Kata kunci: Orang tua perlu mengajarkan nilai dan prioritas kepada anak terutama lewat perbuatan, kemampuan berkomunikasi dengan anak juga merupakan hal yang penting disamping sosialisasi, pribadi yang sehat membuahkan berkat bukan saja untuk orang tua tetapi juga bagi sesama.
Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimana pun Anda berada, kita bertemu kembali dalam acara Telaga, TEgur sapa gembaLA keluarGA. Acara ini diselenggarakan oleh Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK bekerjasama dengan radio kesayangan Anda ini. Saya, Necholas David, akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, seorang pakar dalam bidang konseling. Perbincangan kami kali ini tentang "Buah Sehat dari Pohon Sehat" bagian yang kedua. Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
ND: Di kesempatan yang lampau kita telah berbicara tentang cara menumbuh kembangkan seorang anak dengan menyediakan kecukupan hal-hal yang memang seorang anak perlukan. Pak Paul boleh menyegarkan kembali apa yang telah kita diskusikan di waktu yang lalu.
PG: Ada beberapa kebutuhan anak yang mesti dicukupi oleh orangtua, yang pertama adalah kasih dan penerimaan. Orangtua itu menampakkan kasih kepada anak, salah satunya adalah lewat penerimaan dan secara khusus penerimaan pada waktu anak gagal mencapai sasaran atau standard yang orangtua harapkan. Kedua, orangtua juga mesti menyediakan kecukupan, disiplin dan motivasi. Jadi anak-anak itu tidak dengan sendirinya menumbuhkan disiplin, perlu orangtua yang menetapkan disiplin, apa yang diharapkan oleh orangtua dan apa itu konsekwensi jika anak tidak memenuhi pengharapan orangtua atau melanggar peraturan yang orangtua berikan. Disamping itu juga orangtua perlu memotivasi anak sehingga anak tidak hanya menjadi anak yang bisa berangan-angan, mau apa mau apa tapi tidak bisa mewujudkannya. Anak harus bisa berangan sekaligus beraksi mencapai angan-angan tersebut menjadi kenyataan. Selain dari dua hal itu, orangtua juga perlu menanamkan nilai dan prioritas pada diri anak. Nilai mengacu kepada apa yang baik dan buruk serta apa yang benar dan salah, sedang prioritas merujuk kepada apa yang penting dan tidak penting. Khusus tentang nilai dan prioritas, anak menyerapnya bukan saja lewat perkataan atau pengajaran, tetapi juga dari perbuatan atau tingkah laku sehari-hari yang diperlihatkan orangtua. Jadi bila pengajaran dan perbuatan orangtua tidak sepadan, maka ini akan menimbulkan kebingungan pada anak. Alhasil anak tidak tahu manakah yang benar dan baik, manakah yang benar dan salah. Sayangnya kebanyakan anak pada akhirnya akan mengikuti perbuatan bukan pengajaran orangtua. Jadi sekali lagi orangtua mengajarkan nilai dan ini penting harus diajarkan, bukan hanya lewat perkataan, tapi juga lewat perbuatan sebab yang nanti lebih kuat, lebih memengaruhi anak, bukanlah perkataan orangtua tapi perbuatan orangtua. Jika orangtua berkata kepada anak, "Kamu tidak boleh berbohong, tidak boleh berbohong, harus jujur, harus jujur!" Anak melihat orangtuanya berbohong, waktu melakukan sesuatu ditanya oleh anaknya, orangtuanya menyangkal melakukan itu, orangtuanya berkata sesuatu, anak kemudian berkata, "Papa atau Mama pernah berkata begini". "Tidak pernah", berbohong. Jadi yang diteruskan atau ditanamkan pada diri anak adalah berbohong. Maka kita mesti hati-hati, sebab anak belajar terbanyak bukan dari mendengar apa yang kita ajarkan, tapi dari melihat apa yang kita perbuat. Tapi tetap ya, Pak Necholas, seyogyanya orangtua menanamkan nilai atau prioritas pada anak melalui pengajaran lewat perkataan dan juga perbuatan secara konsisten sehingga dari kecil anak belajar, bukan saja mengetahui tapi juga menerapkan apa yang baik dan benar serta menjauh dari apa yang buruk dan salah. Sebagai contoh, anak belajar berterus terang dan tidak berbohong. Anak belajar meminta dan tidak merampas, anak belajar bekerja dulu baru bersenang-senang kemudian, anak belajar mengalah dan bukan mengalahkan. Anak belajar bersuka dengan yang bersuka dan berduka dengan yang berduka. Anak belajar berkorban dan bukan mengorbankan. Anak belajar memberi, bukan mengambil dan anak belajar bersyukur bukan berkeluh kesah, ini semua adalah pelajaran-pelajaran yang perlu orangtua ajarkan kepada anak sebab ini mengandung nilai-nilai yang penting dan juga prioritas. Namun tadi saya sudah singgung, cara terbaik mengajarkannya adalah lewat perbuatan orangtua itu sendiri.
ND: Waktu kita mengajarkan apa yang baik dan buruk kepada anak, saya rasa kadang-kadang kita bisa jatuh ke ekstrem selalu menilai anak dan kita orangtua ini cenderung beranggapan anak itu selalu baik atau selalu buruk. Kadang-kadang bisa seperti itu juga, orangtua ya?
PG: Batul, Pak Necholas. Jadi mengajarkan apa yang baik dan buruk serta apa yang benar dan salah, tidak sama dengan membenar-benarkan anak dan menyalah-nyalahkan anak. Ada orangtua yang membenarkan anak, apapun yang anak lakukan pasti benar. Ada yang membandingkannya dengan anak-anak lain, dengan tetangga, dengan saudara, ada juga yang membandingkan satu anak dengan anak yang lain dalam satu keluarga. Jadi pokoknya si kakak ini selalu benar, apapun yang dilakukannya, si kakak pasti benar. Yang pasti salah adalah adik-adiknya atau kebalikannya. Jangan sampai inilah yang kita lakukan, pokoknya membenar-benarkan anak, ini tidak sehat karena anak tidak belajar nilai yang benar atau nilai yang seharusnya karena anak ini hanya akan belajar separuh saja, yaitu nilai bahwa dia selalu benar dan orang lain selalu salah. Ini tidak baik ya. Sama dengan itu juga jangan sampai orangtua itu menyalah-nyalahkan anak. Apapun yang dilakukan anak, pasti salah, ada orangtua yang seperti itu. Anak lain pasti benar, kamu pasti yang salah. Atau di antara adik dan kakak, adikmu pasti benar, kamu pasti salah. Jangan sampai seperti itu, orangtua perlu membela dan membenarkan anak bila memang anak menerima perlakuan tidak adil dimana dia dituduh dan disalahkan secara tidak semestinya. Namun tidak boleh orangtua membela dan membenarkan anak secara membabi buta. Iklim membela dan membenarkan anak, tidak soal anak salah atau benar, niscaya membuat anak bukan saja tidak tahu mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang benar dan mana yang salah tapi juga percaya bahwa dia sempurna, dia tidak pernah salah dan bahwa orang lainlah yang selalu salah. Ini akan sangat merugikan si anak, Pak Necholas, karena pada akhirnya dalam pergaulan dia akan dijauhi karena tidak ada orang yang mau dekat dia karena menganggap dirinya selalu benar dan orang lain yang selalu salah.
ND: Dalam kita mengajarkan nilai-nilai dan prioritas pada anak ini, kalau kita ingin mengajar secara efektif bukankah disini faktor kemampuan berkomunikasi kita sebagai orangtua dan anak ini juga sesuatu yang penting, Pak Paul ?
PG: Setuju sekali, Pak Necholas karena tidak bisa tidak ini semua terpulang pada relasi antara orangtua dan anak dan komunikasinya antara mereka jadi memang perlu sekali kedekatan, keakraban sehingga anak-anak juga bisa menerima, mendengarkan apa yang orangtuanya katakan. Nilai-nilai itu akhirnya dapat diturunkan, ditanamkan dengan lebih mulus tapi bila hubungannya tidak baik, sering bertengkar, sering bermasalah, anak juga tidak bisa menerima nilai-nilai yang diajarkan oleh orangtuanya. Ini yang sering kali terjadi juga di dalam pendidikan iman anak, Pak Necholas. Kita mau menanamkan nilai-nilai yang indah, yang luhur, yang baik pada anak-anak kita, tapi hubungan kita dengan dia tidak baik. Komunikasi juga sering berakhir dengan pertengkaran, nah anak akhirnya menolak untuk menerima nilai-nilai iman yang kita ingin tanamkan pada dirinya. Tadi juga saya sudah singgung jangan sampai kita menyalahkan anak secara membabi buta, pokoknya tidak soal siapa salah siapa benar, anak sendiri pasti disalahkan, jadi jangan sampai orangtua hanya bisa menyalahkan anak tanpa pernah memerlihatkan kebaikan dan kelebihan anak dalam rangka menjaga relasi juga dengan sehat. Jadi kita juga mesti memerlihatkan kebaikan anak dan kelebihan anak. Perlakuan kita yang hanya menyoroti kelemahan anak dan kesalahan anak akan menghancurkan penilaian dan kepercayaan diri anak dan juga menciptakan spirit yang kritis dalam diri anak. Akhirnya anak selalu bersikap kritis terhadap diri dan orang lain. Dia akan sukar mengakui kebaikan dan kelebihan dirinya atau orang lain. Jadi ada anak-anak karena terlalu sering disalahkan, sikap kritis itu menjadi sangat kuat pada dirinya. Selalu mengkritisi diri, ada saja yang kurang, ada saja yang tidak baik pada dirinya dan juga mengkritisi orang.
ND: Sebagai orangtua bagaimana kita bisa mengembangkan kemampuan anak untuk berkomunikasi sehingga dari kecil dia belajar untuk komunikasi, berteman dengan lebih baik.
PG: Selain dari nilai dan prioritas, orangtua juga perlu memang mengajarkan komunikasi dan sosialisasi. Kita perlu sebagai orangtua menanamkan keterampilan berkomunikasi serta kenyamanan bersosialisasi pada anak. Walaupun komunikasi dan sosialisasi adalah dua hal yang berbeda tapi ternyata kunci untuk mengembangkan keduanya adalah sama, yaitu keberanian, Pak Necholas. Dengan kata lain, anak hanya akan dapat berkomunikasi dan bersosialisasi bila ia memiliki keberanian untuk berkomunikasi dan bersosialisasi. Tanpa keberanian dia tidak akan dapat berkomunikasi dan bersosialisasi. Untuk itu orangtua perlu menciptakan suasana aman tanpa ancaman apalagi bahaya di dalam rumah sehingga anak dapat mengembangkan keberanian, bukan saja untuk bersuara tetapi juga untuk menyatakan pendapat dan membagikan perasaannya, baik itu perasaan positif maupun negatif. Pak Necholas mungkin bisa juga melihat kebenaran dari apa yang baru saja saya sampaikan ini, bukankah sebetulnya penghalang terbesar anak-anak itu berkomunikasi dan juga bersosialisasi adalah keberanian. Begitu anak sudah rasanya ketakutan terus, sudahlah ia tidak akan bersuara, dia tidak akan berkomunikasi dan akhirnya tidak akan bergaul dengan orang. Benar-benar kuncinya adalah keberanian. Untuk adanya keberanian, tugas orangtualah menciptakan iklim yang aman di dalam rumah. Kalau iklimnya iklim serangan, kritikan, marah, tuduhan, hukuman, maka anak tidak akan ada keberanian untuk menyatakan isi hatinya sehingga akhirnya keterampilan berkomunikasi dan kenyamanannya bergaul akan terganggu.
ND: Agar anak berani untuk mengkomunikasikan apa yang dia pikirkan, keterampilan itu mesti diawali dengan hubungan yang baik dengan orangtuanya.
PG: Betul sekali, jadi hubungan antara orangtua dan anak mesti baik, mesti positif dan sama pentingnya dengan itu adalah anak mesti melihat dan mendengar interaksi positif antara ayah dan ibunya. Sewaktu anak mendengar orangtua berkomunikasi tanpa harus berakhir dengan pertengkaran, anak pun terdorong untuk menyerap cara orangtua berkomunikasi. Sebaliknya jika anak sering melihat dan mendengar orangtua mengakhiri komunikasi dengan perselisihan, anak pun niscaya menyimpulkan bahwa komunikasi bukanlah sesuatu yang baik dan menyenangkan, sebab ujungnya adalah konflik. Jadi ini masuk akal sekali, anak perlu melihat bahwa berkomunikasi itu sesuatu yang baik, yang positif, waktu anak melihat mengapa ribut? Mengapa ribut ? Akhirnya pelajaran apa yang ditarik oleh si anak, lebih baik jangan bicara, sebab kalau bicara apa-apa, nanti pasti ribut, itu bisa terjadi antara orangtua atau dengan mereka juga. Oleh karena mereka cerita, mereka bicara dengan orangtuanya akhirnya kena marah, ya sudah akhirnya anak belajar untuk tidak usah sama sekali berkomunikasi. Jadi penting sekali menjaga interaksi orangtua dan anak, sewaktu orangtua berbicara kepada anak, maka anak pun belajar berespons dan dari interaksi seperti inilah anak belajar berkomunikasi. Sudah tentu makin positif pengalaman anak berkomunikasi dengan orangtua, makin bersemangat anak berkomunikasi dengan orangtua dan akhirnya dengan orang lain pula. Sebaliknya makin buruk pengalaman berkomunikasi dengan orangtua, misalkan dimarahi, dipersalahkan, anak pun makin enggan berkomunikasi dengan orangtua dan akhirnya enggan berkomunikasi dengan orang lain pula.
ND: Ini menarik ya, Pak Paul, bahkan dalam hal berkomunikasi pun sebetulnya anak secara tidak sadar, mereka langsung memerhatikan bagaimana orangtua berkomunikasi satu sama lain dengan anak atau bahkan dengan rekan-rekan mereka sendiri.
PG: Betul, Pak Necholas. Maka kita bisa simpulkan, makin terampil dan sehat orangtua, ayah dan ibu berkomunikasi, makin terampil dan sehat anak berkomunikasi. Misalnya, orangtua tidak terampil berkomunikasi, kabur, tidak jelas, akhirnya sering ribut, salah paham, anak-anak kebanyakan nantinya juga akan belajar yang sama. Tidak jelas, kabur kalau bicara, akhirnya juga mudah menimbulkan kesalahpahaman dan akhirnya konflik. Itu benar-benar sebetulnya diajarkan, dicontohkan oleh orangtua. Misalnya ini contoh, bila belum apa-apa orangtua sudah tinggi suaranya dan marah, anak pun cenderung meniru. Atau sebaliknya anak mengembangkan ketakutan, kecemasan dalam berkomunikasi akhirnya menghalangi anak belajar berkomunikasi dengan baik pula.
ND: Selain komunikasi dengan orangtua, saya perhatikan anak-anak, terutama juga remaja senang berkomunikasi, bergaul, belajar juga bermain dengan teman-teman di sekolah bersama rekan satu sekolahnya, atau tetangganya, sepupu, atau saudara yang seumur.
PG: Betul, ini adalah sosialisasi, Pak Necholas. Orangtua juga perlu menanamkan kenyamanan bersosialisasi. Bergaul dengan teman sebaya, sehingga anak-anak itu enak bergaul, nyaman, rileks, sebab kalau tidak, anak-anak itu waktu bergaul dengan anak-anak lain, ia mengembangkan ketegangan atau kecemasan. Adalah keliru bila orangtua beranggapan bahwa pergaulan dengan teman sebaya adalah buang waktu belaka. Ada orangtua yang beranggapan seperti ini, pergaulan adalah bagian yang penting dalam pertumbuhan anak, sebab dari pergaulanlah anak belajar berelasi secara mendalam dan kompleks dengan sesama. Dari pergaulanlah anak pun belajar begitu banyak keterampilan sosial, seperti bernegosiasi, berdamai, bersikap tegas, berkompromi, menjaga pertemanan serta mencairkan ketegangan. Jadi akhirnya makin anak menguasai keterampilan bergaul, makin nyaman ia bergaul dengan sesama dan ini membuatnya makin bertumbuh secara utuh. Singkat kata, sosialisasi adalah bagian yang sangat penting didalam perkembangan jiwa anak, tanpa sosialisasi, anak kerap bingung dan merasa cemas sewaktu berhadapan dengan teman sebaya. Selain itu anak pun cenderung menutup diri serta memisahkan diri dari sesama teman sehingga akhirnya realitasnya makin bertaut jauh dari realitas di luar dirinya dan ini dicampakkannya lewat pemikiran dan tindakannya yang "nyeleneh" atau aneh atau tidak wajar, ya Pak Necholas. Dari sosialisasi anak belajar mengembangkan dan memerdalam pertemanan dan dari sinilah tumbuh keakraban. Pada akhirnya keakraban pun bertumbuh menjadi keintiman, modal besar pernikahan. Itu sebab penting bagi orangtua untuk memberi ruang dan waktu yang cukup kepada anak untuk menghabiskan waktu dengan teman sebayanya dan tidak mengurungnya di rumah atau membebaninya dengan begitu banyak tugas serta aktifitas sehingga tidak memunyai waktu atau energi untuk bergaul dengan teman di luar.
ND: Zaman dulu waktu perkembangan teknologi belum semaju sekarang, ‘handphone’ belum menjamur, saya perhatikan kita bisa pergi dengan teman-teman dan mengobrol dengan asyik, ya. Kalau untuk saat ini beberapa kali saya lihat satu keluarga atau kumpulan anak muda di restoran yang secara fisik berkumpul, tetapi semua sibuk dengan gawai masing-masing. Bagaimana Pak Paul melihat fenomena ini? Apakah ada pengaruhnya terhadap kemampuan bersosialisasi anak?
PG: Saya yakin akan ada, Pak Necholas, sebab memang pergaulan atau sosialisasi itu sebetulnya hanya bisa terjadi dengan natural, dengan sehat di dalam konteks yang riil bukan lewat alat-alat elektronik, bukan, sebab di dalam pergaulan yang riil itulah muncul nanti kesalahpahaman, muncul konflik, muncul juga kesempatan untuk memerdalam relasi, muncul kesempatan melihat reaksi-reaksi, bagaimana seseorang itu menunjukkan kesetujuannya, tidak setujunya, jadi begitu banyak hal-hal yang bisa kita serap dari pergaulan secara riil, bukan lewat barang-barang elektronik. Saya khawatir anak-anak yang tidak cukup bergaul secara riil seperti itu akhirnya kesulitan nanti bergaul membangun pertemanan, menjalin keakraban dan akhirnya menciptakan keintiman. Nah, kita tahu sebetulnya anak-anak itu bertumbuh besar, bergerak dari pertemanan secara massal atau banyak kepada pertemanan secara khusus. Karena itu waktu usia dua puluhan tahun, anak-anak mulai mencintai, kemudian akhirnya menjalin hubungan yang khusus dan akhirnya menikah. Saya sedikit khawatir, Pak Necholas, kalau kita terus membenamkan diri dalam barang-barang elektronik itu, nantinya ini akan sangat mengganggu relasi kita terutama dengan keluarga kita sendiri.
ND: Baik, terima kasih banyak, Pak Paul. Sebelum kita mengakhiri perbincangan kita kali ini, apakah Pak Paul bisa memberikan kesimpulan tentang hal-hal yang perlu disediakan orangtua untuk mencukupi perkembangan anaknya?
PG: Firman Tuhan di Amsal 27:18 mengingatkan, "Siapa memelihara pohon ara akan memakan buahnya dan siapa menjaga tuannya akan dihormati". Ibarat pohon ara dan tuan, anak pun perlu dipelihara dan dijaga, sudah tentu memelihara dan menjaga jauh lebih sukar dan meletihkan ketimbang membiarkan dan melepaskan anak. Atau malah menguasainya dan mengekangnya, namun pada akhirnya anak yang dipelihara dengan baik dan dijaga dengan hati-hati akan bertumbuh menjadi pribadi yang sehat yang akan membuahkan berkat bukan saja bagi orangtua tetapi juga bagi sesama.
ND: Baik, terima kasih, Pak Paul. Para pendengar sekalian, terima kasih, Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga, TEgur sapa gembaLA keluarGA. Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Buah Sehat Dari Pohon Sehat" bagian yang kedua. Jika Anda berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan menghubungi kami melalui surat ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK, Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat mengirimkan email ke telaga@telaga.org . Kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara Telaga yang akan datang.