Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi di mana pun Anda berada, Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Acara ini diselenggarakan oleh Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) bekerja sama dengan radio kesayangan Anda ini. Saya Stella akan berbincang-bincang dengan Bapak Penginjil Sindunata Kurniawan, MK. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling keluarga. Perbincangan kami kali ini adalah tentang "Rehabilitasi Gangguan Jiwa". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
St : Pak Sindu, hari ini kita membahas tentang rehabilitasi gangguan jiwa. Apakah gangguan jiwa ini cukup marak di Indonesia?
SK : Iya. Memang angkanya besar. Tambah lama tambah besar, Bu Stella. Dari satu data riset kesehatan dasar yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan Indonesia menyebutkan bahwa terdapat satu juta penduduk Indonesia yang mengalami gangguan jiwa berat dan 19 juta yang mengalami gangguan jiwa ringan.
St : Apa maksudnya gangguan jiwa berat dan gangguan jiwa ringan?
SK : Gangguan jiwa berat artinya dia memang putus kontak dengan realitas. Dia bicara sendiri, dengar suara sendiri, tidak bisa mengurus dirinya sendiri, bahkan kalau dibiarkan dia akan telanjang di jalannya. Istilahnya adalah kelompok gangguan psikotik. Jadi dia sudah tidak bisa mengatur dirinya, bisa telanjang bulat, tidak mau mandi, bahkan bisa membahayakan anggota keluarga yang lain. Karena halusinasinya dia bisa menyakiti orang lain selain menyakiti dirinya sendiri. Kalau gangguan jiwa ringan berarti dia masih bisa berkomunikasi, dalam level tertentu dia masih bisa beraktivitas.
St : Jadi dibedakan dari tingkat keparahannya ya, Pak?
SK : Betul. Dan dari angka tadi itu diperhitungkan ada mendekati 400.000 jiwa atau 2,03 % yang mengalami gangguan jiwa ini berada di Ibukota negara, yaitu Jakarta dan berada di peringkat pertama nasional.
St : Kira-kira apa yang menyebabkan hal ini?
SK : Tekanan di Jakarta itu sangat tinggi sehingga tambah banyak yang mengalami gangguan jiwa. Tentunya yang tinggal di Jakarta akan lebih memahami tentang pergesekan, persaingan, rasa ketidakpedulian yang sangat tinggi, dan orang makin terasing satu sama lain, bahkan di dalam rumah pun cekcok dan tidak ada komunikasi. Suasana-suasana ini cukup kondusif bagi munculnya gangguan-gangguan jiwa.
St : Tapi selama ini sepertinya keluarga tidak terlalu menyadari kalau ada anggota keluarganya menderita gangguan jiwa. Sehingga mereka tidak mengerti bagaimana seharusnya.
SK : Betul. Karena itu perbincangan kita ini sangat penting. Saya sudah sekian tahun turut membantu di tempat rehab gangguan jiwa. Saya sangat prihatin. Beberapa penderita sebenarnya berasal dari keluarga yang religious, keluarga yang melayani Tuhan di gereja ada yang sebagai majelis bahkan pendeta, keluarga yang berpendidikan tinggi bahkan kuliah di luar negeri, bahkan dari keluarga menengah ke atas. Tapi toh ada anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa.
St : Tapi biasanya apa reaksi keluarga ketika menyadari ada anggota keluarganya yang mengalami gangguan jiwa?
SK : Biasanya merasa malu, Bu Stella. Sehingga si penderita ditutup-tutupi, diisolasi misalnya di kamar atau di rumah keluarga lain yang tidak ada komunikasi dengan penduduk sekitar. Bagi keluarga yang tidak mampu secara ekonomi kita masih bisa temukan si penderita ini dipasung.
St : Oya?
SK : Penderita gangguan jiwa berat tidak mau berpakaian sehingga diikat dengan rantai atau kayu pasung tangan dan kaki dengan kondisi telanjang. Sangat memprihatinkan.
St : Selain itu apalagi yang biasanya dilakukan oleh keluarga?
SK : Karena ada juga yang beranggapan ini kuasa gelap, jadinya ditengking-tengking. Mereka mengundang pendeta, atau mendatangkan dukun dan paranormal, sehingga masalahnya semakin berat. Yang lebih ironis saya mendapati kasus-kasus si penderita ini dinikahkan.
St : Hah? Dinikahkan, Pak?
SK : Iya. Dicarikan suami atau istri.
St : Supaya apa, Pak?
SK : Rupanya muncul asumsi dari beberapa keluarga di Indonesia ini, "Kalau nanti dia punya pasangan maka akan muncul rasa tanggung jawabnya sehingga dia akan punya gaya hidup, punya visi hidup, punya tujuan hidup dan bekerja". Itu kemungkinan yang pertama. Asumsi yang kedua adalah melempar masalah. Artinya kalau dia punya pasangan maka kami orangtua atau anggota keluarganya bisa cuci tangan, dia sudah ada yang urus. Kalau itu keluarga yang mampu secara ekonomi, "Nanti kami cukupi kebutuhannya, kami beri uang. Yang penting bukan kami yang mengurus, biar pasangannya." Yang saya dapati pernikahan itu berujung pada perceraian. Dan makin terpuruk. tambah kasihan kalau ada anak. Anak yang memiliki papa atau mama yang gangguan jiwa, dia bisa jadi anak yang tertolak. Sebenarnya ini memperbesar masalah.
St : Iya. Jadi apa yang sebenarnya perlu dilakukan oleh keluarga?
SK : Keluarga perlu mengenali kalau anggota keluarganya ini menarik diri, tidak ada relasi, tidak ada kontak, bahkan dia mengalami tekanan-tekanan hidup dan terlihat dari wajah yang murung, rona muka yang murung, mengunci di kamar. Ini tanda-tanda yang tidak sehat. Biasanya gangguan-gangguan jiwa diawali dengan penarikan diri secara sosial, mengalami pengisolasian diri. Ini sudah tanda yang tidak sehat. Ditambah lagi nanti dia akan mulai meracau, mengalami halusinasi. Halusinasi ini ada dua, yaitu pendengaran dan penglihatan. Artinya melihat hal-hal yang tidak ada. Dia melihat, tapi ternayata itu ganngguan persepsi. Atau dia mendengar bunyi suara yang tidak ada, dia merasa mendengar sehingga dia mulai ngomong sendiri. sebetulnnya dia tidak ngomong sendiri. dalam persepsinya dia memang sedang berbicara dengan suara yang terdengar di telinganya, walaupun kita tidak bisa mendengarnya. Ini level yang kedua. Jadi kalau muncul hal-hal seperti ini, keluarganya harus mencari pertolongan. Jangan ke dukun atau paranormal! Datanglah ke konselor, psikolog, atau psikiater.
St : Jadi, sejak dini langsung dikonsultasikan, Pak?
SK : Betul. Ketika ada anggota keluarga yang menarik diri, murung di kamar, dan itu berlama-lama mungkin sekian minggu atau bulan, jangan biarkan. Ini bibit awal, lahan subur untuk gangguan jiwa. Jadi, carilah pertolongan kepada hamba Tuhan, rohaniwan, konselor, psikolog, untuk menengahi apa yang perlu dilakukan untuk menolong si penderita.
St : Apakah ada tanda-tanda yang perlu mereka kenali lagi untuk mengetahui bahwa anggota keluarganya mengalami gangguan jiwa?
SK : Biasanya ini berkembang pada kelumpuhan hidup, Bu Stella. Artinya dia mulai tidak bisa beraktivitas normal. Yang sekolah mulai menarik diri, bolos sekolah, mulai sulit konsentrasi belajar, mulai sulit mandi, sulit makan, sulit untuk bertanggung jawab untuk hal-hal dasar. Dalam bekerja juga mengalami sulit konsentrasi, terserang panic, rasa terkejut atau tercekam yang saat dicek medis tidak ada alasannya. nah ini kana da sebabnya. Maka sejak dini jangan malu untuk konseling.
St : Jadi ini seperti alarm bahwa perlu ditangani?
SK : Betul. Sedini mungkin datanglah ke konselor. Jadikanlah konseling sebagai gaya hidup. Sebagaimana kita kalau mulai diare, flu, batuk atau pilek, maka kita tidak malu ke dokter; kenapa tidak kita datang konselor? Itu normal bagi orang yang sehat. Malah kalau kita menghindar, maaf, sebenarnya itu tanda bahwa kita tidak sehat.
St : Terbalik ya, Pak?
SK : Iya.
St : Pak Sindu, selain perlu mengenali tanda-tandanya, apa yang perlu dilakukan oleh keluarga? Misalnya sudah ke konselor dan mereka sudah tahu?
SK : Apabila ke konselor awam namun dirasa dia kurang kompeten maka sebaiknya ke konselor yang terdidik setingkat S1 atau S2, atau ke psikolog atau psikiater. Nanti mereka akan mengerti dan mungkin nanti mereka bisa merawat jalan pasien ini. Bedanya psikolog dan psikiater begini. Psikiater itu dokter yang mengambil spesialis kejiwaan dan berhak memberi obat. Psikolog dari pendidikan psikologi, mereka menolong konseling tapi tidak bisa dan tidak berhak memberi obat. Biasanya mereka bekerja sama. Biasanya psikiater, maaf, jarang memberi konseling. Pendekatannya medis, ketemu 5-10 menit untuk memberi obat.
St : Benar-benar seperti dokter.
SK : Ya memang psikiater itu dokter. Memang harus bekerja sama. Tidak apa-apa ke psikiater, tapi keluarga juga silakan membawa penderita ke psikolog atau konselor untuk saling melengkapi proses konselingnya.
St : Jadi bisa dengan rawat jalan ya. Apakah juga perlu rawat inap seperti rehabilitasi, Pak?
SK : Yang pertama rawat jalan. Obat dari psikiater didukung oleh konseling. Di dalam rawat jalan ini silakan ikuti aturannya. Minum obat yang diberikan. Kalau misalnya obat rawat jalan itu membuat ngantuk, tidak bisa beraktivitas atau badan kaku, maka bicarakan dengan psikiater ini. Hati-hati, saya banyak menemukan orang yang jadi dokter buat dirinya sendiri. asal saja mengurangi dosis obat atau malah tidak minum obat sama sekali. Maaf ya, ini namanya malapraktek dan bisa memperparah kondisi jiwa penderita yang seharusnya butuh obat medis teratur. Maka tanyakan pada psikiater atau dokter yang memberi obat medis.
ST : Jadi keluarga dan pasien pun perlu percaya pada resep yang diberi dokter atau psikiater itu?
SK : Betul. Jadi kalau ada ketidakcocokan silakan kembali ke psikiater atau dokter untuk dikonsultasikan. "Dok, kok dia jadi tidak bisa aktivitas setelah minum obat ini. Apa dosisnya bisa dikurangi atau ganti resep obat yang lain, Dok?" itu kewenangannya psikiater atau dokter.
St : Iya. Bagaimana untuk rawat inap?
SK : Untuk rawat inap, psikiater atau psikolog yang bisa menentukan sejauh mana butuh rawat inap. Kalau butuh rawat inap ya ikutilah.
St : Tapi ada keluarga yang merasa tidak mampu mengurus sehingga mereka membawa penderita ke tempat rehab.
SK : Betul. Bisa juga demikian. Kalau dengan rawat jalan kita kewalahan, karena ada pasien yang menyangkali keadaannya, misalnya, "Aku sehat kok. Yang bermasalah itu suamiku!" jadi, si penderita menyangkal kalau dia butuh minum obat sehingga keluarga kewalahan. Tidak mengerti harus bagaimana, obat dicampur ke makanan atau minuman tetap ketahuan, bahkan sampai penderita takut untuk makan. Maka sebaiknya rawat inap saja.
St : Apakah perlu ada kriteria-kriteria tempat rehabilitasi yang baik?
SK : Betul. Untuk rawat inap pertimbangkan kondisi fisik bangunan dan fasilitas secara fisik apakah cukup memadai. Satu kamar untuk berapa pasien, apakah kamarnya / bangsalnya dibedakan antara laki-laki dan perempuan, bagaimana kebersihan kamar mandinya, apakah fasilitasnya cukup memadai?
St : Lalu apa lagi yang perlu dipertimbangkan?
SK : Untuk memilih tempat rehabilitasi gangguan jiwa perlu mempertimbangkan ketersediaan layanan dokter medis / psikiater dan psikolog / konselor. Dokter medis umumnya menangani aspek kesehatan secara umum, misalnya kalau pasien mengalami diare bisa ditangani dokter. Psikiater lebih ke aspek gangguan jiwanya. Psikolog untuk assasment atau psikotes untuk memantau perkembangannya ataupun konsultasi. Semua itu tersedia atau tidak. Biasanya tempat-tempat rehap swasta tidak punya dokter, psikiater, dan psikolog yang tinggal di tempat tetapi sifatnya kerjasama. Misal bentuknya kunjungan sebulan 1-2 kali, visite atau kunjungan teratur. Atau mereka bekerja sama dengan rumah sakit terdekat. Jadi kalau ada gangguan fisik non psikiatrik, mereka ke polikliniknya atau bisa rawat inap disana dengan proses administrasi yang cepat.
St : Berarti juga butuh staf harian yang terlatih untuk menangani hal-hal mendaadk seperti ini ya, Pak?
SK : Ya. Kita juga bisa memeriksa kompetensi para staf tempat rehabilitasi ini. Apa pendidikan para stafnya, apa mereka mengerti cara menangani pasien. Dan kita juga perlu memeriksa rasio atau angka perbandingan antara staf lapangan dan pasien. Paling tidak 1:10 itu yang sehat atau angka toleransinya. Yang bagus ya 1:5. Artinya ada 1 staf lapangan yang mendampingi 5 pasien. Tapi itu mungkin angka yang sangat ideal atau pasti harganya sangat tinggi, hanya orang-orang tertentu yang bisa membayar tempat rehap yang demikian. Tapi kalau 1:20 hati-hati, ini indikasi tidak bagus. Berarti tempat rehab itu seperti (maaf) "kandang ayam" saja. Orang-orang hanya diarahkan untuk makan, untuk minum obat, tapi antara staf lapangan dengan pasien tidak ada relasi, hanya sebatas penjaga saja. Tempat rehab ini sebaiknya dihindari. karena ini bukan hanya masalah medis, soal makan, minum, tidur, tapi butuh relasi, bahkan butuh konseling dan psikoterapi kelompok.
St : Jadi memang keluarga perlu survey terlebih dahulu sebelum akhirnya memutuskan anggota keluarganya dibawa ke rehap tertentu.
SK : Betul. Disatu sisi kita senang gereja atau pelayanan Kristen banyak mengembangkan pusat-pusat rehab swasta. Membangun satu rumah untuk tempat rehab karena punya hati. Itu bagus. Tapi ingat, tidak cukup hanya doa, tidak cukup hanya masalah ibadah / pemahaman Alkitab. Ada keluarga atau bahkan (maaf) hamba Tuhan yang berpikir, "Gangguan jiwa itu hanya masalah iman. Kalau dititipkan di sekolah Alkitab bisa sembuh. Kalau rajin didoa pelepasan dengan minyak urapan, sembuh." Lain. Ini bukan maslaah spiritual belaka. Lebih banyak masalah medis dan psikis dan ini butuh obat dan konseling mendalam dari orang yang ahli. Maka kelengkapan itu harus ada. Sekalipun labelnya Kristen tapi pertanggungjawaban medis psikiatrisnya harus tetap ada.
St : Mungkin juga perlu ada program-program lain di program ini ya? Maksudnya para pasien tidak hanya bangun tidur, makan, minum obat, lalu tidur lagi ya, Pak?
SK : Benar. Perlu aktivitas yang membangun rasa bermakna. Hidup bermakna dan jangan lupa mensana in korporesano – di dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang sehat. jadi ada olahraga pagi, voli, sepakbola sederhana, permainanan, kerajinan tangan, bermain musik, vokal grup, termasuk aktivitas keterampilan kerja sederhana. Itu membuat pasien membangun kebermaknaan hidup.
St : Bahwa disitu dia tidak sekedar bengong tapi ada sesuatu yang bisa dia kerjakan.
SK : Ya. Satu lagi tentang tempat rehab, perlu dicek apakah tempat itu punya sejarah kekerasan atau tidak. Misalnya pernah ada pasien yang dihajar, dianiaya, atau mungkin mengalami pelecehan seksual – tidak menikah tapi hamil di dalam tempat rehab, mengalami kematian yang tidak wajar. Perlu cek semua itu. Kalau ada sejarah seperti itu sebaiknya hindari, jangan taruh di tempat rehab seperti itu.
St : Darimana kita dapatkan informasi itu?
SK : Mungkin kita bisa cek pada anggota keluarga pasien yang lain, kita bisa dengar dari orang lain atau dari masyarakat sekitar. Maka kita perlu mencari second opinion. Dalam hal ini kalau kita datang ke tempat pusat konseling yang terdidik – kita kan tahu ada pusat-pusat konseling yang punya konselor formal – biasanya mereka sudah punya daftar tempat rehab yang layak menjadi pilihan. Psikiater-psikiater biasanya juga tahu tempat-tempat begitu.
St : Jadi ada rekomendasi ya?
SK : Betul.
St : Selain keluarga perlu mencermati kriteria tempat rehab yang baik, adakah hal lain yang perlu keluarga lakukan?
SK : Ya. Keluarga sendiri perlu menjalani terapi keluarga. Gangguan jiwa muncul sebagian karena factor keturunan. Kita lihat sejarah antara kakek nenek, paman bibi, ada faktornya. Factor lainnya karena psikososial, relasi keluarga yang tidak sehat. nah, butuh terapi keluarga. Jadi kalau penderita sudah membaik lalu kembali ke dalam keluarga yang bermasalah, maka dia bisa kambuh lagi. Makanya keluarga perlu berani dikonseling atau menjalani psikoterapi bersama, ada konselor atau psikolog yang membantu menangani.
St : Misalnya pasien tersebut sudah selesai menjalani terapi di tempat rehab, apa yang bisa mereka lakukan?
SK : Biasanya ada tahap cuti. Satu-dua hari pulang, mungkin didampingi oleh staf lapangan untuk penyesuaian. Lalu kembali ke tempat rehab. Sebulan kemudian kembali ke rumah selama dua hari. Kalau kondisinya sudah stabil barulah dia benar-benar keluar dari tempat rehab dan kembali ke keluarga.
St : Jadi ada tahapannya ya. Tidak langsung selesai keluar dari tempat rehab dan pulang ke rumah ya.
SK : Iya. Kalau begitu penderita akan kaget, mungkin keluarganya juga tidak siap, sehingga bisa saja kambuh karena ada tekanan jiwa yang muncul kembali. Perlu diperiksa apakah si pasien sadar kalau dirinya memang menderita gangguan jiwa dan mau kooperatif minum obat. Jadi kalau dia masih terus menyangkal, "Aku sehat. yang bermasalah itu keluargaku." Dan setiap kali minum obat harus dipaksa oleh perawat di tempat rehab maka itu tanda dia belum siap pulang. Jadi dia harus mengaku dulu bahwa dia sakit. Kalau mengauk diri sakit, dia akan mau minum obat dan mau menjalani proses rawat jalan setelah rawat jalan. Berarti ke rumah berarti tetap konsultasi dengan psikiater, tetap dipantau, mungkin sebulan sekali bertemu untuk memperbaharui resep, dan tidak boleh putus obat atas kehendak sendiri.
St : Apakah memang pasien ini perlu minum obat seumur hidup?
SK : Sebagian iya. Makanya dalam konteks ini penting keluarga mau menerima perubahan kondisi pasien. Kalau dulu sehat, angkat beban 20 kg baik-baik saja. Tapi setelah mengalami cedera otot, akhirnya maksimal 10 kg yang bisa dia angkat. Sama seperti itu. Dulu bisa menangani tanggung jawab ini dan itu. Tapi setelah mengalami gangguan jiwa, kemampuannya menjalani aktivitas bekerja atau studi tidak bisa sama seperti dulu. Keluarga perlu bisa menerima keterbatasan pasien ini. Atau kita sebagai pasien juga mau menerima diri bahwa kapasitas jiwa kita sudah menurun. Sehingga kita tidak boleh melampaui batas. Kalau kita mengalami tekanan jiwa yang melampaui batas bisa kambuh lagi.
St : Jadi perlu waspada seumur hidup ya, Pak.
SK : Ya. Lakukanlah aktivitas bermakna sebatas yang bisa dilakukan. Kalaupun bekerja bukan lagi sebagai tulang punggung ekonomi keluarga. Bekerja supaya memberi makna diri, "Aku punya makna, ada sesuatu yang bisa aku hasilkan." Kalaupun tidak bisa menghasilkan uang, dia punya aktivitas bersih-bersih rumah, ada tanggung jawab, intinya dia bekerja untuk memberi makna. Inilah yang perlu diterima oleh keluarga. Tuntutan akan membuatnya kambuh lagi.
St : jadi kebermaknaan diri seseorang bukan dari apa yang dia hasilkan tapi karena memang dirinya sendiri bermakna.
SK : Betul.
St : Apa yang menjadi landasan firman Tuhan pada perbincangan kita kali ini?
SK : SAya bacakan dari Kejadian 1:27, "Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan, diciptakan-Nya mereka." Teks ini menjelaskan manusia adalah gambar Allah. sekalipun kita sudah jatuh dalam dosa, bahkan setelah kita mengalami gangguan jiwa, kita tetap memmiliki gambar Allah. sekalipun gambar Allah itu rusak setelah kita jatuh dalam dosa tapi dipulihkan dalam nama Yesus. Artinya mari hargai diri sekalipun kita mengalami gangguan jiwa. Mari hargai anggota keluarga kita yang mengalami gangguan jiwa, karena mereka tetap manusia ciptaan Allah.
St : Terima kasih, Pak Sindu. Para pendengar sekalian, terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bapak Penginjil Sindunata Kurniawan, MK. dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Rehabilitasi Gangguan Jiwa". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org. Kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan, serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa dalam acara TELAGA yang akan datang.