Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada, Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Acara ini diselenggarakan oleh Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK bekerja sama dengan radio kesayangan Anda ini. Saya, Hendra, akan berbincang-bincang dengan Bp. Penginjil Sindunata Kurniawan, M.K., beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling keluarga. Perbincangan kami kali ini tentang "Kekerasan Terhadap Anak" Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
H : Pak Sindu, kenapa topik "Kekerasan Terhadap Anak" penting untuk diangkat ?
SK : Topik ini penting, pertama mengingat jumlah anak di Indonesia sangatlah besar yakni sekitar 34% atau sepertiga dari jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 240 juta jiwa. Ini berarti penduduk Indonesia yang dalam usia anak-anak itu sekitar lebih dari 80 juta jiwa. Ini angka yang sangat besar yang perlu kita beri perhatian secara khusus, usia anak-anak di negeri kita ini.
H : Jadi sepertiga masyarakat Indonesia itu adalah anak-anak ya, Pak ?
SK : Betul. Dan jangan lupa, berbicara anak, itu berarti dalam 10 – 20 tahun ke depan mereka inilah yang akan menjadi penentu bagi kehidupan negeri kita. mereka akan menjadi angkatan muda, menjadi pemimpin-pemimpin muda yang akan mempengaruhi kualitas bangsa kita ke depan.
H : Apakah Bapak memiliki data-data mengenai kekerasan terhadap anak di Indonesia, Pak ?
SK : Ya. Jadi data-datanya bisa saya ambil dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) yang kemudian berubah nama menjadi Komnas PA atau Komisi Nasional Perlindungan Anak. Dimana pada tahun 2003 tercatat 481 kasus kekerasan terhadap anak. Setahun kemudian jumlah dari 481 ini menjadi 547 kasus. Dan 8 tahun kemudian, tahun 2012, melonjak menjadi 2637 kasus kekerasan terhadap anak. Jadi dalam 8 tahun melonjak sampai 5 kali lipat kasus kekerasan terhadap anak. Kemudian pada bulan Januari hingga Juli, satu semester 2013, tercatat 1824 kasus. Jadi kita lihat kalau tahun 2012 ada 2637 kasus, tahun berikutnya baru setengah tahun itu sudah mencapai 1824. Berarti jumlahnya bertambah sekitar 70% dari tahun sebelumnya hanya dalam enam bulan ! Jadi kita bisa melihat bahwa memang ada kecenderungan grafik yang naik dari tahun ke tahun dalam hal kekerasan terhadap anak.
H : Belum lagi kasus yang tidak tercatat atau tidak terlaporkan, ya Pak ?
SK : Betul. Jadi memang berbicara tentang angka-angka ini, ini bukanlah angka baku atau angka yang bersifat eksakta. Tapi ini merupakan angka sebuah puncak dari gunung es di lautan. Jadi yang muncul di atas permukaan air laut itu hanya secuil puncak dari gunung es. Tapi bagian yang paling besar ada di bawah permukaan air laut. Jadi kalau angkanya misalnya 1824 itu angka sesungguhnya bisa jadi 3 – 5 kali lipat dari angka yang terlaporkan. Karena begini, tidak semua orang akan melaporkan kasus kekerasan terhadap anak. Ada yang karena malu, takut dan kemudian ada berbagai sebab yang akhirnya tidak terdeteksi, tidak diketahui atau dilaporkan kepada Komisi Nasional Perlindungan Anak.
H : Ini angka yang sangat mencengangkan sekaligus mengkhawatirkan, ya Pak Sindu. Definisi dari kekerasan terhadap anak itu sendiri sebenarnya apa, Pak ?
SK : Kekerasan terhadap anak bisa kita mengerti sebagai semua perlakuan berulang terhadap anak baik berupa pengabaian maupun tindakan aktif yang berakibat pada kondisi yang membahayakan atau menimbulkan kerusakan pada diri anak, baik dari segi fisiknya maupun dari segi perkembangan dan kesehatan emosional sang anak. Dan biasanya kekerasan terhadap anak ini dilakukan oleh orang tua atau orang-orang lain yang bertanggung jawab terhadap pengasuhan anak.
H : Oh, jadi kekerasan terhadap anak ini tidak melulu terbatas pada kekerasan fisik, ya Pak ?
SK : Ya, jadi memang bukan hanya fisik tapi juga menyentuh segi emosional anak. Tadi saya jelaskan, perlakuan berulang terhadap anak yang membahayakan atau menimbulkan kerusakan ini bukan semata-mata tindakan aktif, Pak Hendra, tapi juga termasuk perlakuan pengabaian terhadap anak. Pengabaian disini mencakup dari segi kegagalan orang tua di dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab pengasuhan mereka. Baik itu berupa penolakan orang tua secara sengaja terhadap tugasnya maupun bisa jadi karena orang tua tidak mampu untuk menjalankan tugas pengasuhannya. Mungkin karena dia mengalami keterbatasan fisik, keterbatasan emosional atau orang tua terpaksa harus meninggalkan anaknya untuk bekerja di tempat yang jauh, ini termasuk dalam kategori kekerasan terhadap anak.
H : Kalau boleh disimpulkan, sebenarnya ada berapa banyak kategori kekerasan kepada anak atau "Child Abuse" ini?
SK : Kekerasan terhadap anak atau child abuse itu ada 4 kategori, Pak Hendra. Yang pertama, kekerasan secara fisik terhadap anak. Yang kedua, kekerasan secara psikis. Yang ketiga, kekerasan secara seksual. Yang keempat, kekerasan secara sosial terhadap anak.
H : Tadi Bapak sempat menyinggung tentang kekerasan secara fisik. Tapi untuk mendalami supaya kita semua bisa tahu kekerasan terhadap anak secara fisik itu seperti apa saja, bisakah dijelaskan lebih mendalam ?
SK : Kekerasan secara fisik terhadap anak itu bisa berupa penyiksaan, pemukulan, penganiayaan terhadap anak, baik dengan menggunakan benda-benda tertentu ataupun tanpa menggunakan benda-benda tertentu yang akibatnya menimbulkan luka-luka fisik ataupun kematian pada anak.
H : Kematian pada anak, seperti apa yang bisa diakibatkan dari kekerasan terhadap anak secara fisik ? Apakah orang tua bisa sampai hati seperti itu ?
SK : Ya. Memang bisa jadi awalnya orangtua tidak berniat untuk membunuh sang anak. Tetapi karena tindakan yang tidak terkendali, hajaran-hajaran secara fisik bertubi-tubi, bahkan biasanya berhari-hari, berminggu-minggu, dan berbulan-bulan, akhirnya berujung pada kematian sang anak. Karena kondisi anak juga punya keterbatasan. Pukulan dan hajaran yang dilakukan orang tua itu 'kan kuat dan berupa hantaman yang keras bagi anak, sehingga bisa jadi bagi orang dewasa tidak apa-apa atau tidak terlalu parah. Tapi bagi anak, dengan daya tahan tubuh yang terbatas, akhirnya itu mengenai organ-organ dalam tubuhnya. Fungsi-fungsi vital dalam tubuhnya seperti pernafasan atau organ paru-paru, pencernaan, ginjal dan sebagainya mengalami hambatan sehingga akhirnya berujung pada kematian anak.
H : Padahal awalnya maksud orang tua adalah mungkin hanya untuk mendisiplin, tapi jadi lepas kendali, seperti itu Pak ?
SK : Betul. Saya tambahkan, tadi saya menyinggung bahwa hajaran, penganiayaan, penyiksaan secara fisik itu 'kan menimbulkan luka-luka fisik atau kematian pada anak. Tentu luka itu macam-macam. Bisa berupa lecet yang ringan, memar pada bagian tertentu akibat kekerasan benda tumpul, baik itu berupa bekas gigitan, cubitan ataupun hajaran dengan ikat pinggang sehingga membekas ada bilur-bilurnya, ataupun bilur karena hajaran rotan dan hantaman benda-benda lainnya. Selain itu, luka bisa berupa karena benda tajam. Seperti sayatan akibat silet, pisau, parang, sampai bercucuran darah. Juga bisa berupa luka bakar, akibat siraman minyak panas, air panas sampai melempuh, air keras, ataupun akibat sundutan rokok dan seterika. Itupun lokasi lukanya bisa di berbagai bagian. Biasanya beberapa orang dewasa yang melakukan kekerasan secara fisik berusaha melakukan di bagian-bagian tubuh yang tidak terlalu nampak ketika sang anak berpakaian. Misalnya bekasnya ada di bagian paha, lengan, punggung, perut, pantat. Memang ada kalanya orang tua tidak terencana atau berniat menutup-nutupi, jadi secara spontan, akhirnya lukanya ada di bagian kepala. Baik itu mulut, pipi, di bagian sekitar mata, jadi bisa kelihatan
H : Mengerikan sekali. Tapi itu sungguh-sungguh terjadi di dunia nyata. Terjadinya kekerasan terhadap ini dipicu oleh apa, Pak, sampai-sampai orang tua bisa beringas seperti itu ?
SK : Kalau kita kaji, pemicunya umumnya adalah hal-hal yang sebenarnya sepele. Misalnya ada beberapa perilaku anak yang semestinya wajar untuk anak-anak, seperti rewel, tidak mau makan, tidak mau tidur, rewel tidak mau ke sekolah atau mungkin ke gereja. Atau bisa juga ketika anak menangis terus, tidak mau berhenti karena mengekspresikan marahnya atau karena anak merengek minta jajan atau minum susu atau ketika anak misalnya buang air kecil, buang air besar atau muntah, tapi sayangnya di tempat yang tidak dikehendaki oleh pengasuhnya atau orang tuanya. Jadi buang di sembarang tempat atau anak tanpa sengaja memecahkan barang berharga. Hal-hal demikian yang bisa memicu amarah dari orang tua atau sang pengasuh anak.
H : Amarah yang tidak terkendali akhirnya dilampiaskan dalam bentuk kekerasan fisik. Selain kekerasan secara fisik, kekerasan secara psikis itu seperti apa ?
SK : Kekerasan secara psikis itu meliputi hardikan, maksudnya berupa lontaran kata-kata yang keras, yang menghardik, yang memang bermaksud memarahi sang anak. Kekerasan secara psikis juga bisa berupa penyampaian kata-kata yang kasar, sumpah serapah dan kata-kata yang kotor. Dalam hal ini lewat hardikan, lewat lontaran kata-kata yang kasar dan kotor itu, sebenarnya jiwa atau psikis anak mengalami teror, guncangan dan tekanan. Sehingga ini dikategorikan sebagai kekerasan secara psikis. Bisa juga berupa ketika anak dipaparkan atau dipertontonkan, baik itu gambar-gambar, sebuah film atau sejumlah buku, yang berkaitan dengan produk pornografi. Jadi itu juga termasuk kekerasan secara psikis karena semestinya secara kejiwaan anak seharusnya terlindungi dari paparan pornografi, tapi kemudian dipertunjukkan sehingga psikis anak pun mengalami goncangan menyaksikan hal seperti itu. Apalagi jika berkali-kali, itu menggedor jiwanya sehingga ini termasuk kekerasan secara psikis terhadap anak.
H : Kalau tadi yang disakiti adalah fisik, sekarang yang disakiti adalah jiwa anak itu.
SK : Ya, kejiwaan atau kita bisa sebut sebagai segi emosional atau perasaan sang anak.
H : Kalau kekerasan terhadap anak secara seksual itu bentuknya seperti apa ?
SK : Kalau boleh saya tambahkan, berkenaan dengan kekerasan secara psikis memang menimbulkan beberapa dampak. Jadi ada perilaku yang 'maladaptive' atau perilaku yang menunjukkan sang anak kurang dapat menyesuaikan diri atau anak mengalami rasa kurang nyaman dengan lingkungan dimana dia berada. Perilaku yang disebut 'maladaptive' atau kurang dapat menyesuaikan diri ini dapat diperlihatkan dengan perilaku menarik diri, tidak mau bertemu orang, menghindar dari orang-orang lain, mengasingkan diri, mengunci diri, atau kalau bersama orang tua dia tidak mau bersama orang lain, dia hanya bersama 1 -2 orang yang dia rasa paling aman. Bisa juga perilaku yang kurang dapat menyesuaikan diri sebagai akibat kekerasan psikis, anak menjadi pemalu, menarik diri, menangis kalau didekati, takut keluar rumah, takut bertemu dengan orang lain. Jadi kalau kita melihat gejala-gejala tersebut, kita mungkin bisa mulai mempertanyakan, apakah mungkin anak ini mengalami kekerasan secara psikis. Tentunya itu bisa jadi salah satu kemungkinannya, bukan jadi satu-satunya kemungkinan.
H : Jadi kalau kekerasan fisik bisa terlihat dari luka-luka di tubuhnya. Kalau kekerasan psikis karena tidak terlalu tampak bentuk-bentuk lukanya, tapi kita bisa melihat gejala-gejala yang Bapak sampaikan tadi ?
SK : Betul, Pak Hendra.
H : Kembali ke pertanyaan tadi, kekerasan secara seksual itu seperti apa bentuknya ?
SK : Kekerasan secara seksual terhadap anak bisa berwujud dua hal. Yang pertama, perlakuan yang mengarah kontak seksual secara tidak langsung. Jadi biasanya dilakukan oleh orang yang usianya lebih tua, baik itu melalui kata-kata, sentuhan, gambar visual ataupun tindakan exhibitionist. Exhibitionist artinya tindakan yang mempertontonkan alat vital kepada anak-anak. Selain perlakuan yang mengarah kepada kontak seksual tidak langsung tadi, bisa juga kekerasan secara seksual itu berupa perlakuan kontak seksual secara langsung yang dilakukan oleh orang dewasa terhadap anak. Misalnya hubungan sedarah (inses/incest) dimana orang tua kandung melakukan hubungan seks dengan anak kandungnya sendiri. Bisa juga berupa tindak pemerkosaan atau eksploitasi seksual atau dengan kata lain pemanfaatan secara seksual dengan cara yang tidak bertanggung jawab. Inilah beberapa bentuk kekerasan secara seksual terhadap anak.
H : Ini tidak kalah mengerikannya dengan kekerasan fisik dan psikis tadi, ya Pak. Kalau yang terakhir, kekerasan secara sosial terhadap anak itu seperti apa Pak ?
SK : Dari kata sosial itu kita bisa mengerti ini berkaitan dengan bagaimana relasi sang anak dengan orang-orang di sekitarnya. Dalam hal ini, bentuknya ada dua hal, yaitu penelantaran anak dan eksploitasi anak. Penelantaran anak atau pengabaian anak yaitu dimana anak tidak diberi perhatian yang layak oleh orang tuanya atau pengasuhnya. Sehingga mengganggu proses tumbuh kembang anak. Misalnya anak tidak diberi makan dan minum sesuai dengan kebutuhan nutrisinya. Sengaja diabaikan atau tanpa sengaja, tapi itu terjadi berulang-ulang. Bisa juga diabaikan kebutuhannya untuk berkembang lewat dunia pendidikan, mestinya disekolahkan tapi diabaikan kebutuhannya untuk belajar dalam pendidikan formal. Atau bisa juga perawatan kesehatan yang tidak layak, seperti tidak dimandikan atau dimandikan dengan air yang kotor secara sengaja, kalau sakit korengan, batuk, dibiarkan dan tidak diobati padahal orang tua masih bisa mengobati anaknya. Bentuknya juga bisa berupa eksploitasi anak. Dimana anak diperlakukan sewenang-wenang baik oleh keluarga atau masyarakat.
H : Kalau yang tadi lebih dalam konteks dikenai perbuatan secara aktif, kalau ini bisa dikatakan dalam bentuk pasif ? Seperti yang Bapak katakan di awal.
SK : Kekerasan secara sosial bisa sifatnya diabaikan, sepertinya pasif tidak diberi perlakuan apa-apa, atau yang kedua yaitu diberi perlakuan yang buruk seperti eksploitasi anak. Jadi eksploitasi ini misalnya anak dipaksa melakukan sesuatu demi kepentingan ekonomi. Dipaksa bekerja. Ada yang melakukan sesuatu demi kepentingan sosial atau politik, misalnya diajak kampanye politik. Padahal mestinya anak tidak perlu dan tidak boleh hadir dalam kerumunan masa demonstrasi, masa kampanye politik, tapi oleh orang tua dibawa ke tempat-tempat itu, yang sifatnya bisa menimbulkan kegoncangan bagi jiwa anak.
H : Nah, eksploitasi yang Bapak sampaikan ini yang banyak terjadi, yaitu anak-anak dijadikan pekerja untuk memenuhi kebutuhan ekonomi.
SK : Benar. Tanpa sadar kita menganggap lumrah bila anak bekerja. Baik berupa sebagai pekerja rumah tangga, atau bekerja di industri rumah tangga, di sebuah pabrik dan lingkungan industri lainnya. Tapi ini bisa termasuk dalam kategori kekerasan terhadap anak. Jadi memang ada batasan yang pemerintah berikan kepada kita, bagaimana supaya kita tidak memperlakukan anak dengan buruk di dunia kerja.
H : Berapa batasan usia anak untuk bekerja, Pak ?
SK : Pertama, anak yang berusia 13 – 15 tahun diperbolehkan melakukan pekerjaan ringan sepanjang tidak mengganggu perkembangan dan kesehatan fisik, mental dan sosial. Dalam hal ini usia 13 -15 tahun, atau usia SMP, anak boleh bekerja dengan batas waktu maksimum 3 jam dan itu pun ada ijin tertulis dari orang tua atau wali dan ada perjanjian kerja antara pengusaha dengan orang tua atau wali. Dan pekerjaan itu dikerjakan pada siang hari sehingga tidak mengganggu waktu sekolah, kesehatan dan keselamatan kerja sang anak dijamin. Ini menurut Undang-undang No. 13 Tahun 2003. Untuk usia yang minimal untuk 14 tahun, pekerjaan yang dalam rangka kurikulum pendidikan atau pelatihan. Biasanya bagi anak SMK, pendidikan kejuruan. Jadi anak-anak usia minimal 14 tahun boleh bekerja tapi dalam konteks diklat untuk mengembangkan sang anak. Ada lagi yang berkaitan dengan pekerjaan yang asal untuk mengembangkan bakat, minat yang memang sesuai dengan kemauan sang anak, itu pun dalam batas-batas yang aman secara fisik, mental, dan sosial anak.
H : Berarti ada kategori pekerjaan yang tidak aman bagi anak-anak itu ya, Pak ?
SK : Betul. Yang tidak aman bagi anak yaitu ketika berkaitan dengan pornografi, minuman keras, narkotika, membahayakan secara fisik misalnya kerja di pabrik alat berat atau berkaitan dengan mesin-mesin berat ataupun yang menimbulkan kontaminasi bahaya kimia atau biologis. Selain itu berbahaya dari segi moral anak, misalnya diskotik, bar, tempat bilyard, bioskop, panti pijat, lokasi prostistusi, lokasi berkaitan dengan seksualitas, minuman keras atau rokok. Ini merupakan jenis-jenis pekerjaan atau lingkungan pekerjaan yang memang tidak memperbolehkan anak bekerja di sana.
H : Artinya bukan hanya memperhatikan batasan usia, tetapi juga harus melihat dengan jeli tempat kerja yang seperti apa, jenis pekerjaannya seperti apa. Baik dari pihak anak, terutama dari pihak orang tua.
SK : Betul. Mari, kita perlu memperhatikan hal ini supaya kesejahteraan mental emosional dan fisik anak, termasuk anak usia remaja, bisa berkembang optimal dengan kita memperhatikan rambu-rambu ini.
H : Terima kasih, Pak Sindu. Apa pesan firman Tuhan yang ingin Bapak sampaikan di akhir perbincangan sesi pertama ini ?
SK : Saya bacakan dari Amsal 16:29, "Orang yang menggunakan kekerasan menyesatkan sesamanya, dan membawa dia di jalan yang tidak baik." Firman Tuhan ini menegaskan bahwa kekerasan itu hanya menimbulkan dampak yang negatif buat hubungan kita dengan orang lain, buat orang lain yang dikenai kekerasan itu dan membawa kepada hasil kehidupan yang benar-benar buruk. Firman Tuhan saja sudah mengingatkan kita apalagi paparan tadi sepatutnya semakin meneguhkan kita: jauhilah jalan kekerasan. Termasuk kekerasan terhadap anak-anak kita.
H : Terima kasih, Pak Sindu. Para pendengar sekalian, terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bapak Penginjil Sindunata Kurniawan, M.K., dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang topic "Kekerasan Terhadap Anak" bagian pertama. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami melalui surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org. kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.