Kepahitan Anak

Versi printer-friendly
Kode Kaset: 
T350A
Nara Sumber: 
Pdt. Dr. Paul Gunadi
Abstrak: 
Kadang tanpa disadari perlakuan kita kepada anak menimbulkan kepahitan. Akhirnya sampai besar anak terus menyimpan kepahitan dan tidak lagi bisa dekat dengan kita. Ada tiga tindakan orang tua yang dapat menimbulkan kepahitan mendalam pada diri anak dan ketiganya sebetulnya mempunyai akar yang sama yaitu penolakan.
Audio
MP3: 
Play Audio: 
Ringkasan

Kadang tanpa disadari perlakuan kita kepada anak menimbulkan kepahitan. Akhirnya sampai besar anak terus menyimpan kepahitan dan tidak lagi bisa dekat dengan kita. Ada tiga tindakan orangtua yang dapat menimbulkan kepahitan mendalam pada diri anak dan ketiganya sebetulnya mempunyai akar yang sama yaitu penolakan.

  1. Pertama adalah pembandingan dan perlakuan tidak sama, terutama dengan saudara sendiri. Mungkin karena ingin memacu semangat anak, kita membandingkannya dengan kakak atau adiknya. Kadang kita pun membandingkan anak dengan kakak atau adiknya bukan karena kita ingin memacu semangatnya melainkan untuk melampiaskan kekecewaan kita terhadapnya. Tidak bisa tidak, pesan yang diterima anak adalah bahwa ia tidak sebaik kakak atau adiknya dan bahwa ia tidak mempunyai sesuatu yang dapat membanggakan orangtuanya seperti yang dimiliki kakak atau adiknya. Sebagai orangtua kita harus memperlakukan anak sebagai pribadi yang unik. Sesungguhnya sebelum kita membandingkan anak, ia sendiri sudah terlebih dahulu melakukannya. Ia akan menilik apa yang menjadi kelebihan kakak atau adiknya dan membandingkannya dengan dirinya sendiri. Apabila ia melihat bahwa ia tidak memiliki kelebihan kakak atau adiknya, sebenarnya ia sudah mulai merasa diri "kurang." Ia pun telah melihat bahwa ia "lain" dari kakak dan adiknya. Sudah tentu perasaan ini bukanlah sesuatu yang mudah diterimanya. Itu sebabnya sewaktu orangtua membanding-bandingkannya apalagi memperlakukannya berbeda dari kakak dan adiknya ia merasa sangat disakiti. Yang dibutuhkannya adalah penerimaan dan penguatan; yang didapat malah dibandingkan dan dibedakan. Tidak heran pada akhirnya ia menyimpan kepahitan dan berupaya untuk hidup berlawanan dari apa yang diharapkan orangtua.
  2. Kedua, kepahitan dapat ditimbulkan oleh penolakan orang tua untuk memberi pertolongan kepada anak sewaktu anak dalam keadaan butuh. Pada saat anak mulai dewasa anak mulai memikirkan hal-hal yang ingin dilakukannya. Tidak jarang anak berpaling kepada orangtua untuk memberinya bantuan. Nah, pada saat itu bila orangtua menolak permintaannya, besar kemungkinan hal ini akan menimbulkan kepahitan. Bila jelas terlihat bahwa anak bukan memanipulasi kita dan bahwa ia memang memerlukan bantuan, misalnya untuk merintis usahanya, dan kita memang sanggup menolongnya, sebaiknya berilah pertolongan. Biarlah kita berbagian dalam usahanya mengembangkan diri dan merintis kehidupannya. Ketidakrelaan kita menolongnya membuatnya berpikir bahwa kita tidak ingin melihat ia berhasil dalam hidup dan bahwa kita adalah kejam.
    Amsal 25:21-22 berkata, "Jikalau seterumu lapar, berilah dia makan roti, dan jikalau ia dahaga berilah dia air minum. Karena engkau akan menimbun bara api di atas kepalanya dan Tuhan akan membalas itu kepadamu." Orang yang tengah butuh adalah orang yang menyimpan bara api di kepalanya alias panas. Sewaktu kita menolak untuk membantunya, ia akan menyimpan kepahitan yang dalam. Sebaliknya jika kita menolongnya, ia akan merasakan kelegaan yang dalam. Jadi, jika anak sedang membutuhkan pertolongan, berilah. Kalau tidak bisa memberi semua, berilah sebagian. Tunjukkanlah bahwa kita mengasihinya, bukan hanya dengan perkataan tetapi juga dengan perbuatan. Anak yang menerima pertolongan dalam kesusahan, akan selalu tahu dan mengingat bahwa orangtuanya sungguh mengasihinya.
  3. Ketiga, kepahitan pada anak muncul ketika ia bersalah dan memerlukan pengampunan, kita tidak bersedia mengampuninya. Amsal 16:6 berkata, "Dengan kasih dan kesetiaan, kesalahan diampuni." Anak adalah manusia biasa, yang dapat melakukan kesalahan. Adakalanya anak melakukan kesalahan yang besar, yang mungkin sangat melukai hati kita. Nah, dalam situasi seperti ini anak memerlukan pengampunan. Sewaktu anak menerima pengampunan, ia pun akan melihat kasih dan kesetiaan kita kepadanya. Bukti kasih terbesar adalah sewaktu kesalahan terjadi dan pengampunan dibutuhkan. Anak akan sungguh-sungguh tahu bahwa kita mengasihinya pada waktu kita mengampuni kesalahan yang diperbuatnya. Anak pun baru akan tahu bahwa kita setia kepadanya dan tidak akan meninggalkannya pada saat ia melakukan perbuatan yang mengecewakan dan kita tetap menerimanya. Sebaliknya bila kita cepat mengubah sikap dan malah tidak bersedia mengampuninya, ia pun tahu bahwa kita tidak benar-benar mengasihinya dan bahwa kita tidak setia kepadanya. Ia pun cepat menyimpulkan bahwa ia hanya berharga dan dikasihi jikalau ia dapat membuat kita orangtuanya senang dan bangga atas pencapaiannya. Inilah hal yang berpotensi menimbulkan kepahitan pada diri anak: bahwa ia hanya berharga bila ia dapat melakukan hal-hal yang membanggakan orangtua."Dengan kasih dan kesetiaan kesalahan diampuni." Inilah yang diharapkan anak dari orangtuanya.