Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi di mana pun Anda berada, Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (TEgur Sapa GembaLA KeluarGA). Saya, Gunawan Santoso, dari Lembaga Bina Keluarga Kristen, akan berbincang-bincang dengan Bapak Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling. Perbincangan kami kali ini tentang "Pribadi yang Sehat Adalah Kunci Relasi yang Sehat" bagian pertama. Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
GS : Pak Paul, memang kesehatan itu menjadi persyaratan supaya kita bisa hidup dengan lebih nyaman. Bukan hanya sehat badani tetapi juga sehat secara jiwani dan juga rohaninya. Di dalam relasi suami-istri memang dibutuhkan kondisi yang sehat ini. Begitu juga bagi seseorang yang tidak menikah, relasinya di dalam kerja dan relasi dalam bermasyarakat pribadi yang sehat itu sangat dibutuhkan. Namun kali ini kita akan memfokuskan pembicaraan ini pada relasi suami-istri. Ini bagaimana, Pak Paul, pengaruhnya?
PG : Oke. Saya akan memulai dengan perkataan: persiapan pesta pernikahan dapat dimulai beberapa bulan di muka tetapi persiapan keharmonisan pernikahan tidak bisa. Persiapan keharmonisan pernikahan harus dimulai bertahun-tahun sebelumnya; secara tepatnya yaitu sejak kita muda. Sebab kunci persiapannya adalah pribadi yang sehat dan sebagaimana kita ketahui pribadi yang sehat tidak muncul dengan sekejap. Jadi kita akan melihat beberapa faktor yang mesti diperhatikan untuk membangun pribadi yang sehat, yang diperlukan untuk menjalin relasi nikah yang sehat serta harmonis. Pertama, mengenal diri secara tepat dan menghargai diri sepatutnya. Setidaknya ada 4 dimensi dari mengenal diri, yakni mengenal kebisaan, mengenal kesukaan, mengenal keyakinan dan terakhir mengenal misi hidup kita. Mari kita kupas dan lihat kaitannya dengan pernikahan. Yang pertama, kita harus mengenal apa yang bisa kita lakukan dengan baik, apa yang bisa kita lakukan lumayan baik dan apa yang bisa kita lakukan secara tidak baik. Sebagai contoh, saya bisa memahami cerita dan kehidupan orang dengan baik. Saya bisa menulis dan mengarang lumayan baik, tetapi jika saya disodorkan persoalan teknik dan fisika maka saya akan mengerjakannya dengan tidak baik, Pak Gunawan. Jadi untuk mengenal diri dengan tepat dan menghargai diri sepatutnya maka yang pertama adalah kita mesti mengenal kebisaan kita apa dan ketidakbisaan kita apa.
GS : Tetapi ada banyak orang itu kadang-kadang sebenarnya dia bisa tetapi dia tidak tahu bahwa dia bisa. Tetapi juga ada orang yang tidak bisa tetapi dia tidak tahu bahwa dia tidak bisa, sehingga seolah-olah dia bisa. Yang seringkali kita jumpai adalah kalau orang itu diberi tugas selalu berkata, "Aduh saya tidak bisa apa-apa. Tolong cari yang lain. Padahal kita orang luar bisa melihat bahwa sebenarnya dia punya kemampuan. Nah, ini perlu ditumbuhkan, Pak Paul. Ini bagaimana ?
PG : Memang perlu ada keberanian untuk mencoba. Kalau kita tidak mencoba kita tidak akan tahu, kita bisa atau tidak. Tapi memang kita juga mesti realistik dengan tepat melihat apakah memang kita bisa atau tidak. Jangan sampai kita itu tidak mau menerima kenyataan sehingga kita terus berkata kita bisa. Nah, itu juga akhirnya menyusahkan orang-orang lain. Jadi memang penting kita mencobanya, Pak Gunawan. Setelah mencobanya kalau memang tetap kita tidak bisa maka kita akui bahwa kita tidak bisa. Kalau kita tidak bisa namun dengan pelatihan kita akan makin bisa maka silakan kita coba untuk meningkatkan kemampuan kita dalam melatih diri supaya akhirnya kita bisa.
GS : Iya. Dan Pak Paul katakan tadi bahwa harus dimulai sejak muda, artinya peran orangtua disini cukup besar untuk menumbuhkan pengetahuan si anak bahwa si anak bisa dalam bidang ini atau itu.
PG : Betul. Jadi sebetulnya orang pertama yang seharusnya menjadi cermin si anak untuk mengetahui dia bisa apa dan tidak bisa apa adalah orangtuanya. Sudah tentu penting orangtua menyampaikannya dengan positif bukan dengan merendahkan. Kita tahu ada orangtua yang seringkali merendahkan anaknya, sedikit-sedikit mengatai anaknya ‘bodoh, tolol’. Nah, itu tidak akan membantu si anak mengembangkan kepercayaan diri dan terutama tidak akan menolong si anak mengenal dirinya dengan tepat. Karena dari kecil sudah mendengar komentar orangtua yang buruk tentang kebisaannya akhirnya si anak berpikir bahwa dia seburuk itu dan tidak bisa apa-apa. Dan akhirnya tidak pernah berani untuk mencoba apa-apa.
GS : Iya. Selain kebisaan apa, Pak Paul?
PG : Untuk mengenal diri juga diperlukan untuk kita ini tahu kesukaan kita dan ketidaksukaan kita. Memang ada kalanya hal yang kita sukai adalah hal-hal yang bisa kita lakukan dengan baik dan sebaliknya hal-hal yang tidak kita sukai adalah hal-hal yang tidak dapat kita lakukan dengan baik. Namun sesungguhnya tidaklah selalu demikian. Kadang kita menyukai sesuatu yang belum tentu dapat kita kerjakan dengan baik dan sebaliknya kita tidak menyukai hal-hal yang dapat kita kerjakan dengan baik. Jadi berkaitan dengan kesukaan tidak selalu kita harus bisa melakukan sesuatu yang kita sukai. Terpenting adalah kita tahu apa yang menjadi kesukaan dan ketidaksukaan kita. Sebagai contoh, musik adalah kesukaan saya tapi saya tidak bisa bermusik dengan baik atau biasa-biasa saja. Sebaliknya menghitung bukanlah kesukaan saya tapi saya bisa melakukannya dengan lumayan baik. Kesukaan saya yang lain misalnya ialah film yang penuh misteri dan film aksi serta membaca buku biografi. Sedang ketidaksukaan saya adalah membaca buku fiksi dan menonton film kartun. Jadi dalam hidup ini penting kita tahu apa yang menjadi kesukaan kita dan apa ketidaksukaan kita sehingga ini nanti menolong kita mengenali diri kita. Dan nanti kita akan melihat bahwa hal ini berdampak pada pernikahan kita pula.
GS : Iya. Sebelum kita memasuki jenjang pernikahan, kita mesti mempunyai hobi atau kesukaan tertentu yang berguna untuk masa jangka panjang kalau nanti tua kita masih bisa menekuni kesukaan kita itu, Pak Paul. Seperti yang Pak Paul tadi katakan membaca atau menonton itu ‘kan satu kesukaan yang harus terus dikembangkan, Pak Paul.
PG : Betul. Apalagi dalam pernikahan kalau kita ini sama sekali tidak tahu kita menyukai apa, maka tidak bisa tidak itu akan menyusahkan hubungan dengan pasangan kita. Kalau kita juga tidak tahu ketidaksukaan kita apa, maka nanti juga repot karena pasangan kita juga bingung dengan diri kita. Jadi betul kita perlu tahu kesukaan kita, perlu tahu ketidaksukaan kita sebab ini adalah bagian kehidupan pernikahan yang memang penting.
GS : Juga kadang-kadang kesukaan itu bisa berubah-ubah begitu?
PG : Bisa.
GS : Dan suatu saat tertentu kesukaan kita misalnya saja bersepeda. Tapi nanti kondisi tidak memungkinkan maka tidak lagi bisa bersepeda.
PG : Iya.
GS : Yang lainnya apa, Pak Paul?
PG : Mengenal diri juga berarti mengenal keyakinan diri kita. Seyogyanyalah kita tahu apa yang kita yakini, apa yang baik dan buruk atau yang benar dan salah agar kita tidak hanyut diseret arus. Bila kita tidak tahu maka kita akan selalu mengikuti arah kehendak orang di sekitar kita, atau sering bingung dan ragu. Sebagai contoh, saya berkeyakinan oleh karena istri dan anak saya adalah orang terdekat yang Tuhan percayakan kepada saya, maka tanggungjawab saya yang utama adalah mereka, bukan orang lain. Nah, keyakinan ini telah memandu saya dalam menjalani hidup dan mengambil banyak keputusan.
GS : Yang Pak Paul katakan ini seperti percaya diri, begitu?
PG : Bukan. Ini adalah keyakinan dalam pengertian seperti nilai-nilai yang kita ini yakini, hal-hal yang penting.
GS : Iya. Contohnya apa, Pak?
PG : Yang tadi saya singgung adalah misalkan saya meyakini bahwa keluarga penting dan keluarga adalah orang terdekat yang Tuhan percayakan kepada saya. Maka akan saya prioritaskan kepentingan keluarga. Apa yang memang menjadi kebutuhan mereka saya akan penuhi. Apa yang misalnya harus saya lakukan untuk mereka akan saya lakukan sedapat-dapatnya. Jadi keyakinan itu akhirnya memandu saya mengambil keputusan dalam hidup; keluarga akan saya utamakan.
GS : Juga di dalam pekerjaan dan sebagainya, kita perlu punya keyakinan tentang diri kita sendiri itu, Pak Paul?
PG : Betul. Apa yang baik, apa yang buruk, apa yang benar, apa yang salah. Kalau tidak maka kita akan ditiup oleh angin lingkungan kita. Lingkungan kita mau ini itu, kita tidak tahu setuju atau tidak setuju sehingga asal ikut saja, tentu ini tidak bisa begitu.
GS : Hal yang keempat apa, Pak Paul?
PG : Terakhir adalah, mengenal diri berarti mengenal misi hidup kita. Sudah tentu tidak selalu kita tahu dengan jelas apa yang Tuhan ingin kita kerjakan dalam hidup ini. Seringkali panggilan dan pimpinan Tuhan diberikan secara bertahap, tidak sekaligus. Namun setidaknya kita memiliki gambaran umum akan misi hidup kita. Sebagai contoh saya ingin hidup saya menjadi berkat buat sesama dan saya tidak ingin hidup saya malah merugikan orang. Saya pun ingin agar hidup saya berjalan dan terakhir dalam integritas. Saya tidak ingin hidup saya berakhir dalam dosa. Saya pun ingin agar terus berkecimpung di bidang kesehatan jiwa dan pembangunan diri manusia. Inilah misi hidup yang Tuhan titipkan kepada saya. Jadi kita tadi telah membahas 4 dimensi mengenal diri; dari mengenal kebisaan, mengenal kesukaan, mengenal keyakinan diri dan terakhir mengenal misi hidup. Sekarang kita akan berhenti sejenak dan melihat kaitan antara mengenal diri dan kualitas pernikahan. Tidak dapat dibayangkan apa yang akan terjadi dalam pernikahan bila kita tidak mengetahui apa kebisaan kita, tidak mengetahui apa kesukaan kita, tidak mengetahui apa keyakinan kita dan tidak mengetahui apa misi hidup kita. Hampir dapat dipastikan kita akan menyimpulkan bukan saja kebingungan tapi juga masalah. Pasangan akan harus selalu menebak-nebak pikiran dan kemauan kita karena dia tidak mengetahui dengan jelas apa kebisaan kita, apa kesukaan kita, apa keyakinan kita dan apa misi hidup kita. Dan dapat dipastikan kita pun akan bergantung pada pasangan untuk membahagiakan dan menemukan makna hidup kita. Kita akan menuntut pasangan untuk menunjukkan dan memberi pengakuan akan kebisaan kita. Sama dengan itu kita pun akan mengharuskan pasangan senantiasa tahu akan kesukaan dan ketidaksukaan kita. Dan sudah tentu menghadirkan kesukaan kita dan menyingkirkan ketidaksukaan kita. Bila dia tidak melakukannya maka kita marah, kita menyalahkannya. Dan satu lagi oleh karena kita tidak tahu apa keyakinan kita, maka seringkali kita terombang-ambing dalam pengambilan keputusan. Alhasil kita membebankan pasangan dengan tanggungjawab, menata dan mengambil keputusan dalam hidup kita. Dan berkaitan dengan misi hidup, meski kita juga tahu apa yang menjadi misi hidup. Kita tahu apa yang bukan menjadi misi hidup kita, dengan kata lain kita tidak tahu apa yang kita inginkan dalam hidup. Tapi kita tahu apa yang tidak kita inginkan dalam hidup. Nah, ini semuanya memang membuat bingung. Pasangan kita akhirnya menjadi susah karena dia tidak tahu siapa diri kita. Karena kita pun juga sebenarnya tidak tahu siapa diri kita. Jadi akhirnya bukan saja hidup jadi terkatung-katung, kita pun akan menyeret pasangan ke kancah kekacauan dan kebingungan. Akhirnya keharmonisan pernikahan sukar dicapai, sebab selama bertahun-tahun pernikahan senantiasa dirundung perselisihan. Singkat kata, kita terus disibukkan dengan tugas memadamkan api kebakaran. Energi yang tersedot akhirnya habis, tidak tersedia lagi untuk menumbuhkan keintiman dalam pernikahan.
GS : Iya, Pak Paul. Memang mengenai misi hidup ini terkadang orang menyebutnya hanya secara umum, seperti jika ditanya, "Apa misi hidupmu? Memuliakan Tuhan." Atau kalau menikah, "Kenapa kamu menikah? Untuk mencari kebahagiaan." Ini terlalu umum Pak Paul, yang seharusnya dijabarkan secara rinci dan lebih jelas.Tapi dia tidak bisa menjabarkannya, ini bagaimana, Pak Paul?
PG : Memang kadang kita perlu bantuan orang untuk menolong kita melihat dengan jelas apa yang sebetulnya misi hidup kita. Nah, salah satu cara untuk mengenali misi hidup kita adalah kita ini memerhatikan apa yang menjadi kerinduan kita, apa yang ingin kita lihat dalam hidup ini, apa yang ingin kita persembahkan kepada Tuhan, dan seringkali ini berkaitan juga dengan karunia yang Tuhan sudah berikan kepada kita. Apa yang bisa kita lakukan dengan baik, itu yang mau kita persembahkan kepada Tuhan. Dan misi hidup juga seringkali berkaitan dengan pengalaman hidup, Pak Gunawan. Kadangkala pengalaman-pengalaman tertentu dalam hidup kita seolah-olah mengetuk pintu hati kita dan mengajak kita untuk terlibat di dalam pelayanan untuk hal-hal seperti itu. Misalkan ada orang yang pernah sakit kemudian sembuh penyakit beratnya. Nah, dia merasa terpanggil untuk melayani orang-orang yang sakit seperti dia, sehingga dia bisa lebih menolongnya karena dia sendiri pun pernah mengalami sakit yang sama. Ini akhirnya menjadi panggilan Tuhan dan misi hidup baginya.
GS : Pak Paul, selain faktor yang tadi sudah disebutkan maka faktor kedua yang terpenting di dalam pembentukan pribadi yang sehat itu apa ?
PG : Menerima masa lalu sebagai bagian integral hidup. Tapi tidak lagi terikat oleh masa lalu. Tidak semua memunyai masa lalu yang menyenangkan yang dapat dibanggakan. Ada yang memiliki masa lalu yang buruk dan memalukan. Nah, respons alamiah kita terhadap masa lalu yang seperti itu adalah melupakannya. Kita berharap dengan melupakannya maka masa lalu itu akan hilang. Masalahnya adalah kita tidak dapat menghilangkan masa lalu. Kita hanya dapat menyangkalnya atau menerimanya. Nah, pribadi yang sehat bukanlah pribadi yang hanya memunyai masa lalu yang indah dan menyenangkan. Tidak. Ada kalanya pribadi yang sehat justru berlatar belakang masa lalu yang buruk dan menyakitkan. Kuncinya adalah menerima masa lalu, baik atau buruk, menyenangkan atau menyakitkan sebagai bagian integral hidup. Namun tidak terikat olehnya. Maksud saya kita menyadari pengaruh buruk dari masa lalu namun kita memutuskan untuk melepaskan diri darinya. Kita bukanlah budak masa lalu. Sebagai contoh, sewaktu kecil saya sering menerima pukulan fisik dari ayah saya sebagai hukuman atas kesalahan yang saya perbuat. Terkadang dia melakukannya secara berlebihan dan membuat saya menderita karenanya. Setelah berkeluarga saya memutuskan untuk tidak mengulang metode pendisiplinan yang berlebihan dan menyakitkan itu. Godaan untuk melakukannya ada, sebab dalam kemarahan reaksi alamiah yang langsung keluar adalah keinginan untuk memukul. Namun atas kasih karunia Tuhan saya tidak melakukannya. Saya menolak untuk dikuasai oleh masa lalu saya. Ada orang yang misalnya, Pak Gunawan, terkhianati oleh orangtua yang tidak setia atau berzinah, maka setelah dewasa mereka terus dihantui ketakutan bahwa pasangan pasti akan mengkhianati mereka. Kalau pasangan tidak pernah mengkhianati mereka, tapi mereka tetap hidup dalam ketakutan yang menurut mereka nyata. Mereka terus mencurigai pasangan, cepat menuduh pasangan telah berzinah tanpa bukti. Nah, pribadi yang sehat mengakui hal buruk dan tidak menyenangkan yang pernah dialami. Mereka tidak menyangkal, tidak mereduksi atau membelokkan sesuai selera. Tidak. Mereka menerima apa adanya dan mengakui dampak buruk masa lalu pada diri mereka. Mungkin dampaknya adalah mereka menjadi diri yang tidak aman. Mereka memunyai kebutuhan akan penghargaan yang besar. Mereka mungkin haus kasih sayang atau sulit percaya atau dekat dengan orang. Pribadi yang masih dikuasai masa lalu niscaya akan merusak pernikahannya. Mereka bereaksi terhadap pasangan seakan-akan pasangan adalah orang di masa lalunya yang telah menyakitinya atau sebaliknya membahagiakannya. Mereka tidak dapat membedakan dan memerlakukan pasangan sebagai pribadi yang unik dan terpisah dari figur penting di masa lalu.
GS : Memang sangat sulit, Pak Paul, untuk melupakan kenangan masa lalu terutama yang pahit atau yang tidak enak, itu menimbulkan trauma tersendiri bagi seseorang. Dan ini bagaimana kalau dia tidak mau meminta pertolongan pada orang lain dan itu terus mengganggu kehidupan pribadi dan juga mengganggu kehidupan pasangannya?
PG : Itu memang susah karena memang kita tidak bisa paksa orang apalagi dia sudah dewasa. Tapi mungkin kita hanya bisa mengingatkan dia bahwa inilah hidupmu selama ini dan apakah kamu akan mau hidup terus seperti ini selama-lamanya. Kadang saya berkata kepada orang, kita ini mesti memilih apakah kita mau hidup ini didasari atas ketakutan atau kita mau hidup kita didasari atas kasih. Maksud saya begini, ada orang yang sebagai contoh karena dulu orangtuanya tidak setia, jadi selalu memiliki ketakutan bahwa pasangannya tidak setia. Sehingga hidupnya itu dibangun di atas ketakutan ini; selalu mengawasi pasangannya, curiga dengan pasangan, selalu bersiap-siap jangan sampai nanti suatu hari pasangan mengaku bahwa dia tidak setia sehingga dia akan kacau jadi selalu bersiap-siap. Singkat kata hidupnya berpusar pada atau dibangun di atas ketakutan ini. Nah, apakah kita mau hidup seperti itu terus, atau apakah kita mau hidup justru berpusar pada dan didasari atas kasih. Kalau kita berkata "Tidak. Saya tetap mau mengasihi dan percaya. Kalau pun nanti pasangan saya itu tidak setia dan menyakiti saya, maka sudah saya terima. Saya tahu ada Tuhan. Tuhan bisa memberikan saya kekuatan untuk menghadapinya. Tapi selama tidak ada bukti saya akan tetap percaya dan mengasihinya". Jadi pada akhirnya kita harus memilih pilihan itu. Dan kalau kita memilih untuk dikuasai masa lalu, misalkan ini oleh ketakutan, akhirnya kita benar-benar tidak bi a menikmati hidup.
GS : Nah, faktor yang ketiga apa, Pak Paul?
PG : Faktor ketiga untuk membangun pribadi yang sehat adalah tangguh menanggung kesusahan dan kreatif mencari jalan keluar. Hidup tidak sempurna dan kemalangan tidak selalu dapat dihindari. Kita mesti siap menghadapi dan menanggung kesusahan. Kita harus bertahan sekaligus mengupayakan jalan keluar. Semakin tangguh dan semakin kreatif mencari jalan keluar maka makin sehat dan makin siap kita menjalin relasi pernikahan yang harmonis. Sebaliknya semakin rapuh dan kaku kita dalam menghadapi masalah maka semakin tidak siap kita untuk menikah. Nah, ada orang yang senantiasa bergantung pada orang lain untuk menyelesaikan masalah. Setelah menikah, besar kemungkinan mereka akan bersandar pada pasangan untuk menyelesaikan masalah. Ada pula orang yang lari dari tanggungjawab sehingga mereka pun akan lari dari masalah setelah menikah. Dan ini menyulitkan pasangan untuk menyelesaikan konflik. Jadi jauh hari sebelum kita menikah, kita mesti memersiapkan diri untuk tangguh menghadapi kesusahan dan berupaya untuk mencari solusinya. Ini penting sekali dalam pernikahan. Kalau kita tidak bisa menanggung kesusahan, tidak kreatif mencari jalan keluar maka pernikahan kita akan terus dirundung oleh masalah.
GS : Seringkali yang kita jumpai adalah banyak orang yang tangguh menghadapi persoalan-persoalan hidup bisa dilewati. Tetapi untuk menemukan jalan keluar atau penyelesaian masalah, ini yang sulit. Jadi kreatifitas untuk menyelesaikan masalah apalagi menanggulangi supaya jangan terjadi masalah yang sama ini sulit sekali menemukannya, Pak Paul?
PG : Betul. Jadi itu poin yang bagus, Pak Gunawan. Ada orang yang tangguh menghadapi kesusahan namun tidak kreatif mencari jalan keluarnya. Seringkali orang yang seperti itu, orang yang memang sudah terlalu terbiasa hidup dalam kesusahan, Pak Gunawan. Dan akhirnya, karena dirundung oleh persoalan dan tidak pernah bisa menemukan jalan keluarnya karena memang terlalu banyak persoalannya, akhirnya memang mereka menjadi orang yang tumpul. Tidak bisa lagi berpikir bagaimana keluar. Mungkin sekali semangatnya untuk mencari jalan keluar sudah tidak ada karena sudah terlalu lama hidup dirundung oleh masalah. Maka kita mesti belajar dari orang lain. Kita bisa baca, kita bisa bicara, kita bisa tanya orang, sehingga kita akhirnya belajar dari mereka bagaimana dengan kreatif mencari solusi.
GS : Iya. Faktor yang keempat apa, Pak Paul?
PG : Keempat dan terakhir adalah dapat melihat orang secara tepat sekaligus menerima kelemahan orang dan menghargai kekuatan orang. Ada orang yang hanya melihat kelemahan orang sehingga apapun yang orang perbuat, mereka selalu mengkritik. Sebaliknya ada yang hanya dapat melihat kekuatan orang dan membutakan mata terhadap kelemahan orang; apapun yang diperbuat orang itu selalu dinilai baik dan benar. Nah, kedua sikap ini menunjukkan bahwa kita tidak melihat orang berdasarkan kenyataan. Kita masih dipengaruhi oleh kepentingan pribadi sehingga sukar melihat dengan jernih. Nah, pernikahan dibangun bukan saja di atas penerimaan, tapi juga penglihatan yang jelas akan siapakah pasangan. Makin jelas dan tepat, makin mudah kita berelasi dengannya. Kita tidak menuntut pasangan melampaui kapasitas dirinya dan kita tidak mengharuskannya menjadi pribadi yang bukan miliknya. Sebaliknya jika kita tidak melihat pasangan apa adanya maka kita akan terus menuntut pasangan dan mengharuskannya menjadi pribadi yang bukan dirinya. Tidak heran akhirnya pasangan letih dan malah menjauh.
GS : Memang kita itu berusaha untuk melihat pasangan kita secara tepat. Tetapi manusia sulit untuk menilai orang lain khususnya secara obyektif. Biasanya penilaian kita sangat subyektif. Ada saat-saat tertentu dia menyukakan kita dan itu kita ingat.Tetapi untuk menilai secara tepat ini sulit sekali.
PG : Betul. Tidak gampang. Maka mesti dimulai dari awal, Pak Gunawan. Tadi Pak Gunawan sudah menyinggung betapa penting peranan orangtua. Orangtua yang bisa memberi tanggapan kepada kita; apa kekuatan kita, apa kelemahan kita. Tetapi tetap menerima kelemahan kita, menerima diri kita dan bisa juga menghargai kekuatan kita. Interaksi dan tanggapan yang kita terima dari orangtua yang seperti ini, ini menolong kita. Akhirnya bukan saja melihat diri kita dengan tepat tapi juga melihat orang dengan tepat. Bisa menerima kelemahan orang, bisa menghargai kekuatan orang.
GS : Iya. Ini saya rasa masih ada beberapa faktor lain yang perlu dibicarakan namun karena keterbatasan waktu kita harus akhiri dulu bagian ini pada faktor yang keempat ini, Pak Paul. Namun sebelum kita mengakhirinya, mungkin ada ayat yang Pak Paul ingin sampaikan?
PG : Amsal 21:5 menjanjikan, "Rancangan orang rajin semata-mata mendatangkan kelimpahan, tetapi setiap orang yang tergesa-gesa hanya akan mengalami kekurangan". Kita mesti rajin memersiapkan keharmonisan dalam pernikahan. Jauh hari sebelum hari pernikahan. Dan itu dimulai dengan diri sendiri. Kita fokus pada diri kita, kita coba perbaiki sehingga kita menjadi pribadi yang sehat. Dan pribadi yang sehat inilah yang akan kita bawa ke dalam pernikahan kita.
GS : Iya. Terima kasih untuk kesempatan perbincangan kali ini. Para pendengar sekalian, kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bapak Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (TEgur sapa GembaLA KeluarGA). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Pribadi yang Sehat Adalah Kunci Relasi yang Sehat" bagian pertama. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Atau Anda juga dapat menggunakan e-mail ke alamat telaga@telaga.org. Kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan, serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Akhir kata dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa dalam acara TELAGA yang akan datang.