Berita TELAGA

Pernikahan Dibangun Di Atas Pertumbuhan Bukan Hanya Kerukunan

Versi printer-friendly
Januari


Pertanda bahwa pernikahan sehat bukanlah kerukunan; kita bisa hidup rukun tanpa kasih alias tanpa relasi. Selama kita menjaga batas dan bersedia patuh pada syarat gencatan sejata, kita dapat memertahankan kerukunan. Namun kita tahu kerukunan seperti itu bukanlah pertanda bahwa pernikahan kita sehat. Pertanda bahwa pernikahan sehat ialah adanya pertumbuhan—pernikahan sehat jika anggotanya terus bertumbuh

Berikut beberapa masukan untuk memelihara pertumbuhan dalam pernikahan:

  1. Kita mesti menghadapi masalah. Kita boleh menunda atau mendinginkan hati sewaktu menghadapi masalah; kita pun boleh melindungi diri dari bahaya yang timbul dari masalah yang dihadapi. Namun, kita tidak boleh menghindar atau melarikan diri dari masalah. Pertumbuhan baru terjadi pada saat kita menghadapi masalah. Bukan saja kita menjadi lebih kuat dan tabah, kita pun dipaksa untuk menjadi lebih kreatif dan bijak sewaktu menghadapi masalah. Hubungan denganTuhan pun diperkuat sebab kita akan lebih bergantung pada-Nya. Saya sadar, tidak mudah memaksa diri — apalagi memaksa pasangan—menghadapi masalah. Kadang kita tergoda untuk mendiamkan masalah—tidak menghadapinya—dan berharap masalah bisa selesai dengan berjalannya waktu. Adakalanya kita letih dan tidak tahu mesti berbuat apa, akhirnya kita berdiam diri. Tidak apa berdiam diri dan tidak apa beristirahat sewaktu letih dan kehabisan akal. Tidak apa untuk datang kepada Tuhan dan menantikan tuntunan yang lebih jelas dari-Nya. Namun, setelah itu, jika kita sudah tahu apa yang mesti dilakukan, kita harus bertindak. Kita mesti menghadapi masalah.
  2. Kita mesti berubah. Pertumbuhan baru terjadi sewaktu kita berubah atau beradaptasi dengan kondisi yang dihadapi. Pernikahan menuntut penyesuaian secara terus menerus sebab kita sendiri mengalami perubahan, baik secara jasmaniah, psikologis dan sosial. Pertambahan usia membuat kita berubah; pertumbuhan anak menuntut perubahan pada diri kita sebagai orangtua dalam membesarkan dan mendidiknya; perkembangan karier juga menimbulkan perubahan pada bagaimana kita menjalani hidup. Singkat kata, kita adalah makhluk yang terus mengalami perubahan dan ini menuntut perubahan dalam menyikapinya. Bila kita menolak berubah—dan menuntut pasangan serta anak untuk tidak berubah—kita pasti akan membentur tembok. Kita akan mengalami konflik dan membuat pasangan serta anak menjauh dari kita. Mungkin kita akan senang karena kondisi tetap sama, tetapi sebenarnya kita hanyalah menyimpan api dalam sekam. Tinggal tunggu waktu, masalah akan meledak. Namun terlebih penting lagi, penolakan kita untuk berubah membuat kita berhenti bertumbuh, bukan hanya kita secara pribadi, tetapi juga kita secara keluarga.
  3. Kita mesti setia. Pertumbuhan dimungkinkan tatkala kita setia di dalam relasi. Bila kita mencari kesenangan dan ketenangan di luar pernikahan, kita tidak akan bertumbuh. Memang tidak mudah untuk setia sewaktu pernikahan bergolak; akan ada godaan besar untuk mencari pemuasan di luar pernikahan. Sungguh pun demikian kita harus menolaknya; kita tidak boleh mengambil jalan pintas. Lebih baik kita susah bergumul dari pada kita menjalin relasi di luar nikah. Kita harus terus menjunjung tinggi janji nikah yang telah kita ikrarkan.
  4. Kita mesti berani mengoreksi pasangan. Bila kita takut kehilangan pasangan atau terlalu memberhalakannya, besar kemungkinan kita tidak akan berani menegurnya sewaktu ia melakukan kesalahan. Relasi yang miskin koreksi akan menjadi relasi yang stagnan, tidak ada pertumbuhan, sebab pertumbuhan baru dapat terjadi bila kita saling mengoreksi. Sudah tentu kita mesti terbuka dan siap untuk dikoreksi. Jika kita bersikap defensif dan malah menyerang balik tatkala dikoreksi, akhirnya pasangan akan enggan untuk mengoreksi. Daripada bertengkar, akhirnya ia memilih diam. Bila ini terjadi, sebetulnya orang yang paling dirugikan adalah diri kita sendiri—kita tidak akan mengalami pertumbuhan lagi!
  5. Kita mesti bersedia belajar dari siapa pun. Pernikahan yang bertumbuh adalah pernikahan yang terbuka untuk belajar dari siapa pun. Apabila kita hanya memberi izin kepada pasangan untuk mengoreksi kita, maka kita akan kehilangan kesempatan untuk belajar dari orang lain. Sama dengan itu, jika kita tidak membolehkan seorang pun mengoreksi pasangan, maka pasangan—dan kita—tidak akan mengalami pertumbuhan. Seyogianyalah kita berinteraksi dengan sesama; pertumbuhan baru dapat terjadi sewaktu kita menjadi bagian dari komunitas. Apabila kita memisahkan diri dari komunitas, pertumbuhan pun berhenti. Itu sebab penting untuk kita membiarkan diri sendiri dan pasangan secara terpisah bergaul dengan sesama dan terbuka menerima koreksi.
  6. Kita mesti terus mencari dan menaati kehendak Tuhan. Pernikahan yang bertumbuh adalah pernikahan yang menempatkan Tuhan di takhta kehidupan, di mana kehendak Tuhan diutamakan di atas kehendak pribadi. Pernikahan yang tidak bertumbuh adalah pernikahan yang sarat dengan kehendak pribadi. Sebaliknya, sewaktu masing-masing mengesampingkan kehendak pribadi, maka pertumbuhan akan terjadi.
  7. Kita mesti menjadi alat Tuhan untuk menggenapi misi-Nya di dunia. Pernikahan akan bertumbuh bila kita terlibat dalam pekerjaanTuhan yang jauh melampaui pernikahan atau keluarga sendiri. Pernikahan yang berkutat pada kepentingan dan rencana sendiri tidak akan mengalami pertumbuhan yang berarti. Sebaliknya, pernikahan yang dapat keluar dari kepentingan keluarga dan memerhatikan pekerjaan Tuhan di luar akan bertumbuh.
Mazmur 92:14 mengingatkan bahwa "mereka yang ditanam di bait TUHAN akan bertunas di pelataran Allah kita." Jika kita menancapkan akar pernikahan kita di atas kebenaran dan kehendak Tuhan, maka kita akan bertumbuh dan berbuah di pelataran kehidupan ini.

Ringkasan T 544 A
Oleh : Pdt.Dr. Paul Gunadi
Simak judul-judul kategori
"Pranikah/Pernikahan" lainnya
di: www.telaga.org

PERTANYAAN :

Saya memunyai masalah yang sampai saat ini saya tidak bisa mendapatkan penyelesaiannya. Saya punya pacar dan sudah 4 tahun kami berpacaran, dari pihak keluarga pacar saya sudah sering bertanya, "Kapan menikah?", begitu pula orangtua saya dan pacar saya sudah sering menanyakan hal tersebut kepada saya, tapi saya tidak mengetahui harus berbuat apa, saya sendiri belum siap untuk menikah. Malam hari saya sering tidak bisa tidur, yang menjadi penghalang bagi diri saya untuk menikah adalah biaya yang akan saya tanggung setelah menikah, ditambah lagi pekerjaan saya yang masih belum bisa diandalkan. Saya sudah membicarakannya dengan calon pasangan saya dan dia siap menerima apapun yang akan terjadi kelak setelah menikah. Tapi hati saya yang selalu merasa berontak dan kurang yakin dengan keputusan yang akan saya ambil. Terkadang untuk menenangkan pikiran saya, saya merokok sampai tengah malam walaupun saya mengetahui bahwa hal itu bukan solusi atau jalan keluar, namun saya tetap melakukannya. Mohon bantuan dan doanya agar saya bisa mendapatkan solusi yang tepat untuk menyelesaikan masalah yang ada pada diri saya saat ini.

Salam : B.P.

JAWABAN :

Saudara B.P.,
Terima kasih untuk sharingnya. Kami bisa memahami apa yang Saudara katakan sebagai "masalah" dan kami menyimpulkan bahwa Saudara cukup berpikir secara dewasa dalam hal pernikahan. Inilah kesempatan bagi Saudara untuk berbagi beban dengan calon pasangan hidup Saudara. Nyatakan apa yang Saudara pikirkan dan minta masukan darinya. Pernikahan merupakan awal dari kehidupan bersama, jadi sudah pada tempatnya apabila Saudara mengajak calon pasangan Saudara untuk ikut memikirkan dan membicarakan biaya hidup dan lain-lain. Setelah Saudara membicarakannya, baru Saudara bisa memberikan jawaban kepada kedua pihak orangtua. Orangtua bisa saja mendesak, tapi yang menentukan adalah kalian berdua. Dalam hidup pernikahan ada banyak hal yang perlu dibicarakan dan diputuskan bersama dengan pasangan kita, jadi bisa dimulai dengan apa yang Saudara alami saat ini.

Usul kami, daripada Saudara "menenangkan pikiran" dengan merokok, bagaimana bila Saudara mengajak calon pasangan hidup Saudara untuk berdoa bersama secara rutin? Maksudnya berdoa, bukan hanya kalian yang berbicara kepada Tuhan, tapi persilakan juga Tuhan berbicara kepada kalian melalui firman-Nya. Saudara akan menjadi kepala keluarga, membiasakan diri untuk hidup dekat dengan Tuhan, merupakan suatu hal yang sangat baik. Yang berinisiatif untuk membentuk keluarga adalah Tuhan, silakan baca Kejadian 2:18, "TUHAN Allah berfirman: ‘Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia’." Jadi datanglah kepada Sang Inisiator.


Apabila Saudara berhasil melaksanakan hal yang kami sarankan, yakinlah bahwa DIA akan memimpin Saudara berdua dalam merencanakan hidup berkeluarga ini. Selamat mencoba dan Tuhan memberkati!!

Salam : Tim Pengasuh Program TELAGA



Atas anugerah Tuhan semata, Lembaga Bina Keluarga Kristen kembali dipercaya untuk mengembangkan pelayanan konseling dan pembinaan iman anak di Jember. Melalui uluran tangan dari orang-orang yang mengasihi Tuhan, pengurus Telaga Pengharapan menyewa sebuah rumah yang berlokasi di Jl. Doho I/8 Jember untuk memulai pelayanan ini.


Puji syukur pada Tuhan Yesus Kristus, tanggal 23 Januari 2023 menjadi sebuah momentum bersejarah diresmikannya Pusat Konseling Telaga Pengharapan dan Bina Iman Anak Tunas Kehidupan di kota Jember. Berterima kasih kepada majelis, hamba Tuhan dan jemaat GKI Jember yang telah meminjamkan tempat bagi terselenggaranya acara ini. Suatu kehormatan bagi kami atas kehadiran 60 tamu undangan dari gereja-gereja dan sekolah-sekolah di wilayah Jember dan sekitarnya, Perkantas, LPMI, dan BAMAG. Demikian juga 55 tamu undangan telah hadir secara online di YouTube.


Tak berkesudahan kasih setia Tuhan, tak habis-habisnya rahmat-Nya, selalu baru setiap pagi. Pujian "Besar Setia-Mu" dilantunkan dipimpin oleh Ibu Winanti Krisanisdyastika. Kemudian Bapak Jusuf Niti Tjahyanto selaku koordinator Telaga menaikkan doa pembukaan. Acara dilanjutkan dengan kata sambutan yang disampaikan oleh Bapak Gunawan Santoso, selaku Ketua LBKK. Bapak Gunawan menyampaikan doa dan harapannya bahwa Telaga Pengharapan dapat memenuhi harapan orang banyak, terutama harapan Tuhan. Selanjutnya, Ibu Sri Wahyuni, selaku Ketua Telaga Pengharapan menyampaikan bahwa pelayanan ini adalah pekerjaan yang besar, kami rindu bergandengan tangan mengerjakan pekerjaan Tuhan di kota Jember.


Memasuki acara ‘talk show’, Ibu Sri Wahyuni sebagai moderator memperkenalkan Ibu Shirley Kiantoro, S.Th., M.K. sebagai nara sumber dan Ibu Indarwati sebagai tamu undangan yang berbagi pengalaman hidupnya. Adapun topik ‘talk show’ kali ini adalah "Healthy Emotion." Ibu Yuni berkata sebuah ungkapan mengatakan, "Men Sana in Corpore Sano" artinya dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang sehat. Jadi apa yang dimaksud dengan emosi yang sehat itu? Ibu Shirley membaca catatan Alkitab yang terdapat dalam 3 Yoh.1:2 yang berbunyi: "Saudaraku yang kekasih, aku berdoa, semoga engkau baik-baik dan sehat-sehat saja dalam segala sesuatu, sama seperti jiwamu baik-baik saja." Kata jiwa di sini berkaitan dengan perasaan atau emosi yang baik dan sehat. Jadi emosi yang sehat adalah kemampuan seseorang mengenali, menerima dan mengelola perasaan menghadapi tantangan dan perubahan situasi. Dua aspek dalam kesehatan emosi adalah kecerdasan dan regulasi emosi. Berdasarkan penjelasan Ibu Shirley, Ibu Yuni menggarisbawahi bahwa pentingnya seseorang peka mengenal dirinya. Apa yang tubuh katakan dan apa yang perasaan rasakan, sehingga kita bisa mengenal diri dengan baik, menerima emosi kita dan belajar mengelolanya.


Lebih lanjut, Ibu Yuni bertanya kepada Ibu Indarwati: "Apakah Ibu Indarwati pernah mengalami kondisi emosi yang tidak sehat?" Ibu Indarwati membagikan tentang kemarahannya yang terbesar kepada suami, sehingga ibu Indarwati memukul kaca. Akibat emosi kemarahannya yang meledak, tangan Ibu Indarwati harus dijahit. Mendengar pengalaman dari Ibu Indarwati tersebut, Ibu Yuni bertanya kepada Ibu Shirley: "Bagaimana seseorang dapat mengelola emosi kemarahannya secara tepat? Penjelasan dari Ibu Shirley bahwa mengelola emosi membutuhkan proses. Oleh karena itu, penting untuk melatih emosi anak sejak dini. Misalnya, orangtua melatih anak untuk belajar memberi nama perasaannya, sehingga anak-anak mulai mengenali apa yang dirasakan, menerimanya dan pada akhirnya mengelolanya. Dengan demikian, anak dapat memiliki kemampuan mengungkapkan emosinya secara tepat dan sehat. Berdasarkan ilmu kedokteran, Ibu Shirley menerangkan teori "Ninety Second Rules". Ketika kita menghadapi suatu situasi atau tantangan, hormon stres akan mengalir dan bekerja di dalam tubuh. Dalam hal ini, kita punya waktu 90 detik untuk meregulasi emosi kita.


Dari pemaparan Ibu Shirley tersebut, ada tiga orang peserta yang mengajukan pertanyaan. Pertanyaan pertama dari Ibu Rebeka: "Apakah prinsip 90 detik berlaku untuk saudaranya yang menderita schizophrenia? Ibu Shirley menanggapi bahwa teori 90 detik ini efektif untuk diri kita, namun mungkin tidak cukup menolong bagi penderita schizophrenia. Ada pendekatan-pendekatan lain yang dibutuhkan. Keluarga harus sabar dalam mendampingi anggota keluarga yang sakit.


Pertanyaan kedua dari Pdt. Eddy: "Ketika suami isteri bertengkar, bagaimana prinsip 90 detik bekerja? Apakah yang harus dilakukan oleh pasangan yang sedang berkonflik? Ibu Shirley menjelaskan pentingnya suami isteri memiliki kesepakatan. Misalnya: Salah satu pasangan bersikap tenang saat konflik terjadi. Waktu 90 detik merupakan jeda, agar masing-masing dapat menenangkan diri. Setelah tenang, baru membahas masalah dan mencari solusi terbaik.


Pertanyaan ketiga dari ibu Respati: "Apa yang harus dilakukan jika remaja menghadapi orang tua yang memiliki emosi yang tidak sehat?" Ibu Shirley menjawab bahwa kadangkala, orangtua tidak harus mengelola emosinya dan bersikap dalam mendampingi remajanya. Oleh karena itu, pentingnya dilakukan pelatihan dan seminar ‘parenting’ agar orangtua atau para pendidik dapat diperlengkapi.


Ibu Yuni kembali melontarkan pertanyaan: "Bagaimana cara mengetahui kesehatan emosi kita?" Ibu Shirley menerangkan ciri-ciri seseorang memiliki emosi yang sehat: pertama, memiliki kelincahan emosi artinya mampu mengekspresikan dan menempatkan emosi secara tepat. Kedua, cenderung dapat mengelola stres. Ketiga, memiliki ketrampilan mengatasi masalah. Keempat, memiliki kemampuan berelasi sehat. Kelima, mampu mengaplikasikan Firman Tuhan.


Sebagai pertanyaan penutup dari Ibu Yuni: "Apa yang dapat dilakukan ketika seseorang memiliki emosi yang tidak sehat?" Penjelasan dari Ibu Shirley: pertama, melatih diri mengidentifikasi dan mengelola perasaan dengan tepat. Kedua, membiasakan mengekspresikan perasaan secara terbuka. Ketiga, bekerja keras menunda kepuasan sesaat. Keempat, berani mengakui jika ada ‘toxic emotion’. Kelima, membuang kepahitan (Ef. 4:31). Keenam, Mengampuni (Mat. 6:12). Mendengar penjelasan Ibu Shirley, Ibu Indarwati membagikan tentang ‘toxic’ emosi yang dialaminya. Waktu kecil, papa mengajak nonton film perang yang di dalamnya terdapat adegan kekerasan seksual. Saat itu, papanya tidak memahami bagaimana memilih tontonan yang baik bagi anak. Dampaknya Ibu Indarwati memiliki persepsi yang buruk tentang seks, muncul perasaan marah, jijik, tabu dan kotor. Hal ini ternyata mengganggu dalam relasi Ibu Indarwati dengan suaminya. Pemulihan terjadi saat Ibu Indarwati mendengarkan Firman Tuhan yang menerangkan bahwa seks adalah karunia Tuhan bagi pasangan suami-isteri dalam lembaga pernikahan.


Pernyataan penutup, Ibu Shirley mengutip Anthony de Mellow, seorang ahli psikoterapi yang menyatakan bahwa untuk mengatasi perasaan marah, pertama-tama yang harus bertanggungjawab adalah diri sendiri. Kita tidak boleh meminta pertanggungjawaban orang lain, saat kita memiliki emosi negatif. Alkitab memberi contoh Hana (1 Sam.1) yang memiliki banyak emosi negatif. Hana menangis, tidak mau makan, sedih, pedih, susah hati, cemas dan sakit hati. Hana tidak meminta orang lain bertanggungjawab atas emosi yang dirasakannya. Namun, Hana jujur dan terbuka di hadapan Tuhan. Jadi kita harus bertanggung jawab atas emosi kita pribadi. Terbukalah di hadapan Tuhan.


Selesai ‘Talk Show’, acara dilanjutkan dengan pemotongan tumpeng dan perkenalan profil Pusat Konseling Telaga Pengharapan dan Bina Iman Anak Tunas Kehidupan. Bersyukur atas dukungan dan doa dari para mentor, dari Pdt. Dr. Paul Gunadi dan Ibu Santy, dari Pdt. Martus Adinugraha Maleachi dan Ibu Suriati. Juga dukungan dari STT tercinta, STT Aletheia dan STT SAAT, serta dukungan dari berbagai pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu. Menutup acara peresmian, Ibu Shirley menaikkan doa berkat sebagai ucapan syukur kepada Tuhan Yesus Kristus atas diresmikannya Pusat Konseling dan Bina Iman Anak Telaga Pengharapan di kota Jember.


Roma 15:13 berkata, "Semoga Allah, sumber pengharapan, memenuhi kamu dengan segala sukacita dan damai sejahtera dalam iman kamu, supaya oleh kekuatan Roh Kudus kamu berlimpah-limpah dalam pengharapan." Kiranya Telaga Pengharapan dapat memberi kesejukan dan pengharapan bagi jiwa-jiwa yang membutuhkan pertolongan. Soli Deo Gloria.


Oleh: Ev. Grasia Tampubolon, M. Th. Konseling *)

Setiap kita tentu merasa senang ketika kita menjadi pusat perhatian dan kasih sayang dari kedua orangtua kita, karena setiap anak tentu mengharapkan kasih dan penerimaan dari orang tua secara penuh. Namun persoalannya, orangtua kita tidak sempurna dan tidak dapat memenuhi seluruhnya kebutuhan kita untuk mengasihi dan menerima diri kita, sehingga ketika orangtua tidak dapat memenuhi hal tersebut dapat membuat anak mengalami kekosongan dan berusaha untuk melindungi/memenuhi dirinya dengan terus berfokus pada diri.


Walau seringkali anak tidak merasa berfokus pada diri karena anak merasa bahwa hal itu dilakukan sebagai usaha untuk menunjukkan betapa ia mengalami hal yang tidak menyenangkan. Namun itu membuat anak tersebut bertumbuh untuk terus terpaku pada diri. Anak bisa menjadi lebih mengasihani diri ataupun tidak mau memikul tanggungjawab (sebagai upaya supaya fokus diri terpenuhi).


Di masa sekarang ini, dunia juga membentuk kita untuk semakin terpusat dengan diri sendiri. Seperti ketika kita menunggu/mengharapkan "like" dari para pengikut kita di media sosial, tanpa sadar menyisipkan pola untuk kita semakin terfokus pada diri. Kita berusaha memenuhi kekosongan di masa kecil dengan hal-hal dari luar, sehingga ketika kita tidak mendapatinya, kita akan menjadi frustrasi dan kecewa, serta melihat diri sendiri tidak berharga dan tidak dikasihi.


Terpusat pada diri bukan hanya soal "saya yang paling bisa…" atau "saya paling hebat …", tetapi juga mengenai "saya paling sakit…" atau "penderitaan saya paling buruk". Hal ini tentu memberi dampak pada seluruh aspek hidup seseorang, mulai dari relasi denganTuhan, diri dan sesama. Ketika orang tersebut melihat Tuhan, maka ia hanya melihat Tuhan sebagai pemenuh kebutuhannya saja, sehingga dalam relasinya dengan Tuhan, ketika Tuhan tidak memenuhi kebutuhannya ia akan merasa Tuhan tidak mengasihinya. Hal lainnya, ia akan mencari Tuhan di saat ia sedang mengalami kesulitan dan mengabaikan Tuhan ketika ia sedang merasa aman.


Dalam relasi dengan diri, ia tentu akan berfokus pada dirinya, entah ia menjadi terlalu peka pada kegagalan atau kesalahan diri, serta tidak terlalu memercayai dirinya mampu melakukan sesuatu atau terlalu membesarkan diri untuk menutupi kekurangannya. Dan tentu saja ini akan berdampak pada relasinya dengan sesama, ia juga dapat menggunakan sesama untuk pemenuhan kebutuhannya ataupun tidak siap melihat orang lain meraih keberhasilan karena keberhasilan orang lain membuat ia menyadari akan kekosongannya. Jika orang ini berelasi, tentu orang lain dapat merasakan bahwa ia seolah-olah "memanfaatkan" orang lain untuk kepentingan diri dan ia sulit untuk berempati terhadap orang lain.


Jadi, kalau bisa dikatakan bahwa terpusat pada diri merupakan sebuah cara bagi seseorang untuk mengatasi kecemasannya terhadap ketidakamanan (dalam penerimaan orang lain dan tentang nilai diri). Mereka menjadi candu pada keistimewaan (entah yang positif ataupun negatif) diri mereka, dan hal ini muncul karena ketidakmampuan mereka untuk mencintai dan dicintai dengan aman. Hal ini jugalah menjadi akar munculnya berbagai penyakit kejiwaan mulai dari kecanduan, depresi, gangguan kepribadian, gangguan kecemasan dan sebagainya.


Pertanyaannya: Bagaimana cara kita untuk pulih?

Hal mendasar yang perlu diketahui bahwa ketika manusia jatuh dalam dosa, sejak dari itu pergumulan terbesar manusia salah satunya adalah terfokus pada diri sendiri. Coba perhatikan: Ketika Allah mencari Adam….. "Adam di manakah engkau?" jawaban Adam tidak sesuai atas pertanyaan Allah "Tuhan aku takut, karena aku telanjang". Dalam hal ini kita melihat bahwa dosa membuat manusia berfokus pada diri (menutupi citra diri yang rusak), manusia kehilangan fokus utamanya yaitu Allah, sehingga manusia sepanjang hidupnya akan terus berjuang untuk keluar dari fokus diri dan kembali pada fokus utamanya, Allah. Bersyukur, Tuhan memberikan jalan keluar yang pasti, yaitu kita datang kepada-Nya maka Ia akan menolong kita untuk dapat berfokus kembali kepada Dia dan kita dapat dipulihkan dalam melihat citra diri kita. Ia berkata: "Oleh bilur-bilurNya kamu menjadi sembuh". Ya, pemulihan itu ada ketika kita datang kepada-Nya.


Selain itu untuk kembali mengubah fokus kita pada diri, kita perlu mengenali pola-pola terpusat pada diri, sehingga kita mulai menjalani hidup dengan kesadaran. Temukan dan akui hal tersebut, kemudian buatlah pola yang baru untuk menghadapi hal tersebut. Dan belajarlah untuk mengasihi diri BUKAN MENGASIHANI diri! Dengan cara menerima setiap kekosongan, luka dan kelemahan, serta temukan kekuatan diri kita serta bangunlah diri kita atas apa yang Allah kehendaki, bukan atas harapan orang lain. Terakhir, belajar untuk menghormati dan mengasihi orang lain dengan sehat.


"Sekalipun ayahku dan ibuku meninggalkan aku, namun TUHAN menyambut aku." (Mazmur 27:10) – Jika kita merasa tidak ada seorangpun yang mengasihi dan menginginkan kita, ingatlah bahwa Ia selalu siap untuk menyambut kita. Lihat, FOKUS, dan datanglah kepada-Nya! JadikanTuhan PUSAT hidup kita.


*) salah seorang konselor PKTK Sidoarjo yang berdomisili di Malang


Mengenal Lebih Dekat:
MENGENAL PUSAT KONSELING TELAGA KEHIDUPAN Di Sidoarjo

Telaga Kehidupan adalah pusat konseling yang bernaung dibawah Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK), memberikan layanan konseling secara online maupun onsite kepada individu dari latar belakang usia dan permasalahan yang beragam. Kami percaya bahwa tidak ada seorang pun yang memiliki hidup dan kondisi emosi yang sempurna. Semua orang pernah terluka, tetapi bukan berarti kita harus terjebak dan menjadi tidak berdaya di dalam luka dan ketidaksempurnaan diri.


Sesungguhnya, ketidaksempurnaan menyediakan sebuah ruang bagi pertumbuhan (Yoh. 15:1-8) dan luka batin membuka sebuah ruang untuk pemulihan (Yes 42:3).


Di Telaga Kehidupan, kami percaya setiap orang layak diberi kesempatan untuk pulih dan difasilitasi untuk bertumbuh. Telaga Kehidupan hadir sebagai rekan seperjalanan yang hendak menemani dan mendampingi Anda untuk mencapai pemulihan dan pertumbuhan melalui proses konseling.


Layanan Kami :
  1. Konseling Pribadi: ditujukan bagi individu yang ingin mengenal diri dan mengalami pemulihan.
  2. Konseling Pranikah: ditujukan bagi pasangan yang sedang mempersiapkan pernikahan.
  3. Konseling Pernikahan: ditujukan bagi pasangan yang rindu pulih dan menjalin relasi yang sehat.
  4. Konseling Keluarga: ditujukan bagi keluarga yang ingin mengalami pemulihan dan pertumbuhan relasi di dalam keluarga.
Tim Konselor
  1. Anita Sieria, M.Th. (Konseling)
    Melayani konseling: usia remaja, pemuda/dewasa awal, pasangan suami istri, dan pasangan yang memersiapkan pernikahan.
  2. Ev. Grasia M. Tampubolon, M.Th. (Konseling)
    Melayani konseling: usia pemuda/dewasa awal, pasangan suami istri dan dalam bidang ‘parenting’.
  3. Pdt. Kukuh Priyono, M.Th. (Konseling)
    Melayani konseling: mendampingi pasangan yang hendak menikah, melayani pasangan suami istri dan kelompok usia remaja.
  4. Lidanial, M.K., M.Pd.
    Melayani konseling: anak-anak, kelompok pemuda dan pasangan suami istri.
  5. Pdt. Nancy Rosita Timisela, M.Th. (Konseling)
    Melayani konseling: usia remaja dan pasangan suami istri.
  6. Ev. Sudarmadji, M.Th. (Konseling)
    Melayani konseling: usia remaja, pemuda, pasangan suami istri dan keluarga (Sementara waktu tidak melayani konseling, karena sedang dalam pelayanan di luar Indonesia).
  7. Jocelyn Gabriella Limnord, S.Psi.
    Spesialisasi konseling: melayani kelompok usia remaja (Sementara waktu tidak melayani konseling, karena sedang studi lanjut).
Tim Kami
Ketua: Anita Sieria
Sekretaris: Fransiska Margaretha
Bendahara: Victor Gunadi
Tim Desain: Albert Christian Purwanto, Naomi Prajogo Djuanda, Sarah Patricia Ay

Biaya Konseling
Kami tidak menetapkan tarif tetap pada layanan konseling di Telaga Kehidupan. Hal ini dikarenakan kami rindu setiap orang dapat memperoleh kesempatan mendapatkan pertolongan dan pemulihan melalui layanan konseling.

Mari mendukung pelayanan ini agar Telaga Kehidupan dapat menolong dan menjangkau lebih banyak orang yang memerlukan layanan konseling. Dukungan persembahan Anda sangat berarti dan akan digunakan sepenuhnya untuk mendukung keperluan operasional pelayanan Pusat Konseling Telaga Kehidupan. Anda dapat memberikan persembahan kasih kepada rekening Telaga Kehidupan BCA 0183028208 a.n Anita Sieria.


Hubungi Kami
0811-3534-135
IG: @telagakehidupan

Satu bulan sudah kita lewati di tahun 2023. Presiden Joko Widodo telah resmi mencabut kebijakan PPKM (Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat) pada hari Jumat, 30 Desember 2022 yang lalu, walaupun pandemi Covid-19 belum dinyatakan menjadi endemi. Bersyukur kalau sampai dengan saat ini Tuhan memberi kepada kita kesehatan. Beberapa doa syukur dan juga doa permohonan adalah sebagai berikut:
  1. Bersyukur untuk donasi yang telah diterima dari Ibu Gan May Kwee di Solo sejumlah Rp 500.000,- dan sumbangan dari Bp.dan Ibu Suriptono, Ph.D. sejumlah Rp 2.500.000,-.
  2. Doakan agar dalam bulan Februari 2023 materi rekaman bisa dikirimkan kepada beberapa radio streaming yang sudah memintanya, a.l. Radio Immanuel FM di Solo, Radio Suara Sion Perdana 13,14AM, 93,8 FM di Karanganyar, Jawa Tengah dan GALA FM di Banyuwangi.
  3. Bersyukur Pusat Konseling Telaga Pengharapan dan Bina Iman Anak Tunas Kehidupan di Jember telah diperkenalkan dan diresmikan pada hari Senin, 23 Januari 2023 yang lalu di GKI Jember dengan acara "talkshow" berjudul "Healthy Emotion" yang disampaikan oleh Ev. Shirley Kiantoro, S.Th., M.K. (Koordinator Rumah Pemulihan Abigail dan Joyful Kids di Surabaya) bersama dengan Ibu Indarwati dan Ev. Sri Wahyuni Tjokrodiredjo selaku Ketua PKTP dan BIA Tunas Kehidupan di Jember.
  4. Doakan untuk tim Telaga Pengharapan agar dapat sehati dan sepikir untuk mengerjakan pelayanan bersama di Telaga Pengharapan, juga agar Telaga Pengharapan dapat membangun jejaring dan kerjasama dengan gereja dan sekolah serta Yayasan Kristen yang ada di kota Jember.
  5. Doakan untuk tim konselor agar diberi hikmat untuk melayani jiwa-jiwa yang membutuhkan pertolongan.
  6. Pendaftaran kelas pembinaan anak sudah dibuka untuk periode Juli 2023, doakan untuk persiapan guru dalam mengajar.
  7. Bersyukur untuk penyertaan Tuhan, dalam bulan pertama di tahun yang baru ini. Bersyukur untuk klien-klien yang dipercayakan dan boleh ditolong oleh Pusat Konseling Telaga Kehidupan di Sidoarjo.
  8. Doakan agar seiring bertambahnya klien, Tuhan juga menyediakan kecukupan tenaga konselor.
  9. Doakan agar Tuhan memberi hikmat, serta kekuatan untuk para konselor dapat terus menolong jiwa-jiwa yang Tuhan percayakan. Kiranya Tuhan juga memimpin dan mempertajam visi misi ke depan.
  10. Bersyukur untuk kasih setia Tuhan, mempimpin dan menyertai pelayanan Telaga Kehidupan di Papua. Beberapa pelatihan kepada guru-guru serta dosen telah terselenggara dengan baik. Mohon berdoa agar mereka yang di Papua pun terus ada dalam penyertaan dan perlindungan Tuhan.
  11. Bersyukur untuk dukungan yang Bpk/Ibu/Sdr terus berikan bagi pelayanan Pusat Konseling Telaga Kehidupan di Sidoarjo.
  12. Bersyukur untuk sumbangan yang diterima dari donatur tetap di Malang dalam bulan Januari 2023, yaitu dari :
    006 untuk 6 bulan – Rp 1.000.000,-
    011 untuk 4 bulan – Rp 600.000,-


Halaman