Oleh Ev. Sindunata Kurniawan.
Kata kunci: Mengingkari milik sendiri dan mengaku milik orang lain; bukan menggurui dan mendikte tapi melatih dan memberdayakan; batasan juga perlu dikembangkan; setiap kita memberi pertanggungjawaban kepada Allah.
TELAGA 2019
Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi di mana pun Anda berada, Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (TEgur Sapa GembaLA KeluarGA). Acara ini diselenggarakan oleh Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) bekerjasama dengan radio kesayangan Anda ini. Saya, Yosie akan berbincang-bincang dengan Bapak Ev. Sindunata Kurniawan, MK. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling keluarga. Perbincangan kami kali ini tentang "Ketika Batasan Dilanggar". Kami percaya acara ini bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
Y : Pak Sindu, kita sudah membahas di dua edisi yang lalu; yang pertama tentang "Ikatan Sehat dalam Berelasi" dan yang kedua tentang "Batasan yang Sehat". Sekarang kita membahas tentang "Ketika Batasan Dilanggar". Apa Pak maksudnya batasan dilanggar? Contoh-contohnya dan apa dampaknya di dalam kehidupan kita?
SK : Ketika batasan dilanggar ini berkenaan dengan kondisi ketika kita mengingkari apa yang sesungguhnya menjadi milik kita dan mencoba mengaku-aku apa yang menjadi milik orang lain, misalnya tugas-tugas kita di pekerjaan, sebagai mahasiswa atau pelajar, orang yang berprofesi, atau tugas-tugas kita di rumah tangga atau di keluarga kita, kita abaikan untuk kita bisa membantu orang lain. Dari sinilah kita sedang melanggar batasan kita yaitu kita seharusnya bertanggung jawab apa yang menjadi milik kita jangan diingkari, akuilah, kerjakan. Dan apa yang menjadi milik orang lain, pekerjaan orang lain, pergumulan orang lain, kebutuhan orang lain itu menjadi tanggungjawabnya. Kalau pun mereka, dia membutuhkan bantuan maka kita membantu sebatas kesanggupan kita dengan tanpa kita mengabaikan tanggungjawab kepemilikan kita. Jadi dengan begitu batasan kita hormati tapi di luar itu, batasan sedang kita langgar.
Y : Jadi maksudnya batasan dilanggar ketika kita itu tidak menerapkan batasan yang sehat ya Pak alias tidak tepat ya, Pak?
SK : Benar, Bu Yosie.
Y : Mengambil punya orang dan mengabaikan diri sendiri?
SK : Betul.
Y : Oke. Contoh yang lain Pak, misalnya tidak hanya dalam tugas dan tanggung jawab tapi misalnya dalam relasi kita yang lain.
SK : Iya. Jadi agak umum ketika ada orang lain yang sedih, teriak-teriak kesakitan, orang yang mengalami penderitaan jiwa yang begitu berat, kita terserap, terhisap perhatian kita dan kita menolong. Kita seperti berusaha memadamkan api kemarahannya, api kesedihannya, api penderitaan jiwanya tapi kemudian sampai pada titik dimana kita kehabisan dengan energi psikis kita atau energi jiwa kita. Disinilah kita melanggar batasan. Jadi misalnya ada contoh dimana anak-anak kita yang masih kecil. Kita tidak mengijinkannya untuk sakit sehingga kita memberikannya perlindungan. Perlindungan yang berlebihan atau ‘over-protective’, sehingga kalau dia mau jatuh tergesa-gesa kita pegang, tergesa-gesa kita beri pakaian berlapis-lapis, semua tergesa-gesa. Sehingga anak tidak mengalami proses rasa sakit, proses cedera sehingga itu membahayakan dia kemudian di masa dewasa malah akan fatal melakukan upaya-upaya atau kegiatan-kegiatan yang membahayakan jiwanya karena dia tidak pernah merasakan rasa sakit yang dalam kondisi tepat. Sehingga dia malah lalai.
Y : Menantang bahaya seperti itu ya?
SK : Iya. Malah lalai, malah ceroboh dengan begitu besarnya dan ini yang membahayakan. Kita tidak rela anak kita menangis, "Tidak boleh menangis, tidak boleh sedih."
Y : Semua tergesa-gesa dituruti.
SK : "Semangat, semangat. Ceria. Senyum. Tuhan senang yang mukanya seperti semangka. Tuhan benci orang yang mukanya seperti pepaya" itu teologi yang sembarangan. Dia tidak pernah merasakan kesedihan, selalu senang dan tersedia. Ketika ada saatnya dimana dia berpisah dengan kita dan harusnya berpisah, begitu sedikit merasakan kecewa akan langsung ‘terjun bebas’. Nah, disinilah kesalahan kita ketika melanggar batas.
Y : Jadi ini juga berlaku dalam ‘parenting’ ya Pak, tidak hanya misalnya hubungan suami-istri, hubungan dalam komunitas gereja tapi juga sangat tepat untuk diaplikasikan dalam mendidik anak-anak kita.
SK : Iya. Jadi ijinkan orang lain untuk sedih. Beri tempat untuk meratap, "Kamu tidak perlu meratap. Suamimu, anakmu yang sudah meninggal itu sudah di sisi Tuhan. Kalau kamu meratap itu akan menghambat jalan ke surga". Maaf itu teologi yang sembarangan. Kalau orang sudah meninggal ya sudah, tidak ada hubungannya antara kita meratap atau tidak, itu pikiran animistik, pikiran di luar Kristus. Tugas kita yang sedang berduka memang menangis, artinya berduka. Duka itu respons yang sehat terhadap keterhilangan. Perasaan yang berduka itu ciptaan Tuhan juga dan itu...
Y : Dan Tuhan pun juga menangis ya, Pak?
SK : Iya. Itu sehat. Berilah tempat. Jangan langgar! Jangan membuat orang lain terinjak, terjajah karena kita melarang untuk merasa kecewa, merasa sedih, merasa berduka. Termasuk dalam bentuk yang lain, Bu Yosie, berkenaan dengan hutang piutang. Jadi ketika ada yang bersalah ijinkan dia menanggung kesalahannya itu, misalnya anak kita. Memang dia memecahkan jendela tetangga, ijinkan dia untuk datang ....
Y : Menanggung konsekuensinya.
SK : Mengaku saya yang salah, menendang bola dan mengenai kaca dan pecah lalu minta maaf. Dengan dia belajar meminta maaf dia bertanggung jawab, berani berbuat, berani menanggung konsekuensinya. Dia akan lebih berhati-hati. Misalnya menghilangkan bahkan dengan nilai nominal yang besar, ijinkan anak kita untuk membayar minimal sebagian. Tidak ada uang tabungan tidak apa-apa, menyicil kepada kita. Sehingga membentuk rasa tanggungjawab. Itu memang tanggungjawab dia, ijinkan sebab itu mengedukasi, mendewasakannya.
Y : Membentuk batasan yang sehat dalam diri anak kita ya, Pak?
SK : Iya. Sehingga dia menjadi pribadi yang BerDiKaRi, "mampu berdiri di atas kaki sendiri" karena dia bertanggungjawab dengan pilihan-pilihannya dan akibat dari pilihannya itu.
Y : Kemungkinan besar orang-orang dewasa yang tidak memiliki batasan yang jelas tadi karena tidak diedukasi, tidak dilatih dari kecilnya sehingga sembarangan tidak memikul tanggungjawab, sembarangan menerobos masuk ke wilayah orang lain.
SK : Iya. Jadi dengan demikian ketika kita menemukan orang dewasa yang suka mengambil jatah orang lain atau membiarkan dirinya mengabaikan jatahnya atau tanggungjawabnya maka kita perlu edukasi. Jadi jangan biarkan terus menerus demikian karena memang kemerdekaan lahir dari mengambil tanggungjawab, sedangkan perbudakan terbit dari melepas tanggungjawab.
Y : Jadi ada orang yang tidak mau atau merdeka dari tanggungjawab justru diperbudak masalah, maksudnya.
SK : Iya. Jadi jangan merasa bersalah kalau kita menegakkan batasan untuk kita dan kita mengembangkan orang lain mengambil batasannya, tanggungjawabnya. Karena kita sedang memerdekakannya. Misalnya juga ada kasus seorang yang mabuk-mabukan, seharusnya ketika dia mabuk-mabukan dan besoknya tidak bisa bangun dan tidak bisa masuk kerja maka dia akan mendapatkan sanksi dari atasannya di tempat kerja. Tapi kemudian misalnya sang istri menelepon kepada atasan suaminya, "Pak, tolong maklumi suami saya tidak masuk kerja. Sedang sakit karena semalaman anak kami demam dan tidak tidur, sehingga suami saya badannya lemah dan tidak masuk kerja. Tolong ya Pak, maklumi." Dengan cara itu sang istri sedang mengambil tanggungjawab suaminya, melanggar batasan dan itu menyebabkan suami, "Oh tidak apa-apa ternyata". Akhirnya dia mabuk lagi dan dia akhirnya terpelihara, dalam hal ini sang istri sedang menyuburkan perilaku salahnya suami. Bukan menjadi penolong tapi menjadi penjerumus bagi suami.
Y : Tanpa sadar ya Pak, hal-hal seperti itu sering kita lakukan bukan hanya sebagai istri tapi juga sebagai orangtua, sebagai rekan kerja dengan pemikiran, "Saya menutupi kesalahan" dan ini salah.
SK : Benar. Ijinkanlah tiap-tiap orang untuk menerima tanggungjawab atas perasaannya, pikirannya, rasa bersalahnya, konsekuensi atau akibat dari tiap-tiap pilihan dan perbuatannya. Sementara kita sebagai pribadi yang mengasihinya mendukung sesuai kapasitas kita. Demikian juga Bu Yosie dalam hal pengambilan keputusan. Yang kita jadikan sasaran adalah bagaimana orang itulah yang memutuskan bagi dirinya dan bukan kita, baik kita sebagai orangtua, kita sebagai kakak, kita sebagai guru, sebagai konselor, sebagai mentor jangan merebut wilayah orang lain untuk mengambil keputusan bagi dirinya sendiri. "Sudahlah kamu tidak perlu berpikir, ikuti kata bapak, pilih jurusan ini, pasti kamu sukses. Pilih jurusan lain pasti kamu gagal". Lalu apa yang terjadi, ketika anak memilih jurusan sesuai kemauan bapak ibunya lalu bermasalah maka, "Ya, salah bapak ibu. Yang berbicara bapak ibu. Saya cuma menurut saja".
Y : Jadinya anak tidak memiliki tanggung jawab atas hidupnya, pilihannya Pak, karena memang tidak punya pilihan, tidak diijinkan orangtuanya.
SK : Iya. Maka tugas kita adalah menstimulasi, merangsang pikirannya, membuka wawasan, membuka menjelaskan kemungkinan-kemungkinannya seperti apa, konsekuensinya masing-masing seperti apa, dan dia memutuskan. Tentunya proses ini lewat tanya jawab, dialog jadi bukan menggurui, mendikte melainkan melatih proses berpikirnya, memberdayakannya bukan memperdayakannya.
Y : Bukan memanfaatkannya ya. Sebab banyak pandangan keliru tentang batasan yang membuat akhirnya tadi kita tidak mendidik, kita tidak melatih anak-anak kita untuk memiliki batasan yang tepat.
SK : Iya. Jadi memang ada beberapa pandangan keliru, Bu Yosie, tentang batasan, diantaranya "Saya egois. Saya tidak memiliki kasih kalau saya menegakkan batasan dan privasi" ada juga pandangan keliru, "Keinginan dan aspirasi saya, keinginan dan selera saya itu tidak penting. Yang penting adalah keinginan, selera dan pilihan orang lain". Itu juga pandangan yang keliru. Jadi justru ketika kita menegakkan batasan dan privasi, kita sedang mengasihi diri sendiri dan kita sedang mengasihi orang lain.
Y : Bukan berarti tadi yang egois, egoistik.
SK : Iya. Justru egoistik ketika kita merebut jatahnya orang lain, "Sudah kamu jangan kerjakan itu, saya yang kerjakan. Sudahlah kamu yang mudah-mudah saja yang susah-susah saya" akibatnya apa? Orang tidak belajar menghadapi kesulitan, orang tidak belajar bertanggungjawab lalu ketika menghadapi kesulitan dan tanggungjawab ketika dia tidak bersama kita, dia gagal.
Y : Kasihan malahan.
SK : Justru kita egois, merebut kesempatannya bertumbuh dan belajar. Ketika kita tidak mengasihi diri sendiri justru kita sedang egois. Artinya apa? Kita sedang mementingkan rasa aman yang palsu, "Oke aku menolong, menolong, menolong orang lain".
Y : Padahal untuk memenuhi kebutuhan kita sendiri untuk merasa berarti.
SK : Iya betul. Tapi akhirnya kita membuat tubuh kita rusak, jatuh sakit. Akhirnya kita mengalami kondisi-kondisi yang tidak seimbang dalam diri kita demi rasa aman yang palsu. Rasa aman palsu artinya begini, "Saya tidak nyaman kalau tidak menolong orang lain. Saya harus menolong. Saya harus menjadi juruselamat orang lain. Dengan saya menjadi juruselamat orang lain, menolong, berkorban bagi orang lain maka orang memuji saya baru saya tenang, baru damai".
Y : Merasa berarti.
SK : Iya, merasa berati. Baru merasa eksis, merasa berharga. Maaf itu semua palsu. Akhirnya kita jatuh kepada perbudakan rasa aman yang palsu, kita sedang membangun kebergantungan emosi dari pengakuan-pengakuan orang lain. Pada saat yang sama tubuh kita rusak, pekerjaan kita abaikan, keluarga inti kita abaikan demi mendapatkan puji-pujian orang lain dan dalam hal ini kita sedang tidak mengasihi tubuh kita dan tidak mengasihi orang lain yang ada di dekat kita. Nah, ini ironi.
Y : Kita malah sebetulnya sedang melanggar batasan-batasannya ya, Pak?
SK : Saat kita merasa menolong orang lain, tapi karena berlebihan batasan orang lain, yang lain itu kita langgar.
Y : Benar. Hal-hal yang lain Pak misalnya tentang pandangan yang keliru tentang batasan?
SK : Yaitu "Saya harus mendapatkan segala hal yang saya mau untuk bahagia. Jadi apapun yang saya mau, ya saya lakukan. Apa yang saya inginkan perlu saya miliki. Miliknya orang lain tanggungjawabnya orang maka saya ambil dan baru itu saya bahagia" ini juga asumsi yang keliru. Kebahagiaan yang sejati justru ketika kita hidup dalam batas-batas dan menghargai batas-batas orang lain. "Orang akan membenci saya kalau saya berkata tidak. Teman-teman akan meninggalkan saya kalau saya menegakkan batasan" ini juga hal-hal yang keliru. Justru kalau kita berani berkata tidak pada hal-hal yang sehat, maka orang akan menghargai dan akan menghormati kita. Dan orang akan percaya ketika dia berkata ‘ya’ maka ‘ya’ yang dikatakan iya betul-betul. Ada yang berkata, "Kamu besok ikut saya ya jam sekian" disetujui.
Y : Tapi tidak datang.
SK : Dia terbiasa berkata ‘iya, iya’ obral ‘iya’ maka orang tidak percaya. Maka "Sindu pembohong, Sindu yang tidak bisa dipercaya orangnya". Orang malah membenci kita karena kita tidak berani berkata tidak. Pada pandangan lainnya ialah, "Orang lain bertanggungjawab atas perasaan saya dan kesejahteraan saya". Jadi membawa mentalitas korban, "Saya begini gara-gara bapak ibu saya", memang ada hubungan. Kalau kita dibesarkan dengan pola yang keliru kita mendapatkan akibatnya. Bukan berarti ketika kita di usia remaja apalagi dewasa kita punya hak untuk mengambing hitamkan diri kita yang mau bertumbuh dewasa bertumbuh matang perlu mengambil tanggung jawab, "Oke saya dipengaruhi oleh masa lalu yang keliru, tapi saya masih punya pilihan untuk mencari pertolongan, untuk keluar dari lingkaran setan ini dan untuk masuk kepada pola yang sehat; baru dan sehat. Jadi perasaan saya tidak nyaman, gelisah, depresi, tertekan, merasa terus dihantui rasa bersalah. Iya, karena akibat masa lalu. Tapi saya masih punya pilihan untuk mengelola untuk mencari pertolongan dimana perasaan-perasaan yang serba negatif ini bisa terkurangi. Saya bisa keluar dari jerat perasaan-perasaan yang keliru ini." Mengambil tanggungjawab.
Y : Dan itu yang tidak dilakukan ya Pak, karena kita cenderung memiliki mental korban mengambing hitamkan. Padahal itu juga aplikasi di luar batasan. Tetap kita istilahnya dipengaruhi masa lalu tapi masa sekarang adalah milik kita.
SK : Iya. Jadi kita punya pilihan untuk apakah membiarkannya atau kita mengubahnya. Sampah jiwa masih bisa kita ubah menjadi kompos jiwa asal kita bawa kepada Kristus dan tubuh Kristus sebagai penolong kita. Maka dalam hal ini, Bu Yosie, ada hal-hal yang bisa kita lakukan untuk mengembangkan batasan yang sehat. Yang pertama, kita perlu mengenali siapa saya dan siapa bukan saya, apa yang saya suka apa yang saya tidak suka, apa yang menjadi kelebihan saya apa yang menjadi keterbatasan saya, apa yang bisa saya lakukan baik, apa yang bisa saya lakukan secukupnya. Nah, kita perlu mengenali. Dalam hal ini kalau kita kesulitan tidak apa, cari konselor, carilah mentor.
Y : Kita perlu pertolongan.
SK : Pembimbing. Ada hal-hal yang kita tidak bisa kenali oleh diri minta orang lain yang menjadi cermin, membantu untuk kita mengenali diri kita sendiri. Umpan balik dari orang lain. Yang kedua, mari kita mengasah untuk berani berkata tidak seperti bahasan tadi.
Y : Ini yang sulit ya, Pak. Kadang orang dengan kepribadian yang pernah ditolak atau pernah terluka justru sulit berkata ‘tidak’. Kita punya kecenderungan untuk menyenangkan orang, untuk baik kepada orang, begitu Pak?
SK : Iya. Maka inilah keterlukaan. Carilah pertolongan kepada Kristus dan tubuh Kristus secara khusus kepada konselor-konselor yang memahami untuk membantu menyelesaikan keterlukaan dan dampaknya, sehingga jiwa kita merdeka untuk berkata tidak. Yang ketiga, untuk mengembangkan batasan yang sehat ‘stop’ mengkambing hitamkan orang lain dan ambillah tanggungjawab. Yang keempat, jadilah diri yang proaktif dan bukan reaktif. Proaktif artinya apa yang masih bisa saya lakukan, lakukanlah. Apa yang tidak bisa, lepaskanlah. Doakanlah dan minta pertolongan orang lain. Jadi ketika dalam suatu situasi bukan yang pertama dan utama "Siapa yang salah ini? Gara-gara siapa ini? Siapa yang bertanggungjawab ini?", bukan !
Y : Itu reaktif ya, Pak?
SK : Iya. Tapi yang dicari adalah "Oke kondisi seperti ini, apa yang masih bisa saya lakukan?" Yang kelima, kenalilah keterbatasan diri, terimalah dan syukurilah. Kita pasti punya keterbatasan fisik misalnya ada orang yang serba punya alergi tertentu. Ada orang yang kekuatan fisiknya karena pernah jatuh patah tulang sehingga kekuatannya untuk memikul beban fisik tidak sekuat orang lain. Ada orang yang mengalami daya ingat, kelemahan daya ingat, Ada orang yang mengalami daya berpikir secara kritis. Ada orang yang mengalami kelemahan dalam berkomunikasi secara verbal, kata-kata. Terimalah. Karena batas-batas itu...
Y : Setiap orang memiliki kelemahan?
SK : Setiap kita punya kelemahan. Karena justru dengan kita mengenali keterbatasan kita dan mensyukuri, kita sedang membangun diri yang sehat bahwa saya butuh Kristus dan tubuh Kristus, saya butuh orang lain dan butuh Tuhan. Kita menjadi pribadi yang tidak sombong, yang tidak pongah, yang tahu batas, tahu diri. Sehingga kita menjadi pribadi yang rileks dengan diri, "Ini bisa saya lakukan maka saya lakukan. Oke saya bisa bertanggung jawab ini" itu bukan sombong justru diri yang sehat; "Oke saya siap untuk membantu hal ini. Untuk ini saya masih bisa saya lakukan" ini diri yang sehat. "Untuk yang ini saya ingin menolong, tapi maaf saya punya keterbatasan dalam hal seperti ini. Saya tidak bisa menolong kamu"
Y : Berani berkata ‘tidak’ juga berkaitan ya, Pak?
SK : Iya. "Tapi untuk hal ini saya masih bisa. Saya ingin menolong kamu tapi untuk hari ini saya padat. Saya ada tugas. Bagaimana kalau 3 hari lagi, saya akan berikan waktu 2 jam menolong kamu?" Nah, itulah seni berkata "tidak" artinya kita berkata apa adanya tapi dengan pilihan kata dan nada yang baik, yang tepat dan memberikan opsi alternatif pilihan yang lain. Yang keenam, Bu Yosie, untuk mengembangkan batasan maka kembangkan potensi diri kita. Jadi memang untuk beberapa hal itu sifatnya permanen, misalnya keterbatasan fisik itu tadi. Kita misalnya mengalami kondisi mata yang rabun, mengalami organ tubuh kita yang tidak lengkap, kita termasuk kaum difabel. Tidak bisa kita ubah mungkin, kecuali mungkin transplantasi atau operasi. Tapi ada hal-hal itu masih bisa kita kembangkan. Mari potensi itu kita kembangkan, apa yang baik yang Tuhan taruh kalau ada kesempatan dikembangkan, masih punya potensi diubah maka ubahlah, kembangkanlah. Yang berikutnya, bagaimana kita mengembangkan batasan adalah juga letakkan hidup kita pada beberapa hal, beberapa relasi, beberapa aktifitas. Jangan hanya menggantungkan pada seseorang. Jangan hanya menggantungkan hidup kita, hobi kita pada satu hobi. Milikilah hidup yang berwarna.
Y : Yang kaya ya, pak?
SK : Iya, yang lebih kaya secara jiwani. Oke saya hanya cocok berbicara dengan orang ini saja. Di luar itu tidak ada yang cocok. Ini hal yang keliru. Kita masih punya kelenturan jiwa asal kita mau membuka diri untuk kita mengembangkan pertemanan, persahabatan. Sehingga ketika orang tertentu meninggalkan kita, pindah kota, meninggal dunia kita masih punya sahabat-sahabat yang lain.
Y : Tidak hancur langsung ya, Pak ?
SK : Iya. Yang berikutnya adalah, untuk mengembangkan batasan, terimalah orang lain dengan keterbatasannya dan sedialah juga untuk memberdayakan orang lain.
Y : Bukan memperdayakan ya, Pak?
SK : Iya, memberdayakan. Artinya ketika orang lain memang tidak bisa ya sudah, jangan dipaksa. Kita terima keterbatasannya. Dan di sisi lain kita bukan berarti membiarkan orang itu, kalau memang ada potensi untuk kita kembangkan maka kita berdayakan, kembangkan, beri kesempatan...
Y : Dan untuk kebaikan dia juga. Tidak memanfaatkan untuk kepentingan kita.
SK : Iya. Jadi latihlah. Kita tahu tidak sempurna, terimalah ketidaksempurnaan itu. Kalau kita butuh yang sempurna maka percayakan ke orang lain yang mengerjakan sempurna. Tapi kalau itu masih dalam wilayah tertoleransi ketidaksempurnaan itu, berilah tugas-tugas kepanitiaan, hal-hal yang tidak fatal biar dikerjakan. Mungkin juga bisa ada orang-orang senior atau orang-orang yang lebih mampu membayang-bayangi dia. Kalau pun dia gagal masih ada yang bisa melanjutkan; strategi dalam kepanitiaan, dalam organisasi, dalam mendelegasi kerja.
Y : Di perusahaan juga bisa ya, Pak?
SK : Iya. Dengan cara ini kita sedang memberdayakan orang lain sekaligus kita membangun batasan jangan sampai kegagalannya, ketidakmampuannya menggagalkan kita.
Y : Luar biasa, Pak. Ternyata memang topik ini yang mulai dari pertama sampai yang ketiga ini sangat dalam maknanya. Yang terakhir silakan Pak Sindu menutup dengan kebenaran firman Tuhan.
SK : Roma 14:12, "Demikianlah setiap orang di antara kita akan memberi pertanggungan jawab tentang dirinya sendiri kepada Allah". Jadi firman Tuhan menegaskan ujungnya tiap-tiap kita akan dimintai laporan oleh Tuhan. Apakah kita mengelola dengan baik kesempatan, kemampuan, peran, talenta, kehidupan, perasaan, keputusan-keputusan kita bukan milik orang lain tapi milik diri sendiri. Maka hormatilah batasan kita. Rayakanlah batasan kita dan gunakanlah dengan demikian kita akan menjadi pribadi yang sukses di hadapan manusia dan di hadapan Allah.
Y : Terima kasih banyak, Pak Sindu untuk penjelasannya. Saya percaya ini bermanfaat bagi kita semuanya. Para pendengar sekalian, kami mengucapkan terima kasih telah mengikuti perbincangan kami dengan Bapak Sindunata Kurniawan, MK dalam acara TELAGA (TEgur sapa GembaLA KeluarGA). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Ketika Batasan Dilanggar". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Atau Anda juga dapat menggunakan e-mail ke alamat telaga@telaga.org. Kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan, serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Akhir kata dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa dalam acara TELAGA yang akan datang.