Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi,
di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur
Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen
dan kali ini saya bersama Ibu Dientje Laluyan, kami akan berbincang-bincang
dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling
serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali
ini tentang "Dampak Rohani Pada Keluarga". Kami percaya acara ini pasti
bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat
mengikuti.
DL : Pak Paul, saya ingin mengajukan satu
pertanyaan, apakah dampak rohani pada kehidupan keluarga khususnya keluarga Kristen
masa kini ?
PG : Dampaknya sangat besar, Ibu Dientje,
sebab kita tahu bahwa dalam keluarga Kristen ada masalah-masalah yang terjadi
dan itu memengaruhi anak-anak dan itu sebabnya sebagian anak-anak dalam
keluarga Kristen akhirnya memilih untuk meninggalkan iman orang tuanya. Jadi kita
mau memerhatikan dampak ini dan mungkin saya bisa memulai dengan sebuah cerita.
Di tahun 2008 di Amerika ada peristiwa yang sangat menggemparkan yaitu seorang
anak berusia 14 tahun di sekolah dalam kelas menembak temannya yang berusia 15
tahun, si anak yang menembak bernama Brandon dan temannya yang ditembak bernama
Larry. Kenapa sampai seperti itu ? Sebab si Larry adalah seorang anak yang
berperilaku feminin dan dia sering digoda karena perilakunya yang feminin tapi ketika
digoda dia bukanlah diam tapi dia juga membalas dan mengeluarkan komentar genit
kepada teman prianya, teman-teman prianya menjadi tidak suka dengan si Larry.
Satu kali si Larry suka dengan si Brandon yang adalah anak yang atletis dan
pemain basket di sekolah dan katanya dia menyebarkan cerita bohong bahwa dia
dan Brandon saling menyukai, berkencan bersama. Kemudian si Brandon tambah
marah tapi saat itu belum berbuat apa-apa, satu kali mereka berpapasan di
sekolah dan si Larry mengeluarkan sapaan mesra "Hai Baby" itu adalah sapaan
mesra kepada seorang kekasih, seolah-olah dia dan si Brandon punya relasi
cinta. Kemudian si Brandon tambah marah dan dia kemudian berkata kepada
teman-temannya kalau dia akan membunuh si Larry dan benar dia datang ke sekolah
suatu hari membawa pistol dan waktu pelajaran Bahasa Inggis, dari belakang dia
menembak kepala si Larry dua kali sampai mati.
DL : Apa pengaruh keluarga Brandon
terhadap dirinya sehingga dia berbuat sadis seperti itu ?
PG : Cerita ini sangat menyedihkan, Bu
Dientje, karena Brandon adalah anak yang dibesarkan oleh orang tua yang
bercerai, sebelum orang tuanya bercerai mereka sering berkelahi. Kalau sedang berkelahi
Papanya Brandon mencekik Mamanya, pernah bahkan satu kali Papanya menembak Mamanya
tapi tidak kena. Jadi karena begitu kacaunya keluarga itu sehingga itulah yang
melatar belakangi hidup si Brandon. Sedangkan si Larry dibesarkan oleh seorang
ibu sampai usia 2 tahun karena papanya juga tidak diketahui di mana, kemudian
setelah dua tahun dia diserahkan untuk diadopsi oleh keluarga lain. Jadi sekali
lagi anak ini kedua-duanya menurut saya adalah korban, korban dari orang tua
yang tidak bertanggung jawab, tidak memerhatikan anak-anak sehingga memberikan
contoh kehidupan yang begitu buruk dan juga tidak memenuhi kebutuhan anak yang
sangat penting yaitu kasih dan pengarahan. Sehingga akhirnya menjadi seperti
itu, si Brandon tidak mengerti bagaimana mengatasi konflik dan kemarahan dan
cara yang dia tahu adalah kekerasan, karena Papa dan Mamanya terus berkelahi,
Papanya tembak dan cekik Mamanya. Jadi itulah yang dilihatnya sehingga dia
hanya tahu cara kekerasan menyelesaikan masalah. Maka waktu si Larry membuat
dia malu, dia marah sekali dan dia tembak mati si Larry. Ini baru saja selesai
pengadilannya di Amerika. Setelah di sidang berkali-kali akhirnya pengadilan
memutuskan "mis-trial" artinya tidak bisa
diadili, kalau jaksa mau mengulang dan menuntut silakan, tapi pengadilan itu
dianggap batal sebab juri yang biasanya menentukan bersalah atau tidak
bersalahnya seseorang, tidak bisa sampai pada kesimpulan dan tidak bisa
memutuskan karena sulit memutuskan kasus seperti ini, karena juri tahu masalah ini
disebabkan oleh orang tua yang tidak bertanggung jawab sehingga anaknya menjadi
seperti ini. Sebab kalau si Brandon jadi dihukum maka hukumannya adalah mati,
karena dia membunuh orang dengan terencana, itu pembunuhan derajat pertama jadi
sangat serius sekali, meskipun waktu dia menembak masih dalam usia anak-anak,
tapi hukum di Amerika kalau seorang kanak-kanak melakukan kejahatan orang
dewasa yang sadis, maka dia akan dihukum dan diadili berdasarkan orang dewasa,
jadi seharusnya dia dihukum mati. Makanya juri tidak bisa menjatuhkan hukuman
itu karena tidak tega dan tahu kalau anak ini adalah korban orang tua, keduanya
merupakan korban dari orang tua mereka. Akhirnya juri tidak bisa sampai pada
kesimpulan dan dibatalkan.
GS : Kekerasan seperti itu, Pak Paul, seringkali
terjadi bukan hanya di Amerika tapi juga di Indonesia dan di negara-negara yang
lain, dan faktornya bukan hanya keluarga tapi lingkungan masyarakat dan
sekitarnya, kesempatan-kesempatan yang ada sehingga bisa tercetus seperti itu.
Kalau sekarang kita melihat ke diri kita sendiri di sekitar kita, sebenarnya
hal-hal yang seperti itu bisa dicegah, apakah hal-hal yang harus kita lakukan
sebagai orang tua untuk mencegah terjadinya hal-hal yang mengerikan itu ?
PG : Saya akan dasarkan masukan yang saya
berikan atas firman Tuhan yaitu dari 2 Korintus 1:12 firman Tuhan
berkata, "Inilah yang kami megahkan, yaitu bahwa suara hati kami memberi
kesaksian kepada kami, bahwa hidup kami di dunia ini, khususnya dalam hubungan
kami dengan kamu, dikuasai oleh ketulusan dan kemurnian dari Allah bukan oleh
hikmat duniawi, tetapi oleh kekuatan kasih karunia Allah". Ini adalah
ucapan dari Rasul Paulus kepada jemaat di Korintus, memang dalam konteks
hubungannya dengan jemaat, tapi saya kira kita bisa terapkan prinsip ini dalam
keluarga.
DL : Jadi kehidupan rohani yang seperti
apa yang seharusnya ada dalam keluarga Kristen, Pak Paul ?
PG : Ada beberapa yang saya mau bagikan;
yang pertama, kehidupan rohani seharusnya bertumpu pada pertanggung jawaban
kita kepada Tuhan kita Yesus Kristus. Kita coba perhatikan, Paulus merujuk
kepada suara hati atau hati nuraninya untuk mengkonfirmasi apa yang
dikatakannya. Menarik sekali Paulus tidak berkata, "Biarlah orang-orang memberi
kesaksian tentang saya bahwa saya orangnya tulus, saya orangnya punya kemurnian
dari Allah" tidak ! Tapi dia berkata "suara hati kami" yaitu hati nuraninya, kenapa
dia berkata suara hati atau nuraninya ? Karena suara hati tidak mungkin
berbohong, jadi yang berbohong adalah kita manusia, tapi suara hati tidak pernah
berbohong dan suara hati tahu mana yang benar, salah, baik dan buruk dan
kitalah yang bisa menutupi dengan berbohong dan sebagainya, tapi hati nurani
selalu mengatakan yang benar. Paulus menggunakan hati nuraninya sebagai saksi bahwa
dia telah hidup dengan tulus. Kita tahu Tuhan telah menitipkan hati nurani
kepada kita, maka Tuhan nanti menggunakan hati nurani untuk menuntun hidup kita
supaya kita bisa hidup sesuai dengan kehendak-Nya. Maka kita perlu menaati
suara Tuhan dan mempertanggungjawabkan perbuatan kita kepada Tuhan. Jadi setiap
orang tua, ayah dan ibu harus ingat bahwa mereka bertanggung jawab langsung
kepada Tuhan. Suami tidak selalu mengetahui perbuatan kita, istri tidak selalu
mengetahui kemanakah kita pergi dan anak juga tidak selalu tahu apa yang kita
lakukan, namun Tuhan tahu. Kehidupan rohani jadinya berawal dari relasi pribadi
dengan Tuhan kita Yesus Kristus dan berakhir dengan pertanggungjawaban kita
kepada-Nya pula.
GS : Pak Paul, berkaitan dengan suara
hati nurani, ada yang mengatakan setelah manusia jatuh di dalam dosa maka hati
nurani dipengaruhi oleh dosa, sehingga tidak bisa secara jelas membedakan mana
yang baik dan yang jahat kecuali kita sudah menerima Roh Kudus di dalam diri
kita. Ini bagaimana, Pak Paul ?
PG : Betul sekali. Jadi keseluruhan diri
kita secara total tercemar oleh dosa, jadi cara berpikir kita, kadang-kadang
juga reaksi emosional kita, kita bisa marah, iri hati, termasuk juga pertimbangan
moral dan sebagainya itu juga tercemar oleh dosa. Itu sebabnya kadang-kadang
yang salah menjadi benar, yang benar menjadi salah. Tapi seringkali berkaitan
dengan hati nurani meskipun telah tercemar oleh dosa, masih ada yang tersisa,
jadi tidak hilang seratus persen. Sehingga misalnya kita baca di Roma pasal1,
Tuhan menitipkan kepada kita kesanggupan untuk mengetahui benar dan salah,
makanya sewaktu orang-orang di Roma hidup semaunya, pesta-pora, hidup bebas,
makan minum, seks dan sebagainya. Tuhan menegur mereka lewat surat Paulus,
sebab sebetulnya mereka tahu mana yang salah dan mana yang benar. Sehingga kita
bisa menyimpulkan bahwa meskipun hati nurani kita tidak lagi sempurna dalam
melakukan fungsinya menuntun kita ke jalan yang benar, tapi masih tersisa dan
masih ada yang bisa mengatakan ini salah dan itu betul. Sebab itulah dimanapun manusia
berada akhirnya manusia itu membentuk atau melembagakan hukum mana yang benar
dan mana yang salah. Memang tidak sempurna tapi sekurang-kurangnya manusia akan
melembagakan hukum, sebetulnya hukum adalah panduan mana salah dan mana yang
benar. Jadi itulah kondisi manusia apalagi kalau misalkan orang itu memang
sudah percaya pada Tuhan dan dibaharui oleh kuasa Roh kudus sehingga dia lebih
mengerti mana salah dan mana yang benar, sudah tentu hati nuraninya makin
berfungsi dan makin optimal meskipun sebetulnya tidak sempurna, tapi semakin
optimal. Jadi benar-benar kita sebetulnya cukup bisa bergantung pada hati
nurani yang sudah dikuasai oleh Roh Kudus Tuhan. Sehingga Paulus berkata,
"Inilah dasarnya, hidup saya dituntun bukan oleh orang, tapi hati nurani saya
sendiri." Dan orang tua juga harus begitu, kadang-kadang kita harus mengakui
bahwa karena kita anggap kitalah kepala keluarga, dan kitalah mama di rumah,
dan tidak ada yang tahu di luar rumah dan kadang-kadang kita berbuat semaunya,
tapi Tuhan tahu. Jadi setiap orang tua harus menyadari bahwa ini tanggung jawab
saya dan bukan hanya kepada pasangan tapi kepada Tuhan, jadi jangan main-main.
GS : Katakan orang tua Brandon sudah
mendidik si Brandon, tapi dia juga selain punya hati nurani dia juga bisa
menolak apa yang diajarkan oleh orang tuanya kepadanya, sehingga dia tetap
melakukan perbuatan yang orang awam pun tahu bahwa itu suatu kejahatan.
PG : Betul. Dia pun pasti tahu itu salah.
Kita tidak membenarkan tindakannya karena dia pasti tahu kalau dia salah makanya
akhirnya polisi menangkap dia dan akhirnya kejaksaan menyeret dia ke pengadilan
karena menuntut tanggung jawab dia, dan dia tahu hal itu karena dia sudah
berumur 14 tahun. Namun yang menyulitkan adalah kita tidak bisa menyangkali
fakta bahwa seorang anak apalagi yang masih berumur belasan tahun yang belum
dewasa, boleh dikata mungkin 90 persen pertimbangan dalam hidup itu berasal
dari titipan rumah tangga atau keluarganya. Kalau kita sudah lebih dewasa, sudah
lebih tua, dan kita sudah keluar dari rumah dan bertemu dengan orang, bertemu
dengan banyak situasi, akhirnya kita akan lebih bercampur dengan hal-hal lain.
Tapi bagi anak umur 14 tahun bisa hampir banyak dikata 90 persen dia bisa seperti
itu karena produk dari rumahnya, sehingga meskipun dia punya pilihan tapi
pilihannya sangat terbatas dan dia benar-benar boleh dikata tidak mengerti
bagaimana mengutarakan kemarahan sebab itulah rumah tangganya, rumah tangga
yang penuh dengan kekerasan. Akhirnya waktu dia marah, yang langsung keluar
secara alamiah adalah metode atau cara-cara mengungkapkan kemarahan yang
dipelajari dari rumah itu.
DL : Tapi, Pak Paul, kalau saya melihat
kesimpulannya hati nurani orang harus dikuasai betul-betul oleh Tuhan. Kalau
Brandon tadi keluarganya bukan dalam Tuhan, tapi misalnya dia berada dalam
keluarga Kristen yang selalu ibadah, tiap hari ada devotion. Apakah bisa
terjadi anak itu tetap mengikuti hati nuraninya ? Sebab saya melihat ada
keluarga kristen yang dari kecil selalu mengadakan devotion tapi setelah besar
anaknya tidak mengikuti apa yang telah diajarkan. Jadi hati nuraninya dikuasai
oleh emosinya. Itu bagaimana, Pak Paul ?
PF : Saya berikan contoh konkret.
Mungkin Bapak Gunawan dan Ibu Dientje pernah menonton film yang judulnya, "A Stranger Beside Me" kira-kira itu judulnya dan
saya rasa judul itu pernah dijadikan judul film bertahun-tahun yang lalu. Itu
adalah cerita yang sebetulnya sungguh-sungguh terjadi. Jadi orang ini membunuh
terbanyak di Amerika sampai-sampai tidak bisa dijumlahkan karena terlalu banyak
dan mungkin bisa ratusan orang yang telah dia bunuh dan yang dia bunuh adalah
perempuan, setelah dia perkosa. Jadi dia dengan van
(mobilnya) dia akan keliling dan mencari
mangsa dengan cara menawarkan bantuan kepada orang, kemudian dia pukul dan dia
masukkan ke dalam mobilnya, dia perkosa dan dia bunuh. Berkali-kali sampai
ratusan orang dan dia sendiri sudah tidak bisa ingat lagi satu persatu, dan
yang menyedihkan adalah latar belakangnya yaitu dia sebetulnya dilahirkan oleh
seorang ibu tanpa ayah dan akhirnya si ibu meninggalkan si anak kepada kakek-neneknya,
dan kakek- neneknya mendisiplin anak itu luar biasa, memukul habis-habisan.
Jadi waktu kecil anak ini sudah ditinggal mamanya dan dibesarkan oleh kakek-neneknya,
selalu dia dihajar habis-habisan oleh kakek-neneknya. Masalahnya kakek-neneknya
adalah orang yang paling rajin ke gereja, jadi si anak akhirnya juga dipaksa
untuk ke gereja sejak kecil tapi di rumah dihajar seperti itu oleh kakek-neneknya
tapi dia harus ke gereja, dan di gereja dia melihat kakek-neneknya seperti
malaikat yang suci. Jadi jiwa anak ini rusak dan bahkan susah dipercaya anak ini
waktu remaja menjadi Ketua Remaja di gereja itu. Jadi dia melakukan yang
dituntut secara lahiriah dari luar menjadi anak yang baik, dan setelah lulus
SMA nilainya bagus karena pintar dan dia masuk ke Universitas dan di
Universitaslah dia baru melakukan rangkaian pembunuhan seperti itu. Jadi
menjawab pertanyaan Ibu, kenapa bisa seperti itu ? Bukankah ada didikan rohani,
bukankah anak ini dibawa ke gereja, tapi yang terisi di dalamnya adalah
kebencian-kebencian, kemarahan-kemarahan karena diperlakukan begitu buruk oleh
kakek-neneknya sehingga akhirnya meluap menjadi masalah kejiwaan yang sangat
parah.
GS : Hal lain yang menjadi landasan dari
kehidupan rohani itu apa, Pak Paul ?
PG : Kehidupan rohani bertumpu pada
kehidupan yang kudus. Paulus mengatakan bahwa ia telah hidup tulus di II
Korintus ini. Sebetulnya kata tulus bisa diterjemahkan kudus atau bersih,
kekudusan benar-benar merupakan tulang punggung kehidupan Kristiani, Tuhan
memerintahkan kita untuk hidup kudus yang berarti berbeda dari dunia dan serupa
dengan Kristus. Dengan kata lain, kehidupan yang kudus adalah kehidupan yang
terpisah dari dosa dan menyatu dengan Tuhan. Dari manakah asalnya kekudusan ?
Kekudusan berasal dari rasa takut akan Allah dan diwujudkan dalam rasa takut
berdosa. Tidak mungkin kita takut pada Tuhan bila kita tidak takut berbuat
dosa, apapun yang akan kita lakukan maka kita harus meneropongnya dari lensa
Tuhan, jika Tuhan tidak berkenan maka hendaklah kita pun juga tidak
melakukannya. Singkat kata, jadinya kekudusan keluar dari tekad untuk hidup
lurus, tidak menyimpang, kita harus mendisiplin hati dan mata melihat ke depan
dan bukan ke kiri atau ke kanan, sebab langkah pertama menuju dosa biasanya melihat-lihat
dosa, akhirnya dari melihat dosa kemudian kita membelokkan arah berjalan menuju
dosa dan akhirnya menjadi beli dosa. Kita tidak boleh melihat-lihat dosa, kalau
kita mulai melihat-lihat dosa akhirnya jatuh ke dalam dosa. Banyak korban yang
berjatuhan akibat perbuatan kita sebagai orang tua yang bergelimang dosa, ada
anak yang terlantar gara-gara orang tua hidup dalam dosa, ada anak yang
menderita gangguan kepribadian dan jiwa oleh karena orang tua hidup dalam dosa,
ada anak kehilangan masa kecil dan masa depan karena orang tua hidup dalam
dosa. Itu sebabnya kita harus hidup takut akan Tuhan dan takut berdosa. Contoh tadi
yang telah saya berikan, semua berkaitan dengan dosa. Contoh yang pertama
seorang anak yang membunuh temannya itu akibat dosa karena kesalahan orang tua
yang menelantarkan anak seperti itu. Contoh kedua yang saya berikan si pembunuh
berantai itu jelas-jelas keluar dari dosa, baik hubungan orang tuanya, anak itu
dibesarkan oleh kakek-nenek, ibunya pergi, papanya tidak tahu, kakek-neneknya
begitu sadis tapi juga mencerminkan kerohanian sehingga jiwa anak itu rusak sampai
serusak itu. Jadi sekali lagi kita melihat itu akibat orang tidak hidup dalam
kekudusan sehingga kita sebagai orang tua jangan main-main dengan dosa, karena
kalau kita main-main dengan dosa maka nanti akibat dosa bukan saja ditanggung
oleh kita, tapi oleh keturunan kita.
GS : Tapi sebagai orang tua yang penuh
dengan kekurangan, tentu saja tetap melakukan dosa baik si ayah atau si ibu.
Dalam hal ini bagaimana kita menjelaskan kepada anak bahwa kita orang yang
penuh dengan kekurangan, cara mendidik kita mungkin keliru, tingkah laku kita
tiap hari mungkin juga keliru. Apakah itu membawa dampak negatif dalam diri
anak, Pak Paul ?
PG : Anak akan mengerti kalau orangtuanya
tidak sempurna. Jadi yang anak-anak perlu lihat atau saksikan langsung adalah
kesediaan orang tua mengakui kesalahan. Misalkan dengan meminta maaf, di rumah
kami, kami membiasakan diri kalau kami salah dan meminta maaf. Kedua, saya
secara pribadi kadang-kadang bercerita tentang masa lalu saya, misalkan waktu
saya dulu remaja terlibat pornografi dan saya cerita pada anak-anak saya. Ketika
anak saya mengalami pergumulan yang sama, dia bercerita kepada saya sehingga bisa
saling berbagi. Jadi yang anak tuntut dari orang tua sebetulnya bukanlah
kesempurnaan, tapi keterbukaan mengakui diri apa adanya namun juga kesungguhan
untuk mau memerbaiki hidup. Jadi tidak bisa kita berkata kepada anak-anak kita,
"Ya sudah memang saya seperti ini" misalnya kita terus minum alkohol dan
mabuk-mabukan, "Harus diterima kalau Papa seperti ini" itu salah. Tapi kita
harus berusaha untuk hidup lebih baik lagi.
GS : Mungkin ada landasan lain dalam
kehidupan rohani, Pak Paul ?
PG : Yang ketiga, kehidupan rohani
bertumpu pada kebenaran. Paulus mengatakan bahwa dia telah hidup dalam
kemurnian dari Allah, kata kemurnian bisa diterjemahkan dengan ketulusan. Kita
tahu arti kata tulus yaitu sama luar dan dalam, dengan kata lain, tulus berarti
benar dan tidak munafik, tidak ada kepalsuan. Saya berikan sebuah contoh,
beberapa tahun yang lalu seorang pimpinan dari Lembaga Riset
Barna di Amerika mengadakan penelitian di antara kawula muda untuk
mengetahui alasan kenapa begitu banyak pemuda yang meninggalkan iman Kristiani,
hasil temuannya dibukukan dengan judul "Unchristian". Dia menemukan ternyata salah satu alasan kenapa
begitu banyak kaum muda meninggalkan iman Kristiani di Amerika karena mereka menyaksikan
kemunafikan baik di dalam rumah tangga maupun dalam gereja. Jadi itulah yang
membuat mereka akhirnya tidak mau lagi memeluk iman orang tuanya karena merasa
terlalu banyak yang munafik. Jadi kita belajar di sini bahwa kemunafikan adalah
salah satu kekuatan terbesar yang dapat memadamkan keinginan anak menjadi
seorang Kristen. Dalam berkeluarga kita mungkin harus melewati krisis. Salah
satu krisis adalah krisis yang terjadi dalam hubungan orang tua-anak, itu
normal. Pada saat krisis terjadi besar kemungkinan anak akan tergoda untuk
melawan kita, itu normal, anak akan memberontak. Bila kehidupan kita berbeda
dari iman yang kita yakini, besar kemungkinan dia makin termotivasi untuk
berontak sekuat tenaga. Tapi kalau dia melihat bahwa kita telah hidup tulus
luar dalam, maka dia cenderung menahan diri dan tunduk kepada kita. Jadi
penting sekali kemurnian dari Allah, hidup tulus, hidup benar dan tidak ada
kepalsuan sehingga anak-anak bisa menghormati kita juga.
GS : Bentuk kemunafikan seperti apa yang
seringkali terjadi dan membuat seorang anak itu meninggalkan imannya, Pak Paul
?
PG : Yang paling umum adalah orang tua
menyuruh anak melakukan sesuatu yang mereka sendiri tidak bisa melakukannya. Kalau
orang tua misalnya si papa hidupnya tidak bertanggung jawab, pulang malam dan
tidak memerhatikan keluarga, kemudian marah-marah kepada anak dan menyuruh
belajar dan sebagainya, si anak akan langsung berpikir, "Papa sendiri hidupnya tidak
bertanggung jawab". Kemudian misalnya si mama memarahi si anak, "Kamu harus
belajar, nilainya harus bagus dan sebagainya" seolah-olah mamanya seperti orang
yang seperti itu padahalnya mamanya bukanlah seperti itu mulai pagi, siang dan
malam selalu menonton televisi dan si anak disuruh belajar seperti itu. Jadi
ketidak konsistenan, apa yang disuruh dan diyakini tidak sama. Jadi benar-benar
tidak cocok.
GS : Tapi orang tua seringkali menemukan
alasan kenapa anaknya menjadi seperti itu yaitu rusak dan selalu yang
disalahkan adalah sistem masyarakat, pendidikan, negara dan sebagainya dan
tidak menyadari bahwa sebenarnya itu berasal dari rumah mereka sendiri, begitu
Pak Paul.
PG : Sudah tentu lingkungan punya
pengaruh dan saya juga tidak mau menyangkali bahwa anak-anak bisa dipengaruhi
oleh teman-temannya juga. Tapi kitalah yang pertama-tama menyediakan tiang,
kitalah yang diberikan kesempatan pertama oleh Tuhan untuk meletakkan dasar dan
dasar-dasar yang lain itu sebetulnya tumpukan. Jadi kalau dasar yang kita
berikan sudah benar dan kuat, cenderung dasar-dasar yang di atasnya itu tidak
akan memberikan pengaruh sebesar dasar yang pertama. Tuhan memberikan
kesempatan pada kita yang pertama-tama untuk meletakkan dasar itu, sehingga
kita harus melakukannya dengan sebaik-baiknya.
GS : Pak Paul, apakah segi kerohanian ini
merupakan satu-satunya alasan keluarga itu berhasil atau tidak ?
PG : Tidak, Pak Gunawan. Kita harus akui
bahwa hidup itu lebih luas daripada hal-hal kerohanian, jadi kita harus memerhatikan
semuanya, kehidupan emosional kita, kehidupan sosial kita, itu semua memberi
pengaruh pada anak-anak, tapi tetap kerohanian memainkan peran yang vital sebab
kerohanian merupakan kemudi yang mengarahkan sikap dan perilaku kita.
GS : Terima kasih, Pak Paul untuk
perbincangan kali ini. Dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak
terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul
Gunadi, dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang
tentang "Dampak Rohani pada Keluarga". Bagi Anda yang berminat untuk
mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami lewat
surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk
56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org
kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org.
Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya
dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa
pada acara TELAGA yang akan datang.