Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi di mana pun Anda berada, Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Acara ini diselenggarakan oleh Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK bekerjasama dengan radio kesayangan Anda ini. Saya, Hendra, akan berbincang-bincang dengan Bapak Penginjil Sindunata Kurniawan, MK. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling keluarga. Perbincangan kami kali ini tentang topik "Cinta Uang Versus Cinta Tuhan". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
H : Pak Sindu, sekilas kalau kita dengar atau kita baca topik ini "Cinta Uang Versus Cinta Tuhan" tampaknya sederhana. Tapi kelihatannya ada kerumitan di balik ini ya, Pak ?
SK : Iya, Pak Hendra. Memang dalam kenyataan keseharian kita, dalam kehidupan sebagai orang percaya, sebenarnya ada hal yang cukup mengkuatirkan. Yaitu kadang kita tidak berani bersikap tegas bagaimanakah sikap kita terhadap uang dan bahwa cinta uang itu adalah sesuatu yang harus diwaspadai dan ditolak untuk kita menyatakan bahwa kita adalah pribadi yang benar-benar mencintai Tuhan.
H : Sebagaimana dikatakan dalam 1 Timotius 6:10 bahwa cinta uang adalah akar dari segala kejahatan, seperti itu, Pak ?
SK : Betul. Memang firman Tuhan mengatakan itu. Selain akar segala kejahatan adalah cinta uang, dikatakan oleh memburu uanglah beberapa orang menyimpang dari iman dan menyiksa dirinya dengan berbagai-bagai duka. Ini sebuah fakta. Kadang di mimbar-mimbar gereja tidak dibicarakan terlalu tegas setegas Rasul Paulus oleh hikmat Roh Kudus menuliskannya kepada anak rohaninya yaitu Timotius, dan ada beberapa bagian firman Tuhan juga membahas hal ini. Ada sekian banyak anak Tuhan mengalami memburu uang sehingga mereka menyimpang dari imannya dan mengalami siksaan dan berbagai dukacita karena cinta uang dan memburu uang. Atau dengan kata lain menjadi hamba uang. Karena kadang dalam kondisi tertentu, gereja juga butuh uang dan kalau berbicara dengan tegas setransparan Rasul Paulus, kadang gereja pun ketakutan, "Nanti orang-orang kaya ini tidak mau jadi anggota jemaatku lalu pindah ke gereja lain. Gereja lain tambah untung ekonominya. Gerejaku tambah kesulitan ekonomi" sehingga gereja kadang tidak berani tegas untuk menegur dan mengingatkan supaya mereka tidak memburu uang. Inilah yang perlu kita bahas kali ini karena ini adalah ancaman bagi hidup orang percaya dan keluarga-keluarga Kristen.
H : Tapi bukan hanya gereja, setiap kita juga membutuhkan uang. Jadi bagaimana kita tahu kita sudah masuk kategori jadi hamba uang atau bukan ? Apa tanda-tandanya, Pak ?
SK : Iya. Yang pertama adalah orang menjadi hamba uang atau cinta uang kalau poin yang pertama dia memercayai dirinyalah pemilik uang dan harta. Jadi ketika kita memercayai, "Ini ‘kan uangku, ini ‘kan hartaku, warisan orang tuaku, hasil kerja kerasku menabung bertahun-tahun. Aku lakukan dengan halal bukan dengan cara-cara korupsi atau menipu." Kalau kita sudah punya keyakinan dan sikap hati yang demikian, itu salah satu tanda kita sudah cinta uang atau menjadi hamba uang.
H : Jadi memercayai kalau kita adalah pemilik uang itu salah ya, Pak ?
SK : Salah. Karena firman Allah dengan tegas mengatakan bahwa seluruh kekayaan, kejayaan, keperkasaan, harta milik, bahkan apa yang kita persembahkan kepada Tuhan adalah milik Tuhan. Seluruh alam semesta raya sebagaimana dinyatakan oleh Raja Daud ketika dia memberikan persembahan untuk pendirian Bait Allah, dia menyatakan demikian di Kitab Mazmur. Pengakuan yang benar adalah, tanda kita cinta Tuhan, kalau kita mengakui bahwa Tuhanlah pemilik uang dan harta yang ada pada kita dan kita hanyalah seorang manajer atau orang yang dipercayai Allah untuk mengelola harta yang Allah miliki ini, dan nantinya kita akan dimintai pertanggungjawaban.
H : Jadi ini adalah tanda untuk membedakan antara cinta uang dan cinta Tuhan, atau hamba uang dan hamba Tuhan ?
SK : Betul. Dalam hal ini kita bisa kembali kepada perumpamaan yang Tuhan Yesus pernah nyatakan dalam Injil, bahwa hidup kita itu seperti seorang tuan yang bepergian ke luar negeri dan mempercayakan kepada hamba-hamba-Nya, ada yang 5 talenta, 2 talenta, dan 1 talenta. Nanti setelah dia pulang, dia akan meminta pertanggungjawaban bagaimana kamu mengelola talenta ini. Sama dengan hal ini. Salah satu terjemahan talenta adalah harta milik atau uang. Dia percayakan, kita diberkati melimpah. Kamu diberkati tapi dengan penghasilan yang secukupnya. Bagaimana kamu mengolahnya untuk hal yang bernilai kekal sesuai dengan pemiliknya yaitu Allah kita, atau semaunya sendiri untuk kepuasan jasmaniah atau keinginan nafsu ? Ini yang akan dijadikan perhitungan. Orang yang mengaku cinta Tuhan, dia akan mengakui, "Ini bukan punyaku tapi punya Tuhan. Dan aku akan kelola menurut caranya Tuhan pemiliknya. Nanti di akhir hidupku ketika mengadakan perhitungan dengan Tuhan, aku bisa mempertanggungjawabkan dengan tepat karena aku sebagai hamba yang baik dan setia mengelola sesuai caranya Tuhan."
H : Jadi berangkat dari pengakuan kepemilikan seluruh uang dan harta milik kita adalah milik Tuhan. Ini adalah langkah awal yang penting. Langkah kedua ?
SK : Orang yang menjadi hamba uang ia akan mengalami rasa kuatir dan rasa tidak puas yang terus-menerus. Jadi kalau kita mulai sering merasa kuatir, "Cukup tidak ya ? Aku harus kejar setoran. Aduh bagaimana ya ? Nanti kalau ada resesi bagaimana ya ? Kalau situasi politik Indonesia bergejolak, aku harus kejar omzet lebih banyak lagi supaya bisa menabung di Swiss Bank. Aku perlu ini!" Ini tanda kita sedang menjadi hamba uang, sedang cinta uang, bukan menjadi seorang yang mengakui Allah sebagai tuan kita atau menjadi hamba Allah ataupun sebagai orang yang mencintai Tuhan. Sebaliknya kita mencintai Tuhan bila ditandai dengan rasa syukur. "Terima kasih Tuhan. Memang penghasilanku kecil. Aku hanya bisa makan nasi, sambel dan tempe. Tapi aku bersyukur makanannya menimbulkan kegembiraan buat aku. Terima kasih Bapa, kami mengalami kebaikan-Mu." Padahal bagi orang lain,"Aduh, tahu tempe lagi, tahu tempe lagi!" Ada orang yang bisa bersyukur sekalipun tahu dan tempe dan dia menikmati kepuasan di dalam Allah. kepuasan yang terbatas secara materi dan fisik ini. Itu tanda orang itu sedang mencintai Tuhannya.
H : Tapi bagaimana tidak kuatir Pak, kalau misal kondisinya sudah terjepit, uangnya pas-pasan, ada keluarga yang sakit, harus bayar uang sekolah anak, dan sebagainya ?
SK : Kuatir itu respons manusiawi. Tidak heran Tuhan kita berkata, "Janganlah kamu kuatir!" karena Dia tahu kita manusia mudah kuatir. Tapi respons berikutnya apa ? Yaitu adalah "Carilah dahulu kerajaan Allah dan kebenaran-Nya, maka semua akan ditambahkan kepadamu." Jadi ketika kita mengalami krisis kesehatan, anak kita sakit, kontrakan harus segera dibayar lunas, datanglah kepada Allah. Orang yang cinta uang, dia akan mengandalkan diri sendiri. "Aku harus kejar! Cari utangan! Bisnis apa yang cepat ya ? Tipu sana sini tak apalah. Saya ‘kan bukan malaikat. Pendeta saja yang harus jujur, saya hanya jemaat biasa." Itu berarti sikap mengandalkan diri sendiri, sementara orang yang cinta Tuhan dan menempatkan diri sebagai hamba Tuhan, dia akan hidup oleh iman, bertindak atas dasar iman. Melakukan yang benar dan jujur. Ada kesempatan untuk mencuri atau korupsi tanpa ketahuan, tapi dia memilih, "Tidak! Mata Tuhan melihat. Aku mau hidup benar." Ada krisis keuangan, "Tuhan, ini yang saya hadapi. Masalah kehidupan menghimpit aku dan aku digoda oleh perilaku yang melawan Engkau. Tapi aku menetapkan diri, Bapa, aku mau hidup benar. Maka kiranya Engkau tolong aku. Berikan pertolongan-Mu. Ini harus dibayar, ini harus dibayar. Kepada-Mu aku berlari dan memohon pertolongan." Inilah sikap orang yang cinta Tuhan. Dan biarlah Tuhan akan memberi pertolongan yang nyata bagi kita anak-anak-Nya yang berharap kepada-Nya.
H : Jadi, tanda kedua, yang menjadi hamba uang akan menderita rasa kuatir dan dilengkapi dengan ketidakpuasan ya. Tidak bisa puas dan tidak bisa bersyukur. Sebaliknya kalau cinta Tuhan, dia bisa mengucap syukur, dia bisa puas dengan apa yang ada. Tanda berikutnya apa, Pak ?
SK : Tanda orang yang cinta uang, dia akan bersikap tamak dan menimbun, menimbun, menimbun, serta pelit untuk memberi. Sebaliknya orang yang menjadi hamba Allah dan mencintai-Nya, dia akan terus-menerus belajar mencukupkan diri dan murah hati untuk memberi.
H : Contoh konkretnya seperti apa ?
SK : Kadang kita berpikir, "Tuhan, aku pegawai rendahan. Uang yang kudapatkan hanya sekian ratus ribu. Tidak cukup untuk makan minum dan transport saja tidak cukup, kok diminta memberi persepuluhan. Itu keterlaluan Tuhan. Yang sepuluh juta per bulan yang harus memberi perpuluhan. Mari kita mencintai Tuhan dengan apa yang ada pada kita, setia dalam perkara kecil. Berilah perpuluhan. Kalau perpuluhan itu masih terlalu berat, tidak apa-apa, 7 per 10 setia lakukan. Kita coba, "Tuhan ini kurang. Aku sedia untuk menyesuaikan dengan uang yang ada. Sehingga aku tetap memberi bagian Tuhan. Itu juga yang dialami oleh seorang yang bernama William Colgate. Kita tahu pasta gigi merek Colgate. Kisahnya, beliau orang yang miskin, kemudian dia bekerja sebagai karyawan. Dia setia melakukan pekerjaan itu walau penghasilannya minim. Dia setia memberi perpuluhan. Sebagian gajinya dia tabung, sebagian perpuluhan dan sebagian dia mencukupkan diri dengan gaji yang pas-pasan itu. Hidupnya sangat sederhana. Sampai sekian tahun kemudian, si pemilik usaha itu berkata, "Colgate, aku mau tutup usaha ini dan aku ingin kamu yang membelinya." "Apa tidak salah, Pak ? Aku cuma pegawai rendahan. Aku memang menabung tapi hanya sedikit." "Tidak, aku percaya kamu adalah orang yang tepat untuk meneruskan usahaku. Tidak apa-apa kamu cicil dari hasil perusahaan ini." Akhirnya Colgate melakukan itu. Dia menjadi pemilik perusahaan itu dan dari penghasilannya dia menyicil kepada pemilik semula. Sejalan dengan bertambahnya penghasilan, bertambah juga pemberiannya kepada Allah, tidak hanya sepersepuluh persen, tapi menjadi 20, 30 sampai 90 persen keuntungan perusahaan itu diberikannya kepada Allah. Dia mengatakan, "Tuhan, aku cukup dengan 10 persen ini. Hidupku tidak perlu mewah-mewah, secukupnya saja. Gaya hidup yang secukupnya saja. Yang 90 persen omzet dari perusahaan ini aku berikan untuk Engkau." Dari Wiliam Colgate lah lahir sekolah-sekolah Alkitab, utusan-utusan Injil, dan penanganan orang-orang miskin. Inilah orang yang mencintai Tuhan dan bukan cinta uang.
H : Tadi saya sempat menangkap pesan Bapak bahwa kalau kita sulit untuk memberi 10 persen ya berilah 7 persen, maksudnya intinya kita jangan berhenti memberi kepada Tuhan.
SK : Iya. Kalau 10 persen terlalu berat, tidak apa-apa mulai dari 7 persen, tapi kita akan tingkatkan. Karena memberi itu sebenarnya tindakan yang konkret untuk menurunkan posisi uang dari tuan menjadi hamba kita. Jadi kita tidak bisa hanya berkata secara doktrinal berdoa, "Dalam nama Yesus, aku letakkan uang sebagai hambaku dan Tuhan menjadi pusat hidupku." Oke, itu doa yang baik. Tapi iman tanpa perbuatan adalah iman yang mati. Wujudkan imanmu dengan perbuatan yang nyata. Dengan cara bagaimana ? Memberi. Memberi itu tindakan, "Tuhan hidupku ada disini. Tapi aku berikan kepada-Mu dan dalam nama Yesus aku percaya Engkau yang memelihara aku." Barulah kita membuktikan kita bertindak dengan iman dan kita mencintai Tuhan kita.
H : Baik, Pak. Tanda berikutnya apa, Pak ?
SK: Yang keempat, seorang hamba uang, orientasi hidupnya untuk hal-hal yang sementara. Dia mempunyai ideologi atau keyakinan "Dunia ini rumahku" dan hidupnya untuk menyenangkan dirinya semata. Sementara orang yang mencintai Tuhan, dia akan mengorientasi hidupnya untuk kekekalan dan "surgalah rumahku. Dunia hanya tempat sementara. Rumahku sudah ada di surga." Maka orientasi hidupnya fokus pada bagaimana senantiasa menyenangkan hati Tuhan bukan sekadar menyenangkan dorongan tubuh dan jiwa yang sementara.
H : Bagi sebagian pendengar mungkin ini terdengar abstrak. Surga adalah rumahku padahal pada kenyataannya di dunia ini juga punya rumah.
SK : Artinya mengakui bahwa di dunia ini tidak akan pernah puas. Kepuasan sejati, kenyamanan sejati, keamanan sejati, kesuksesan sejati hanya di dalam kekekalan di surga. Itu puncak mahkota. Maka hidup di dunia ini tidak akan pernah puas, ada penderitaan, tapi penderitaan yang bermutu. Penderitaan di dalam takut akan Allah. Kalau aku mengakui surga adalah rumahku, bahwa puncak kebahagiaanku adalah di surga bersama dengan Allah, maka bagaimana di tengah dunia yang sementara aku melakukan pekerjaan-pekerjaan yang bernilai kekal. Uang tidak bisa aku bawa mati. Sebagaimana kata Rasul Paulus dalam surat Timotius, kita datang ke dunia tidak membawa apa-apa, kita mati juga tidak membawa apa-apa. Tetapi orang yang takut akan Tuhan akan memindahkan yang sementara ini untuk dikirim ke surga. Dengan cara bagaimana ? Dengan cara memberi. Memberi adalah tindakan nyata untuk memindahkan harta di bumi yang sementara ini menjadi harta yang bernilai kekal di surga. Tuhan pernah mengatakan, jangan mengumpulkan harta di bumi, kumpulkanlah harta di surga. Karena dimana hartamu berada, disitulah hatimu berada. Jadi surga rumahku itu dibuktikan dengan tindakan memberi. "Oke aku menabung dan berinvestasi, tapi bukan berarti aku menimbun. Aku menabung dan investasikan secukupnya, selebihnya aku berikan, aku kirimkan ke surga lewat tindakan memberi bagi Allah dan pelayanan, bagi Allah dan kebutuhan orang-orang miskin dan orang yang membutuhkan.
H : Jadi yang dimaksud dengan "mentransfer" ini adalah kiasan ya Pak, bukan berarti secara konkret apa yang kita beri disini akan tiba-tiba muncul di surga.
SK : Iya. Maksudnya adalah tindakan simbolik dengan memberi itulah berarti kita sedang mengumpulkan harta di surga. Semua itu bahasa kiasan.
H : Jadi ada tindakan konkret perubahan orientasi dari menyenangkan diri sendiri menjadi menyenangkan Tuhan. Begitu ya, Pak ?
SK : Betul.
H : Apalagi tanda berikutnya, Pak ?
SK : Yang kelima, tanda seorang hamba uang adalah dia hidup mengandalkan diri dan sejalan dengan itu dia menyimpang dari iman. Sebaliknya orang yang mencintai Tuhan, dia akan senantiasa mengimani pemeliharaan Bapa yang sempurna. Saya teguhkan dari Surat Ibrani 13:5, "Janganlah kamu menjadi hamba uang dan cukupkanlah dirimu dengan apa yang ada padamu. Karena Allah telah berfirman: ‘Aku sekali-kali tidak akan membiarkan engkau dan Aku sekali-kali tidak akan meninggalkan engkau.’" Orang yang mencintai Tuhan, dia tidak menjadi hamba uang, dengan cara dia mencukupkan diri dan memegang janji pemeliharaan Tuhan dan dia bertindak oleh iman. Dalam hal ini seringkali kita akan dibawa hidup di persimpangan. "Tuhan, omzetku sedang turun. Bolehkah aku mengurangi perpuluhanku ? Bolehkah aku mengurangi komitmenku untuk misionaris dan mendukung sekolah di pedesaan ?" Inilah tantangan kita. kalau kita mau hidup oleh iman, mau memelihara cinta kita kepada Tuhan ketika omzet kita menurun, mari bukan kurangi pemberian kita, tapi kurangilah pengeluaran untuk diri kita sendiri. dulunya sebulan empat kali makan di luar. Karena penghasilan menurun, kurangi satu bulan hanya satu kali makan di luar, supaya perpuluhan dan pemberian kita untuk pos-pos pelayanan dan pekerjaan sosial tidak kita kurangi. Karena apa ? Kita pegang bahwa Allah Bapa yang baik dan sempurna tidak akan sekali-kali meninggalkan aku dan aku akan mencukupkan diri. Dan kita akan mencapai fase iman seperti Rasul Paulus, bagiku tidak ada yang menjadi rahasia lagi. Aku kenyang, lapar, kurang, berkelebihan, sehat, sakit, semua pernah kualami. Dan aku sanggup menanggung semuanya itu karena Allah di dalamku. Inilah level iman yang Allah inginkan pada setiap kita. Bukan hanya pada pendeta dan misionaris tapi semua orang percaya mengalami fase keintiman dan kemerdekaan karena kita bersatu dengan Tuhan. Hal yang material ini bukan lagi jadi sentral kepuasan dan kebahagiaan hidup kita lagi.
H : Jadi sebuah tindakan iman yang sungguh-sunguh riil dan konkret dalam hal memberi. Dan di persimpangan itu kita bisa mengambil keputusan tidak mengurangi pemberian kita kepada Tuhan tapi yang dikurangi adalah pengeluaran untuk diri kita sendiri. Begitu ?
SK : Iya. Disinilah fase iman, fase hidup spiritual yang matang dan dewasa. Kenikmatan bersama dengan Allah, rasa aman di dalam Allah. mata tidak melihat uang dan harta, tidak melihat jalan keluar, tetapi mata iman melihat ada jalan keluar. Aku tidak tahu konkretnya, tapi aku percaya Allah sudah menyediakan jalan keluar dan pertolongan. Kebahagiaan sudah Allah sediakan di dalam hatiku. Kebahagiaan inilah yang Allah inginkan untuk dialami oleh Adam, Hawa dan keturunannya. Bukan terpesona dengan hal-hal yang sementara.
H : Apakah masih ada tanda berikutnya ?
SK : Yang keenam, tanda seorang hamba uang, dia akan menghargai manusia berdasarkan harta dan status sosial ekonomi. Sedangkan orang yang cinta Tuhan dia akan menghargai tiap manusia tanpa membeda-bedakan latar belakangnya. Dia menghargai tiap manusia karena kasih Tuhan yang luar biasa. Kalau dalam bahasa Alkitab ada istilah dalam Surat Ibrani "Iman yang memandang muka". Kepada yang kaya raya, bersih, wangi dia mengatakan, "Silakan Bapak dan Ibu duduk di depan." Tapi dia akan berkata, "Hei kamu orang miskin, lusuh, dan bau! Duduk paling belakang!" ini tanda orang yang cinta uang. Dia akan menghargai orang berdasarkan status sosial ekonomi. Sebaliknya orang yang mencintai Tuhan mengakui bahwa setiap manusia sekaya, sehebat, sewangi, atau sebau apapun, dia sama-sama ciptaan Tuhan. Jadi tetap harus dihargai tanpa syarat.
H : Sekarang saya mau bertanya tentang akibatnya. Akibat dari cinta uang dan akibat dari cinta Tuhan ini pastinya hal yang berbeda, ya Pak ?
SK : Betul. Firman Tuhan sangat jelas menunjukkan. Kalau kita menjadi hamba uang atau cinta uang, firman Tuhan katakan kita akan jatuh, tersiksa dengan berbagai jerat pencobaan, nafsu dan duka. Kita akan hidup menyimpang dari iman dan firman Tuhan menegaskan bahwa kita akan mengakhiri pertandingan iman dengan kegagalan. Sebaliknya kalau kita mencintai Tuhan menempatkan diri sebagai hamba Tuhan maka ibadah yang kita lakukan - setiap hari Minggu, tengah minggu, ataupun ibadah komisi - itu akan mendatangkan keuntungan besar. Firman Tuhan mengatakan ibadah tanpa rasa cukup itu tidak akan mendapatkan keuntungan apa-apa. Kemudian kalau kita mencintai Tuhan kita akan mengalami kehadiran Tuhan, mujizat dan pertolongan Tuhan dan kita akan mengakhiri pertandingan iman dengan baik di akhir hidup kita.
H : Yang jadi pertanyaannya adalah keuntungan besar dari ibadah itu. Maksudnya keuntungan itu apa ?
SK : Maksudnya adalah kepuasan, kebahagiaan dan sukacita yang penuh. Seorang yang beribadah, menyembah Allah, disertai dengan rasa cukup, mau mencukupkan diri dengan apa yang ada, bukannya tamak dan rakus ingin ini dan itu, dia akan menikmati sebuah sukacita surgawi, bahwa aku hidup dalam daging yang sementara tapi rohku puas dengan Allah, sehingga aku akan menjalani kehidupan dengan sukacita surgawi, kemantapan, keyakinan dan apa yang kuperbuat, apapun hasilnya, aku menikmati karena aku bersama Allah. Bersama dengan Allah tidak ada lagi yang aku takuti dan aku gentarkan. Inilah yang disebut ibadah ditambah dengan rasa cukup akan mendatangkan keuntungan yang besar. Sementara ibadah ditambah ketidakpuasan akan menjadi sebuah kerugian, artinya ibadahnya kosong ibarat tong yang kosong. Kita tidak mendapat apa-apa karena itu hanya ritual saja, hanya upacara tiap Minggu.
H : Jadi pendengar tidak boleh mengartikan keuntungan ini sebagai keuntungan materi ya Pak ?
SK : Betul! Keuntungan yang hakiki yaitu kepuasan kita dengan hal-hal batiniah.
H : Yang melebihi kebahagiaan yang ditawarkan oleh materi.
SK : Betul.
H : Pak, apakah ada solusi-solusi praktis kalau ternyata kita mendapati diri kita termasuk kategori hamba uang. Tanda-tandanya mengena. Sedikit saja Pak, apa solusi praktis yang harus kita lakukan supaya kita bisa berubah dari hamba uang menjadi hamba Tuhan atau pribadi yang mencintai Tuhan lebih dari uang.
SK : Solusi yang pertama, penting kita perlu mengenali apakah kita memunyai trauma kemiskinan, penderitaan, penghinaan karena kita dulu miskin atau orang tua atau kakek nenek kita miskin. Kalau kita tahu ada trauma, mari akui dan sembuhkan. Datang kepada Allah, kita serahkan luka itu, kita mengampuni orang-orang yang pernah menghina dan menyakiti kita dan kita minta Yesus menyembuhkan luka kita. Sejalan dengan itu, adakah penipuan keyakinan yang keliru, misalnya "Sukses itu harus kaya raya. Kalau miskin itu pasti dihina." Kalau ada seperti itu akuilah, tidak apa-apa, akuilah. "Tuhan, ini keyakinan yang ada dalam pikiran dan hatiku selama ini, tertanam oleh orang tuaku. Dalam nama Yesus aku mohon ampun dan aku mau bertobat. Aku menerima pola pikir yang baru sesuai dengan firman Allah." Ini penting. Kalau perlu saya ceritakan, para imigran orang-orang Tionghua masuk ke Indonesia atau berimigrasi ke negara lain. Kenapa mereka sering berpindah ? Karena faktor kemiskinan. Sehingga akhirnya orang tua atau leluhur orang Tionghua mengajari anaknya "kamu harus kaya, kamu harus berhasil. Supaya kamu menikmati hidup ini. Supaya kamu dihormati." Adalagi model cara bergaul, "Sudah makan belum ? Kalau belum ayo makan !" ketika orang-orang Tionghua tradisional dari daratan Tiongkok dalam generasi kedua atau ketiga, mereka menjadi orang percaya, pola pikirnya ini tidak berubah. Luka ini diwariskan, pola pikir yang salah ini diwariskan, sehingga lahirlah orang-orang Tionghua Kristen tapi pola pikir dunia ini masih kuat. Dalam hal ini, bukan bersikap merendahkan orang Tionghua. Justru ingin mengajak, kalau kita memunyai sejarah seperti itu, mari akui luka itu. Datang kepada Allah. Sama juga, suku-suku lain, mungkin tidak punya sejarah kemiskinan seperti orang Tionghua tetapi punya sejarah dihina oleh karena kemiskinannya sehingga cinta uang supaya mendapatkan kehormatan dan kekuasaan. Mari akui sejarah penghinaan dan pola pikir yang salah itu. Tiap etnis punya sejarah kelam yang membuat iblis bisa menggiring kita menjadi hamba uang. Mari kenali, akui, dan bereskan. Dengan itulah ikatan rohani yang salah ini bisa dipatahkan dalam nama Yesus dan kita siap memiliki pola pikir rohani yang dari Allah. Itu yang pertama.
H : Trauma ini ternyata sangat berkaitan ?
SK : Betul. Karena bersifat emosional yang tidak akan pernah bisa kita selesaikan dengan rasional, tetapi butuh pendekatan emosi dan spiritual.
H : Terima kasih untuk percakapan kita yang sangat menarik ini, Pak Sindu. Para pendengar sekalian kami mengucapkan terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bapak Penginjil Sindunata Kurniawan, MK. dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang topik "Cinta Uang Versus Cinta Tuhan". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan menghubungi kami melalui surat yang dapat dialamatkan kepada Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org. Kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan, serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.