Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi di manapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK), bersama Ibu Wulan dari SAAT. Kami akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini kami beri judul "Tatkala Nasi Sudah Menjadi Bubur". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
Lengkap
(1) GS : Pak Paul, ada beberapa kesaksian atau keluhan dari orang tua yang mengatakan rasanya dunia ini mau kiamat ketika mendengar anak putrinya berkata: Pa, saya hamil atau anak putranya yang ketangkap basah ketika menggunakan obat-obat bius sehingga orang tuanya dipanggil ke kantor polisi dan berurusan dengan yang berwajib dan sebagainya. Saya percaya peristiwa-peristiwa begitu bisa menimpa keluarga siapa saja Pak Paul. Tetapi sekalipun kita tidak berharap itu menimpa kepada keluarga kita, kalau seandainya hal itu terjadi apakah yang harus kita sikapi sebagai orang tua itu?
PG : Ada beberapa hal yang kita bisa lakukan Pak Gunawan, yang pertama adalah kita mesti menyadari dan menerima penyebabnya terlebih dahulu. Nah sebelum saya menguraikan hal ini saya ingin meneankan satu hal yaitu saya tidak menganjurkan bahwa kita ini terus berputar-putar, berkubang pada penyebabnya bukan itu maksud saya, kita harus berorientasi ke depan pada penyelesaiannya.
Namun dalam rangka mencari penyelesaiannya kita harus tahu dulu penyebabnya, sebab tanpa kita mengetahui penyebabnya kita juga tidak bisa mengoreksi permasalahannya. Jadi yang pertama tentang penyebab ini yang bisa saya sarankan adalah kita perlu bertanya apakah sumber penyebabnya ini berasal dari luar atau dari dalam keluarga kita. Sebagaimana tadi atau sebelumnya kita telah bahas bahwa problem bisa muncul dari luar atau dari dalam keluarga. Yang dari luar misalnya adalah perubahan tempat tinggal, perubahan lingkungan hidup atau perubahan gaya hidup. Biasanya anak itu hidupnya lebih mewah, sekarang tidak mewah, misalnya juga tekanan-tekanan akademik, atau tekanan-tekanan dari teman, nah itu adalah problem yang berasal dari luar dan kita harus benar-benar bisa melihat apakah problemnya dari luar dan kalau dari luar, apa itu? Ataukah problem dari dalam, misalkan kita menyadari bahwa kita telah memberikan tuntutan yang tidak sesuai dengan kemampuan si anak, kita telah membebani anak dengan harapan yang tidak sesuai dengan kepribadiannya atau kita menyadari bahwa kita ini memberikan penerimaan kepada anak yang sarat dengan kondisi-kondisi. Kalau anak tidak melakukan yang kita inginkan kita langsung menolaknya atau kita telah memberikan penghukuman yang berlebihan yang penuh dengan kebencian-kebencian atau kita memberikan kasih yang tidak sehat, semua boleh membiarkan anak berlaku semaunya. Atau kita memang sering kali mengisi percakapan dengan anak itu dengan hal-hal yang negatif, kita membandingkan anak, mencela anak dsb. Kita perlu bercermin apakah penyebabnya dari luar atau dari dari dalam, dan kalau dari luar apa dan kalau dari dalam apa, nah jadi perlu sekali kita melihat hal-hal ini.
GS : Tapi sering kali gabungan penyebab dari luar dan dari dalam itu Pak Paul yang sering kali juga terjadi?
PG : Betul, jadi kadang-kadang masalah memang sudah ada dalam rumah dimunculkannya di luar itu yang sering kali terjadi. Atau bisa juga kebalikannya problem dari luar, dia ditolak di luar, tema-temannya tidak bisa lagi menerima dia, dia dikucilkan nah dibawa ke dalam rumah, dia akhirnya bermasalah, sering melawan orang tuanya itu juga bisa terjadi.
WL : Pak Paul, kalau orang tua akhirnya sudah mencari tahu penyebabnya apa, terus juga sudah berusaha berbagai cara supaya masalahnya bisa ditangani atau diatasi tapi ternyata tidak berhasil begitu. Apakah menurut Pak Paul bijak kalau orang tua ini meminta pertolongan dari luar, sedangkan mungkin malu kalau sampai orang luar mengetahui masalah dalam keluarga?
PG : Saya kira orang tua perlu dan jangan malu meminta pertolongan dari luar. Sebab begini Bu Wulan, kadang-kadang anak-anak kita itu waktu melihat kita berusaha mendekatinya, dia sudah mempunyi sikap negatif terhadap kita, dia tidak akan menerima uluran tangan kita.
Justru perbuatan baik kita ditampiknya, omongan kita diputarbalikkannya, dan sering kali yang terjadi adalah justru mereka sengaja mau menyerang kita, jadi benar-benar menangkap peluang untuk bisa membalas dendam atau menyerang kita. Itu sebabnya dalam kondisi seperti itu jangan kita orang tua memaksakan, kadang-kadang memang tidak bisa lagi jadi lebih baik kita mencari masukan dari luar, hanya masalahnya kira-kira apakah orang bisa membantu. Misalnya anak dibawa ke seorang psikolog atau ke seorang konselor atau hamba Tuhan agar bisa diajak bicara. Sebab sering kali mereka lebih mau berbicara dengan orang lain daripada dengan kita sebagai orang tuanya.
WL : Kalau penyebabnya itu bersifat permanen, apakah masih bisa tertolong menurut Pak Paul? Dari konselor atau dari apa begitu.
PG : Salah satu tugas kita adalah memang memilah apakah problem anak kita ini bersifat permanen atau sementara. Apa yang saya maksud dengan permanen atau sementara, misalnya begini, hal-hal yan berkaitan dengan perubahan gaya hidup, lingkungan hidup itu sering kali sementara.
Ya misalnya anak kita pindah sekolah, atau kita pindah tempat tinggal dan anak kita mulai memunculkan masalah, sering kali masalahnya bersifat sementara karena itu menandakan si anak sedang beradaptasi. Dalam beradaptasi tidak selalu berhasil, akan jatuh bangun, kita perlu memberikan dorongan, mencarikan teman dsb. Kalau yang permanen saya berikan contoh, anak kita terlibat narkoba nah itu permanen dalam pengertian bukan seumur hidup, bisa saja tidak tapi kalau dia sudah kecanduan itu berarti sesuatu yang tidak bisa dilepaskan dengan mudah. Dan ini berarti akan menjadi problem yang memakan waktu lama untuk menanganinya. Nah orang tua perlu membedakan keduanya sehingga dalam menangani si anak respons orang tua juga lebih tepat dan realistik. Misalkan untuk masalah-masalah seperti kecanduan obat, kalau orang tua berharap dengan diomeli habis-habisan atau dipukul sekeras-kerasnya besok si anak kapok atau jera, ya orang tuanya itu keliru. Karena apa? Ya hari ini dia dipukuli habis-habisan dia akan kapok, tapi besok kecanduannya muncul lagi dia nagih lagi, dia tidak peduli orang tua berkata apa, dia tetap akan pergi. Jadi hal-hal itu permanen, atau anak kita mempunyai penghargaan diri yang miskin sekali, sehingga butuh teman untuk menerimanya akhirnya melakukan hal-hal yang salah dengan teman-temannya, kita larang dia pergi dengan teman-temannya, kita marahi dia pergi dengan teman-temannya tapi masalahnya itulah penghargaan diri dia, itulah jati diri dia, dia tidak ada teman dia benar-benar tidak ada yang menganggap. Nah dari pada dia hidup tidak ada yang menganggap lebih baik dia tetap bermain dengan teman-temannya itu. Nah larangan kita sering kali tidak akan efektif sebab itu jati diri dia, itu lingkup dia. Dia mungkin di rumah juga merasa tidak dia bisa berbicara dengan siapa-siapa, dia tidak mempunyai telinga yang mau mendengarkannya, dan dia sudah terbiasa cerita dengan teman-temannya itulah keluarga dia di luar rumahnya, nah akhirnya kita berusaha menghentikan memutuskan hubungan dengan teman-temannya akan sangat sulit. Nah jadi orang tua perlu memilah, masalah ini bersifat permanen atau sementara.
GS : Tapi bukankah itu sulit khususnya bagi kita sebagai orang tua yang awam ini untuk menganalisa sampai sejauh itu, Pak Paul?
PG : OK! Mungkin petunjuk yang lebih praktis adalah apakah anak ini sudah lama bermasalah, jadi lama atau cepat itu juga sering kali berpengaruh. Kalau terlalu lama berarti memang bisa lebih laa, kalau baru muncul masih dalam tahap dini kita ketahui, itu berarti bisa lebih cepat selesai.
Yang berikutnya apakah usaha kita untuk mengoreksinya membuahkan hasil dengan cepat, kalau membuahkan hasil dengan cepat berarti memang lebih bersifat sementara. Misalkan anak kita itu tidak mau sekolah, terus mulai uring-uringan tidak mau sekolah dsb, kemudian kita mencari tahu duduk masalahnya o.....tidak ada teman. OK! Kita proaktif, kita mengajak dia ke rumah teman, kita bawakan teman ke rumah dia, nah itu yang bersifat sementara. Tapi misalnya dia selalu berbicara, dia anak yang tidak berguna, dia anak yang tidak bisa apa-apa, dan tidak percaya diri sama sekali, nah hal-hal seperti itu kita perlu sadari akan memakan waktu untuk berubah karena lebih bersifat pribadi, tidak gampang untuk merombak cara pikir yang sudah negatif seperti itu.
GS : Ya saya pernah berbicara dengan seorang ibu yang anaknya hamil di luar nikah, Pak Paul. Saya katakan lho kamu tidak tahu kalau anakmu kumpul sama orang itu, ya anaknya selalu bilang kami cuma teman biasa. Baru suatu saat dia mengatakan bahwa dia itu hamil tapi bukankah itu sudah terlambat.
PG : Betul, seharusnya memang saya katakan tidak berarti kita bisa selalu mengetahui, tapi ada hal-hal yang seharusnya bisa kita lihat misalnya perubahan-perubahan sikap pada anak-anak kita. Kaau anak-anak kita lebih menegatif sekali, mulai menyerang kita nah itu tanda awas, kita harus mulai bertanya-tanya kenapa dia mempunyai begitu banyak kemarahan.
Apakah kita yang terlalu membatasinya, tidak memberikan dia ruang gerak ataukah ada hal-hal lain yang terjadi dalam diri dia yang membuat dia itu dalam keadaan yang tidak senang, bad mood terus-menerus dan dia lampiaskan kemarahannya pada kita. Nah kita tahu atau tidak tahunya sangat bergantung pada kualitas komunikasi kita dengan dia. Kalau kita dari awalnya dari kecilnya memang sudah mempunyai komunikasi yang baik dengan anak, kecenderungannya kita masih bisa pertahankan hal itu meskipun kwantitas berkurang, karena anak-anak remaja cenderungannya tidak lagi banyak bicara dengan kita. Meskipun kwantitas berkurang tapi kwalitas seharusnya masih ada. Dia masih mau cerita dan terbuka dengan kita, kita pun juga bisa bertanya-tanya bukan sebagai detektif tapi sebagai seorang teman. Nah dari hal-hal itulah kita bisa memantau perkembangannya, teman-temannya siapa kita juga mau tahu, kadang-kadang mereka bawa ke rumah kita mau lihat dengan siapa mereka pergi. Nah hal-hal itu seharusnya tetap dipantau oleh orang tua. Sebab sekali lagi saya ingin tekankan satu prinsip, anak yang tahu bahwa dia dipantau akan lebih berhati-hati, anak yang tahu dia tidak dipantau oleh orang tuanya cenderung akan lebih sembrono dan sembarangan.
GS : Apakah ada sikap yang lain Pak Paul, yang harus diambil oleh orang tua khususnya kedua orang tua kalau ada hal-hal yang tidak menyenangkan seperti itu?
PG : Misalkan kalau kita sadari bahwa memang masalahnya ini masalah yang permanen, contoh tadi anak kita hamil, nah kita tidak bisa berbuat apa-apa karena anak ini sudah hamil. Yang kita bisa lkukan adalah tetap menerima si anak, itu yang pertama, yang kedua adalah kita mencoba mengurangi dampak negatifnya.
Sekali lagi kita tidak bisa hilangkan masalah ini, kita mencoba mengurangi dampak negatifnya. Misalkan kita membawa anak ini yang sudah hamil ke tempat yang lebih terpisah, sehingga dia bisa lepas dari lingkungannya dan tidak menanggung malu, kita tetap bisa bersama dia di sana, temani dia sampai dia misalnya melahirkan. Dan setelah melahirkan kita juga (sebelumnya ya), kita sudah rancang apa yang akan kita lakukan yakni kita akan serahkan anak itu untuk diadopsi misalkan. Jadi sudah dari jauh-jauh hari anak kita, kita persiapkan hatinya bahwa nanti anak kamu akan diadopsi dan kita mesti siapkan hati. Jadi sekali lagi kita sering kali dalam keadaan seperti itu tidak bisa menghilangkan problem tapi kita mencoba mengurangi dampak buruk dari problem itu. Nah ini kadang-kadang yang terbaik yang orang tua bisa lakukan, hanya itu sebetulnya.
GS : Tapi bukankah itu membutuhkan kesepakatan antara suami dan istri atau orang tua dari anak itu Pak Paul, kalau yang satu bilang begini, yang lain bilang begitu bukankah akan menjadi sulit?
PG : Betul, jadi salah satu hal yang harus dilakukan orang tua adalah mereka perlu merapatkan barisan. Merapatkan barisan artinya, orang tua perlu bersatu. Saya mau tekankan satu prinsip di sin, kalau orang tua tidak bisa bersatu susah sekali akan ada perubahan pada diri anak kita, itu sangat sulit.
Jadi orang tua memang harus menahan diri apapun yang menjadi problem di antara mereka harus mencoba selesaikan, sehingga mereka bisa bersatu. Sekali lagi saya tekankan kalau orang tua tidak bersatu, sulit bagi mereka untuk bisa mendidik anak atau mengoreksi problem yang sedang dihadapi oleh anak itu.
GS : Padahal justru pada saat-saat seperti itu biasanya mereka saling menyalahkan, ini salah kamu.
PG : Itu sering terjadi Pak Gunawan, yang sering kali kita dengar adalah yang satu menyangkal dan memindahkan masalah pada pasangannya, yang satu menerima inilah memang problem anak, tapi yang atu berkata bukan itu.
Saya pernah bertemu dengan kasus seperti ini Pak Gunawan, begitu tebalnya penyangkalan. Seperti ini, anak itu jelas-jelas terkena gangguan jiwa yang serius dalam istilah medisnya atau istilah psikiaternya adalah anak itu terkena schizophrenia, tapi ada satu orang tua yang berkata anak saya itu tidak apa-apa, anak saya hanya perlu kasih sayang. Ya memang betul si orang tua itu merasa bersalah karena kurang memberikan kasih sayang sebelumnya. Yang satu berkata jelas anak saya sakit, tapi yang satunya berkata tidak anak saya tidak sakit, hanya perlu kasih sayang. Makanya perlu sekali kita merapatkan barisan yang setuju, tidak lagi menyangkali faktanya.
WL : Ya Pak Paul, idealnya seperti itu, justru karena ada masalah timbul mereka suami-istri bersatu padu menangani anak ini begitu ya. Tapi yang sering kali terjadi bagaimana kalau misalnya sudah ada "pihak ketiga" yang terlibat, misalnya ada WIL atau PIL, bukankah itu akan lebih rumit lagi penanganannya, jadi bagaimana Pak Paul?
PG : Wah itu memang sangat-sangat komplek, si anak susah sekali untuk mendengarkan masukan dari orang tua yang mempunyai simpanan di luar, yang berhubungan dengan orang ketiga di luar, dia akansulit mendengar itu.
Tapi dia juga bisa-bisa sulit mendengarkan petuah dari orang tua yang menjadi korban, yang misalnya dirugikan, si suami itu ada perempuan lain di luar. Nah si anak susah mendengarkan kata-kata papanya karena papanya ada perempuan lain di luar, namun juga cukup sering si anak susah mendengarkan kata-kata mamanya. Karena dalam keluarga kadang-kadang yang terjadi adalah meskipun anak itu tidak suka dengan tindakan papanya karena berselingkuh, tapi dia sebetulnya menghargai si papa karena si papa misalnya orangnya lebih bisa mendengarkan si anak, lebih bisa berdialog dengan si anak, tidak mudah marah dengan si anak, justru si anak ini lebih susah berbicara dengan mamanya karena mamanya misalnya dianggap susah sekali bisa mengerti dia, terlalu cepat menghakimi dia. Nah jadi akhirnya si anak tidak mau mendengarkan dari kedua belah pihak, dari si papa meskipun dia senang dengan papanya tapi papanya sekarang ada perempuan lain dan itu membuat dia sangat marah, tidak mau juga mendengarkan dari si mama karena dia juga tidak begitu menghormati si mama dan tidak pernah benar-benar dekat dengan si mama. Nah jadi itu juga sering terjadi, makanya kalau sudah ada orang lain di luar rumah, masalah memang akan sangat kompleks karena orang tua sudah kehilangan otoritas untuk bisa mengoreksi perilaku si anak.
GS : Pak Paul, sebenarnya kalau anak mengalami masalah yang sudah lanjut seperti tadi entah kecanduan obat atau hamil atau apapun juga, sebenarnya apa yang bisa diberikan oleh orang tua kepada anak itu, Pak Paul?
PG : Saya kira kita terus menggunakan satu prinsip yang kekal dari dulu sampai sekarang tetap benar yaitu kita memberikan ketegasan tapi kita juga memberikan kasih, kita menerima dirinya tapi kta menegur perbuatannya.
Kita tetap berkata bahwa engkau anakku, kami tetap menyayangimu tapi kami tidak bisa menerima perbuatanmu. Jadi kita memang akhirnya harus bisa mengkomunikasikan keduanya, meskipun ini sangat sulit sekali. Kebanyakan kita sebagai orang tua karena terlalu terluka oleh tindakan anak-anak kita, kita akhirnya lebih suka tidak mau ada kontak dengan dia, kita tidak mau lagi mendengar apapun yang terjadi pada dirinya, kita tidak mau tahu lagi. Nah penolakan seperti ini juga akhirnya memutuskan komunikasi dan menutup peluang si anak itu kalau misalnya bertobat dia mau kembali ke rumah. Jadi penting sekali tetap kami menyayangi engkau, namun kami tidak setuju dengan perbuatanmu dan karena kami tidak setuju ini tindakan kami. Jadi kedua tindakan ini tetap harus diberikan, kadang-kadang kasih yang kita berikan, kadang-kadang ketegasan yang kita berikan, terus keduanya harus diberikan.
GS : Tapi itu menjadi sulit Pak Paul, kalau anak itu meninggalkan rumah, jadi dia memang setelah tahu masalahnya terungkap dia sengaja meninggalkan rumah itu tanpa pengetahuan orang tuanya, sampai orang tuanya sendiri berkata karena mungkin dalam emosi dsb ya memang sejak itu kami putus hubungan dengan anak ini. Itu bagaimana penyelesaiannya, Pak Paul?
PG : Saya sarankan sebetulnya jangan sampai berkata putus hubungan, kita bisa berkata kepada si anak: "Kamu pilih jalan mana yang kamu mau tempuh sekarang, kalau mau tinggal dalam rumah na ini yang kami harapkan dari kamu, kalau kamu tidak bisa menuruti yang kami tetapkan bagi kamu nah terpaksa kamu juga harus keluar dari rumah ini."
Jadi dengan kata lain jangan sampai kita serta-merta memutuskan hubungan tanpa memberikan kesempatan kepada si anak untuk memilih. Nah waktu kita memberikan kesempatan bagi dia untuk memilih, kita ini mau mengatakan kepada dia bahwa kita tetap mengasihi dia dan kita inginkan dia kembali ke rumah. Tapi dalam rumah ada aturannya dan ini yang kita akan minta dia taati, kalau dia tidak bisa taati peraturan-peraturan ini berarti memang dia harus ke luar dari rumah ini.
GS : Yang saya maksud tadi anaknya itu dia tanpa berkonsultasi dengan orang tuanya dia langsung meninggalkan rumah.
PG : Apa yang harus dilakukan, ada orang tua yang mengejar anaknya, mencari-cari anaknya, nah saya tidak bisa salahkan ini karena saya tahu orang tua rasanya susah kalau anak tidak dicari. Jaditerus dicari-cari tapi saya mau memberi satu masukan, kalau sudah berkali-kali terjadi saya kira sebaiknya jangan dicari lagi, biarkan.
Dalam pengertian anak ini yang nanti harus pulang, karena kalau terus dicari-cari, dibujuk-bujuk terus supaya pulang pada akhirnya si anak tidak belajar apa-apa. Saya juga tidak mau tidak realistik dan berkata sekali dia keluar dari rumah sudah peduli amat jangan dicari, saya kira itu juga tidak realistik, orang tua yang pasti ingin mencari. Tapi kalau sudah berkali-kali terjadi anak itu terus kabur, lari lagi, tidak pulang lagi, saya kira yang terbaik adalah diamkan. Waktu dia pulang baru kita konfrontasi dia dengan yang tadi saya katakan, silakan engkau pulang dan kami mau engkau pulang tapi di rumah ini kami mengharapkan engkau harus tunduk pada permintaan kami dan ini permintaan kami, kalau engkau tidak bisa penuhi silakan engkau keluar.
GS : Mungkin ada sikap yang lain Pak Paul yang harus kita tunjukkan sebagai orang tua?
PG : Yang terakhir adalah ini Pak Gunawan, kita harus melihat ini sebagai sebuah pelayanan. Pelayanan yang kadang kala nomor satu panjang, perjalanannya ini panjang sekali dan nomor dua pelayann yang penuh dengan kegagalan.
Yang saya maksud dengan kegagalan adalah orang tua akan mencoba seribu satu macam usaha atau cara namun tidak berhasil. Bukankah kita sering mendengar orang tua berkata: kami kerasi anak ini tidak jalan juga, kami lembuti baik-baik dia tidak jalan juga, tidak tahu lagi mesti diapakan, memang itulah jalurnya, perjalanannya. Jadi benar-benar tidak ada jalan pintas dan jarang sekali bisa menemukan cara yang paling jitu. Dengan kata lain berbagai cara betul dan berkali-kali gagal, nah saya mendapatkan istilah anggaplah ini pelayanan dari orang tua yang mengalami masalah seperti ini Pak Gunawan dan Ibu Wulan. Orang tua ini berkata : saya kok anggap ini pelayanan, bukankah kalau ini terjadi pada anak lain yang saya layani, saya akan bersedia menderita, berkorban, menanti, berdoa untuknya. Kenapa saya tidak bersedia melakukan hal yang sama untuk anak saya. Jadi benar-benar menganggap ini pelayanan yang Tuhan berikan pada keluarga kita. Kenapa juga penting menganggap ini sebagai pelayanan, sedikit banyak kalau kita berkata ini pelayanan, kita mulai memisahkan diri kita dari masalah ini atau dari anak kita. Saya kira terlalu dalam luka orang tua kalau terus melihat anaknya seperti itu, nah waktu dia berkata ini pelayanan saya sedikit banyak masalah ini dipisahkan dari dirinya sebagai pelayanannya supaya hatinya tidak terlalu hancur. Sebab hati yang terlalu hancur akan menyulitkan dia efektif mendidik si anak. Nah waktu dia pisahkan mungkin dia lebih bisa bertahan, terus bertahan dan saya ingatkan juga bahwa ini akan menuntut banyak kegagalan, jadi jangan putus asa waktu gagal. Sebab memang akan menghadapi mungkin seribu satu macam kegagalan.
GS : Jadi sebenarnya Pak Paul, kita sebagai orang beriman, itu 'kan tidak pernah menganggap bahwa suatu masalah itu sudah tidak ada harapan lagi untuk menjadi baik, Pak?
PG : Kita akan terus berharap, tapi kita tahu bahwa ada harapan yang bisa membuahkan hasil dengan cepat, ada harapan yang akan makan waktu yang lama untuk membuahkan hasil, dan kita harus terim itu.
Salah seorang hamba Tuhan yang pernah dilanda masalah karena perilaku anak-anaknya adalah Billy Graham sendiri. Jadi kedua putranya pada masa remaja dan dewasa mudanya mengalami pergumulan, pergolakan, dan Billy Graham mengakui dalam otobiografinya bahwa itu sedikit banyak berkaitan dengan seringnya dia pergi. Tapi puji Tuhan kedua anaknya bertobat.
GS : Pak Paul, apakah ada ayat firman Tuhan yang bisa mengikat kita dalam pembicaraan ini, melandasi pembicaraan ini.
PG : Saya akan bacakan dari Matius 7:12, "Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka." Pada waktu anak-anak elah begitu bermasalah, nasi telah menjadi bubur, kita ingat apa yang kita kehendaki orang perbuat kepada kita, kalau kita dalam kondisi itu.
Nah itulah yang coba kita terapkan pada anak-anak kita, jadi selalu kita gunakan prinsip Alkitab ini, kalau saya dalam kondisi anak saya apakah yang saya inginkan dari orang tua saya, nah kita coba berikan itu, kita terus berikan itu.
GS : Ini sabda Tuhan Yesus sendiri Pak Paul ya, terima kasih Pak Paul dan juga Ibu Wulan untuk perbicangan kali ini. Para pendengar sekalian kami juga mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang "Tatkala Nasi Sudah Menjadi Bubur". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini kami persilakan Anda menghubungi kami lewat surat, alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk No. 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan fasilitas e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda, sampai jumpa pada acara Telaga yang akan datang.