Kekerasan Dalam Rumah Tangga (II)

Versi printer-friendly
Kode Kaset: 
T279B
Nara Sumber: 
Pdt.Dr. Paul Gunadi
Abstrak: 
Sama seperti masalah lainnya, KDRT merupakan problem yang kompleks dan tidak dapat digeneralisasikan. Untuk dapat memahami dan mencegahnya, kita perlu memahami semua jenis komponen yang terlibat antara lain tipe pelaku, tipe korban, dampak pada anak, pemicu dari kekerasan, reaksi terhadap kekerasan. Yang paling diharapkan adalah bagaimana mengatasi kekerasan pada pihak korban dan pada pihak pelaku.
Audio
MP3: 
Play Audio: 
Ringkasan
Sama seperti masalah lainnya, KDRT merupakan problem yang kompleks dan tidak dapat digeneralisasikan. Untuk dapat memahami dan mencegahnya, kita perlu memahami semua jenis komponen yang terlibat. Tipe Pelaku
  1. Orang yang menggunakan kekerasan untuk mengekspresikan kemarahan. Biasanya orang ini mengalami masa kecil yang sarat ketegangan dan kekerasan. Alhasil sewaktu ia marah, kemarahan muncul dalam kadar yang besar. Ditambah dengan pembelajaran cara pengungkapan yang keliru, ia rentan untuk melakukan tindak kekerasan kepada pasangannya. Biasanya orang dengan tipe ini menyadari bahwa tindakannya salah namun ia sendiri tidak dapat mengendalikan dirinya tatkala marah.
  2. Orang yang menggunakan kekerasan untuk mengumbar kekuasaan. Orang seperti ini cenderung memandang pasangannya sebagai obyek yang perlu dikuasai dan diajar. Ia cepat menafsir bantahan pasangan sebagai upaya untuk menghina atau melawannya—tindakan yang "mengharuskannya" untuk mengganjar pasangannya. Orang ini biasanya tidak merasa bersalah sebab ia menganggap tindakannya dapat dibenarkan sebab menurutnya, pasangan memang seharusnya menerima ganjaran itu.
  3. Orang yang menggunakan kekerasan untuk menyeimbangkan posisi dalam pernikahan. Pada umumnya orang ini merasa diri inferior terhadap pasangan dan cepat menuduh pasangan sengaja untuk merendahkannya. Itu sebabnya ia menggunakan kekerasan untuk merebut kembali kekuasaan dalam rumah tangganya, biasanya ia tidak merasa bersalah.
  4. Orang yang menggunakan kekerasan sebagai jalan keluar terakhir untuk menyelesaikan konflik. Pada umumnya orang ini tidak terbiasa menggunakan kekerasan namun dalam keadaan frustrasi, ia pun merasa terdesak sehingga secara spontan menggunakan kekerasan. Pada dasarnya ia tidak menyetujui cara ini dan merasa bersalah telah melakukannya.
Tipe Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga
  1. Orang yang berjenis penantang. Orang ini hanya mengenal bahasa menaklukkan atau ditaklukkan oleh karena masa kecil yang juga sarat dengan kekerasan. Itu sebabnya sewaktu terjadi perselisihan, ia cepat bereaksi menantang seakan-akan perselisihan merupakan ajang adu kekuatan alias perkelahian. Tidak jarang, korban dengan tipe penantang adalah pihak pertama yang menggunakan kekerasan.
  2. Orang yang bergantung. Orang ini tidak dapat hidup sendirian dan membutuhkan pasangan untuk "menghidupinya." Orang tipe bergantung membuat pasangan kehilangan respek sehingga dalam kemarahan ia mudah terjebak dalam penggunaan kekerasan. Kekerasan merupakan wujud keinginannya untuk melepaskan diri dari kebergantungan pasangan pada dirinnya sekaligus ekspresi dari ketidakhormatan kepada pasangan yang bergantung.
  3. Orang yang berperan sebagai pelindung. Orang ini senantiasa berusaha keras menutupi masalah keluarganya demi menjaga nama baik. Orang bertipe ini cenderung menoleransi kekerasan alias membiarkannya sehingga masalah terus berulang. Orang ini selalu berusaha mengerti namun tindakan ini berakibat buruk pada pasangan yang menggunakan kekerasan. Ia makin leluasa menggunakan kekerasan karena tidak ada konsekuensi yang menantinya.
Dampak Kekerasan pada Anak
  1. Dampak pertama adalah ketegangan. Anak senantiasa hidup dalam bayang-bayang kekerasan yang dapat terjadi kapan saja dan ini menimbulkan efek antisipasi. Anak selalu mengantisipasi jauh sebelumnya bahwa kekerasan akan terjadi sehingga hari-harinya terisi oleh ketegangan.
  2. Berikut adalah mengunci pintu perasaan. Ia berupaya melindungi dirinya agar tidak tegang dan takut dengan cara tidak mengizinkan dirinya merasakan apa pun. Singkat kata, ia membuat perasaannya mati supaya ia tidak lagi harus merasakan kekacauan dan ketegangan.
  3. Kebalikan dari yang sebelumnya adalah justru membuka pintu perasaan selebar-lebarnya, dalam pengertian ia tidak lagi memunyai kendali atas perasaannya. Ia mudah marah, takut, sedih, tegang dan semua perasaan ini mengayunkannya setiap waktu.
  4. Dampak berikut adalah terhambatnya pertumbuhan anak. Untuk dapat bertumbuh dengan normal anak memerlukan suasana hidup yang tenteram. Ketakutan dan ketegangan melumpuhkan anak dan menghambat pertumbuhan dirinya. Misalnya, dalam kepercayaan, ia sukar sekali memercayai siapa pun dan masalah ini akan memengaruhi relasinya kelak sebab ia akan mengalami kesulitan membangun sebuah relasi yang intim.
  5. Terakhir adalah kekerasan dalam rumah tangga akan mendistorsi pola relasi. Pada akhirnya anak rawan untuk mengembangkan pola relasi bermasalah seperti manipulatif, pemangsa, pemanfaat, dan peran korban.
Pemicu Kekerasan
  1. Dalam situasi yang relatif normal, kekerasan terjadi akibat situasi panas yang menjadi tak terkendali. Pada akhirnya akal sehat dan penguasaan diri tunduk pada kemarahan yang memuncak sehingga terjadilah kekerasan.
  2. Kekerasan dapat terjadi tatkala salah satu pihak merasa dipermalukan. Dampak daripada dipermalukan adalah merasa dihina sehingga keluarlah kekerasan untuk membalas rasa dihina itu.
  3. Kekerasan juga dapat terjadi sewaktu seseorang merasa terancam. Ia merasa bahaya makin mendekatinya dan untuk menghalaunya ia menggunakan kekerasan. Misalnya pasangan mengancam untuk menceraikannya atau melaporkannya ke pihak tertentu. Dalam kondisi terancam ini seseorang rentan untuk menggunakan kekerasan untuk menghentikan datangnya bahaya.
  4. Ada pula yang memang menikmati dan memperoleh kesenangan dari kekerasan. Sudah tentu ini tergolong gangguan kepribadian yang serius. Ia merasa puas dan di atas angin tatkala dapat membuat orang menderita atau setidaknya, takut kepadanya.
Reaksi terhadap Kekerasan
  1. Pada umumnya korban merasa ketakutan yang besar. Pada akhirnya hidupnya menjadi lumpuh karena ia selalu dibayang-bayangi konsekuensi buruk yang menantinya.
  2. Kebanyakan korban juga menyimpan marah dan benci kendati tidak selalu ia memerlihatkannya karena takut.
  3. Banyak korban kekerasan yang merasa malu. Mungkin malu dilihat orang berhubung adanya bekas pemukulan tetapi kalaupun tidak ada bekasnya, ia merasa malu karena perbuatan kekerasan merupakan aib dalam keluarga. Julukan "dipukuli suami" tetap bukanlah julukan yang terhormat.
  4. Terakhir adalah hilangnya respek pada pasangan. Dan, biasanya hilangnya respek diikuti oleh hilangnya kasih. Sayangnya namun cukup sering terjadi, korban pun pada akhirnya kehilangan respek pada diri sendiri dan cenderung melihat diri seperti sampah.
Mengatasi Kekerasan dari Pihak Korban
  1. Korban perlu berupaya menghilangkan faktor pemicu yaitu, (a) situasi memanas yang tak terkendali, (b) merasa dipermalukan, dan (c) merasa terancam.
  2. Korban pun harus mengundang keterlibatan pihak luar sebab jika tidak, si pelaku kekerasan akan makin menjadi-jadi. Sesungguhnya yang diinginkan si pelaku kekerasan adalah agar masalah tidak diketahui pihak luar, supaya ia tetap bebas berulah. Itu sebabnya ia kerap mengancam korban untuk tutup mulut.
Mengatasi Kekerasan dari Pihak Pelaku
  1. Pelaku harus belajar memfokuskan pada proses internal. Misalnya menanyakan, sesungguhnya apakah yang dibutuhkan atau diinginkannya. Pada dasarnya tindak kekerasan merupakan sebuah usaha untuk mendapatkan sesuatu yang diinginkannya namun dengan cara yang salah dan berbahaya.
  2. Pelaku juga perlu belajar untuk tidak terbelenggu oleh respons atau sikap orang lain terhadapnya. Ia terlalu mudah memberi reaksi sehingga gagal memikirkan dan mencegahnya.
  3. Pelaku mesti belajar untuk meminta—bukan menuntut—pasangan. Ini sulit dilakukannya sebab perbuatan ini menuntutnya untuk rendah hati. Namun untuk mencegah terulangnya kekerasan, ia harus belajar mengungkapkan isi hatinya secara verbal.