Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen, bersama Ibu Esther Tjahja, S. Psi. dan juga Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, beliau berdua adalah pakar konseling keluarga dan juga dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang, akan menemani Anda dalam sebuah perbincangan yang pasti sangat menarik dan bermanfaat. Perbincangan kami kali ini kami beri judul "Memelihara Relasi Kerja". Dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
GS : Pak Paul, ada banyak keluhan dari pekerja-pekerja muda yang baru masuk ke suatu tempat kerja yang baru dan selang beberapa bulan saja dia keluar, mereka mengatakan saya tidak kerasan di tempat itu. Lalu mencoba lagi mencari kerja di tempat yang lain, keluar lagi dengan alasan saya sebenarnya cocok dengan pekerjaannya, tapi saya tidak cocok dengan orang-orang yang ada di lingkungan kerja itu, sebenarnya ini gejala apa Pak Paul?
PG : Saya kira salah satu penyebabnya adalah kita ini lupa melihat tempat pekerjaan sebagai suatu komunitas, komunitas yang mempunyai budaya tertentu. Dan cara-cara hidup yang juga tertentu,akibatnya kalau kita tidak hati-hati kita akan merasa tidak cocok di sana, karena sekali lagi cara hidup yang berbeda dan budaya yang berbeda.
Jadi memasuki sebuah tempat pekerjaan bukan sembarang atau bukan hanya mengambil suatu pekerjaan, ada banyak unsur-unsur lain yang harus kita perhatikan. Yang pertama adalah untuk bisa menolong kita bertahan dalam tempat pekerjaan, kita harus mempunyai konsep yang tepat tentang sebetulnya apa itu relasi kerja. Relasi kerja adalah sebuah kontrak di mana masing-masing pihak diharapkan memenuhi tanggung jawabnya. Jadi kontrak di mana dua belah pihak sebetulnya akan saling memberi dan saling menerima, yang bekerja akan menerima misalnya upah dan yang memberikan pekerjaan akan menerima jasa. Jadi yang perlu pertama-tama dilakukan ialah kejelasan apa yang akan dituntut dan apa yang akan diberikan, nah ini langkah pertama yang sering kali juga dilewati oleh banyak orang, tidak begitu mengerti apa yang dituntut dan yang dituntut bisa-bisa yang tertulis juga yang tidak tertulis. Nah sebaiknya seseorang sebelum mengambil sebuah pekerjaan dia mengerti dengan jelas apa yang dituntut secara tertulis maupun secara tidak tertulis. Dan tempat pekerjaanpun memberikan kejelasan tentang apa yang akan diberikan kepada si pekerja dengan sangat jelas, kalau yang pelamar itu ingin lebih jelas sebetulnya juga lebih baik, dia bisa bertanya dengan lebih spesifik. Jadi sekali lagi kita harus melihat pekerjaan sebagai suatu kontrak di mana ada dua belah pihak yang terlibat, ada satu yang menerima, ada yang memberikan dan selalu begitu.
GS : Tetapi masalahnya Pak Paul, walaupun itu sudah awalnya jelas artinya sudah ditunjukkan tugas-tugasnya berapa haknya dia yang dia terima, tetapi yang menjadi masalah di lingkungan kerjanya itu dengan orang-orang lama yang sudah ada di sana. Dia sulit sekali untuk menyesuaikan diri, padahal yang lama juga merasa kamu sebagai pendatang baru maka kamu yang menyesuaikan diri di sini.
PG : Saya kira kita semua memang memiliki konsep senioritas, kita beranggapan bahwa yang lebih lama seharusnyalah yang lebih tahu dan yang lebih lama seharusnyalah menerima yang lebih banyak Jadi kalau ada orang baru datang kemudian mulai memberikan gagasan, ide-ide dan sebagainya, kecenderungan respons dari orang-orang lama biasanya tidak begitu positif.
Orang lama menginginkan darah segar, tapi orang lama juga tidak mau terjadi perubahan yang terlalu drastis. Jadi dalam hal ini saya mau tekankan satu prinsip yaitu sebelum ide kita diterima kita sendiri perlu diterima terlebih dahulu, jadi sebelum kita melontarkan gagasan-gagasan memang kita harus berbaur dan dalam perbauran itulah kita bergaul dan kita tahu kita diterima oleh mereka. Sebab sekali lagi orang menerima pribadi terlebih dahulu baru menerima gagasannya atau idenya, jarang terbalik menerima idenya belakangan baru menerima orangnya. Nah ini yang sering kali juga kita tidak perhatikan baik-baik, jadi kita belum terlalu diterima sudah mulai melontarkan gagasan-gagasan, berhati-hatilah dalam hal seperti ini.
ET : Saya masih tertarik dengan point Pak Paul yang pertama tadi tentang kontrak, mungkin tampaknya ideal buat perusahaan yang sudah berjalan lancar dengan sistem yang ada di dalamnya tentan deskripsi pekerjaan, kemudian apa yang dituntut dan apa yang bisa diberikan.
Tapi tidak sedikit perusahaan-perusahaan kecil katakanlah perusahaan-perusahaan keluarga yang kadang-kadang di dalam merekrut karyawannya sepertinya mana yang butuh pekerjaan, jadi sepertinya karena belas kasihan jadi anda diterima bekerja di sini sehingga kontrak ini tidak berjalan dengan seharusnya.
PG : Ada kontrak yang memang tertulis, ada kontrak yang tidak tertulis, jadi yang Ibu Esther tekankan bagaimana kalau kita menghadapi pekerjaan di mana kontrak yang tersedia adalah kontrak yng tidak tertulis.
Artinya segala sesuatu bisa diminta tanpa peringatan terlebih dahulu. Menurut saya itupun juga adalah suatu kontrak jadi seorang pelamar, seorang pekerja waktu dia memasuki dunia pekerjaan yang baru dia harus menilai apakah tempat pekerjaan ini sudah mapan, apakah sudah profesional, apakah sudah berjalan dengan sangat teratur. Sebaiknya dia sendiri sudah siap untuk menerima hal-hal yang tidak tertulis tersebut, sehingga waktu dia menerimanya dia akan lebih siap untuk menghadapinya. Bisa juga dia sendiri yang bertanya dalam wawancara hal-hal apa yang dilakukan di sini, nah misalkan dia tidak bertanya langsung apa tuntutan-tuntutannya sebab mungkin si atasan tidak bisa berpikir juga karena sekali lagi ini semua dilakukan dengan cara tambal sulam dan mendadak. Nah si pelamar bisa bertanya apa saja yang dikerjakan di sini, nah waktu dia mendengar apa-apa yang dikerjakan, dia sudah mulai memiliki gambaran apa-apa yang akan juga dituntut darinya. Meskipun itu juga harus dia siapkan bahwa tidak semuanya yang dikatakan adalah yang dia akan kerjakan, akan ada hal-hal lain yang tidak dikatakan yang harus dikerjakan pula. Jadi memang dia harus membedakan antara perusahaan yang sudah mapan dan perusahaan yang belum mapan.
GS : Mungkin saat yang baik bisa digunakan itu adalah saat yang diberikan untuk orientasi Pak Paul, jadi dia bisa berkeliling ke beberapa bagian terkait yang terkait dengan pekerjaannya dan bisa mulai bertanya-tanya. Tetapi sering kali justru di situ ada kesempatan bertanya malah dipakai untuk mengemukakan idenya dulu. Jadi kepalanya itu sudah penuh dengan ide ketika masuk Pak Paul, apakah itu karena dia memang khawatir dikatakan tidak mampu atau apa ada kekhawatiran itu jadi seolah-olah ingin menonjolkan saya mampu?
PG : Saya kira itu betul Pak Gunawan sebagai pemula, kita ini ingin meyakinkan orang, kita tahu apa yang kita lakukan. Jadi ada kecenderungan kita menonjolkan gagasan-gagasan kita, ingatlah ahwa kita perlu diterima terlebih dahulu barulah ide-ide kita bisa diterima.
Jadi saya mau garis bawahi juga satu prinsip di sini Pak Gunawan, yaitu penerimaan kerja tidak sama dengan penerimaan rekan kerja, itu dua hal yang sangat berbeda. Kita bisa disambut, diberikan salam selamat datang dan sebagainya, diberikan kursi dan meja itu sama sekali tidak menandakan kita sudah diterima sebagai rekan kerja, kita diterima kerja. Untuk bisa diterima sebagai rekan kerja perlu waktu penyesuaian antara dua belah pihak sehingga akhirnya bisa klop.
GS : Memang itu saya rasa suatu skill tersendiri Pak Paul, ada orang yang dengan cepat membawakan dirinya dan bisa diterima oleh lingkungannya tetapi ada yang membutuhkan waktu berbulan-bulan.
PG : Betul, nah sekali lagi ini memang seni Pak Gunawan, kematangan dan percaya diri itu penting sekali. Saya masih ingat waktu dulu saya bekerja, ada orang baru saja diterima, dia itu duluna bekerja di bagian yang lain kemudian di transfer dia sudah lama minta transfer ke departemen kami.
Akhirnya dia diterima transfer ke departemen kami, entah mengapa dalam ketakutannya, hari pertama dia datang kerja dalam ruangan tertutup, kantor kami itu pakai AC, tidak ada sinar matahari yang masuk, dia masuk ke dalam ruangan kami dari pagi sampai sore pakai kacamata sunglasses, kacamata hitam dia petantang-petenteng jalan pakai kacamata hitam. Atasan saya melihat dia itu geleng-geleng kepala, kesal luar biasa, dan akhirnya hanya bisa ditahan beberapa hari, beberapa hari kemudian dia ditransfer kembali ke departemen yang dulu yaitu menjaga anak-anak yang kami pisahkan atau ambil dari rumah orang tuanya karena baru saja dianiaya atau apa. Akhirnya kembali lagi ke pekerjaannya yang dulu. Jadi sekali lagi penerimaan kerja tidak sama dengan penerimaan sebagai rekan kerja.
ET : Tapi kadang-kadang usaha ingin menyesuaikan diri ini juga bisa salah ditangkap, dalam arti ada orang yang rasanya perlu, ingin banyak tahu sebelum dia mulai bekerja. Dia bertanya-tanya api kadang-kadang belum tentu lingkungan ini lingkungan yang menerima orang yang suka banyak bertanya, jadi akhirnya seperti tidak nyambung usaha ini, tapi ditanggap dengan negatif oleh lingkungan kerjanya ini.
PG : Itu point yang bagus Bu Esther, jadi kita memang harus jeli melihat kira-kira budayanya apa. Sebab memang ada budaya tertentu yang mewajibkan para pemula itu tutup mulut dan jangan bertnya, hanya ikuti yang dilakukan, ada juga yang begitu.
Nah tapi tetap saya kira ada baiknya kita mengajukan beberapa pertanyaan, kita mungkin tidak bisa bertanya terlalu banyak. Namun setiap kali kita ingin mengajukan pertanyaan kita dengan sopan berkata maaf ya Pak atau Bu bolehkah saya bertanya lagi kalau saya ini terlalu banyak bertanya mohon diampuni, saya masih baru, jadi ingin bertanya. Mungkin sekali dengan cara seperti itu, atasan itu akan bisa menerima pertanyaan kita. Sebab dia belum apa-apa kita sudah meminta maaf terlebih dahulu, tapi saya kira untuk hari itu saja dia maafkan kalau besok-besok tanya lagi mungkin sekali dia akan kesal begitu.
GS : Nah seharusnya tempat kerja atau suasana kerja yang baik untuk menerima orang baru itu yang bagaimana, Pak?
PG : Saya melihat tempat kerja yang baik adalah yang akomodatif. Akomodatif dalam pengertian mereka atau yang lama-lama itu bisa menerima keunikan orang yang baru. Ada kecenderungan setelah eberapa orang berkumpul bersama untuk jangka waktu tertentu mereka ini akan membentuk suatu budaya yang seragam, maksudnya apa budaya yang seragam.
Misalnya kalau kebetulan satu kelompok ini suka bercanda, mereka akan senang sekali mempunyai teman baru yang suka bercanda dan lebih mendahulukan penerimaan pekerja yang suka bercanda itu. Nah bisa jadi ada orang lain yang masuk dan tidak suka bercanda dan tidak berbuat salah apa-apa, tapi karena dia tidak suka bercanda langsung ditolak oleh teman-temannya yang suka bercanda. Jadi penting sekali kita menerima keunikan orang bagaimanapun orang itu diterima bukan karena suka bercandanya, orang diterima karena sumbangsih yang dia bisa berikan untuk perusahaan atau tempat pekerjaannya. Jadi perlu akomodatif artinya memberikan kebebasan kepada orang untuk memiliki keunikannya, dia suka pergi, ada yang tidak suka pergi dengan teman-temannya tidak apa-apa. Yang penting dijaga, jangan sampai kita menjahit orang agar sesuai dengan selera kita. Jadi tempat pekerjaan yang baik memang ingin sekali melihat masing-masing anggotanya itu bisa bertumbuh dengan unik.
GS : Dalam hal itu Pak Paul, menerima orang baru yang masuk di dalam lingkungannya itu pasti mempengaruhi cara mereka atau pola mereka sehari-hari karena ada sesuatu yang baru.
PG : Ya biasanya waktu unsur yang baru masuk, sedikit banyak memang akan merubah yang lama, komposisi yang lamanya. Makanya kalau masuk dan mencoba membawa perubahan dengan mendadak, reaksi wal adalah menolak unsur asing itu.
Namun kalau unsur asing itu sudah diterima menjadi bagian dari yang lama dan menjadi suatu unsur yang sudah terkait dengan yang lama, lama-kelamaan waktu yang baru itu mulai memberikan usulan-usulan, tidak bisa tidak yang lama juga akan turut mendukung dan lebih siap untuk berubah.
GS : Jadi tentunya pimpinan itu merekrut orang baru dengan harapan supaya yang lama ini juga terpengaruh secara positif, Pak Paul. Nah sebagai orang baru ini di dalam membawakan, menyampaikan ide-idenya ini seharusnya bagaimana?
PG : Saya sarankan waktu kita menyampaikan ide atau gagasan, kita menyampaikan data secara obyektif. Jadi kita menghindarkan cara-cara yang terlalu subyektif atau terlalu pribadi misalkan saa berpikir begini, begini, nah lebih baik kita melihat saja, kita berkata mari kita lihat yang telah terjadi begini, begini, nah datanya begini, menurut saudara-saudara kira-kira apa yang bisa kita lakukan.
Jadi kita menyajikan sebuah problem bersama-sama dan apakah kita bersama mau melakukan sesuatu dengan masalah ini, jadi ini bukannya saya yang lagi mempunyai ide yang penting dan mohon saudara-saudara dengarkan. Jadi lebih baik kita sajikan dalam bentuk data yang obyektif. Kenapa demikian? Karena sekali lagi kalaupun kita sudah agak lama orang cenderung memang bereaksi dengan seseorang yang dianggap mau menonjolkan diri. Jadi meskipun ide kita baik, tapi kalau kita ini sudah dianggap mau menonjolkan diri, kita tidak bisa diterima, ide kita langsung mêntal. Tapi waktu kita menyajikan sebagai problem bersama dan ini data-datanya, apa yang akan kita lakukan dengan problem ini nah itu menjadi suatu milik bersama, nah ini yang perlu kita pelajari waktu kita menyajikan sebuah usulan.
ET : Bagaimana kalau ternyata kita sudah berusaha untuk menyajikan secara obyektif, dukungan itu tetap belum kita dapatkan?
PG : Nah ini sering terjadi dan pasti membuat kita frustrasi, namun sekali lagi kita harus sadari bahwa gagasan yang baik itu belum tentu siap diterima. Adakalanya gagasan yang baik itu barusiap diterima beberapa tahun setelahnya, jadi akhirnya yang kita perlakukan adalah kita mengalah, kita tidak memaksakan kehendak.
Nah sudah tentu kompromi kita ini ada batasnya, ada waktu-waktu di mana kita memang tidak bisa lagi menoleransi yang telah kita alami dan kita berkata sudah saya harus berhenti misalnya, sebab ini tidak bisa lagi saya toleransi atau yang kita lihat sudah terlalu jauh menyimpang dan kita berkata maaf saya tidak bisa terima lagi ini. Jadi memang ada faktor-faktor yang kita harus pertimbangkan berapa jauhnya kita bisa mengalah atau menoleransi, kalau sudah keterlaluan dan mengganggu hati nurani kita, saya kira kita bisa berkata tidak lagi, saya akan berhenti.
GS : Dalam hal itu secara pribadi mungkin dia sudah diterima Pak Paul, tapi idenya tetap ditolak?
PG : Betul, bisa jadi dianya sudah diterima, bagus sekali point itu Pak Gunawan, tapi ternyata gagasannya belum siap untuk diimplementasikan.
GS : Nah apakah perlu mencoba gagasan yang lain sebelum dia menyerah untuk keluar dari situ?
PG : Bisa juga misalnya kita itu menurunkan target kita, misalnya memulai dengan langkah-langkah yang lebih kecil sebagai tangga menuju ke situ. Nah salah satu cara yang saya sering tahu dignakan orang adalah melobi, Pak Gunawan dan Ibu Esther.
Dan saya tahu dalam kasus-kasus tertentu melobi itu efektif, tidak selalu buruklah melobi. Namun saya pribadi memang tidak begitu nyaman melobi, karena bagi saya kalau kita melobi seseorang untuk mendukung usulan kita dalam rapat bersama sudah terjadi sebetulnya kontrak tanpa disadari, kontrak hutang di mana kita berhutang kepada dia yang akan memberikan dukungan kepada kita. Nah nanti dalam rapat dia akan mendukung kita, OK! Kita akhirnya misalkan, menang kita mendapatkan yang kita inginkan. Namun jangan sampai kita lupa dalam lain kesempatan misalkan dia mengajukan usulan yang kita sebetulnya tidak begitu setuju, namun karena adanya hutang itu kita terpaksa mengiakan dia atau kita terpaksa diam tidak berkata apa-apa, meskipun kita tahu dia keliru. Jadi akhirnya tujuan akhir, tujuan yang seharusnya dicapai tidak dicapai yaitu membuat keputusan yang baik, akhirnya tidak dicapai karena ada hutang budi itu. Itu alasan saya yang pertama kenapa saya tidak begitu nyaman dengan melobi-lobi orang. Yang kedua adalah melobi itu akan menciptakan koalisi dalam suatu organisasi dan itu tidak sehat sebetulnya. Sebab orang ingin melihat semua yang ada dalam forum kerja ini setara, kecuali memang secara jabatan di atasnya. Namun kalau dalam forum kerja di mana yang setara secara posisi itu sebagiannya mempunyai akses tertentu kepada atasan itu sudah menciptakan koalisi dan koalisi itu memecah. Memecah jiwa kebersamaan mungkin awal-awalnya tidak membuahkan problem, tapi di kemudian hari akan membuahkan problem. Karena mulai dari koalisi akan berakhir dengan ketidakadilan, ujung-ujungnya ke situ, akan dilihat orang-orang yang mempunyai koalisi itu adalah orang-orang yang banyak menerima keuntungan atau diuntungkan oleh koalisi itu dengan atasan dan sebagainya. Jadi sebaiknya memang kita tidak berlobi, itu pendapat saya, kalau mau lontarkan, lontarkan bersama begitu.
ET : Sampai batas mana kira-kira Pak Paul, maksudnya kita bisa menoleransi dalam arti memang inilah saatnya saya untuk berhenti dalam kaitannya dengan frustrasi tadi. Ide sudah dilontarkan, orang sudah diterima tapi ide terus tidak diterima, memang mungkin apakah ada batasan tertentu sampai kita bisa bilang saya pindah saja atau usaha yang lain begitu?
PG : Saya kira ada dua pertimbangan, yang pertama adalah kalau sesuatu yang dilakukan oleh tempat pekerjaan kita itu berdosa, kita memakai standar firman Tuhan. Kalau berdosa kita tidak mau mbil bagian di dalamnya.
Ini memang bukannya dosa yang interpretasi-interpretasi, tapi dosa yang sungguh-sungguh jelas hitam putih. Memang tidak banyak yang benar-benar hitam putih, tapi kalau misalnya kita tahu ini dosa jangan ambil bagian. Kedua adalah kalau kita melihat bahwa kita tidak bisa lagi efektif memberikan sumbang sih misalnya kita sudah terlalu terhambat di sini, kita sudah tidak bisa lagi memberikan diri kita dengan baik lalu kita ditindas, dibedakan dan sebagainya. Dan kita akhirnya merasa kitapun tidak efektif di sini, nah waktu kita tidak efektif lagi karena perasaan-perasaan kita itu sudah sangat terganggu, saya kira waktunya kita keluar begitu. Sebab apa, saya beranggapan memang kita ini didesain Tuhan untuk menjadi seperti yang Tuhan kehendaki, kita sebaiknya dan sebisanya menggunakan karunia-karunia yang telah dianugerahkan kepada kita. Namun kalau sampai kita tidak bisa lagi memakai berarti memang tempat itu tidak cocok lagi dan kita harus pindah.
ET : Karena saya melihat cukup banyak orang-orang yang khawatir dengan kata loyalitas, sepertinya tidak loyal begitu pindah, pindah, pindah padahal kalau mau dipertimbangkan dengan sungguh-sngguh dia punya alasan yang jelas.
PG : Loyalitas sesuatu yang sering kali ditanamkan oleh perusahaan atau atasan supaya berbuah positif untuk perusahaannya dan saya bisa mengerti kenapa? Tapi sekali lagi kita harus kembali kpada apakah kita efektif di situ, waktu kita melihat tidak efektif lagi dan kita lebih bisa efektif di tempat yang lain saya kira silakan pindah.
Meskipun faktor-faktor finansial dan sebagainya harus kita pertimbangkan pula, kita mungkin sudah mempunyai keluarga atau apa, jadi kadang-kadang tidak bisa langsung bertindak.
GS : Cuma kadang-kadang itu terlalu cepat Pak Paul, maksudnya orang terlalu cepat sampai pada kesimpulan memang ini tidak cocok, saya tidak bisa efektif di sini. Padahal sebenarnya kalau saja dia mau lebih tekun di situ, mau sungguh-sungguh memelihara relasi kerja sebenarnya dia bisa.
PG : Bagus sekali masukan Pak Gunawan, jadi sebelum kita sampai ke langkah terakhir tadi, memang kita harus menjalani langkah-langkah sebelumnya yang tadi telah kita bicarakan. Sudahkah dia encoba untuk diterima menjadi bagian dulu, sudahkah dia mencoba untuk mengalah, untuk melihat bahwa memang teman-temannya belum siap.
Jadi semua harus dilakukan, kalau memang semua sudah dilakukan untuk jangka waktu yang agak panjang dan memang sangat mengganggu dia, dia tidak bisa lagi terima baru dia pikirkan, jadi ini langkah terakhir bukanlah langkah pertama.
GS : Dalam hal ini Pak Paul, apakah firman Tuhan berbicara juga untuk melengkapi kita?
PG : Saya akan bacakan dari Kolose 3:23, "Apapun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia." Jadi ini adalah suatu himauan, suatu permintaan Tuhan apapun yang kita lakukan dalam hidup ini perbuatlah dengan segenap hati seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia.
Meskipun kita bekerja untuk manusia tapi kita bersungguh-sungguh dan memberikan yang terbaik. Memang ada orang berkata begini, jadilah dirimu tapi jadilah dirimu yang terbaik. Jadi saya kira kita bisa aplikasikan di sini, kita bekerja berikan yang terbaik karena kita tahu yang melihat adalah Tuhan. Kadang-kadang atasan kita pun tidak melihat yang kita lakukan, tapi Tuhan melihat dan Tuhan mencatat yang kita lakukan itu dengan sungguh-sungguh.
GS : Mungkin perlu dihayati bahwa pekerjaan yang kita terima itu diberikan oleh Tuhan sehingga tanggung jawab kita kepada Tuhan juga. Dan saya percaya bahwa pedoman inilah yang bisa kita bagikan kepada para pendengar sebagai suatu pegangan di dalam menempuh, membina suatu relasi kerja yang memang harus diakui tidak mudah khususnya pada saat-saat seperti ini.
Terima kasih Pak Paul dan juga Ibu Esther, saudara-saudara pendengar demikian tadi Anda telah mengikuti perbincangan kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Memelihara Relasi Kerja". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, kami persilakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan dan akhirnya dari studio kami ucapkan terima kasih atas perhatian Anda, sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.END_DATA