Kata kunci: Komitmen dalam pernikahan; pemahaman akan makna pernikahan.
Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi di mana pun Anda berada. Kita bertemu kembali dalam acara TELAGA (TEgur Sapa GembaLA KeluarGA). Acara ini diselenggarakan oleh Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) bekerjasama dengan radio kesayangan Anda ini. Saya, Necholas David, akan berbincang-bincang dengan Bapak Pdt. Dr. Paul Gunadi, seorang pakar dalam bidang konseling. Perbincangan kami kali ini tentang "Sepuluh Faktor Penguat Pernikahan". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
ND: Pak Paul, kali ini kita akan berbincang-bincang tentang faktor-faktor yang menjadi penguat didalam pernikahan. Mengapa hal ini penting untuk diketahui oleh pendengar sekalian, Pak Paul?
PG: Karena begini ya, Pak Necholas, meskipun kita sudah menikah tapi kadang kita masih harus berhadapan dengan perbedaan dan kadang berakhir dengan konflik, juga ada waktu-waktu tertentu, kita juga bermasalah dengan pihak lain dan itu memengaruhi pernikahan kita, jadi ada begitu banyak hal yang bisa terjadi dalam pernikahan. Maka kita penting untuk tahu apa yang mesti kita lakukan untuk bisa membuat pernikahan kita ini kuat. Sebab kalau kita tidak mengetahui bagaimana caranya memertahankan pernikahan kita dan menumbuhkan faktor-faktor yang menguatkan pernikahan kita, takutnya sewaktu nanti kita mengalami konflik atau mengalami masalah, baik itu dengan diri pasangan ataupun dengan anak-anak atau dengan orang lain, akhirnya semua itu bisa meruntuhkan pernikahan kita. Jadi intinya yang ingin saya tekankan disini adalah perlu kerja keras, Pak Necholas. Pernikahan itu tidak bertumbuh dan menjadi kuat dengan sendirinya, mesti ada upaya-upaya yang kita dengan sengaja dan terencana lakukan untuk membuat pernikahan kita kuat. Kalau kita tidak berbuat apa-apa berarti pernikahan kita lama-lama tidak bertumbuh dan malahan menjadi rentan, rapuh untuk bisa diruntuhkan oleh masalah.
ND: Faktor yang menjadi penguat dalam pernikahan ini juga merupakan kerja kita bukan sekadar faktor dari luar, tapi lebih ke aktifitas atau tindakan yang perlu kita lakukan, begitu Pak Paul ?
PG: Betul sekali, Pak Necholas, ini kadang tidak begitu disadari oleh orang, Pak Necholas. Kadang-kadang orang beranggapan, oh pokoknya yang penting kami saling mencintai, sudah dikenal, dijajagi selama beberapa waktu, ya sudah sekarang menikah. Seolah-olah menikah itu menjadi akhir, padahal pernikahan adalah awal, bukan akhir, benar-benar kerja keras itu dimulai setelah menikah. Pada masa berpacaran kita memang harus mengenal dengan sebaik mungkin, sedalam mungkin melihat begitu banyak hal yang perlu kita perhatikan sehingga kita tidak sembarangan memilih pasangan, tapi nanti setelah menikah barulah dimulai kerja keras membangun relasi itu, karena relasi memang mesti dibangun, dijaga, diperkuat. Kalau tidak, akhirnya mudah sekali runtuh.
ND: Apakah faktor-faktor ini berlaku untuk semua pernikahan, Pak Paul ? Mengingat pendengar mungkin bisa berasal dari kondisi sosial budaya, tradisi yang berbeda.
PG: Saya yakin ini memang berlaku untuk semua pasangan, Pak Necholas. Tidak ada yang bisa berkata, "Saya dari latar belakang tertentu, orangtua saya relasinya baik, keluarga kami harmonis, jadi sudah tentu saya mengerti caranya bagaimana untuk menjadi seorang suami atau istri sehingga akhirnya tidak perlu lagi berbuat apa-apa. Tidak, ya. Siapapun, dari latar belakang apapun, kelas ekonomi setinggi atau serendah apapun, pada akhirnya kita mesti bekerja keras, kita harus berusaha. Tanpa adanya usaha ini, pernikahan kita akhirnya menjadi rentan dan mudah runtuh.
ND: Tentu ini akan sangat menarik sekali, Pak Paul. Boleh Pak Paul menjelaskan faktor yang pertama, yang menjadi penguat dalam pernikahan setiap kita?
PG: Ada sepuluh faktor yang kita bahas, mari kita melihat yang pertama yaitu komitmen. Mungkin dari semua faktor, inilah faktor terkuat, pada hakikinya seberapa kuat komitmen kita terhadap satu sama lain, menentukan seberapa kuat pernikahan kita. Artinya kalau komitmen kita lemah, dapat dipastikan pernikahan kita akan lemah, kalau komitmen kita setengah-setengah, dapat dipastikan pernikahan kita kekuatannya juga setengah-setengah. Benar-benar fondasi ini penting sekali, seberapa kuat komitmen kita terhadap satu sama lain menentukan seberapa kuat pernikahan kita, sebab komitmen membuat kita tidak mencari jalan pintas atau jalan keluar tatkala kita mesti menghadapi tantangan didalam pernikahan. Komitmen membuat kita berusaha memerbaiki pernikahan sebesar apapun kesulitan yang dihadapi. Singkat kata, komitmen adalah tali sekaligus fondasi pernikahan. Misalnya, saya berikan contoh, kalau kita berpikir bahwa seharusnya suami saya ini menjadi suami yang berpenghasilan baik sehingga bisa mencukupi keluarga, tapi kemudian suami kita itu tidak bisa mencukupi kebutuhan keluarga, karena pekerjaannya tidak terlalu baik. Kalau kita tidak memunyai komitmen yang kuat terhadap dia, bahwa kita akan bersama dengan dia apapun yang terjadi, maka perubahan situasi bisa membuat kita goyang dan akhirnya kita mulai memikirkan jalan keluar atau jalan pintas. Apalagi misalnya kita kebetulan bertemu dengan orang yang suka dengan kita, baik dengan kita dan secara ekonomi sudah mapan dan bisa mencukupi kebutuhan kita, nah godaan itu akan sangat besar sekali. Kalau kita tidak memunyai komitmen itu, kita akan pilih jalan pintas dan jalan keluar itu.
ND: Kita sebagai manusia ‘kan pada umumnya mudah merasa bahwa kita sudah berkomitmen kuat tapi dalam praktiknya malahan belum benar-benar bisa mewujudkan komitmen itu. Bagaimana caranya, Pak Paul, supaya kita bisa betul-betul berkomitmen?
PG: Memang pada akhirnya komitmen itu baru bisa bertumbuh dan terlihat sewaktu menghadapi ujian, Pak Necholas, jadi apapun yang kita katakan, sewaktu kita menikah, itu memang belum bisa dilihat seberapa kuatnya sampai kita mengalami peristiwa yang membuat kita berpikir ulang tentang relasi kita ini, jadi selama tidak ada masalah, tidak ada tantangan, tidak ada pencobaan, komitmen tidak akan mendapatkan ujiannya, pembuktiannya, tidak akan. Jadi komitmen itu memang baru dilihat dan terwujud sewaktu kita mengalami sesuatu yang membuat kita berpikir ulang tentang relasi kita, jadi komitmen bukanlah suatu janji, tidak, pembuktiannya memang baru bisa terjadi didalam situasi yang tidak nyaman dan sangat menggoncangkan kita.
ND: Kalau tadi Pak Paul memberikan contoh tentang situasi ekonomi yang kurang baik, bagaimana dengan kondisi sebaliknya, Pak Paul? Jadi hidupnya malah nyaman, mudah, justru ada tantangan dari luar, kalau dalam situasi seperti itu, bagaimana Pak Paul, untuk tetap menjaga komitmen?
PG: Saya berikan contoh, misalnya semuanya berjalan baik, keuangan, ekonomi keluarga berjalan baik kemudian datang tantangan dari luar masuk kedalam keluarga, misalnya campur tangan dari orangtua, misalnya mereka tidak suka dengan istri kita atau dengan suami kita, mulailah mereka mengeritik pasangan kita. Nah, sudah tentu orangtua kita mengeritik bukan tanpa sebab, ada dasarnya, ada penyebabnya. Tidak bisa tidak, karena mereka orangtua kita dan kita mengetahui mereka sayang kita, kita tidak membuang kritikannya begitu saja, kita juga mau mendengarkan. Dalam hati kita juga mengakui ada benarnya yang orangtua kita katakan tentang pasangan kita. Dalam situasi seperti itu, sekali lagi, kembali pada faktor komitmen, meskipun OK benar yang orangtua kita katakan tentang pasangan kita, tapi kita sudah berkomitmen kita akan bersamanya, kalau komitmen kita kuat ditengah-tengah ujian itu, kita akan bisa tetap bertahan. Ini penting sekali memang kita sadari, jadi begini Pak Necholas, kita mesti tahu dasar komitmen kita. Itu adalah hal yang mesti kita pahami, dasar komitmen pernikahan bukan hanya janji yang kita buat kepada pasangan, tapi juga janji yang kita buat dihadapan Allah. Jadi waktu kita menikah, Allah berada disana dan menyaksikan dan mendengar janji yang kita buat. Oleh karena kita berjanji dihadapan Allah, kita pun bertanggungjawab kepada-Nya, namun ada satu lagi yang menjadi dasar komitmen yaitu keterlibatan Allah didalam pernikahan sebagaimana dikatakan oleh Yesus Putra Allah di Markus 10:9, "Karena itu apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia". Singkat kata, bukan saja Allah adalah saksi janji yang kita buat, Iapun terlibat dalam penyatuan kita didalam pernikahan. Inilah dasar komitmen, bukan saja kita berjanji kepada pasangan, tapi kita berjanji dihadapan Allah yang menjadi saksi dan Dia terlibat didalam penyatuan ini. Oleh karena itu kita tidak bisa sembarangan memutuskan atau membatalkan janji itu, karena Dia terlibat didalamnya. Kita mesti memahami ini untuk menolong kita memegang komitmen kita, Pak Necholas.
ND: Kalau melihat ayat ini rasanya kita betul-betul harus berhati-hati sekali agar komitmen kita dipertahankan sampai akhir hayat kita. Pak Paul, apakah ada juga kejadian atau faktor lain yang bisa membuat komitmen ini berakhir dalam arti apakah ada kondisi khusus didalam rumah tangga yang membuat pasangan boleh memertimbangkan untuk tidak menjaga komitmen ini, Pak Paul?
PG: Saya mengerti kita tidak hidup dalam dunia yang ideal, Pak Necholas, jadi ada kalanya situasi menjadi begitu buruk sehingga kita tidak bisa tidak harus memertimbangkan jalan lain, atau kita mesti memertimbangkan apa yang juga baik untuk kita dan anak-anak kita, kalau kita punya anak, karena kadang-kadang itu bisa memang sangat memengaruhi kita dan anak-anak kita. Sebagai contoh, misalkan pasangan kita, suami berbuat tidak jujur atau curang didalam pekerjaannya, akhirnya bukan saja dikeluarkan tapi akhirnya diancam untuk ditangkap atau diusut karena menggelapkan uang atau memakai uang perusahaan dan sebagainya, sehingga akhirnya kita yang mesti membayar. Ini tidak terjadi sekali, tapi beberapa kali misalnya, akhirnya uang yang ditabung untuk masa depan anak, untuk kepentingan anak, untuk kepentingan keluarga, tidak bisa digunakan karena akhirnya habis lagi untuk membayar utang atau membayar kecurangan atau kesalahan pasangan. Dalam kondisi seperti itu kita bisa melihat problem si suami bukan saja memengaruhi dia, tapi memengaruhi satu keluarga dan bisa merugikan mereka luar biasa. Jadi kita tahu ada kalanya oleh karena perbuatan yang tidak baik, tidak jujur, keluarga bisa kehilangan rumah, akhirnya harus jual rumah atau rumahnya disita, harus menumpang dirumah orang, akhirnya juga tidak bisa lagi menumpang karena tidak ada tempat tinggal. Kalau orang berbuat salah sekali dan bertobat, itu bisa kita terima, tapi kalau orang berbuat salah berkali-kali, ini menunjukkan memang karakter yang sudah sulit diubah. Apakah kita akan membiarkan ini terus terjadi dan ini akan benar-benar nantinya merugikan sekali, seolah-olah menyuramkan masa depan anak-anak yang nantinya tidak akan ada uang untuk bisa sekolah atau kuliah dan sebagainya. Saya mengerti dalam kondisi seperti itu perlu pertimbangan yang memang lebih dalam lagi, lebih sulit lagi, di satu pihak kita mau menjaga komitmen, di pihak lain kita juga mau menjaga kehidupan kesejahteraan anak-anak kita atau keluarga kita. Contoh lain yang mungkin mirip adalah jikalau pasangan berbuat hal-hal yang sangat salah misalnya memukuli dalam pertengkaran, main tangan, main keras dan anak-anak harus melihat betapa buruknya pernikahan kita, ini juga akan meninggalkan bekas yang sangat negatif dalam jiwa anak-anak kita. Apakah kita mau membiarkan hal ini? Kalau kita saja yang terlibat mungkin kita masih bisa bertahan, tapi kalau ini memengaruhi perkembangan anak-anak, bukankah ini sangat merugikan mereka nantinya. Dalam kasus-kasus seperti itu, meskipun kita tidak mau membatalkan komitmen, kita tidak mau keluar dari komitmen namun kita harus memertimbangkan faktor-faktor yang lain, menyangkut kehidupan anak-anak kita.
ND: Dalam situasi seperti itu bagaimana sebuah keluarga bisa melihat bahwa ayat yang tadi disampaikan oleh Pak Paul, berarti mereka tidak memenuhinya lagi, bagaimana Pak Paul menjelaskan ayat ini dengan situasi yang sulit seperti itu?
PG: Ayat ini memang standard Tuhan, keinginan Tuhan dan inilah seharusnya pernikahan. Ayat ini mencerminkan isi hati Tuhan terhadap pernikahan. Pernikahan bukan sesuatu yang boleh kita permainkan dengan gampang, tidak boleh ya, ini sesuatu yang serius tapi di pihak lain, perintah Tuhan ini bukan perintah yang membabi buta tidak melihat kondisi atau kenyataan. Sebab kalau kita memang melihat didalam firman Tuhan, perintah-perintah Tuhan ada yang memang absolut sekali, tapi juga ada yang memang kita lihat tidak membabi buta, Tuhan memertimbangkan hal-hal yang lain, Tuhan pasti memertimbangkan keselamatan jiwa yang misalnya menjadi korban dari kekasaran atau kekerasan pasangan. Tuhan memertimbangkan anak-anak yang jiwanya tergores oleh masalah orangtua, Tuhan memertimbangkan dengan kata lain, dampak-dampak yang buruk itu. Tuhan juga memertimbangkan misalnya keadilan dan penindasan, semua itu Tuhan pertimbangkan sehingga ayat ini juga harus disoroti lewat berbagai sudut sebab Tuhan tidak juga melihat masalah kita secara hitam putih.
ND: Jadi dalam kondisi tertentu, kasus per kasus kita mesti bisa melihatnya secara objektif. Bukan ini harus dilakukan, tidak boleh berpisah sama sekali.
PG: Ya itu yang saya yakini, Pak Necholas, berdasarkan apa yang saya pahami tentang firman Tuhan. Namun tetap kita memang berusaha sekeras mungkin menjaga komitmen itu.
ND: Baik, Pak Paul, mungkin kita bisa berlanjut ke faktor yang berikutnya, selain komitmen yang menjadi faktor yang menguatkan pernikahan kita.
PG: Faktor kedua adalah pemahaman akan makna pernikahan. Jadi makin dangkal dan makin berpusat pada diri sendiri, pemahaman kita akan makna pernikahan, makin lemah pernikahan. Jadi bila kita berpandangan bahwa pernikahan adalah penyuplai kebahagiaan semata, maka kita akan enggan menghadapi bagian tidak menyenangkan dari pernikahan. Atau jika kita beranggapan bahwa seharusnya cinta senantiasa membara di hati didalam pernikahan ini, maka begitu cinta meredup, sudah, kita menganggap tidak ada lagi pernikahan, kita pun meninggalkan pasangan. Itu adalah pemahaman yang tidak tepat tentang pernikahan, jadi apa yang mesti kita pahami tentang makna pernikahan? Pernikahan adalah ciptaan Tuhan, Ia menciptakan Hawa dan memberikannya kepada Adam untuk dijadikan istri, itu sebab istilah istri telah digunakan sejak awal penciptaan manusia sebagaimana dapat kita baca di Kejadian 2:24, "Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan istrinya sehingga keduanya menjadi satu daging". Dari sini dapat kita lihat bahwa pernikahan bukanlah ciptaan manusia dan bukan pula sesuatu yang berkembang secara alamiah didalam kehidupan manusia, sama seperti Tuhan menciptakan manusia, Ia pun menciptakan pernikahan. Jadi kita sekarang bisa mengambil kesimpulan, oleh karena Allah menciptakan pernikahan maka sudah tentu Allah memunyai maksud dan rencana mengapa Ia menciptakan pernikahan. Mari kita lihat keduanya satu per satu, Pak Necholas. Maksud Tuhan menciptakan pernikahan adalah untuk mengutuhkan manusia, kenyataan Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam, ini menunjukkan bahwa pernikahan bukan saja menyatukan atau mengembalikan tulang rusuk Hawa kedalam tubuh Adam, tapi juga mengutuhkan keduanya. Kembalinya Hawa sebagai tulang rusuk kedalam tubuh Adam membuatnya utuh kembali ke tempatnya, sekaligus juga membuat Adam utuh menerima tulang rusuknya kembali. Inilah maksud Tuhan dibalik pernikahan, mengutuhkan manusia. Tuhan pun memunyai rencana dengan pernikahan. Di akhir ulasannya tentang peran dan tugas suami istri dalam pernikahan di Efesus 5:31-32, rasul Paulus menyimpulkan, "Sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan istrinya sehingga keduanya menjadi satu daging. Rahasia ini besar, tapi yang Aku maksudkan ialah hubungan Kristus dan jemaat". Jadi apakah rencana Tuhan atas pernikahan? Pernikahan direncanakan oleh Allah untuk menjadi perlambangan kesatuan dan penyatuan Kristus dan jemaat. Waktu kita menyadari betapa dalam makna pernikahan, kita tidak main-main, kita mau berhati-hati dengan pernikahan, makin kita mengerti begitu dalam, kompleksnya, indahnya, mulianya makna pernikahan yang Tuhan ciptakan, makin kita tidak berani main-main atau sembarangan, makin kuatlah pernikahan kita.
ND: Kalau kita kaitkan dengan poin yang pertama tadi soal komitmen, bisa kita katakan bahwa komitmen itu seharusnya bukan didasarkan pada aspek emosional tapi lebih kepada aspek logika atau rasio kita, begitu Pak Paul ?
PG: Betul sekali, betul sekali, jadi kita mengerti mengapa kita menikah dan sekarang kita sudah mengerti bahwa benar-benar bahwa pernikahan itu bukanlah ide atau ciptaan manusia, bukan. Pernikahan bukanlah sesuatu yang berkembang secara alamiah sehingga muncullah pernikahan, tidak, dari awal dari mulai penciptaan, Tuhan sudah menciptakan pernikahan. Tadi yang sudah saya tekankan, istilah istri ada didalam awal penciptaan pada waktu Tuhan membawa Hawa kepada Adam. Itu kata yang digunakan, "istri", benar-benar kita lihat tidak sembarangan. Jadi apa yang Tuhan ciptakan pasti ada memunyai maksud dan rencana, kita sudah mengerti maksudnya mengutuhkan kita. Kita menjadi manusia yang utuh, Tuhan bisa menggunakan cara-cara yang lain, tapi memang kita akui cara yang terbaik, cara yang paling lengkap mengutuhkan manusia ialah pernikahan dan rencana-Nya adalah supaya lewat pernikahan, kita bisa mengerti inilah yang Tuhan lakukan untuk kita. Yesus turun ke dunia, mati untuk kita, menyatukan diri-Nya dengan kita manusia. Gereja dan Yesus, mempelai laki-laki dan mempelai perempuan, ini semuanya dilambangkan oleh pernikahan. Pada waktu kita menyadari ini, kita lebih berhati-hati dan ini lebih memerkuat pernikahan kita pula.
ND: Betul, Pak Paul, dengan menyadari betapa mulianya pernikahan itu, sebagai rencana Tuhan bukan hanya komitmen dua orang, tentunya kita akan terdorong untuk berusaha sekuat tenaga memertahankan pernikahan.
PG: Betul, oleh karena itu kalau kita bandingkan dengan konsep yang mungkin populer beberapa tahun yang lalu, cinta lokasi artinya dalam suatu situasi yang sama, lokasi perfilman atau apa, akhirnya jatuh cinta dan langsung menikah. Ini sesuatu yang bertolak belakang, berlawanan dengan konsep yang kita baca ini. Pernikahan bukan didasari atas cinta lokasi, pernikahan didasari atas komitmen yang kita tahu, kita buat dihadapan Tuhan dan kita dasari ini juga atas pengetahuan Allah terlibat, didalam pernikahan kita. Didalam membawa kita masuk menjadi suami dan istri, jadi kita tidak boleh main-main dan kita mengerti sekarang maksud dan rencana Tuhan lewat pernikahan yang diciptakan-Nya. Ini makin memerkokoh pernikahan kita.
ND: Baik, terima kasih banyak, Pak Paul atas penjelasannya.
Para pendengar sekalian, terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bapak Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (TEgur sapa gembaLA keluarGA), kami baru saja berbincang-bincang tentang "Sepuluh Faktor Penguat Pernikahan" terutama faktor yang pertama dan faktor yang kedua. Jika Anda berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan menghubungi kami melalui surat ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK), Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga bisa mengirimkan email ke telaga@telaga.org; kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org; saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara Telaga yang akan datang.