Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi di mana pun Anda berada, Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (TEgur Sapa GembaLA KeluarGA). Acara ini diselenggarakan oleh Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) bekerjasama dengan radio kesayangan Anda ini. Saya, Yosie, akan berbincang-bincang dengan Bapak Ev. Sindunata Kurniawan, MK. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling keluarga. Perbincangan kami kali ini tentang "Iman Anak Tanggungjawab Siapakah?". Kami percaya acara ini bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
Y : Pak, berkaitan dengan tema pembicaraan kita kali ini, sangat menarik ya karena memang saya melihat kecenderungan orangtua merasa cukup dengan anak disekolahkan di Sekolah Kristen dan dikirim ke Sekolah Minggu. Padahal sesungguhnya tanggungjawab iman anak ‘kan bukan tanggung jawab sekolah ya Pak. Bagaimana Bapak menyikapi kecenderungan orangtua yang ada?
SK : Benar yang diamati oleh Bu Yosie itu gejala umum bahkan dari sejak saya kecil hingga sekarang saya pun jadi orangtua, itu yang paling jamak ditemui di berbagai gereja, di berbagai kota bahkan di luar Indonesia pun hal ini seperti menjadi gejala umum. Sekalipun umum kita tetap perlu memertanyakan apakah memang demikian?
Y : Benar ya, Pak?
SK : Apakah iman anak tanggungjawab Sekolah Minggu, tanggungjawab gereja dan tanggungjawab Sekolah Kristen? Untuk itu, Bu Yosie, saya mau mengajak kita melihat dari sumber langsung di Alkitab, yaitu di Kitab Ulangan 6:1-9. Di Kitab Ulangan ini pasal 6:1-9 sangat dikenal dengan istilah Shema. Shema ini diambil dari kata "dengarlah". Dengarlah dalam bahasa Ibrani adalah shema, dalam ayat 3 dari Ulangan 6. Dengarlah hai orang Israel, dengarlah itu shema. Seluruh bagian ini, Ulangan 6:1-9 disebut shema.
Y : Apa Pak, maknanya untuk bangsa Israel dan untuk kita tentunya yang menjadi anak-anak Tuhan di jaman ini?
SK : Shema ini sesungguhnya jantung hidup orang Israel di masa lalu bahkan hingga masa sekarang sebagai orang Yahudi. Kalau kita tahu orang Yahudi, mereka tersebar, terdiaspora di berbagai negara, ada komunitas-komunitas orang Yahudi dan yang unik mereka sesungguhnya berabad-abad sudah tercabut dari tempat tinggal yang asli yaitu di tanah Israel, di daerah Palestina. Sekalipun mereka sudah tercabut 10, 20 generasi, identitas mereka sebagai orang Yahudi tidak hilang, bahasanya, tradisinya, imannya sebagai orang Yahudi tidak hilang. Kenapa? Karena mereka memelihara perintah Tuhan yang disebut shema ini.
Y : Luas biasa ya, Pak. Jadi ini benar-benar mengakar dalam kehidupan dan kebudayaan orang Yahudi, ya Pak?
SK : Betul, memang Shema ini diberikan Tuhan secara khusus untuk konteks saat ini diberikan Ulangan 6:1-9 memang kepada orang-orang Israel.
Y : Spesifiknya kepada orangtua ya, Pak?
SK : Betul, jadi karena disebutkan Ulangan 6:2, "Supaya seumur hidupmu engkau dan anak cucumu takut akan Tuhan Allahmu". Engkau dan anak cucumu, berarti siapakah "Engkau"? Engkau disini adalah orangtua yang memiliki anak dan kemudian memiliki cucu. Di Ulangan 6:7, "Haruslah engkau mengajarkannya berulang-ulang kepada anak-anakmu". Berarti engkau itu siapa ?
Y : Orangtua.
SK : Spesifik perintah shema ini diberikan kepada para orangtua dan ini bukan hanya konteksnya hanya kepada orang Israel secara biologis, tapi kalau kita memahami Firman Tuhan sebagai satu kesatuan, Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Ulangan pasal 6 juga berlaku bagi kita Israel-Israel rohani, orang-orang yang sudah lahir baru, mengaku percaya Yesus sebagai satu-satunya Tuhan dan Juruselamat, maka seluruh berita Allah, janji Allah dalam Perjanjian Lama termasuk dalam Ulangan 6:1-9 ini juga berlaku bagi kita, orang-orang percaya, orang-orang Israel rohani.
Y : Saya tertarik dengan mengapa shema begitu kuat mengakar bahkan tadi Bapak katakan sebagai jantung hidupnya yang membuat mereka tetap mengenali identitasnya walaupun sudah tersebar di berbagai negara dan berabad-abad. Apa yang diajarkan? Apa yang jadi fondasi identitas mereka?
SK : Apa yang diajarkan dapat kita lihat dalam Ulangan 6:5, "Kasihilah Tuhan Allahmu dengan segenap hatimu, dengan segenap jiwamu, dengan segenap kekuatanmu", jadi Ulangan 6:5 inilah isinya shema, mengasihi Tuhan dengan segenap hati, jiwa, kekuatan. Kalau kita mendengar ini familier, bukankah bu Yosie dengan apa yang dikatakan oleh Tuhan Yesus di Perjanjian Baru.
Y : Di Matius ya, Pak.
SK : Ya betul dan kita sering menyebutnya sebagai Hukum Kasih. Kasihilah Tuhan Allahmu dengan segenap hatimu, jiwamu, akal budimu, kekuatanmu dan sama dengan hukum yang pertama, kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. Yang diucapkan Yesus, yang kita familier dengan istilah hukum kasih itu bukan semata-mata, tiba-tiba muncul dari pernyataan Yesus, tapi Yesus menyitir perintah yang Tuhan berikan dalam Ulangan 6:1-9. Itulah shema. Jadi shema ini kembali bukan hanya berlaku untuk bangsa Israel biologis atau bangsa Yahudi, tapi berlaku juga bagi kita orang percaya karena Yesus juga melakukan pengulangan, penegasan sebagai pusat hidup kita. Apa yang diajarkan itu juga sejalan dengan Ulangan 6:5 kemudian saya teguhkan lewat Ulangan 6:2, "supaya seumur hidupmu engkau dan anak cucumu takut akan Tuhan Allahmu dan berpegang pada segala ketetapan dari perintah-Nya yang Kusampaikan kepadamu". Jadi kembali shema adalah sebuah perintah untuk mengasihi Tuhan, menaati Tuhan. Kita mengasihi diwujudkan dengan apa? Bukan hanya dengan kata-kata manis, "Aku mengasihi-Mu, Tuhan" lewat pujian dan musik, tapi juga terlebih lagi lewat tindakan yaitu ketaatan kepada Tuhan. Apapun yang Tuhan nyatakan dalam firman-Nya, ketetapan-Nya, perintah-Nya, kita taati. Itulah kasih kita kepada Tuhan, itulah jantungnya hidup orang-orang Israel masa lampau dan juga sesungguhnya jantung hidup kita sebagai orang-orang percaya di masa kini.
Y : Seharusnya ya, Pak?
SK : Ya.
Y : Apa, Pak, gunanya ketika kita mengasihi Tuhan, anak cucu kita takut akan Tuhan.
SK : Jadi memang begini, bu Yosie, mudah saya dengar mungkin kita juga mengalami "Susah ya jadi orang percaya itu, banyak salibnya, banyak kuknya, tidak enak jadi orang percaya, berat, lebih baik jadi orang yang tidak kenal Kristus; foya-foya, seenaknya, jadi susah menderita". Jangan lupa, Tuhan kita Tuhan yang sangat mengasihi kita dan apa yang Dia tuntut tidak pernah Dia berlaku sebagai pribadi yang kejam. Apa yang Dia tuntut karena Dia mau memberikan sesuatu yang jauh lebih berharga, yaitu dalam Ulangan 6:2 dikatakan, kalau kita memegang shema ini, hidup menaati dan mengasihi Tuhan dan mewariskan kepada anak cucu kita maka dampaknya Ulangan 6:2, supaya lanjut umurmu. Ulangan 6:3, "supaya baik keadaanmu dan supaya kamu menjadi sangat banyak seperti yang dijanjikan Tuhan Allah, nenek moyangmu kepadamu di suatu negeri yang berlimpah-limpah susu dan madunya".
Y : Artinya ada berkat, ada janji, ada upah yang Tuhan sediakan buat orang-orang yang takut akan Tuhan, ya Pak?
SK : Benar, bukankah seringkali dalam percakapan kita, apa yang kamu inginkan di dunia ini? Singkat kata, orang ‘kan akan selalu mengatakan dengan nada yang sama, "Aku ingin sukses dan bahagia".
Y : Berhasil.
SK : Berhasil bahkan tujuh, sepuluh, seratus keturunan, bukan hanya aku tapi anak cucu cicit canggahku seluruhnya sukses dan bahagia. Dan itu yang Allah janjikan ketika kita memelihara shema.
Y : Kadang mungkin orang percaya tidak memahaminya dalam kerangka yang utuh, ya Pak. Jadi hanya menganggap ketetapan Tuhan dan perintah-perintah-Nya itu berat. Lupa bahwa ada janji, ada sukacita, ada berkat yang Tuhan sediakan buat orang-orang yang takut akan Tuhan. Kalau kita memahaminya secara utuh, itu akan membuat kita kuat, bahagia melakukannya.
SK : Ada bagian kita, ada bagian Tuhan. Jadi kadang kita berpikir semua itu ‘kan dari Tuhan dan aku tidak usah melakukan apa-apa. Aku hanya pasrah sepenuhnya. Tidak ! Ada bagian kita yaitu taat, mengasihi Tuhan, mengikuti kemauan-Nya dan bagian Tuhan kalau kita taat, kita diberkati.
Y : Amin.
SK : Kita diberi perlindungan, kita akan menikmati sukacita sejati yang melampaui sukacita menurut versi dunia.
Y : Itu seharusnya membuat kita semangat mengikut Tuhan, ya. Tetap penuh sukacita. Sekarang pertanyaannya Pak, bagaimana caranya orangtua kita sebagai Israel rohani boleh menyalurkan, menurunkan shema yang sama menjadi jantung hidup buat generasi anak-anak kita.
SK : Lewat shema ini, bu Yosie, orangtua mewariskan iman yang hidup. Perintah mengasihi Tuhan, kalau saya gantikan dengan kata yang lain, itu adalah iman. Mewariskan iman sesuai dengan tema kita, "Iman Anak Tanggungjawab Siapa?" Iman anak adalah produk imannya orangtua yang diwariskan kepada anaknya. Iman yang mengasihi Tuhan dengan segenap hati, jiwa, kekuatan, akal budinya. Bagaimana caranya? Ulangan 6:7 dikatakan, "Haruslah engkau mengajarkannya berulang-ulang kepada anakmu". Satu point adalah caranya yang pertama, haruslah intensional. Maaf saya memakai kata teknis ya, intensional dari kata intensi, bahasa Inggris "intention" artinya berniat. Intensional adalah sadar dan sengaja. Jadi upaya mewariskan iman yang hidup dan mengasihi Tuhan. Hidup menaati Tuhan dan perintah-Nya perlu disampaikan secara sengaja, secara sadar dalam cara bukan hanya sesekali tapi berulang-ulang, setiap hari, setiap kesempatan, dimana pun. Itu yang pertama. Yang dikatakan kemudian didalam Ulangan 6:7 juga dikatakan berikutnya, " haruslah kamu membicarakannya apabila engkau duduk di rumahmu, apabila engkau sedang dalam perjalanan (artinya sedang beraktifitas, sedang ada di luar rumah pun), apabila engkau berbaring (sedang santai, sedang ‘me time’), dan apabila engkau bangun (dalam posisi siaga, sadar). Jadi dengan kata lain, dalam Ulangan 6:7, selain intensional maka upaya mewariskan iman membagikan hidupnya, mengasihi Tuhan itu juga dilakukan dalam keseharian di rumah maupun di luar rumah. Baik secara formal lewat mezbah keluarga, lewat sama-sama ibadah di gedung gereja, sama-sama ikut retreat dan camp di luar rumah kita, maupun secara informal dalam percakapan keseharian, sementara main dakon (congklak), sedang main petak umpet (sembunyi-sembunyi) dengan anak kita. Sedang makan-makan santai, sedang masak-masak barbeque, masak-masak di dapur, sementara menyapu, mengepel, kita membicarakan tentang iman, mewariskan hidup yang mengasihi Tuhan kepada anak-anak kita dalam segala situasi dan kondisi.
Yang berikutnya, bu Yosie, yaitu Ulangan 6:8 cara yang lain, "Haruslah juga engkau mengikatkannya sebagai tanda pada tanganmu, haruslah itu menjadi lambang di dahimu". Ini memang akhirnya orang-orang Israel saat itu mengertinya secara harfiah, akhirnya dibuat manik-manik di tangannya.
Y : Di dahi juga ya.
SK : Di dahi itu ada, jadi bukan di tatoo tapi saya pernah ketemu orang Yahudi yang masih hidup di masa sekarang, mereka kalau ibadah ada seperti bantalan kecil, diikat di dahi mereka. Bantalan itu ada tulisannya, kata "Shema". Kalau mereka ibadah, dalam ritualnya atau kebaktiannya, mereka beribadah di sinagoge, mereka memunyai ritual seperti itu, tapi sesungguhnya yang Allah maksudkan bukanlah yang bersifat harfiah, tapi simbol artinya apa? Sesuatu yang bisa dilihat artinya iman hidup yang mengasihi Tuhan tidak cukup ‘omdo’ (omong doing atau bicara saja) tapi orangtua perlu mempraktekkan, memerlihatkan dalam hidup nyata, bahwa memang aku hidup menaati ketika menghadapi petugas pajak, menghadapi masalah rumah tangga, menghadapi sengketa di gereja, menghadapi situasi-siatuasi pelik di rumah dan di luar rumah, bagaimana iman yang dipraktekkan itu disaksikan "live". Itulah kuasa mendidik, membangun iman anak lewat keteladanan orangtua yang mengasihi, menaati Tuhan dengan sepenuh jiwa.
Y : Yang nyata, yang langsung bisa dilihat ya.
SK : Betul.
Y : Apakah ini juga salah satu problem ya Pak, karena meskipun firman Tuhan sangat jelas memimpin kita tetapi kalau boleh saya lihat kenyataannya ada ‘gap’ antara Firman Tuhan yang dikehendaki dengan yang terjadi. Kenyataannya kita melihat generasi muda sedang terhilang, artinya gereja-gereja banyak didominasi oleh kaum-kaum tua, kaum senior sedangkan generasi mudanya kalau saya lihat banyak tidak ke gereja. Apa yang menjadi masalah, pak?
SK : Di satu sisi ya memang ini, bahwa tantangan bagi generasi tua, generasi dewasa adalah iman itu perlu iman yang otentik, iman yang asli, iman yang sejati, iman yang bukan iman ‘omdo’ tapi yang visual, iman yang disaksikan dengan nyata lewat hidup dan keputusan keseharian kita sebagai orangtua atau orang dewasa. Ketika kita mempraktekkan iman yang kita katakan itu lewat kehidupan, perbuatan yang nyata, maka hal itu akan memberi daya tarik, "Oh, ayahku, ibuku, kakek nenekku, paman bibiku tidak ‘omdo’ tapi mereka mempraktekkan iman dan mereka mengalami hidup yang mengasihi, hidup yang memberkati orang lain dan aku jadi tertarik".
Y : Hidup yang diberkati Tuhan juga, mereka mengalami pertolongan Tuhan yang nyata dalam kehidupan keluarga mereka.
SK : Mungkin ada kalau mau ikuti jalur suap, jalur menipu, jalur makan orang lain artinya menghabisi bisnisnya orang lain, sikut sana sikut sini, sepak sana sepak sini, ada yang sukses, tapi ternyata orangtuaku, paman bibiku, kakek nenekku, tidak demikian. Hidupnya saleh tapi memang menghadapi banyak kesulitan karena kesalehan itu tapi tetap tercukupi, terberkati dan bahkan bukan hanya berkat, material yang cukup tapi sejahtera jiwanya. Sementara yang kaya raya penuh iri dan dengki dan hidupnya sesungguhnya tidak bahagia. Inilah yang perlu ditunjukkan orangtua. Dalam kelanjutannya Ulangan 6:9 dikatakan bagaimana cara berikutnya dan "Haruslah engkau menuliskannya pada tiang pintu rumahmu dan pada pintu gerbangmu". Jadi pintu gerbang disini bukan gerbang rumah tapi pintu gerbang kota, dengan perkataan lain, mewariskan iman kepada anak mewariskan hidup yang mengasihi kepada Allah tidak cukup hanya orangtua tapi tetap orangtua berperan penting. Alangkah baiknya juga komunitas, membesarkan anak dalam bahasa Inggris ada pernyataan, "It takes a village to raise a child". Membutuhkan satu desa untuk membesarkan seorang anak.
Y : Artinya komunitas yang baik itu yang akan membangun anak-anak.
SK : Betul. Jadi mari orangtua-orangtua yang mengasihi Tuhan, orangtua-orangtua yang beriman menyatukan diri, berkomunitas, itulah gereja. Itulah persekutuan, itulah sebuah komunitas pelayanan. Keteladanan iman dari komunitas itu tadi.
Y : Komunitas yang sehat itu tadi.
SK : Dengan kata lain, kesimpulannya bu Yosie, tanggungjawab utama iman anak, pendidikan iman anak, upaya pembangunan iman anak ada pada orangtua, bukan pada guru Sekolah Minggu, bukan pada guru sekolah Kristen, bukan pada pendeta, bukan pada Pembina Sekolah Minggu, bukan pada Pembina Remaja. Mereka penting tetapi mereka adalah sebatas mitra sukses orangtua, bukan pengganti orangtua.
Y : Bukan pemegang peran utama ya.
SK : Ya.
Y : Sejauh mana pak, peran Sekolah Minggu dan peran Sekolah Kristen dalam membangun iman anak-anak kita?
SK : Dalam hal ini, bu Yosie, saya tertarik untuk menyitir lebih dulu jejak Sekolah Minggu, kapankah Sekolah Minggu ada di dunia ini? Mungkin sebagian kita tidak tahu sejarahnya. O iya sejak dulu gereja ada, cek di kitab Kisah Para Rasul ketika jemaat Tuhan berdiri setelah peristiwa Pentakosta, turunnya Roh Kudus, apakah dibuka kelas-kelas anak?
Y : Tidak ada.
SK : Tidak ada, bahkan kalau kita mundur ke belakang pun dalam konteks Perjanjian Lama, tidak ada kelas Sekolah Minggu. Perjanjian Baru pun tidak ada. Kalau kita cek di sejarah maka kita akan tahu Sekolah Minggu baru ada di abad 18, kira-kira 2 atau 3 abad yang lalu, yaitu pada saat terjadi revolusi industri di Negara Inggris dimana muncullah pabrik-pabrik karena penemuan mesin uap oleh James Watt, kemudian ada pabrik-pabrik sehingga banyak keluarga-keluarga petani meninggalkan lahan pertanian dan peternakan masuk ke pabrik itu, termasuk anak-anak, dulu tidak ada pembatasan usia. Anak yang masih berumur 8, 9, 10, remaja pun bisa ikut bekerja di pabrik, pagi sampai malam. Apa yang terjadi? Anak-anak ini punya uang, hari Minggu kosong, orangtua sendiri capek karena ikut bekerja. Apa yang terjadi dengan uang itu, anak-anak malah berjudi, minum minuman keras, berlaku liar di jalanan. Maka pada saat itulah ada seorang wartawan/jurnalis bernama Robert Raikes, mengamati mau meliput berita. Pada saat ia meliput berita itu melihat situasi itu dipikir aku tidak layak hanya cukup menuliskan di koran kota London. Aku harus berbuat sesuatu, maka akhirnya ia pun membuka sebuah kelas di hari Minggu, di dapur kecil dan disanalah anak-anak dikumpulkan, diajari tentang sopan santun, kebersihan, membaca menulis dan sebagainya sampai kemudian diajarkan tahap berikutnya ajaran-ajaran Alkitab. Dari Robert Raikeslah muncul gerakan Sekolah Minggu dan sampai sekarang ada di Indonesia. Setelah 3 abad ini, dengan kata lain menurut bu Yosie, Sekolah Minggu lahir dalam kondisi yang normal atau tidak normal?
Y : Produk abnormalitas yang karena perilaku anak-anak yang liar, yang berfoya-foya, yang nakal tadi maka tergeraklah Robert Raikes untuk mengarahkan mereka.
SK : Betul dan anak-anak liar karena orangtua tidak berperanan. Orangtua lelah bekerja, mengabaikan mereka.
Y: Melepas tanggungjawab.
SK: Melepas tanggungjawab, jadilah akhirnya Sekolah MInggu untuk menjawab, menjadi obat penyakit yang muncul. Penyakit sosial ini, dengan kata lain, Sekolah Minggu itu bukan rancangan Tuhan, Sekolah Minggu merupakan situasi sesaat yang muncul karena orangtua yang tidak menjalankan shema.
Y : Rancangan Tuhan ya shema ini.
SK : Ya.
Y : Iman menjadi tanggungjawab orangtua.
SK : Betul, maka bukan berarti percakapan ini mengarah pada pembubaran Sekolah Minggu, hapuskan Sekolah Minggu. Tidak demikian, tetap ada Sekolah Minggu itu baik, tapi ingat itu bukan titik tumpu pendidikan iman anak. Titik tumpunya harus kembali pada apa kata Firman Tuhan, yaitu orangtua.
Y : Mungkin bisa saya garisbawahi layanan Sekolah Minggu atau pun Sekolah Kristen adalah bagian dari komunitas tadi yang akan membentuk anak-anak yang tadi berbau kota tadi, yang desa tadi.
SK : Betul, betul, sebagai faktor pendukung tapi bukan faktor yang paling utama.
Y : Baik pak, kalau begitu secara praktis apa peran orangtua sekaligus peran gereja dalam memuridkan anak-anak secara intensional?
SK : Yang pertama, orangtua sendiri perlu memiliki iman yang hidup. Orangtua sendiri apakah memunyai kebiasaan saat teduh, membaca merenungkan Firman Tuhan setiap hari dan membaca merenungkan dan melakukan.
Y : Itu bisa dilihat anak-anak, ya pak.
SK : Kalaupun orangtua salah, emosional, marah-marah, tidak klarifikasi lebih dulu, sudah langsung memukul menghukum anak dan akhirnya memang orangtua salah. Orangtua bisa katakan, "Aduh nak, maaf ya. Ayahmu ini maafkan, ibumu ini". Yang salah mau mengaku, itu ‘kan bagian dari ketaatan pada Firman. Silakan hidupi. Orangtua sendiri perlu punya KTB (Kelompok Tumbuh Bersama), punya Komsel yang tidak hanya seremoni, upacara-upacara, hanya makan-makan, sharing yang manis-manis. Jadilah komunitas yang otentik, yang kita bisa membuka kehancuran, pergumulan kita dan saling mendoakan serta jadilah kelompok yang menjaga rahasia. Bukan berarti kalau kita cerita rahasia pergumulan dan kita mendengarkannya, kita lalu siaran parabola di luar komunitas. Hal itu akan menghancurkan komunitas menjadi tidak bisa otentik, sulit untuk percaya. Dalam hal ini untuk konteks keluarga, mari orangtua jangan hanya bertitik tumpu pada mezbah keluarga, "Aku sudah seminggu sekali bahkan setiap pagi selalu mezbah keluarga, baca Alkitab, berdoa bersama". Setelah itu selesai, papa mama sibuk ya, kamu mengurus sendiri. Itu tidak cukup, keseharian, saat bermain, saat di luar rumah, saat mendampingi anak belajar.
Y : Mendampingi anak belajar.
SK : Ketika dalam berbagai kondisi bagaimana kamu? Aku marah, aku ingin memukul. Kamu ingin memukul ya, jengkel ya. Menurut kamu hal itu tetap dilakukan? Menurut kamu bagaimana? Didialogkan, bapa berarti menghakimi. Lewat cara dialogis bagaimana hidup anak di sekolah, dengan masalahnya dikaitkan dengan iman. Menurut kamu sebaiknya bagaimana? Kalau menurut Tuhan, kamu dalam posisi menyadari Tuhan, hidup Tuhan ada di depanmu, apa yang kamu lakukan bila berhadapan dengan teman yang demikian? Ini yang menjadi bagian yang otentik, yang hidup. Sementara untuk gereja, mari gereja jangan berpuas diri hanya sebatas menegakkan seremoni, oh yang penting ada ibadah Minggu.
Y : Bulan Keluarga.
SK : Bulan Keluarga setahun sekali. Yang penting, ada ibadah komisi-komisi, selesai. Mari orang gereja berani mengevaluasi sejauh mana orangtua-orangtua ini menjadi teladan iman, menghidupi shema. Jadi shema bukan hanya dikhotbahkan di bulan keluarga, tapi menjadi keyakinan dan menjadi gaya hidup orangtua. Cek, evaluasi di lapangan. Kalau tidak jalan kira-kira faktor apa dan bagaimana gereja menjadi jembatan agar orangtua menjadi efektif memiliki iman yang hidup dan bisa mewariskan secara sengaja, secara intentional pada anak-anaknya. Dalami secara konkret sangat bagus kalau gereja itu punya pendampingan orangtua.
Y : Dengan demikian kedua belah pihak ataupun pihak-pihak semua melakukan tanggungjawabnya pasti iman anak-anak kita akan bertumbuh, takut akan Tuhan.
Terima kasih banyak Pak Sindu untuk uraiannya dan saya percaya memberkati para pendengar.
Para pendengar sekalian, terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bapak Ev. Sindunata Kurniawan, M.K. dalam acara Telaga (TEgur sapa gembaLA keluarGA). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Iman Anak Tanggungjawab Siapakah?" Bagi anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK, Jl. Cimanuk 56 Malang atau Anda dapat mengirimkan email ke telaga@telaga.org Kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih. Akhir kata dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa dalam acara TELAGA yang akan datang.