katakan. Ada juga yang memang menanggapi kita dengan keliru karena berprasangka buruk, Pak Gunawan. Jadi belum apa-apa sudah menyimpulkan bahwa kita mengatakan ini untuk menyudutkannya dan sebagainya. Jadi, kita mesti mengingatkan dia bahwa, "Saya tidak punya motivasi itu. Saya hanya ingin kamu melakukan hal ini karena saya kira ini hal yang baik untuk dilakukan."
GS : Ya. Disitu dibutuhkan suatu kreatifitas tertentu bagaimana kita mengomunikasikan apa yang kita inginkan supaya bisa ditanggapi dengan pas, Pak Paul.
PG : Betul sekali, Pak Gunawan. Selain dari itu yang telah kita bahas dalam hal memelihara pernikahan, ada satu lagi yang penting yaitu kita harus menjaganya, Pak Gunawan. Sama seperti kita perlu melindungi tanaman dari hama, KITA JUGA HARUS MENJAGA PERNIKAHAN DARI FAKTOR LUAR YANG DAPAT MERUSAK PERNIKAHAN. Saat ini kita akan menyebut tiga saja, yaitu keluarga luar, aktivitas luar, dan orang luar. Saya akan bahas ya. Salah satu masalah yang cukup sering saya jumpai adalah masalah yang berkaitan dengan keluarga luar, baik itu orangtua, adik dan kakak, atau sanak saudara. Secara teoritis kita menyadari bahwa kita harus mengutamakan keluarga sendiri dan membuat garis yang jelas antara kita dan keluarga asal kita. Namun kenyataannya tidak semudah itu dan sejelas itu. Disini dibutuhkan pengertian dan kefleksibelan. Saya berikan contoh dalam keluarga kami, Santy dan saya membuat peraturan bahwa keluhan terhadap keluarga pasangan mesti disampaikan oleh pasangan. Dengan kata lain, Santy tidak boleh menyampaikan keluhan kepada orangtua saya secara langsung dan saya juga tidak boleh menyampaikan keluhan kepada orangtuanya. Bila ada hal yang tidak saya sukai tentang orangtua atau keluarga istri saya, biar dia yang menyampaikannya. Sampai sedemikian jauh, kesepakatan ini membantu untuk memelihara hubungan yang baik dengan keluarga masing-masing. Namun saya pun mesti mengakui bahwa di luar hal ini ada sejumlah hal lain yang kadang masuk dan mengganggu keluarga kami. Singkat kata apa yang terjadi di luar sana, dalam keluarga besar, memberi dampak pada kami berdua. Tekanan yang ditimbulkan dari luar masuk ke dalam dan menimbulkan tekanan di dalam. Kadang kami menghadapinya dengan baik, tapi kadang kurang baik, saya harus akui itu. Kadang kali kami dapat bicara baik-baik tapi kadang juga tidak. Terpenting adalah kami kembali lagi dan kembali lagi ke meja perundingan karena kami tahu kami tidak mau kehilangan satu sama lain, hubungan kami terlalu berharga untuk dicampakkan gara-gara persoalan dari keluarga luar. Jadi, ini adalah hama pertama yang kadang bisa merusak keluarga, Pak Gunawan. Kita perlu melindungi keluarga dari faktor keluarga luar ini.
GS : Memang pengaruh keluarga luar tetapi masih di dalam ikatan keluarga besar ini tadi sangat kuat terhadap setiap pernikahan, Pak Paul. Tetapi juga kadang-kadang keluarga tetangga, keluarga teman, itu juga bisa menjadi masalah di dalam keluarga kita. Seringkali terjadi seperti itu.
PG : Bisa. Betul sekali. Jadi, kita mesti mewaspadai ya. Dan yang kedua adalah aktifitas luar yang bisa merusak pernikahan. Seperti apa? Pekerjaan, pelayanan, atau hobi. Sudah tentu idealnya kita dapat memasukkan dan mengintegrasikan semua kegiatan luar ke dalam pernikahan kita. Misalnya ya, bukankah indah bila pasangan dapat terlibat dalam pelayanan bersama atau setidaknya memberi dukungan penuh? Bukankah menyenangkan bila pasangan bisa turut pergi bersepeda dengan kita? Hobinya sama. Bukankah baik manakala pasangan memberi dukungan penuh atas kesibukan kita di pekerjaan? Idealnya ya, tapi kenyataannya tidak semudah itu. Sesuatu yang dikerjakan bersama bisa terhenti gara-gara anak atau ada orangtua yang sakit atau pekerjaan yang tadinya hanya menuntut travel keluar kota sebulan sekali sekarang menuntut seminggu sekali atau pelayanan yang tadinya hanya mewajibkan pasangan pergi ke luar rumah di malam hari seminggu sekali sekarang menjadi tiga kali seminggu. Nah, sekali lagi disini dibutuhkan pengertian dan kefleksibelan, Pak Gunawan. Dan tidak ada rumus ajaib untuk menyelesaikan masalah ini sehingga menyenangkan kedua belah pihak. Secara teoritis kita sepakat jalan terbaik adalah memprioritaskan kebutuhan pasangan dan keluarga di atas aktifitas luar, dan memang pada umumnya itulah yang mesti dilakukan. Namun kadang pengecualian dibutuhkan. Demi menambah penghasilan agar dapat menyicil rumah, misalnya, maka kita memutuskan bekerja dobel. Atau karena pelayanan kekurangan orang, terpaksa kita mengiyakan tugas baru. Sekali lagi perlu pengertian dari kedua belah pihak dan kesediaan untuk berkorban. Tapi secara umum pada prinsipnya adalah kita harus menjaga dan melindungi keluarga kita dari aktifitas luar ini.
GS : Jadi disini adalah masalah prioritas ya? Selama kita memprioritaskan keluarga, kita akan mengesampingkan hal-hal yang lain. Tetapi kalau perhatian kita tertarik pada hal-hal yang di luar, memang aktifitas-aktifitas ini akan sangat mengganggu sekali.
PG : Betul. Kadang-kadang ada orang yang memang rumah tangganya baik, kemudian banyak aktifitas luar, akhirnya memengaruhi dan memperburuk relasi dengan pasangannya. Tapi juga ada yang kebalikannya, Pak Gunawan. Gara-gara hubungan tidak baik makanya larinya ke aktifitas luar. Itu juga bisa.
GS : Tapi itu bukannya tambah memperburuk bukan menyelesaikan masalah kalau melarikan diri saja.
PG : Betul sekali. Memang harus hati-hati ya. Nah, yang terakhir, faktor yang dapat masuk dan merusak pernikahan kita adalah ORANG LUAR. Berkaitan dengan hal ini ada satu hal yang kita perhatikan yaitu, bukan saja kita dapat tertarik pada orang lain kita pun akan tertarik pada orang lain. Singkat kata kita dapat menyukai orang lain dan pada titik tertentu dalam hidup kita akan menyukai orang lain. Alasannya sederhana, di dunia ini ada orang yang lebih baik dan lebih menarik daripada pasangan kita. Ada. Mungkin pada masa berpacaran kita beranggapan di dunia tidak ada orang yang sebaik dan semenarik pasangan kita. tapi setelah menikah kita sadar, oh kita keliru, ada yang lebih baik dan lebih menarik dari pasangan kita. Poin saya adalah KITA TIDAK DAPAT MENCEGAH PERASAAN INI UNTUK MUNCUL, TAPI KITA DAPAT MENCEGAH PERASAAN INI BERKEMBANG. Caranya sederhana, kita harus berdisiplin diri menjaga batas dalam berelasi. Mesti menjaga batas secara fisik – jangan sentuh-sentuh orang. Kita pun menjaga batas secara emosional – jangan habiskan banyak waktu bicara dari hati ke hati dengan orang lain, terutama yang lawan jenis. Jaga batas secara sosial, artinya jangan cari-cari kesempatan pergi bersama dengan orang itu. Nah, dari ketiga faktor yang dapat masuk dan merusak pernikahan yaitu keluarga luar, aktifitas luar, dan orang luar - faktor orang luar memberi dampak yang paling menghancurkan. Tatkala saya tengah mempersiapkan materi ini, saya tengah berkomunikasi juga dengan seorang ibu yang baru mengetahui bahwa selama ini suaminya telah menjalin relasi dengan seorang wanita. Dia begitu hancur dan dia terus bertanya apakah yang akan terjadi selanjutnya dengan dirinya dan anaknya. Benar-benar faktor orang luar ini berdampak sangat destruktif.
GS : Iya. Memang hal ini ditunjang sekali dengan komunikasi jaman sekarang yang begitu mudah dilakukan tanpa orang lain perlu tahu, Pak Paul. Ini memang sangat merusak rumah tangga ketika ada hubungan yang tidak betul dengan orang luar. Tetapi hal ini juga semakin sulit bagi pasangan suami istri untuk melindungi diri dari gangguan orang luar.
PG : Iya. Maka memang mesti berusaha keras, Pak Gunawan. Benar-benar jaga batas. Jaga batas secara fisik, secara emosional, dan secara sosial. Tema perbincangan kita adalah "Mengapa sesuatu yang begitu indah bisa berubah menjadi begitu buruk?" Jawabannya adalah karena kita tidak berdisiplin menjaganya. Saya akan kutip dari Amsal 5:23, "Ia mati karena tidak berdisiplin. Disesatkan oleh kebodohannya sendiri." jadi, disiplin membuat pernikahan indah. Tanpa disiplin, pernikahan berubah menjadi buruk. Dan ini tanggung jawabb kita untuk menjaga dan melindungi pernikahan kita.
GS : Iya. Memang disiplin yang sulit dibangun dalam hidup seseorang apalagi kalau sejak mudanya dia tidak pernah berdisiplin atau menggampangkan semua masalah.
PG Betul. Memang orang yang tidak punya disiplin nantinya susah sekali untuk menjaga pernikahannya sendiri. Sebab benar-benar untuk menjaga pernikahan, diperlukan disiplin.’
GS : Iya. Sebab selain faktor-faktor luar yang tadi Pak Paul katakan, juga ada faktor-faktor dalam yaitu dari intern kita sendiri yang cepat bosan, Pak Paul. Ini menyangkut disiplin lagi. Kita cepat bosan untuk menanam sesuatu yang baik di dalam hubungan suami istri ini. Kita putus ada dan menganggap ini sudah tidak bisa tertolong lagi lalu mengambil jalan pintas yang sejak awal kita katakan lebih baik bubar pernikahan ini.
PG : Iya.
GS : Ini membantu sekali bagi pasangan yang tengah mengalami masalah ini khususnya bagi mereka yang akan memasuki pernikahan. Terima kasih sekali untuk kesempatan perbincangan ini, Pak Paul.
PG : Iya.
GS : Para pendengar sekalian, terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja menyelesaikan perbincangan tentang "Mengapa Sesuatu yang Indah Bisa Berubah Menjadi begitu buruk?" bagian kedua. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org. Kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.