Memilih Pasangan Hidup II

Versi printer-friendly
Kode Kaset: 
T312B
Nara Sumber: 
Pdt. Dr. Paul Gunadi
Abstrak: 
Dalam memilih pasangan hidup, janganlah kita tergesa-gesa atau berpikir singkat tanpa ada pertimbangan-pertimbangan matang. Kita harus ingat bahwa pasangan yang akan kita pilih menjadi pendamping kita adalah orang yang akan menemani kita seumur hidup kita, untuk itu jangan sampai salah pilih pasangan. Kita harus memikirkan kriteria yang bagaimana yang disetujui Alkitab ? Dan bagaimana cara-cara untuk bisa mendapatkan pasangan dengan tepat ?
Audio
MP3: 
Play Audio: 
Ringkasan

Ada peribahasa yang berbunyi, "Sepandai-pandainya tupai melompat, akhirnya jatuh juga." Kebanyakan kita berusaha untuk hidup sebaik mungkin supaya hidup tidak menyisakan penyesalan di hari tua. Namun pada kenyataannya tidak ada seorang pun yang dapat melewati hidup tanpa penyesalan. Seperti tupai yang terjatuh, kita pun tersandung dalam satu dua hal sehingga mesti menanggung penyesalan di hari tua. Berikut akan dipaparkan pelbagai ruang dalam kehidupan yang kerap menyisakan penyesalan. Mudah-mudahan melalui refleksi ini kita dapat menghindar dari kesalahan serupa sehingga kita tidak harus menyisakan penyesalan dalam hidup.

Norman Wright, seorang terapis keluarga di Amerika, menyimpulkan bahwa kebanyakan orang di Amerika lebih banyak memberi waktu untuk memersiapkan diri menghadapi ujian mengambil surat izin mengemudi dibanding memersiapkan diri untuk pernikahan. Pengamatan yang baik! Dan salah satu penyebab mengapa kita keliru memilih pasangan hidup adalah karena kita TERLALU CEPAT MENGAMBIL KEPUTUSAN. Jarang ada orang yang keliru memilih pasangan hidup oleh karena terlalu lama mengambil keputusan.

Berikut akan dipaparkan beberapa penyebab mengapa kita terlalu cepat mengambil keputusan :
  • Terlalu bernafsu.
    Mungkin kita bertemu dengan seseorang yang memenuhi profil pasangan yang kita dambakan. Tanpa pikir panjang, kita pun langsung memutuskan untuk menikah dengannya sebab bagi kita, perjumpaan itu ibarat durian runtuh. Kita melupakan fakta bahwa pernikahan didirikan di atas pengenalan yang mendalam, bukan perkiraan belaka. Pada umumnya kita mendasarkan keputusan seperti ini atas ketertarikan jasmaniah. Oleh karena ia begitu memikat, kita tidak lagi berpikir panjang. Kita ingin bersamanya dan tidak lagi memerhatikan perbedaan yang ada. Alhasil kita menuai badai dalam keluarga.
  • Beriman semu.
    Kita beranggapan bahwa Tuhan pastilah tidak akan membiarkan kita memilih pasangan yang salah dan siapa pun itu yang kita yakini sebagai orang yang disediakan Tuhan untuk kita, pastilah pasangan yang sesuai. Alhasil kita pun tidak lagi berhati-hati menilai dan tanpa menjalani masa berkenalan yang panjang, kita memutuskan untuk menikah. Memang benar Tuhan menuntun kita namun Ia pun menghendaki agar kita melakukan bagian kita yakni memastikan bahwa kita memang sepadan. Dalam pemilihan pasangan iman tidak menggantikan akal sehat. Kita tetap harus menjalani masa perkenalan dan penyesuaian. Keharmonisan bukanlah hasil dari doa semata; keharmonisan adalah buah dari kerja keras menyesuaikan diri satu dengan yang lain.
  • Menyederhanakan masalah.
    Mungkin kita sudah mulai merasakan bahwa ada perbedaan yang mendasar di antara kita namun kita menolak untuk menghadapi realitas. Kita beranggapan bahwa segala masalah pasti dapat diselesaikan asalkan kita saling mencintai. Kita pun beranggapan bahwa semua pernikahan mengandung masalah, jadi kita tidak perlu mengkhawatirkannya. Akhirnya kita pun harus berhadapan dengan masalah demi masalah. Ternyata masalah sederhana tidaklah sesederhana yang kita duga; pada akhirnya kita menemukan bahwa masalah demi masalah yang tak terselesaikan bertumpuk menjadi gunung masalah yang siap meletus.
  • Motivasi yang tidak murni.
    Mungkin kita menginginkan status nikah sebab sudah terlalu lama hidup membujang. Atau, kita menginginkan hartanya sehingga kita pun tergesa-gesa menikahinya. Bila kita menikah dengan motivasi tidak tulus, kita mendasari pernikahan atas ketidakjujuran. Dan ketidakjujuran merusakkan fondasi pernikahan yang penting yakni kepercayaan. Ia merasa diperdaya dan tidak lagi bisa menyerahkan hidup sepenuhnya kepada kita. Alhasil pernikahan pun retak.
  • Kehamilan.
    Ada banyak pasangan yang memutuskan untuk menikah karena kehamilan. Mereka pun memasuki pernikahan di dalam ketidaksiapan dan mesti menuai badai konflik. Sebetulnya mereka belum siap dan belum merencanakan untuk menikah pada saat itu. Namun kehamilan memaksa mereka untuk menikah. Akhirnya mereka merasa terjebak di dalam pernikahan; mereka saling menyalahkan dan melepaskan tanggung jawab.
Agar tidak menuai penyesalan kita harus memilih pasangan dengan bijak. Berikut adalah beberapa petunjuk bagaimana memilih pasangan hidup :
  • BERDOALAH.
    Yakobus 1:5 berkata, "Tetapi apabila di antara kamu ada yang kekurangan hikmat, hendaklah ia memintanya kepada Allah . . . ." Di dalam hal memilih pasangan hidup kita tidak boleh terlalu percaya diri. Kita tidak dapat bersandar pada penilaian sendiri sebab pada dasarnya kita tidak dapat mengetahui dengan pasti apakah ia akan menjadi pasangan yang serasi dengan kita. Itu sebabnya dalam hal memilih pasangan hidup kita harus bergantung kepada Tuhan untuk menuntun kita.
  • Jangan sampai kita malas berdoa dan baru berdoa setelah bertemu dengan yang kita sukai. Kita harus mendoakan hal ini dan meminta hikmat Tuhan sebelum—bukan sesudah—kita bertemu dengan orang yang kita sukai dan mintalah juga hikmat untuk memutuskan apa yang baik, bukan apa yang menarik. Ingatlah, kebaikan bertahan selamanya sedangkan daya tarik hanyalah bertahan untuk sesaat.
  • PILIHLAH YANG SESUAI DENGAN KRITERIA TUHAN: SEIMAN.
    Firman Tuhan di 2 Korintus 6:14 menegaskan, "Janganlah kamu merupakan pasangan yang tidak seimbang dengan orang-orang yang tak percaya. Sebab persamaan apakah terdapat antara kebenaran dan kedurhakaan? Atau bagaimanakah terang dapat bersatu dengan gelap?" Tuhan tidak meminta banyak; Ia hanya meminta kita menikah yang dengan seiman. Sewaktu kita menaati kehendak Tuhan, itu berarti kita menghormati-Nya.
  • Saya akui bahwa keharmonisan pernikahan tidak hanya ditentukan oleh kesamaan iman namun tidak dapat disangkal, iman kepercayaan memainkan peran penting dalam kehidupan pernikahan. Itu sebabnya ketidaksamaan iman dapat menimbulkan masalah dalam pernikahan. Keputusan untuk menikah dengan yang seiman merupakan wujud ketaatan kepada perintah Tuhan. Dan, Tuhan akan memberkati anak-anak-Nya yang mengutamakan-Nya.
  • BERTANYALAH: APAKAH KITA MAU MENJADIKAN DIA AYAH ATAU IBU DARI ANAK-ANAK KITA?
    Lewat pertanyaan ini kita ingin memastikan bahwa memang (a) ia telah siap untuk menjadi orang tua, (b) bahwa ia adalah seorang yang baik, (c) bahwa ia dapat menjadi suri tauladan bagi anak-anak kita, dan (d) bahwa ia dapat mengasuh anak. Salah satu karakter yang diperlukan untuk menjadi ayah dan ibu adalah siap untuk mengalah atau mengesampingkan kepentingan pribadi. Sebagai ayah dan ibu kita mesti bersedia untuk mendahulukan anak di atas kepentingan pribadi. Jadi, jika egois, kita tidak dapat menjadi ayah dan ibu yang baik.
  • BERTANYALAH: APAKAH IA DAPAT MENJADI "ANAK" DARI ORANG TUA KITA?
    Pertanyaan ini perlu diajukan sebab pernikahan bukan hanya menjadikan pasangan bagian dari hidup kita tetapi juga bagian dari keluarga besar kita. Seseorang yang terlalu berbeda sehingga sulit diterima keluarga pada akhirnya akan menjadi duri dalam relasi kita dengan keluarga. Bila ia tidak dapat menerima keluarga besar kita, besar kemungkinan pada akhirnya ia pun akan sukar menerima diri kita apa adanya sebab sedikit banyak kita mewarisi sebagian sifat yang ada pada orang tua kita.
  • BERTANYALAH: APAKAH KITA SIAP DAN DAPAT MENJADIKAN DIA ORANG YANG PALING PENTING DALAM HIDUP KITA?
    Pernikahan menuntut kita untuk mengutamakan pasangan di atas orang lain. Jadi, jika kita kurang mengasihinya atau tidak dapat menerima dirinya apa adanya, kita pun tidak akan siap dan tidak akan ingin menjadikan dia orang yang paling penting dalam hidup kita. Singkat kata, pertanyaan ini menolong kita untuk melihat dengan jelas seberapa besar kasih kita kepadanya. Pertanyaan ini juga memaksa kita untuk melihat apakah kita sungguh menghormatinya atau tidak.