Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen, akan berbincang-bincang dengan Bp.Pdt.Dr.Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara, Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Hidup Bersama Penderita Trauma." Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
Lengkap
GS : Pak Paul, beberapa waktu yang lalu kita memperbincangkan tentang orang yang menderita trauma karena siksaan pada masa kecilnya. Mungkin ada beberapa pendengar kita kali ini yang tidak sempat mendengarkan perbincangan kita pada beberapa waktu yang lalu, mungkin Pak Paul bisa menjelaskan secara ringkas sebenarnya apa dan bagaimana orang yang menderita trauma itu Pak Paul?
PG : Ada sebagian di antara kita yang mengalami masa kecil yang buruk, dalam pengertian seharusnya mereka menerima perlakuan yang penuh kasih sayang, dilindungi oleh orangtuanya namun justru yag mereka alami adalah pengalaman yang buruk.
Mereka mengalami penganiayaan baik itu bersifat fisik ataupun bersifat emosional, ada juga yang bersifat seksual. Akhirnya mereka hidup dalam ketegangan dan ketakutan terus-menerus. Ketakutan dan ketegangan ini mereka bawa sampai usia dewasa meski mereka tidak mau lagi, tapi mereka terus dikuasai oleh masa lampau itu. Masa lampau terus mendikte hidup mereka, meskipun mereka sadar dan mereka tahu tidak ada lagi yang harus mereka takuti tapi tetap sering kali ketakutan muncul. Tidak ada yang menghina mereka tapi perasaannya bahwa orang sering kali menghina mereka; tidak ada yang mengancam mereka, tapi rasanya orang mau mengancam mereka. Sehingga dapat kita katakan, masa lalu itu terus mendikte kehidupan mereka di masa sekarang ini, kira-kira itulah yang kita maksud dengan orang-orang yang mengalami trauma dan tetap hidup di dalam trauma itu.
GS : Tetapi orang yang demikian bukankah masih tetap bisa bersosialisasi bahkan membentuk suatu keluarga, Pak Paul?
PG : Bisa Pak Gunawan, jadi sering kali mereka tidak akan menampakkan gejala itu di dalam relasi yang biasa-biasa. Gejala-gejala masa lampau itu muncul sebetulnya di dalam relasi yang akrab, yag intim dan kita tahu relasi yang paling intim adalah relasi suami-istri atau keluarga.
Inilah wadahnya, inilah ajangnya, yang mengeluarkan trauma-trauma atau reaksi-reaksi terhadap trauma itu.
GS : Kalau kita sebagai anggota keluarga dan ditengah-tengah kita ada orang yang menderita trauma seperti itu, apa pengaruhnya Pak?
PG : Begini Pak Gunawan, orang-orang yang trauma pada masa lampau mudah sekali tegang tapi di pihak lain mereka takut tegang. Karena mudah tegang, emosi mereka mudah meluap, dan bisa dimunculka dalam bentuk kemarahan.
Dan itu biasanya adalah ekspresi mereka yang umum atau kalau mereka tak biasa mengekspresikan kemarahan, mereka akan telan kemarahan itu. Nah ada sebagian orang yang menelan kemarahannya, yang menelan kemarahan akhirnya kalau tidak menjaga diri baik-baik mudah sekali masuk ke lembah depresi. Kalau yang tidak menelan kemarahannya, malah mengeluarkannya dengan mudah, sebetulnya lebih terlindungi dari gangguan depresi. Karena memang dia tidak menelan dan akhirnya terhimpit oleh kemarahan yang berbentuk depresi itu. Nah itu dampak pertama dari mudah tegang, masalahnya berikutnya adalah mereka itu takut tegang. Jadi karena mudah tegang, emosi mudah meluap. Yang kedua takut tegang, jadi selalu menghindar dari situasi yang mengancam, yang menegangkan, yang mengandung risiko tinggi dan sebagainya, jadi takut sekali dengan ketegangan. Akibatnya mereka cenderung menebarkan ketakutan itu atau kecemasannya kepada anggota keluarga yang lainnya. Sehingga kadang-kadang anggota keluarga itu tidak begitu menikmati bersama dengan orang yang menderita gangguan trauma masa lampau itu. Karena sedikit-sedikit dilarang, sedikit-sedikit tidak boleh, sedikit-sedikit harus begini harus begitu. Karena saking takut tegangnya jadi hidup itu harus dirancang sesuai dengan keinginannya. Begitu kita seolah-olah melenceng dari garis yang ditentukannya dia tidak suka karena itu menegangkan dia, seolah-olah itu di luar kendalinya. Nah segala sesuatu yang di luar kendalinya menegangkan, dan dia tidak suka jadi dia akan paksa orang mengikuti garis besar yang telah ditetapkannya itu. Ini sering kali yang terjadi di dalam rumah tangga di mana ada seseorang di dalamnya yang terkena gangguan masa lampau itu.
GS : Katakan itu seorang ibu yang dulunya pada masa kecilnya dia sering kali dipukuli oleh orangtuanya, itu ketika mendidik anaknya pola yang sama itu coba akan diterapkan lagi.
PG : Ini ironis Pak Gunawan, sebab sebagian dari mereka, benar-benar bertekad bahwa mereka tidak akan memperlakukan anak-anaknya seperti mereka dulu diperlakukan oleh orangtuanya. Nah sebagian emang berhasil menjaga diri sehingga tidak melakukannya.
Kalau Pak Gunawan bertanya kepada saya kenapa bisa berhasil, banyak faktor juga. Ada anak-anak yang dari lahir itu nurut, baik, dia tidak usah diomeli dengan keras dia sudah takut. Nah kalau dia mempunyai anak seperti itu, benar-benar dari lahir memang baik, menurut, kemungkinan sekali dia tidak terlalu sering marah atau akhirnya memukuli anak, karena tidak perlu. Jadi ada orangtua yang akhirnya berhasil tapi bukan karena mampu atau kuat tapi karena memang tidak dipancing keluar. Ada juga memang orang yang berhasil karena dia mendapatkan dukungan dari pasangannya yang sangat kuat, sehingga dia tidak harus memunculkan perasaan marahnya, pasangannya sudah terlibat langsung mengurus anak sehingga dia terlindungi dari interaksi langsung atau mendisiplin langsung anak-anaknya, nah itu juga bisa menjadi faktor yang menolong. Atau yang lain lagi, dia memang berhasil benar-benar menguasai ketakutan, kemarahannya itu dan dia berhasil memegang emosi-emosi itu sehingga waktu anak-anaknya berulah, dia tidak harus meluapkan emosinya kepada anak-anak. Namun ini fakta yang sebaliknya, ada orang-orang yang tidak berhasil, meskipun setelah memarahi anak, memukuli anak, menyesal luar biasa. "Kenapa hanya gara-gara kesalahan kecil ini saja saya harus bereaksi secara keras, tapi ya sudah terjadi, nasi sudah menjadi bubur." Anak sudah kita marahi habis-habisan dan kita berkata kenapa saya mengulang apa yang orangtua saya lakukan. Bukankah saya dulu korban, dan saya tidak suka atas perlakuan itu. Jawabannya adalah nomor satu, apa yang kita lihat, pola-pola orangtua yang mendisiplin kita dengan berlebihan dan keras itu akhirnya kita adopsi. Karena itulah yang kita alami hari lepas hari, minggu demi minggu, bulan demi bulan, tahun demi tahun akhirnya meresap masuk. Kita sebagai anak kecil belum mempunyai sistem pertahanan untuk menangkal peristiwa-peristiwa buruk itu atau memahaminya atau merasionalisasinya, belum punya semua itu. Belum bisa menyaring, ini jangan saya terima, ini buruk, anak kecil belum mempunyai semua itu, sehingga semua masuk, menancap masuk seperti anak panah, sehingga akhirnya membentuk, menyatu dengan kepribadian kita. Akhirnya waktu kita marah, muncullah semua yang kita alami itu. Yang kedua, kenapa kita serap meskipun tidak suka. Karena kita menyimpan banyak kemarahan, perlakuan orangtua yang tidak adil dan sebagainya itu menyerap masuk tapi membuat kita tak berdaya sehingga tatkala kita sudah dewasa, kemarahan itu tetap ada dalam diri kita dan kita simpan. Ibarat minyak, maka minyak itu sangat banyak, begitu ada percikan api sekecil apapun, cukup untuk meledakkan karena minyak kita sudah tersedia. Nah sering kali dua hal inilah yang membuat kenapa orang-orang yang menderita trauma di masa lampau cukup sering memperlakukan atau mendisiplin anak-anak mereka dengan berlebihan.
GS : Pada hal mereka juga menyadari bahwa itu bukan bentuk pembalasan, karena toh yang membuat dia seperti itu bukan anak-anaknya, tapi selalu dikatakan saya dulu diajar dengan cara seperti ini.
PG : Itu memang yang lebih umum, jadi mereka akan berkata inilah cara saya diajar dulu. Dan mereka tidak mengenal cara yang lain, ini memang pentingnya misalkan di gereja kita mengadakan kelas-elas untuk menjadi orangtua, kalau di Amerika disebut "parenting education", sehingga orang-orang bisa belajar menjadi orangtua.
Untuk menjadi insinyur, kita belajar ilmu teknik, belajar ilmu medis menjadi seorang dokter. Nah jabatan orangtua adalah jabatan yang berlangsung paling lama, lebih dari jabatan seorang dokter atau insinyur, tapi tidak ada sekolah untuk itu. Akhirnya ilmu yang kita serap adalah pengalaman, meskipun buruk itu modal kita, dan itu yang kita gunakan mendisiplin anak-anak kita.
GS : Pengalaman trauma ini bukankah sesuatu yang tidak mengenakkan, tetapi kenapa orang itu sering kali menceritakan kembali apa yang dia alami dahulu, sampai keluarganya itu merasa bosan mendengarkan kisah-kisah seperti itu.
PG : Ini memang terdengar ironis, sebetulnya cerita-cerita yang diulang-ulang itu adalah obat, dia sedang mencoba menyembuhkan dirinya. Karena ini adalah sebuah perjalanan yang dapat dikatakan angat panjang.
Nah di dalam menempuh perjalanan itu dia membutuhkan telinga untuk mendengarkannya. Tapi kita berkata, "Aduh, kita manusia, bisa capek dan bosan." Betul, karena terlalu sering dan cerita yang dikisahkannya itu sama dan diulang-ulang. Tapi kita mesti mengerti Pak Gunawan, mereka untuk waktu yang sangat panjang berpuluhan tahun, tidak berkesempatan menceritakan itu kepada siapapun. Mereka tidak bisa menceritakannya kepada teman mereka, tidak bisa menceritakan mungkin kepada kakek-nenek mereka yang datang berkunjung. Jadi pengalaman buruk itu sering kali menjadi rahasia mereka, rahasia yang tidak enak tapi tidak bisa dicetuskan keluar. Mungkin kita bisa mengerti perasaan seperti ini, kita baru saja mengalami suatu peristiwa yang menggoncangkan kita, tapi kita tidak boleh berbicara. Bagaimanakah mungkin tidak bicara sedangkan perasaan sudah begitu bergejolak, kita tidak bisa menunggu ingin menceritakannya tapi tidak bisa. Kita saja orang dewasa kalau kita mengalami hal seperti itu merasa terganggu, rasanya tidak enak, mau cerita, cerita sama siapa. Itu hanya satu peristiwa, bayangkan kalau ini bukannya satu atau dua tapi bisa puluhan atau ratusan peristiwa yang dialami. Meskipun peristiwanya mirip-mirip, orangtua marah, orangtua memukul, orangtua memaki dan sebagainya tapi ini setiap kali terjadi itu menjadi sebuah insiden yang baru, insiden yang terpisah dari insiden yang kemarin dan kemarinnya lagi. Tapi tidak bisa diceritakan, nah kita bisa membayangkan gejolak yang begitu besar yang harus dikekang, disimpan, tidak boleh dibocorkan akhirnya misalkan orang ini menikah dan mempunyai seorang suami yang sabar, yang baik, yang bisa mendengarkannya dan mau mendengarkannya juga dia akan mulai cerita dan seolah-olah tidak bisa dihentikan. Karena ini mungkin ratusan bahkan ribuan peristiwa yang tersimpan, nah sekarang dia baru bisa ceritakan, dia akan cerita dan cerita. Dan sesungguhnya ini adalah sarananya yang akan juga menolongnya pulih dari gangguan trauma itu.
GS : Tetapi bukankah dengan menceritakan berulang-ulang, dia makin terikat dengan masa lalunya?
PG : Ini salah satu efeknya, dan ini memang tidak bisa dipisahkan dari proses penyembuhannya. Dia mesti menceritakannya karena waktu dia menceritakannya ketegangannya akan berkurang. Jadi pada aktu dia cerita, itu sarana untuk menenangkan atau menyembuhkannya sehingga dia akan lebih rilek untuk sementara.
Meskipun memori itu ada dan seolah-olah disegarkan kembali tidak apa-apa, karena memang yang penting adalah perasaannya keluar. Karena yang terpenting pada akhirnya bukan lagi memorinya tapi perasaan. Pada akhirnya yang kita harapkan adalah memori itu akan selalu ada kecuali kita mengalami amnesia, kita akan melupakan semuanya. Nah memori akan selalu ada, dia akan selalu mengingat namun yang terpenting adalah perasaan yang muncul tidak lagi sekuat dulu. Nah ini target kita, biarkan dia cerita, biarkan memorinya tetap ada asalkan perasaannya, reaksi-reaksi kerasnya yang tidak bisa diprediksi itu makin hari makin berkurang, ini yang penting.
GS : Biasanya sementara dia bercerita, emosinya itu juga meledak-ledak lagi Pak Paul?
PG : Yang bisa kita lakukan adalah kita dengarkan sewaktu dia bercerita, kita coba gali dan tanya, "Apa yang kamu rasakan saat itu? Kalau kamu bisa mengatakannya kepada orangtuamu saat itu, apayang ingin kamu katakan kepada mereka? Kalau kamu boleh marah saat itu karena mereka keterlaluan, apa yang akan kamu katakan dalam kemarahanmu kepada mereka?" Jadi kita mencoba membawanya kembali ke saat itu sebab memang dia sedang membicarakan saat itu.
Dan mengajaknya melihat sesungguhnya apa perasaan-perasaan yang berkecamuk dalam jiwanya. Nah perasaan-perasaan itulah yang kita coba untuk gali keluar, makin sering dia mengeluarkan perasaan-perasaan yang terkandung di dalam peristiwa masa lampau itu sebetulnya makin bersihlah genangan-genangan dalam hatinya itu.
GS : Apakah pada waktu dia menceritakan kembali itu tidak menimbulkan rasa benci?
PG : Nah itu adalah bagian dari penyembuhan, jadi kita tidak melarang dia, "Jangan kamu membenci, masakan kamu orang Kristen membenci dia." Tidak demikian, dia sebetulnya bukan membenci orang trsebut sekarang ini, dia sedang mengekspresikan kebenciannya dulu.
Nah ini perlu sekali kita jelaskan kepada si penderita karena cukup banyak di antara mereka, kalau sudah bertobat, sudah menjadi orang Kristen mereka akan berkata, "Tidak seharusnya saya memarahi, membenci orangtua saya. Bukankah saya seharusnya mengampuni." Nah masalahnya adalah ini bukan kebencian di masa sekarang, ini adalah sisa atau cadangan atau kemarahan yang dulu dirasakan itu. Inilah yang dikeluarkan, dan waktu keluar memang dalam bentuk kemarahan dan kebencian yang dirasakan sekarang. Tapi kita jelaskan ini bukannya berarti kamu belum mengampuni, ini bukannya berarti kamu masih mendendam. Kadang-kadang mereka takut dilabelkan masih mendendam, masih membenci sedangkan mereka tidak mau lagi begitu dan dalam suasana yang normal mereka memang tidak merasakan kemarahan atau kebencian itu kepada orangtua mereka.
GS : Tapi memang kalau ada masalah-masalah khusus yang mengingatkan dia pada masa lalunya, misalnya orangtuanya bertindak sedikit pilih kasih, ini langsung mengingatkan dia pada masa lalunya lagi.
PG : Sekali lagi yang muncul sebetulnya adalah perasaan di masa lampaunya itu, yang sekarang ini sebetulnya sangat tipis. Dia mungkin sekali tidak begitu suka kenapa sih orangtuanya sampai sekaang masih membedakan dia dengan adik atau kakaknya tapi sebetulnya kemarahannya yang begitu besar itu kemarahan yang bersumber dari masa lampaunya dan ini yang perlu kita jelaskan dan ajarkan kepada dia.
Dan tidak apa-apa memunculkannya, jadi biarkan dia memunculkannya. Kalau dia marah, justru kita tanya, "Kalau misalkan kamu bisa bicara langsung dengan orangtuamu apa yang ingin kamu sampaikan kepada mereka, biarkan dia keluarkan. Nah justru setelah dia keluarkan dia akan lebih tenang dan kita akan berkata kepada dia sekarang. "Meskipun mereka begitu terhadapmu, membedakan kamu dengan adikmu, tapi lihat kamu sekarang, puji Tuhan kamu bisa menjalani hidup seperti ini, begitu banyak hal yang telah terjadi yang benar-benar merupakan berkat untuk kamu, puji Tuhan, Tuhanlah yang telah menjadi pembelamu." Itulah yang akhirnya kita sampaikan kepada dia, tapi awalnya ijinkanlah dia mengeluarkan emosinya itu.
GS : Kehadiran seorang penderita trauma, apakah bisa menyebabkan anggota keluarga yang lain menjadi trauma?
PG : Bisa Pak Gunawan, maka ini ironis Pak Gunawan, sebab cukup banyak dari orang-orang ini nantinya menimbulkan korban baru dalam keluarga, kalau dia tidak bisa menguasai emosinya. Sebab kemunkinan mereka pun dibesarkan oleh orangtua yang dibesarkan seperti itu juga oleh kakek nenek mereka.
Jadi kemarahan, kebencian itu meledak tidak terkirakan, yang menjadi korban adalah anak-anaknya lagi, ini yang harus diputuskan. Nah pertanyaannya adalah bagaimana cara memutuskannya? Si orang ini harus mengakui "Saya mempunyai masalah", kenapa saya garis bawahi dan saya katakan dengan penuh tekanan, karena kecenderungan mereka sulit melihat ini problem mereka. Mereka menyalahkan orang lain, si anak sudah tahu kalau saya begini, saya akan marah, makanya jangan membuat saya merasa begini. Kamu sudah tahu kalau kamu begini nanti membuat saya merasa begini dan saya akan marah, kenapa kamu sengaja melakukannya. Menyalahkan orang, nah ini yang mesti dia sadari dan akui. Dan di sini diperlukan kerendahan hati, mengakui bahwa, "Saya memang mempunyai masalah, peristiwa yang sekarang sebetulnya hanyalah memancing reaksi yang tipis, tapi kenapa reaksi ini bisa begitu tebal. Sebab sebetulnya yang keluar adalah endapan-endapan kebencian kemarahan di masa lampau dan ini berada dalam diri saya bukan di luar diri saya." Ini yang mesti dia akui dan dia harus jadikan proyek, ini yang susah sebab banyak di antara mereka tidak mau memikul tanggung jawab ini seolah-olah mengharapkan dunia di sekelilingnya berubah. Menciptakan dunia utopia yang ideal yang tak pernah ada tekanan, tidak ada kesalahpahaman, tidak ada kesempurnaan semua harus berjalan sesuai dengan seleranya. Sehingga dia tidak usah tegang, tidak usah panik, tidak usah merasa tersinggung, tidak usah merasa takut, tidak usah merasa marah, nah itu tidak mungkin. Tapi sebetulnya ini yang dia harapkan, maka langkah pertama dia harus berkata, "Sayalah yang mempunyai masalah ini dan saya akan jadikan proyek doa saya, minta Tuhan untuk terus-menerus mengubah saya, saya juga harus terus-menerus menjaga diri saya.
GS : Sebenarnya kenapa Pak Paul ada orangtua yang sampai sekarang pun kita masih sering membaca di media massa dan sebagainya yang tega-teganya menganiaya anaknya sendiri?
PG : Penyebabnya banyak Pak Gunawan, salah satu yang umum adalah mereka sendiri adalah korban perbuatan itu tatkala mereka kecil dan mereka karena tidak mengerti cara yang lain mendisiplin anak itulah cara yang mereka gunakan.
Atau mereka menjadi korban penganiayaan atau kebengisan orangtua sehingga mereka menyimpan begitu banyak amarah, sehingga kemampuan mereka mengendalikan emosi menjadi sangat lemah. Sedikit-sedikit meledak marah dan akhirnya itu menjadi pola mereka. Atau ada lagi yang lainnya mereka memang akhirnya tetap hidup di masa lampau, merasa orang selalu mau membuat mereka tersinggung, marah, mau menekan mereka sehingga mereka tidak bisa lagi membedakan antara orang sengaja atau tidak sengaja dan tidak bisa lagi membedakan siapa yang melakukannya sehingga anak mereka pun akhirnya mereka tuduh melakukan hal yang sama. "Kamu memang tidak mau menghormati saya, kamu memang sengaja mau memojokkan saya, akhirnya anak diperlakukan seperti orang dewasa, seperti orang lain yang seolah-olah memang sengaja mau menekannya, sehingga kaburlah batas-batas itu. Ini semua sering kali menjadi penyebab kenapa orangtua akhirnya bersikap buruk kepada anak. Yang lebih bersifat masa sekarang adalah jikalau orangtua mengalami tekanan dalam hidup mereka, karena mereka tak bisa menanggungnya, mereka dalam keadaan kesakitan, kesabaran langsung menurun. Kesabaran langsung menurun, karena banyaknya masalah, anak-anak mulai berulah, mereka tidak bisa mengendalikan emosi dan reaksi mereka, sehingga anak-anak menjadi korban luapan kemarahan mereka.
GS : Kalau sebagai ayah atau suami menyadari istrinya seperti itu, apakah perlu memberikan penjelasan kepada anak-anak mereka?
PG : Sebaiknya ya, sebaiknya tatkala anak beranjak remaja dan mulai mengerti usia 10, 11 tahun, kita ajak anak bicara baik-baik dan kita jelaskan bahwa, "Papamu mengalami ini tatkala Papa kecil sehingga Papa mudah sekali merasa begini, begini, maka kita sebagai anak-anak dan saya sebagai istri mesti mengerti bagaimana caranya berbicara dengan Papa.
Nah kamu 'kan lihat sendiri, kalau Papa lagi emosi dan kita diam, dia reda nah setelah dia reda dan kemudian kita bicara dengan Papa, dia bisa dengarkan kita dengan baik dan melakukan yang kita minta dia lakukan. Jadi kita sudah mengerti, kalau lagi emosi jangan disambut, jangan ditanggapi, setelah itu dia reda baru kita berbicara dengan Papa baik-baik dan dia akan lebih siap mendengarkannya." Nah itu penting kita ajarkan kepada anak-anak kita.
GS : Pak Paul, dalam hal ini apakah ada firman Tuhan yang ingin Pak Paul sampaikan?
PG : Saya akan bacakan firman Tuhan dari Matius 18:21,22, Kemudian datanglah Petrus, dan berkata kepada Yesus: "Tuhan, sampai berapa kali aku harus mengampuni saudaraku jika ia beruat dosa terhadap aku? Sampai tujuh kali?" Yesus berkata kepadanya: "Bukan ! Aku berkata kepadamu: Bukan sampai tujuh kali, melainkan sampai tujuh puluh kali tujuh kali.
Ada beberapa langkah untuk mengampuni sebagai tindak lanjut dari firman Tuhan ini, pertama kita harus melihat jelas apa yang telah terjadi, jangan menutupi, jangan tidak mau melihat, jangan seolah-olah membebaskan orang dari peristiwa-peristiwa tertentu. Lihat apa yang terjadi. Kedua rasakanlah dengan tepat juga, jadi melihat dengan tepat, merasakan dengan tepat. Akui perasaan-perasaan kita dulu itu apa saja. Ketiga, bereaksilah dengan tepat, artinya kita sadari kita marah kepada siapa, siapa yang telah melukai kita yang telah mengecewakan kita, itu target, jangan lain orang dijadikan target. Dan yang terakhir, mengampunilah dengan tepat. Setelah kita lihat dengan tepat, merasakan dengan tepat, bereaksi dengan tepat, barulah kita bisa mengampuni dengan tepat dan jadikan ini proyek doa kita, setiap hari kita berdoa, "Tuhan, saya mau mengampuni dia, tolong saya mengampuni dia." Seperti itu Pak Gunawan.
GS : Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan kali ini dan para pendengar sekalian, kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp.Pdt.Dr.Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Hidup bersama Penderita Trauma". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda untuk mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara Telaga yang akan datang.