Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Acara ini diselenggarakan oleh Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK bekerjasama dengan radio kesayangan Anda ini. Saya, Hendra, akan berbincang-bincang dengan Bapak Penginjil Sindunata Kurniawan, M.K., beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling keluarga. Perbincangan kami kali ini tentang "Menunda-nunda" bagian ketiga. Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
H : Pak Sindu, kita sudah membahas mengenai topik menunda-nunda untuk dua sesi sebelum sesi ketiga ini. Hari ini saya mau bertanya sesungguhnya orang yang memiliki kebiasaan menunda-nunda ini apakah secara tidak sadar mereka memiliki semacam komitmen tertentu, misalkan dia suka menunda pasti ada keinginan untuk berubah. Apakah ada sesuatu yang secara tidak disadari menjadi komitmen di dalam dirinya ?
SK : Jadi memang orang yang suka menunda-nunda itu memiliki seperti sebuah keyakinan tertentu yang sifatnya bisa jadi tidak disadari sepenuhnya, kalau dalam bahasa Inggris disingkat dengan kata "Quote" dan ini menjadi sebuah ikrar atau sumpah misalnya sebagai seorang prajurit, tentara untuk setia kepada korpsnya, untuk melindungi rahasia negara, ada ikrar janji setia dan itu begitu merasuk ke dalam jiwanya mendarah daging. Rupanya seseorang yang suka menunda-nunda punya komitmen bawah sadar.
H : Seperti apa komitmen bawah sadar ini ?
SK : Jadi saya bisa paparkan ada beberapa bentuk, misalnya "Saya harus sempurna", dia punya suatu ikrar komitmen bawah sadar bahwa saya harus sempurna dan karena harus sempurna inilah, maka dia harus menjadi sebuah motor dia menunda-nunda. Kemudian yang kedua, segala sesuatu seharusnya saya kerjakan dengan mudah dan tanpa usaha, jadi sebuah keyakinan. Yang ketiga lebih aman tidak mengerjakan apa-apa daripada mengambil resiko dan gagal.
H : Tampaknya ada rasa takut gagal ?
SK : Betul. Yang saya kemukakan itu, komitmen bawah sadar dengan kalimat tadi itu sebenarnya akar yang lebih dalam adalah rasa takut gagal. Jadi ini ada kaitannya dengan bahasan kita yang lalu ada 5 faktor penundaan. Salah satu adalah takut gagal, diwakili dengan pernyataan-pernyataan keyakinan seperti tadi itu. Kalau boleh saya tambahkan misalnya saya seharusnya tidak memiliki keterbatasan dan seharusnya semua bisa saya lakukan seperti yang saya mau dan itu kembali satu keyakinan dengan rasa takut gagal bahwa dia mengejar kesempurnaan. Yang kelima, jika tidak mengerjakan dengan benar maka semua yang kita kerjakan tidak ada artinya sama sekali, jadi semangat ya atau tidak sama sekali, harus sempurna kalau tidak sempurna maka percuma mengerjakan apa pun dan tidak ada artinya atau maknanya. Jadi ini sebenarnya akarnya rasa takut gagal.
H : Apalagi, Pak ? Apakah yang dia jadikan komitmen ?
SK : Jadi selain itu, tadi dia takut gagal ada juga yang kedua adalah takut sukses. Takut sukses memunculkan sebuah komitmen bawah sadar paling tidak diwakili dengan dua kalimat tersebut yaitu "jika saya sukses maka ada seseorang yang akan terluka". Jadi dia takut sukses dan pikirannya kalau saya sukses maka nanti ada yang tersinggung dan nanti dia tidak mau menjadi teman saya. Jadi memunculkan sebuah keyakinan yang secara umum tidak rasional tapi bagi dia begitu melekat. Atau mungkin dalam bentuk yang lain, jika kali ini saya mengerjakan dengan baik, saya harus selalu mengerjakan dengan baik.
H : Jadi dia berusaha menghindar ?
SK : Menghindar dan menunda, karena nanti aku mengerjakan dengan bagus membangkitkan tuntutan yang tidak akan pernah berhenti dan sekali bagus maka bagus terus, sekali sempurna maka nanti minta sempurna terus maka akan menjadi lelah dan lebih baik ditunda saja. Jadi ini takut sukses.
H : Menarik sekali. Jadi sebenarnya dia bisa mengerjakan yang baik, tapi karena dia terlalu takut maka dia memutuskan menunda-nunda dan hasilnya buruk ?
SK : Bukan hanya buruk, tapi salah satunya buruknya karena dia tidak mengerjakan atau ditunda-tunda tadi. Kembali itu disebutnya komitmen bawah sadar, kalau kita tanya ke pelakunya dia tidak menyadari. Kembali komitmen bawah sadarnya ialah sesuatu yang melekat tapi kalau ditanya seringkali dia tidak akan menyadari. Selain tadi takut gagal, yang berikutnya takut sukses. Yang ketiga adalah takut berpisah. Saya tidak boleh membiarkan seseorang pergi atau sesuatu pun pergi. Jadi saya tidak boleh membiarkan seseorang pergi atau sesuatu pun lenyap begitu saja jadi takut berpisah. Adalagi takut dekat. Jika saya menampilkan diri apa adanya, orang-orang tidak akan menyukai saya. Jadi akhirnya menunda untuk menjalin relasi yang lebih dekat karena dia berpikir meyakini kalau aku tampil apa adanya aku nanti tidak disukai. Kalau saya tambahkan dua yang terakhir juga dalam bentuk takut yang lain yaitu takut kalah, mengikuti aturan seorang sama saja dengan menyerah dan tidak punya kendali, ini takut kalah. Jadi melihat penugasan itu sebagai menang atau kalah, kalau saya mengerjakan yang diinstruksikan atasan saya berarti saya kalah maka dia punya keyakinan bawah sadar mengikuti aturan seseorang sama saja tidak punya kendali.
H : Jadi ini seolah-oleh melawan dengan pasif, begitu.
SK : Betul. Jadi tindakan yang memang agresif tapi pasif. Terakhir ini berkaitan dengan takut gagal, muncul komitmen bawah sadar demikian, "Ada jawaban yang benar dan saya akan menunggu sampai mendapatkannya".
H : Ini maksudnya apa, Pak ?
SK : Maksudnya tadi mengejar kesempurnaan, jadi memang kaitannya dengan poin di awal takut gagal. Jadi takut gagal bisa memunculkan satu pernyataan keyakinan atau komitmen bawah sadar.
H : Jawaban yang benar itu apa maksudnya ?
SK : Jawaban yang benar maksudnya jawaban yang sempurna, yang terbaik dan saya akan menunggu sampai saya mendapatkannya, dia mengejar kelengkapan misalnya "Kenapa papernya belum dimulai ?" "Saya ini sedang mengumpulkan data-data", "Kenapa kamu tidak mengerjakan proyekmu karena proyekmu itu bagus ?" "Nah ini aku butuh dan masih ada satu hal, ada satu poin yang aku belum dapat"; "Kamu 'kan bisa kerjakan" "Ini 'kan penting, aku tunggu ini dulu supaya lengkap sempurna baru aku mau jalan".
Karena dia memandang sebuah keyakinan ada yang luar biasa dan aku harus tunggu sampai yang luar biasa terjadi ada di depan baru aku akan maju.
H : Dan ironinya semua ini tidak disadari.
SK : Dan satu ironinya adalah salah dan tersesat dan ini yang memenjarakan, ini yang menggagalkan. Jadi bicara penundaan itu bukan sekadar aspek perilaku dan tingkah laku tapi pikiran. Jadi memang ada aspek pikiran kognitif, ada aspek perilaku, ada aspek emosi, afeksi sebagaimana yang lalu kita pernah bahas lewat situs penundaan, jadi memang kompleks bicara tentang penundaan. Bicara tentang penundaan inilah sebenarnya kekalahan itu sudah terjadi mulai dari pola pikirnya dan mulai dari asumsinya, kepercayaannya, itulah yang sudah lebih dulu mensabotase, menggagalkan diri orang itu sebelum dia bertindak.
H : Dan celakanya ini bukan pemikiran yang dangkal, tapi bisa dikatakan pemikiran yang dikatakan sebuah komitmen bawah sadar berarti itu pemikiran yang cukup kuat di dalam dirinya tapi tidak disadari.
SK : Bukan hanya tidak disadari tapi juga tidak mudah untuk digoyahkan. Jadi katakan komitmen, ini sesuatu yang dipegang erat, sumpah setia, berani mati demi keyakinan, sebagaimana kalau kita lihat mereka yang terjun di dalam dunia peperangan militer, mereka punya jiwa korsa, benar salah ini adalah kesatuan yang harus aku bela, ini bisa seperti itu semangatnya. Jadi dalam hal ini memang kita harus mengakui bahwa berhadapan dengan kebiasaan menunda itu tidak sekadar, "Ayo lakukan saja, mulai" "Karena kamu tidak punya pergumulan ini, jadi kamu gampang saja bicara" tapi orang yang punya kebiasaan dengan menunda sulit untuk menghilangkan pemikiran-pemikiran seperti itu, jadi dia sendiri harus mengerti kalau itu keliru dan baru itu terjadi proses pembaharuan, artinya dibuang yang keliru dan menanamkan pola pikir keyakinan yang benar baru itu akan terjadi.
H : Jadi langkah pertama yang penting dia harus menyadari memiliki komitmen dan dia harus meruntuhkan pilar komitmen ini.
SK : Dan kembali komitmen bukan sekadar pemikiran atau keyakinan yang sekadar pikiran yang sifatnya benar atau salah tapi ada akar emosional, kenapa menjadi komitmen dan tidak mudah dilepaskan, begitu berani mati untuk hal yang seperti ini karena ada ikatan emosional, pengalaman buruk di masa lalu yang melekatkan pikiran-pikiran atau asumsi yang keliru ini. Jadi bicara tentang penundaan akhirnya ada aspek yang bersifat pemulihan diri artinya pembaharuan aspek pengalaman buruk di masa lalu yang membangkitkan asumsi yang keliru ini, maka itu perlu dibedah, trauma-trauma pengalaman buruk ini yang bersifat emosional perlu dibongkar dan dia harus mengakui ada halangan-halangan emosional dilepaskan mungkin membutuhkan tindakan untuk pengampunan, sedia untuk berdamai lalu bisa lebih luntur.
H : Menarik sekali berarti akar emosionalnya sangat kompleks. Kalau boleh saya simpulkan sangat berkaitan erat dengan segala ketakutan yang telah kita bahas dalam sesi sebelumnya ada dalam internal dirinya. Kalau saya ingin menanyakan lebih jauh misalkan dari faktor eksternal apakah cukup berpengaruh bagi dia hingga dia memiliki komitmen bawah sadar begini ?
SK : Memang faktor eksternal itu tentunya ada, karena adanya dukungan-dukungan tanpa disadari dukungan sekitar yang membuat itu semakin melekat dan itu bisa terjadi demikian.
H : Contohnya berkenaan dengan batas akhirnya yang diberikan oleh atasannya atau oleh dosen atau oleh gurunya itu bisa menjadi sebuah tekanan ?
SK : Jadi memang berkaitan dengan batas akhir. Jadi orang yang menunda-nunda ini punya kebutuhan adanya batas akhir, batas akhir itu yaitu adalah batasan dari luar, jadi dengan adanya batasan dari luar inilah itu memberikan satu bentuk dorongan atau motivasi untuk dia mengerjakan tugasnya. Tapi kalau tidak ada batas akhir itu maka dia lunglai, jadi dia akan seperti lumpuh dan tidak punya motivasi untuk mengerjakan, menyelesaikan apa yang menjadi tugasnya. Pergulatan orang yang menunda-nunda ini dia sendiri kurang punya motivasi internal, daya dorong dari dalam, dia butuh tekanan dari luar baru dia bisa bekerja dengan baik. Jadi dia sendiri memunculkan sebuah keyakinan bahwa dirinya menunjukkan kinerja terbaik hanya kalau bekerja di bawah tekanan dan memang dia caranya begitu, kalau tidak ada tekanan batas akhir dia lunglai dan tidak bisa melakukan yang terbaik dan sebuah studi di lapangan menunjukkan sayangnya bahwa keyakinan itu tidak benar demikian bahwa sebenarnya justru penundaan pengerjaan tugas, itu menghasilkan kompromi dan pengorbanan kwalitas kerja. Jadi sebenarnya apa yang dilakukan dengan adanya batas akhir tidak serta merta dia melakukan yang terbaik sesuai dengan potensinya, karena terjadi batas akhir diapun tidak melakukan proses penundaan dan dia kerjakan hanya pada hari-hari terakhir. Jadi sebenarnya hasilnya memang dikumpulkan tapi kwalitasnya lebih rendah daripada potensi yang sesungguhnya. Bicara tentang penundaan merupakan bentuk dari manajemen waktu yang bersifat merusak.
H : Jadi lagi-lagi ada kontradiksi ?
SK : Betul.
H : Dalam diri si penunda itu dia merasa ini adalah motivasi yang baik kalau dibawah tekanan, tapi di sisi lain ternyata menunjukkan hal yang sebaliknya justru menurunkan kwalitas dan performanya.
SK : Betul. Jadi kebiasaan orang terbiasa menunda-nunda itu membela diri berpikir demikian, "Jika dapat menyelesaikan pekerjaan dalam jumlah yang sama maka tidak jadi soal mau dikerjakan lebih awal atau terlambat", beberapa bahkan berpendapat bahwa penundaan itu menciptakan gairah dan tekanan untuk menghasilkan kinerja puncak atau performa yang terbaik di bawah tekanan. Itu sebenarnya keliru, jadi ini didukung oleh penelitian yang bersifat studi longitudinal.
H : Seperti apa itu ?
SK : Studi longitudinal itu adalah penelitian yang dilakukan dalam jangka waktu yang panjang yaitu jangka panjang mengamati pola beberapa orang, jadi ditemukan semula begini bahwa dalam awal semester ini kaitannya dalam dunia mahasiswa, pada awal semester penunda ini mengalami stres dan keluhan fisik yang lebih rendah daripada yang bukan penunda, itu di awal semester. Jadi awal semester orang yang suka menunda-nunda ini stresnya dan keluhan fisiknya kecil, "Masih awal semester, masih awal minggu, masih dua minggu, masih tiga minggu, nanti saja 'belanda masih jauh' " sementara yang tidak punya kebiasaan menunda awal semester saja dia sudah mulai stres, mulai tegang dan mulai agak pegal-pegal jadi memang awal semester yang menunda itu lebih damai sejahtera bersukacita dan minim keluhan fisiknya, tapi sebaliknya pada akhir semester orang yang terbiasa menunda-nunda mengalami stres dan keluhan fisik yang jauh lebih banyak daripada yang bukan menunda dan kalau dijumlahkan stres dan keluhan fisik di awal dan akhir semester ini maka akan ditemukan jumlahnya ternyata yang menunda ini jauh lebih banyak secara jumlah. Jadi memang di awalnya kesannya menang si penunda ini, tidak ada stres dan hidupnya merdeka, main-main dan dia melakukan apa pun yang dia sukai asal tidak mengerjakan tugas kuliah, tugas proyek, paper atau apa pun dan stresnya nanti belakangan. "Tidak apa-apa yang penting 'kan nanti selesai, bedanya kamu yang sok rajin stresnya di awal. Kalau aku menikmati stresnya di belakang" itu belum lengkap kalau dijumlah stresnya awal dan akhir ternyata yang tidak menunda ini yang mempunyai pola manajemen gaya hidup yang lebih baik ini jumlah stresnya lebih kecil. Inilah sesuatu yang kadang atau umumnya mungkin beberapa pelaku menunda ini tidak menyadari.
H : Saya percaya ada kerugian yang lainnya yaitu hasil nilainya juga pasti lebih buruk dibandingkan yang bukan penunda.
SK : Tepat sekali. Jadi kalau si penunda bicara bahwa performanya terbaik di bawah tekanan, itu sebenarnya jauh dari realitas.
H : Itu pikirannya sendiri ?
SK : Itu pikirannya, asumsi yang keliru itu tadi.
H : Baik.
SK : Jadi kalau bicara tentang penundaan itu justru menambah beban stres dan keluhan fisik. Menunda itu menerima nilai yang lebih rendah kemudian keuntungan jangka pendek tapi kerugiannya jangka panjang. Dia mengalami yang awalnya relaks damai sukacita, itu keuntungan jangka pendek tapi kerugiannya jangka panjang dialami.
H : Saya tertarik sekali dengan penjabaran studi-studi seperti ini dan saya ingin bertanya apakah ada studi yang berkaitan juga dengan beberapa kali Bapak menyinggung-nyinggung tentang kesempurnaan, ada studi-studi yang mengaitkan tentang hal itu ?
SK : Tentang kesempurnaan ini ada sebuah studi atau beberapa studi yang menyimpulkan bahwa penundaan yang terus-menerus ini bukanlah pendekataan yang efektif untuk memberi hasil kerja yang sempurna. Jadi justru pelaku penundaan menghabiskan jumlah waktu yang tidak proporsional untuk suatu proyek dibandingkan dengan proyek lainnya. Bahkan beberapa penundaan tidak pernah berhasil menyelesaikan tugas karena terus-menerus berkonsentrasi pada satu bagian dalam usahanya menghasilkan karya yang sempurna. Jadi sesungguhnya sebuah ironi kegagalanlah dan bukan kesuksesan yang terjadi sejak suatu bagian dikerjakan, sesuatu secara berlebihan dengan mengorbankan bagian tugas lainnya. Jadi misalnya kalau digambarkan lebih konkret kaitannya dengan sebuah proyek. Proyek ini ada bagian A, B, C, D dia begitu mengejar kesempurnaan di bagian A dan terus diotak-atik akhirnya hanya tinggal 2 minggu harus diselesaikan proyek itu dan ada bagian lain B, C yang belum selesai dan akan dikejar dikerjakan di menit-menit terakhir. Akhirnya memang luar biasa tapi B, C, D, E nya kedodoran. Jadi sebenarnya jauh dari kesempurnaan yang dia capai. Ada sebuah bentuk asumsi yang tidak terjadi atau keliru dan berpikir, harus sempurna. ada yang terbaik di sana, itu adalah asumsimu tapi realitasnya jauh, seperti bumi dari langit.
H : Lagi-lagi ada kontradiksi, ini bisa jadi hikmah sendiri dan mungkin Bapak bisa simpulkan dari studi ini ?
SK : Dan ini bisa justru ketika mengejar kesempurnaan malah benar-benar hasil yang tidak sempurnalah yang didapatkan yaitu kegagalan menyelesaikan tugas maupun hasil kerja yang buruk, karena ketika kita mengejar kesempurnaan kita menjadi cenderung berfokus pada satu hal dan mengabaikan gambar besarnya bahwa masih ada bagian lain yang perlu dikerjakan.
H : Menarik sekali studi-studi seperti ini karena betul-betul studi ilmiah, kalau itu dipaparkan bisa membuka wawasan terutama bagi pendengar atau orang-orang yang punya kecenderungan suka menunda-nunda, jadi mereka bisa melihat ternyata asumsi selama ini keliru. Yang ingin saya tanyakan selain studi mengenai kesempurnaan atau studi yang barusan kita bahas, ada studi apa lagi yang bisa menolong para pendengar ini ?
SK : Yaitu yang berkenaan dengan ini tentang pembentukan keyakinan diri atau kepercayaan diri. Jadi ditemukan dalam penelitian lapangan orang yang suka menunda-nunda tumbuh keyakinan bahwa kinerja atau hasil kerjanya lebih banyak dipengaruhi oleh faktor keberuntungan atau faktor yang bersifat situasional atau eksternal. Jadi saya berhasil dan kebetulan memang ada keberhasilan, karena ini kurang persiapan dan kurang mengerjakannya dengan tuntas. Misalnya kalau mahasiswa, dilihat belajarnya mendadak, sistem kejar semalam dan ternyata nilainya bagus tapi bagusnya dia merasa ini bukan hasil kerja kerasku, kebetulan soal yang keluar itu sesuai dengan bab yang aku pelajari dan kebetulan gurunya sakit atau dosennya sakit sehingga ditunda dan akhirnya aku masih bisa belajar lagi dan ternyata hasilnya bagus. Jadi ada faktor-faktor dari luar. Dan sementara mereka yang tidak menunda memiliki kebiasaan belajar dan mengerjakan tugas dari awal secara baik, dia meyakini akhirnya tumbuh kepercayaan diri bahwa aku mendapatkan hasil bagus karena aku belajar dan karena aku setia, karena aku tekun, karena aku bekerja keras sejak dari awal dan konsisten sampai akhir. Dia membentuk keyakinan aku berhasil dan aku bisa, aku berhasil karena faktor keberuntungan belaka.
H : Dan celakanya selalu menantikan keberuntungan itu.
SK : Iya, karena itu menghasilkan dua pribadi yang berbeda. Jadi yang terbiasa menunda akhirnya kurang percaya diri dan kurang yakin dengan kemampuan dirinya, sementara yang tidak punya kebiasaan menunda akhirnya terlatih dan bersedia menerima tantangan dan ini bukan sombong. Jadi keyakinan diri yang sehat karena sesuai dengan potensi yang Tuhan berikan dan ia lakukan setia dalam perkara kecil maka perkara yang lebih besar dia siap menyambut dengan keyakinan dan sukacita.
H : Kalau boleh saya menyimpulkan seluruh pembicaraan kita pada sesi kali ini ternyata itu mulai dari pikiran yang meracuni, asumsi yang keliru kemudian ditambah dengan ada faktor eksternal yang membuat pembenaran-pembenaran akhirnya menjadi sebuah karakter atau sesuatu yang melekat dalam dirinya.
SK : Benar, saya sepakat.
H : Di akhir perbincangan kali ini apa ada ayat yang ini Bapak sampaikan ?
SK : Saya bacakan dari Efesus 5:15, "Karena itu, perhatikanlah dengan saksama, bagaimana kamu hidup, janganlah seperti orang bebal, tetapi seperti orang arif". Jadi kita perlu memperhatikan apa yang kita lakukan di dalam hidup ini dan kita perlu mengenali dan mengkritisi kebiasaan-kebiasaan kita karena apa yang kita lakukan atau tindakan kita, kebiasaan kita itu ternyata sebagaimana Pak Hendra simpulkan tadi tidak sesederhana yang kita jaga. Jadi membentuk sistem nilai dan keyakinan kita tentang siapa kita, tentang kemampuan kita. Jadi jangan pandang remeh dalam hal ini tindakan menunda, kebiasaan menunda-nunda ini. Ini menghancurkan hidup kita dan jangan memikirkan hanya menunda, hanya aspek pekerjaan, hanya aspek rumah tangga. Tidak sesederhana itu ! Kita ini manusia yang satu kesatuan sebuah tindakan apalagi kebiasaan yang berulang-ulang itu membentuk kembali konsep atau gambar diri kita, sistem nilai kita, maka mari perhatikan bagaimana kita hidup dan jadilah orang yang arif. Tuhan memberkati !
H : Terima kasih Pak Sindu, dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bapak Penginjil Sindunata Kurniawan M.K. dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Menunda-nunda" bagian ketiga. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami melalui surat yang dapat dialamatkan kepada Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.